Korelasi body mass index terhadap HbA1c pada pria dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.
Kristi Natalia 128114106
INTISARI
Antropometri merupakan metode sederhana, mudah, dan murah yang dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan status nutrisi seseorang. Pengukuran Body Mass Index (BMI) adalah salah satu metode antropometri yang sering digunakan dan dapat memprediksi adanya obesitas. Obesitas dapat memicu terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin menyebabkan diabetes melitus tipe 2 yang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara body mass index terhadap HbA1c pada pria dewasa sehat pada lingkup masyarakat pedesaan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Pemilihan responden dilakukan secara non-random dengan teknik purposive sampling. Jumlah responden sebanyak 46 responden berjenis kelamin laki-laki yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Variabel yang diukur adalah nilai BMI dan kadar HbA1c. Analisis data dengan uji normalitas Shapiro-Wilk, uji komparatif Mann-Whitney, serta uji korelasi Pearson dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan nilai rerata karakteristik responden yaitu rerata usia 49,72±6,58 tahun; rerata BMI 24,44±2,98 kg/m2; rerata HbA1c 5,51±0,30%; serta rerata Hb 14,80±1,01 g/dL. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan lemah dengan arah korelasi positif antara BMI terhadap HbA1c (r=0,237; p=0,112) pada pria dewasa sehat di desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.
Kata kunci : Body Mass Index, HbA1c, Pria Dewasa Sehat ABSTRACT
Anthropometry is a simple method, easy, and inexpensive that can be used as an indicator of the health and nutritional status of a person. Measurement of Body Mass Index (BMI) is one of the frequently used anthropometric methods and can predict the presence of obesity. Obesity leads to insulin resistance. Insulin resistance causes diabetes mellitus type 2, which is a risky factor for cardiovascular disease. This study aims to determine the correlation between Body Mass Index on HbA1c in healthy adult males in rural communities.This study is an observational analytic study with cross-sectional design. The selection of respondents is done in a non-random purposive sampling technique. The number of respondents are 46 male respondents who have met the inclusion and exclusion criteria. The measured variable is the value of BMI and HbA1c levels. The analysis of data uses the Shapiro-Wilk normality test, comparative test of Mann-Whitney and Pearson correlation test with 95% confidence level. The results shows the average value of
respondents’ characteristics, profile of age 49,72 ± 6,58 years; BMI 24,44 ± 2,98 kg/m2; HbA1c 5,51 ± 0,30%; and Hb 14,80±1,01 g/dL. The conclusion of this study is that there is no significant correlation, weak strength with the direction of a positive correlation between BMI on HbA1c (r = 0,237; p = 0,112) in healthy adult males in Kepuharjo Cangkringan Sleman Yogyakarta.
(2)
KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA PRIA DEWASA SEHAT DI DESA KEPUHARJO KECAMATAN CANGKRINGAN SLEMAN
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Kristi Natalia
NIM: 128114106
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(3)
i
KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA PRIA DEWASA SEHAT DI DESA KEPUHARJO KECAMATAN CANGKRINGAN SLEMAN
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Kristi Natalia
NIM: 128114106
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
Pcilrttnisil Pe,utruHry
KOmI/f$
WDY
IIASS^AYDE)TTERHADAP trbAlc ?ADA PRIA DEWASA SEEATI}I
I}ESA KEHUTANJO KECAMATAN CANGKRIilCAI{ SI,EIIfiANYOGYAI(ARTA
Sldpoi ymg
dieiuh
oleh :KristiNelb
NIM:12t1141tr
tclahdfuEffijui oletu:
Pembimhingums
(5)
Pengeehau S*rlpci Beriudul
KORELASI BOD:Y *TASSI?VDtrTERIIADAP HbAIc PADA PRIA I}E}YASA
sEIrAr
rlr
DESAor*f;"H,m;fl
cArrrcKRrNGAN SLEMANOleh:
Kristi Natalia
NIM:128114106
Dipertahankan di hdapan Panitia Penguji Slaipsi
Fakultas Farmasi
Universitas Sanara Dhema
Januari 2015
to*ry
tahui,Farmasi
Ph.D., Apt.
1. dr. Feoty,
2. Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt.
3. Dita Maria
Virgriq
M.Sc.,Apt
lu
(6)
iv
Kupersembahkan karya ini untuk :
Tuhan Yesus sumber kekuatan hidupku
Bapak, mama, kakak, abang dan janu penyemangat hidupku
Sahabat dan teman-teman yang selalu setia membantuku
Keluarga besar dan almamaterku
(7)
PERNTATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan demgan sesungguhnya bahwa stripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lairu kectrali yang telah disebutkan dalam
htipm
dao daftar pustdr& sebog&imma tayaknya kaqxailmi&.
Apabila di kemtdian hari ditem*an inOitasi plagiarisme dalam naskah ini maka saya bersedia m€nanggung segala sanksi sesuai p€raturan psrundangudangan yang berlalu.
(8)
LEMBAR PER}IYATAA}I PERSETUJUAIT PT'BLIKASI KARYA
ILMIAH
T]NTT]K KEPENTINGAI\I AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharrra :
Nama
: Kristi NataliaNomor
Mahasiswa
: 1281 14106Demi pengembangan
ilmu
pengetahuan, saya memberikan kepada PerpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KORELASI BODY MASS II$DH( TT,RIIADAP
lfbAlc
PADA PRIA DEWASA SEHATDI
DESA KEPUIIAR.IO KECAMATAN CAI{GKRINGAI\I SLEMAN YOGYAKARTABeserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dhamra hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media
lai&
mengelolanyadalam bentuk
pangkalan data.mendistribusikan secaraterbatas, danmempublikasikannya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memkrikan
royalti kepada saya selamatetap mencantumkan narna saya sebagai penulis.
Demikian perryataan ini saya buat dengan sebenamya
Dibuat di Yogyakarta
Padatanggal : 15 Februari 2016
Yang menyatakan
(I{risti Natalia)
(9)
PRAKATA
Fuji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa penulis panjatkan atas segala
berkat, iahmaq dan limpahan kasih-Nya yang luar biasa sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi berjudul *Korelasi Body Mass Index terhadap
HbAlc
padaPria Dewasa Sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta"
sebagai syarat memperoleh gelar sarjana farrnasi (S.Farm)
di
Universitas SanataDharma Yogyakarta.
Pada Kesempatan ini, penulis ingin menyanrpaikan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis melalui dukungan tenaga, pikiran, waktu,
dan memberikan banyak nasihat agar penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
baik. Rasa terimakasih tersebut penulis sampaikan kepada :
l.
dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyakmembanfu dalam berbagi
itnu,
pengetatuan, dan wawasan, serta bersediameluangkan waktu, tenag4 dan pikiran untuk berdiskusi dan mengarahkan
penulis dalaur penyusuum skripsi ini.
2.
Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi UniversitasSanata Dharrna serta selaku dosen ponguji atas semua saran dan dukungan yang membangun.
3.
Dita Maria Virgioiq M.Sc., Apt., selaku dosen penguji atas semua saran, dan dukungan yang membangun.(10)
4.
Kepalas Desa Kepuharjoyang
memberikanijin
kepada peneliti untukmengadakan penelitian dan penganrbilan data.
5.
Komisi
Etik
Penelitian Kedokterandan
Kesehatan Fakultas KedokteranUniversitas Gadjah
Madq
yang telah memberikanijin
untuk melakukan penelitian.6.
Laboratorium Pramitha Yogyakarta yang telah membantu penulis dalam menganalisis darah untuk kepentingan penelitian.7.
Masyarakat Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangtringan, Slemarq Yogyakana yang tetah bersedia terlibat dalam penelitian sebagai responden.8.
Selunrh Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yangtelah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama proses perkuliahan.
9.
Bapak, mama, kakak, abang,janu
yang terkasihdan
tercinta, sumbersemangatku, yang tiada pemah berhenti memhrikan kasih
syilg,
cint4dukungan, perhatian" kesabaran dalar.n membimbingku hingga saat ini.
10. Teman-teman Sanggar Bukonk Betajq keluarga keduaktr" sekolah hidup dan
pengalamankq yang tiada lelah mendukung dan menyernangatiku.
11. Semua sahabat-salrabatku Dindq Widi, Osalq Bertha Astri4 Cica, Noven, Tika
Tiwi, Tata, Nuri, dan Lisa yang selalu mendukungku.
(11)
12. Teman-teman
fKK
B 20t2, dan semua angkatan 2Al2 yang telatr bersama-sama berproses dan.berbagi suka duka di Fakultas Farmasi Sanata Dharrra13. Teman-teman seperjuangan skripsiku
"Lisq
Noven, Nuri, Ven4Mithq
Atih
Vani, Siti, Ida yang selalu hrsama-sama berjuang dan memberikan semaugat kepadaku.
14. Semua pihak yang telah membantukq yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skxipsi
ini
masih terdapat banyakserta masih jauh dari kesempumaan. Penulis sangat mengharapkan kxitik dan saran
yang membangun de,mi sempurnanya skripsi
ini.
Semoga skripsiini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat memberikan sumbangsih bagi ilmupengetatruan.
*ffi
Penulis
(12)
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI………..…iii
HALAMAN PERSEMBAHAN………..………….iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………...……vi
PRAKATA...vii
DAFTAR ISI...x
DAFTAR TABEL...xiv
DAFTAR GAMBAR...xv
DAFTAR LAMPIRAN...xvi
INTISARI...xviii
ABSTRACT...xix
BAB I. PENGANTAR...1
A. Latar Belakang...1
1. Perumusan Masalah...4
2. Keaslian Penelitian...4
3. Manfaat Penelitian...8
B. Tujuan...8
(13)
xi
A. Antropometri...9
1. Body Mass Index (BMI)...10
B. Obesitas...11
C. Diabetes Melitus Tipe 2...12
D. Hemoglobin...14
E. HbA1c………...15
F. Penyakit Kardiovaskular...17
G. Landasan Teori...18
H. Hipotesis………..20
BAB III. METODE PENELITIAN...21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian...21
B. Variabel Penelitian...21
C. Definisi Operasional...22
D. Responden Penelitian...23
E. Lokasi dan Waktu Penelitian...27
F. Ruang Lingkup Penelitian...27
G. Teknik Pengambilan Sampel...29
H. Instrumen Penelitian...29
I. Tata Cara Penelitian...30
1. Observasi Awal...30
(14)
xii
3. Pembuatan Informed Consent dan Leaflet...31
4. Pencarian Responden...32
5. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian...33
6. Pengukuran Parameter...33
7. Penyerahan hasil pemeriksaan kepada responden...34
8. Pengolahan data...34
J. Analisis Data...34
K. Keterbatasan Penelitian...36
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...37
A. Profil Karakteristik Responden...37
1. Usia...38
2. Body Mass Index (BMI)...40
3. Hemoglobin...43
4. HbA1c………45
B. Perbandingan Rerata HbA1c pada Kelompok Body Mass Index ≥25kg/m2 dan Body Mass Index <25kg/m2...47
C. Korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c...49
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...54
A. Kesimpulan...54
B. Saran...54
(15)
xiii
LAMPIRAN...63
(16)
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Keaslian Penelitian...5
Tabel II. Klasifikasi Body Mass Index ………...10
Tabel III. Klasifikasi Nilai HbA1c...15
Tabel IV. Penelitian Korelasional Antara BMI terhadap HbA1c...20
Tabel V. Interpretasi Hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi...35
Tabel VI. Profil Karakteristik Responden...37
Tabel VII. Hasil Perbandingan rerata HbA1c pada kelompok body mass index ≥25kg/m2 dan body mass index <25kg/m2 ...47
(17)
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Pencarian Responden...26
Gambar 2. Bagan Kajian Penelitian Payung...28
Gambar 3. Grafik Distribusi Usia Responden...38
Gambar 4. Grafik Distribusi Body Mass Index Responden...41
Gambar 5. Grafik Distribusi Hemoglobin Responden...43
Gambar 6. Grafik Distribusi HbA1c Responden……….45
Gambar 7. Diagram Sebaran Korelasi Body Mass Index dengan Kadar HbA1c Responden………50
(18)
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ethical Clearence...64
Lampiran 2. Surat Ijin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Yogyakarta...65
Lampiran 3. Surat Ijin Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta...66
Lampiran 4. Sertifikat Lisensi Analisa Data Statistik……….…67
Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Responden………...68
Lampiran 6. Leaflet Tampak Depan...69
Lampiran 7. Leaflet Tampak Belakang...69
Lampiran 8. Informed Consent ...70
Lampiran 9. Pedoman Wawancara...71
Lampiran 10. Form Pengukuran Antropometri...72
Lampiran 11. Sertifikat Peneraan Timbangan Berat Badan...73
Lampiran 12. Sertifikat Peneraan Pengukur Tinggi Badan ...74
Lampiran 13. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian...75
Lampiran 14. Data Pemeriksaan darah Responden………...76
Lampiran 15. SOP Pengukuran Berat Badan dan Tinggi Badan...78
(19)
xvii
Lampiran 17. Deskriptif dan Uji Normalitas HbA1c pada Kelompok Body Mass
Index ≥25kg/m2 dan <25kg/m2...82
Lampiran 18. Uji Komparatif antara HbA1c pada kelompok Body Mass Index
≥25kg/m2 dan <25kg/m2...84
(20)
xviii
INTISARI
Antropometri merupakan metode sederhana, mudah, dan murah yang dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan status nutrisi seseorang. Pengukuran Body Mass Index (BMI) adalah salah satu metode antropometri yang sering digunakan dan dapat memprediksi adanya obesitas. Obesitas dapat memicu terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin menyebabkan diabetes melitus tipe 2 yang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara body mass index terhadap HbA1c pada pria dewasa sehat pada lingkup masyarakat pedesaan.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Pemilihan responden dilakukan secara non-random dengan teknik purposive sampling. Jumlah responden sebanyak 46 responden berjenis kelamin laki-laki yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Variabel yang diukur adalah nilai BMI dan kadar HbA1c. Analisis data dengan uji normalitas Shapiro-Wilk, uji komparatif Mann-Whitney, serta uji korelasi Pearson dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan nilai rerata karakteristik responden yaitu rerata usia 49,72±6,58 tahun; rerata BMI 24,44±2,98 kg/m2; rerata HbA1c 5,51±0,30%;
serta rerata Hb 14,80±1,01 g/dL. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan lemah dengan arah korelasi positif antara BMI terhadap HbA1c (r=0,237; p=0,112) pada pria dewasa sehat di desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.
(21)
xix
ABSTRACT
Anthropometry is a simple method, easy, and inexpensive that can be used as an indicator of the health and nutritional status of a person. Measurement of Body Mass Index (BMI) is one of the frequently used anthropometric methods and can predict the presence of obesity. Obesity leads to insulin resistance. Insulin resistance causes diabetes mellitus type 2, which is a risky factor for cardiovascular disease. This study aims to determine the correlation between Body Mass Index on HbA1c in healthy adult males in rural communities.
This study is an observational analytic study with cross-sectional design. The selection of respondents is done in a non-random purposive sampling technique. The number of respondents are 46 male respondents who have met the inclusion and exclusion criteria. The measured variable is the value of BMI and HbA1c levels. The analysis of data uses the Shapiro-Wilk normality test, comparative test of Mann-Whitney and Pearson correlation test with 95% confidence level.
The results shows the average value of respondents’ characteristics, profile of age 49,72 ± 6,58 years; BMI 24,44 ± 2,98 kg/m2; HbA1c 5,51 ± 0,30%; and Hb 14,80±1,01 g/dL. The conclusion of this study is that there is no significant correlation, weak strength with the direction of a positive correlation between BMI on HbA1c (r = 0,237; p = 0,112) in healthy adult males in Kepuharjo Cangkringan Sleman Yogyakarta.
(22)
1
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian paling umum di
seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular menyebabkan hampir 40% kematian di
negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang (Gaziano, 2008).
Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang berhubungan dengan pola perilaku
modern sehingga penyakit ini tidak hanya menyerang masyarakat di negara-negara
maju tetapi sudah menjadi ancaman bagi masyarakat di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. World Health Organization melaporkan sebanyak 17,3 juta
orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2008 dan diprediksikan
pada tahun 2030 akan meningkat hingga 23,3 juta orang (WHO, 2013).
Diabetes melitus merupakan suatu sindroma kronik gangguan metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak akibat insufisiensi sekresi insulin atau resistensi
insulin pada jaringan sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Dorland,
2010). Sekitar 90% dari jumlah keseluruhan pengidap diabetes, mengidap diabetes
melitus tipe 2 dengan lebih dari 80% hidup dan tinggal di negara miskin dan
berkembang (WHO, 2013). Prevalensi diabetes melitus di seluruh dunia pada semua
tingkat umur diperkirakan meningkat dari 2,8% pada tahun 2000 yaitu sekitar 177
(23)
Indonesia diperkirakan prevalensi diabetes melitus mencapai 21,3 juta orang pada
tahun 2030 (Wild, Roglic, Green, Sicree, and King, 2004).
Menurut Schalkwijk and Stehouwer (2005) diabetes melitus dapat
menyebabkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi
makrovaskular dapat menyebabkan percepatan pembentukan aterosklerosis yang
dapat mengganggu fungsi kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian
diantara pasien dengan diabetes melitus tipe 2. Faktor risiko penyakit kardiovaskular
pada penyandang diabetes melitus meliputi obesitas, hipertensi, overweight, dan
dyslipidemia. Indikator overweight, adalah Body Mass Index (BMI) 25,0–29,9 kg/m2
sedangkan indikator obesitas adalah BMI ≥ 30 kg/m2 (WHO, 2013).
Obesitas merupakan akumulasi lemak abnormal berlebihan yang
mengakibatkan beberapa risiko penyakit seperti hipertensi, hyperlipidemia, resistensi
insulin, serta hiperurisemia yang akan memperburuk kardiovaskular (Zang, et al.,
2013). Sebanyak 7,1% kelompok umur dewasa yang overweight menderita diabetes
melitus dan sebanyak 12,1% kelompok umur dewasa yang obesitas menderita
diabetes melitus (Chan, et al., 2009). Obesitas merupakan faktor risiko yang penting
terhadap terjadinya penyakit diabetes melitus. Pada seseorang yang obesitas, karena
masukan makanan yang berlebih, kelenjar pankreas akan bekerja lebih keras untuk
menormalkan kadar glukosa darah akibat masukan makanan yang berlebihan.
Mula-mula kelenjar pankreas masih mampu mengimbangi dengan memproduksi insulin
(24)
normal. Tetapi pada suatu ketika sel beta kelenjar pankreas tidak mampu lagi untuk
memproduksi insulin yang cukup untuk mengimbangi kelebihan masukan kalori.
Akibatnya kadar glukosa darah akan tinggi dan akan mengalami toleransi glukosa
terganggu yang akhirnya akan menjadi diabetes melitus (Waspadji, 2007).
Pemeriksaan HbA1c dapat digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah
pada penderita diabetes melitus. Diabetes melitus merupakan salah satu faktor risiko
pengembangan penyakit kardiovaskular sehingga peningkatan HbA1c dapat menjadi
indikator tercetusnya risiko penyakit kardiovaskular. Nilai HbA1c merupakan cermin
rata-rata kadar gula darah dalam beberapa bulan dan merupakan prediktor kuat
terhadap komplikasi diabetes melitus. Nilai HbA1c ≤ 7 % telah terbukti menurunkan
komplikasi mikrovaskular dan pemeriksaan nilai HbA1c rutin dapat menurunkan
risiko jangka panjang makrovaskular (Sacks, et al., 2011; Stratton, Adler, and Neil,
2000; ADA, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu upaya yang dapat
memprediksi risiko penyakit diabetes melitus tipe 2. Salah satu cara yang paling
sederhana, mudah, dan murah di aplikasikan adalah pengukuran antropometri.
Pengukuran antropometri meliputi pengukuran body mass index, berat tubuh ideal,
rasio lingkar pinggang panggul, skinfold thickness, presentase massa lemak, dan
massa muskular total. Body mass index merupakan pengukuran antropometri yang
menggunakan nilai pengukuran dari berat dan tinggi badan. Nilai body mass index
(25)
obesitas (Tamus and Bourdon, 2006). Semakin tinggi nilai body mass index
seseorang maka semakin berisiko pula orang tersebut untuk mengalami obesitas
dimana hal tersebut berhubungan dengan beberapa masalah kesehatan daripada
seseorang dengan body mass index normal (Centers for Disease Control and
Prevention of United States, 2011). Oleh karena itu, penelitian yang berjudul
“Korelasi Body Mass Index (BMI) terhadap HbA1c pada pria dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta” ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara Body Mass Index terhadap HbA1c pada masyarakat pria
dewasa sehat di daerah pedesaan sebagai deteksi dini atau upaya pencegahan penyakit
diabetes melitus tipe 2 yang merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular.
1. Perumusan Masalah
Apakah terdapat korelasi yang bermakna antara Body Mass Index (BMI)
terhadap HbA1c pada pria dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,
Sleman, Yogyakarta?
2. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil pencarian informasi terkait penelitian mengenai korelasi
Body Mass Index (BMI) terhadap HbA1c, dapat dinyatakan belum pernah dilakukan
penelitian ini sebelumnya, namun terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan
penelitian ini seperti penelitian yang juga melihat korelasi antara Body Mass Index
(26)
pada penelitian ini baik itu Body Mass Index atau HbA1c, walaupun demikian
terdapat perbedaan pada penelitian ini dan penelitian-penelitian lainnya seperti pada
jumlah responden, rentang usia, lingkup penelitian dan jenis kelamin responden yang
terlibat pada penelitian.
Tabel I. Keaslian Penelitian
Judul Penelitian Hasil Persamaan Perbedaan
“Glycated
Hemoglobin and Associated Risk Factors in Older
Adults”(Martins, Jones, Cumming, Silva, Teixeira, and Verrissimo, 2012).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan korelasi yang bermakna namun lemah antara pengukuran body mass index tehadap kadar HbA1c (p=0,01; r=0,3). Pada penelitian ini meneliti korelasi antara salah satu pengukuran antropometri yaitu body mass index terhadap HbA1c. Responden yang terlibat berjumlah 118 responden yang terdiri dari 72 responden wanita dan 46
responden pria dengan rentang usia 65-95 tahun.
“Hubungan Obesitas dengan Kadar HbA1c Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung”(Putri dan Larasati, 2013).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan
bermakna antara obesitas menurut BMI terhadap HbA1c pasien diabetes
melitus tipe 2, analisis data dengan uji Fisher menghasilkan p-value sebesar 1,000 (2-tail) dan 0,579(1-tail), hasil yang diperoleh adalah p-value > α.
Pada penelitian ini menggunakan pengukuran body mass index untuk menilai obesitas pada responden yang kemudian dilihat korelasinya terhadap HbA1c. Responden yang terlibat berjumlah 46 responden yang terdiri dari 19 responden pria dan 27 responden wanita dengan rentang usia 45-54 tahun. Responden penelitian yang terlibat
merupakan responden yang telah didiagnosa diabetes melitus tipe 2.
(27)
Tabel I. Lanjutan
Judul Penelitian Hasil Persamaan Perbedaan
“Correlation among BMI, fasting plasma glucose, and HbA1c levels in subjects with glycemic anomalies visiting Diabetic Clinics of Lahore”(Farasat, Cheema, and Khan, 2009).
Hasil penelitian ini adalah tidak terdapat korelasi antara glukosa darah puasa dengan BMI (r=-0,0091; p>0,05) namun terdapat korelasi yang bermakna dengan HbA1c (r=0,298; p<0,005) pada pasien impaired glucose tolerance. Terdapat korelasi yang tidak bermakna antara glukosa darah puasa dengan BMI (r=-0,0093; p>0,05) namun terdapat korelasi yang bermakna dengan HbA1c (r=0,460; p<0,005) pada pasien diabetes melitus. Pada penelitian ini menggunakan metode antropometri yaitu body mass index dan menggunakan nilai HbA1c untuk melihat korelasi. Responden yang terlibat berjumlah 508 responden yang terdiri dari 228 responden pria dan 280 responden wanita dengan rentang usia 27-87 tahun. Responden penelitian yang digunakan merupakan responden yang telah didiagnosa Diabetes melitus dan IGT. “Korelasi Lingkar Pinggang Panggul Terhadap HbA1c Pada Karyawan Pria Dewasa Sehat di Universitas Sanata Dharma” (Darmayanti, 2014).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan korelasi positif bermakna antara lingkar pinggang dengan kadar HbA1c (r=0,296; p=0,016), serta antara rasio lingkar pinggang panggul dengan kadar HbA1c (r=0,327; p=0,007). Pada penelitian ini meneliti korelasi antara salah satu pengukuran antropometri terhadap HbA1c. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non-random purposive sampling. Responden yang terlibat adalah pria dewasa sehat dengan rentang usia 40-50 tahun. Ruang lingkup penelitian yaitu pada masyarakat perkotaan yang bekerja. Metode antropometri yang digunakan: pengukuran lingkar pinggang (LP) dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP).
(28)
Tabel I. Lanjutan
Judul Penelitian Hasil Persamaan Perbedaan
“Korelasi Bodi Mass Index terhadap HbA1c pada Staf Wanita Dewasa Sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta” (Pramudyo, 2014).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan profil karakteristik rerata usia responden 44,08±3,14; rerata BMI responden 25,31±3,29; serta rerata HbA1c responden 5,52±0,47. Terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan sangat lemah dengan arah korelasi negatif antara BMI terhadap HbA1c (r = -0,039 ; p =0,781). Pada penelitian ini meneliti korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non-random purposive sampling. Responden yang terlibat adalah wanita sehat dengan rentang usia 40-50 tahun. Ruang lingkup penelitian yaitu pada mayarakat perkotaan yang bekerja. Korelasi Abdominal Skinfold Thickness dan Body Mass Index Terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa Pada Diabetes Melitus Tipe 2 Di RSUD Kabupaten Temanggung (Ludji, 2014).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan korelasi yang tidak bermakna antara skinfold thickness terhadap kadar glukosa darah puasa pada
responden pria (p=0,330; r=-0,160) namun
terdapat korelasi yang bermakna pada responden wanita (p=0,002; r=0,190). Terdapat korelasi yang tidak bermakna antara BMI terhadap kadar glukosa darah puasa pada responden pria (p=0,248; r=-190) dan pada responden wanita (p=0,957; r=0,007). Pada penelitian ini juga menggunakan salah satu metode antropometri yaitu pengukuran dengan menggunakan BMI. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non-random purposive sampling. Responden yang terlibat berjumlah 98 orang yang terdiri dari 39 responden pria dan 59 responden wanita yang telah diagnosa diabetes melitus tipe 2 dengan usia diatas 40 tahun.
(29)
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c pada pria dewasa sehat
di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta dan dapat
dijadikan sebagai referensi pada penelitian yang serupa lainnya.
b. Manfaat Praktis. Pengukuran BMI diharapkan mampu memberikan gambaran
awal kepada masyarakat mengenai obesitas dan kadar HbA1c sebagai upaya
pendeteksian dini terhadap penyakit diabetes melitus.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya korelasi antara
Body Mass Index (BMI) terhadap HbA1c pada pria dewasa sehat di Desa Kepuharjo,
(30)
9
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A. Antropometri
Antropometri berasal dari kata Yunani “anthropo” yang berarti manusia dan “metron” yang berarti ukuran (Cahyono, 2008). Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang meliputi berat badan, tinggi badan, dan ukuran tubuh, termasuk
ketebalan lipatan kulit (skinfold thickness), lingkar pinggang (circumferences),
panjang, dan luas (breadths). Hasil pengukuran antropometri dapat menggambarkan
dan mengevaluasi status gizi dan status kesehatan seseorang atau suatu populasi,
sesuai dengan indikator antropometri yang diinginkan (NHANES, 2007). Pengukuran
antropometri merupakan pengukuran yang sederhana, mudah dan sedikit adanya
paparan radiasi (Bush, et al., 2010). Pada umumnya antropometri digunakan sebagai
prediktor untuk berbagai macam penyakit, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes,
dan dyslipidemia (Chadha, Singh, Kharbanda, Vasdev, and Ganjo, 2006).
Salah satu pengukuran antropometri yang paling sering digunakan adalah
pengukuran Body Mass Index (BMI). Pengukuran body mass index ini berhubungan
dengan pengukuran tinggi dan berat badan. Metode pengukuran body mass index
sering digunakan sebagai prediktor obesitas ataupun tidak obesitas. BMI merupakan
metode yang murah dan mudah untuk melakukan skrining kategori berat badan yang
(31)
Tabel II. Klasifikasi Body Mass Index berdasarkan Central for Disease Control and Prevention (CDC, 2012).
BMI (kg/m2) Kategori
<18,5 Rendah
18,5 – 24,9 Normal
25,0 – 29,9 Overweight/Pre Obesitas
≥30 Obesitas
1. Body Mass Index (BMI)
Pengukuran Body Mass Index (BMI) didapat dengan perhitungan berat badan
dalam kilogram (kg) dibagi dengan tinggi badan dalam meter persegi (m2) (Wildman, Gu, Reynolds, Duan, and He, 2004).
berat badan (kg) Body Mass Index (BMI) =
tinggi badan(m2)
Body Mass Index (BMI) secara luas diterima sebagai alat untuk
mengidentifikasi kelebihan berat badan dan obesitas. BMI merupakan indikator yang
cukup handal dari obesitas bagi kebanyakan orang. BMI tidak mengukur lemak tubuh
secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa BMI berkorelasi dengan
lemak tubuh pada manusia dimana dapat menggambarkan status berat badan
seseorang. Disamping kelebihan BMI sebagai indikator overweight dan obesitas,
BMI juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu kurang tepat digunakan pada orang
dewasa yang mempunyai volume otot yang besar, dan pada orang lanjut usia yang
berusia 65 tahun ke atas. Penggunaan BMI juga tidak dapat diterapkan pada bayi, ibu
(32)
asites, dan hepatomegaly (WHO, 2000; Roberts, Uterberger, Kuhnlein and Egeland,
2005; Fajar, Bakri, dan Supariasa, 2002).
B.Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu
makan dan metabolisme energi yang dikendalikan beberapa faktor biologik spesifik
dan secara fisiologis terjadi akumulasi jaringan lemak yang tidak normal atau
berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan (Soegondo,
2007). Obesitas terjadi ketika asupan energi melebihi pengeluaran energi. Tiga faktor
utama yang memodulasi berat badan, yaitu: faktor metabolik, diet, dan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik yang berkurang dapat menjadi faktor yang paling penting sebagai
penyebab meningkatnya prevalensi obesitas (Atikah, 2007). Body mass index
merupakan salah satu faktor pendukung yang dapat digunakan untuk menentukan
apakah seseorang mengalami obesitas atau tidak. Nilai BMI yang berada di antara
25-29,9 kg/m2 disebut kelebihan berat badan (overweight) sedangkan nilai BMI ≥30 kg/m2 disebut obesitas (WHO, 2013).
Secara umum, massa lemak berhubungan dengan penurunan sensitivitas
insulin tubuh. Bila lemak di tubuh berlebih (obesitas), akan berdampak terjadinya
intoleransi glukosa dan perlawanan terhadap aksi insulin. Hal ini berkaitan dengan
jaringan adiposa abdomen yang berlebih kemudian akan berakibat hiperglikemia
(33)
terhadap sensivitas insulin dimana sebagai penanda terjadinya diabetes melitus tipe 2,
meliputi :
1. Pada kondisi obesitas terjadi penurunan produksi adiponektin dan adipokin.
Adiponektin berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas reseptor terhadap
insulin dengan meningkatkan efek insulin. Jika produsen adiponektin dan
adipokin menurun maka insulin menjadi kurang sensitif untuk berikatan
dengan reseptor insulin akibatnya efek insulin menjadi lemah.
2. Pada kondisi obesitas terjadi peningkatan jumlah jaringan lemak. Jaringan
lemak sendiri berperan dalam menghasilkan hormon resistin yang dapat
memicu terjadinya resistensi insulin dengan mengganggu kerja insulin.
3. Pada kondisi obesitas juga terjadi peningkatan produksi asam-asam lemak
bebas akibat meningkatnya jumlah jaringan lemak. Asam-asam lemak tersebut
lambat laun data menumpuk secara abnormal pada otot sehigga hal tersebut
dapat mengganggu kerja dari insulin (Sherwood, 2011).
C. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah (Soegondo, 2009). Resistensi
(34)
berkurang. Akibatnya pankreas harus mensekresi insulin lebih banyak untuk
mengatasi kenaikan kadar gula darah. Pada tahap ini, kemugkinan individu tersebut
akan mengalami gangguan toleransi glukosa (tahap prediabetes), tetapi belum
memenuhi kriteria penderita diabetes melitus. Kondisi resistensi insulin akan terus
berlanjut dan semakin bertambah berat, sementara pankreas tidak mampu lagi terus
menerus meningkatkan kemampuan sekresi insulin yang cukup untuk mengontrol
gula darah. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan
kenaikan kadar gula darah bertambah berat. Perubahan proses toleransi glukosa,
mulai dari kondisi normal, toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2
dapat dilihat sebagai keadaan yang berkesinambungan (Soewondo, 2007).
Gejala yang sering muncul pada penderita diabetes melitus adalah polyuria
(sering buang air kecil), polodipsia (merasakan haus yang berlebihan), dan poliofagia
(merasakan lapar yang berlebihan). Kriteria diagnostik untuk diabetes melitus
mencakup: glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL, gejala diabetes plus glukosa plasma
sewaktu ≥ 200 mg/dL atau kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dL setelah pemberian 75g glukosa per oral (uji toleransi glukosa oral) (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2005).
Diabetes melitus tipe 2 yang cenderung diderita oleh orang dewasa ini
berkorelasi dengan obesitas, aktivitas fisik, maupun riwayat keluarga yang
memberikan sumbangan hingga 90% terjadinya diabetes melitus tipe 2. Diabetes
(35)
kardiovaskular, peripheral vascular, ocular, neurologic, abnormalitas renal yang
menyebabkan penyakit jantung, stroke, kebutaan, kerusakan saraf ginjal hingga
kematian (Ceriello and Motz, 2004). Diabetes United Kingdom memperkirakan
75-90% penderita diabetes menderita diabetes melitus tipe 2, disebabkan 80% kelebihan
berat badan atau obesitas. Diabetes melitus tipe 2 mulai meningkat pada BMI 23
kg/m2, risiko hipertensi, dyslipidemia, aterosklerosis, dan kematian dini akibat penyakit kardiovaskular semua meningkat dengan meningkatnya obesitas pada
penderita diabetes melitus tipe 2. Risiko kematian dini dapat terjadi sepuluh kali lipat
pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan BMI diatas 36 kg/m2. Sebaliknya, penurunan berat badan yang disengaja antara 8-13 kg bisa mengurangi angka
kematian sebesar 33% pada penderita diabetes melitus dengan obesitas (Frost,
Domhorst, and Moses, 2003).
D. Hemoglobin
Hemoglobin merupakan zat warna darah yang menyebabkan warna merah
pada eritrosit. Hemoglobin adalah suatu protein majemuk yang tersusun atas protein
sederhana (globin) dan radikal prostetik hem. Salah satu fungsi terpenting
hemoglobin yaitu mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan
mengangkut karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru (Sumardjo, 2009).
Seseorang yang kekurangan hemoglobin dapat mengalami anemia. Anemia
merupakan keadaan menurunnya kadar eritrosit (sel darah merah) dan kadar
(36)
biasanya ditandai dengan penurunan daya tahan tubuh, kepucatan pada tubuh dan
penurunan kerja fisik (Amaylia, 2012).
Menurut International Expert Committee (2009) HbA1c merupakan bagian
dari hemoglobin keseluruhan sehingga setiap perubahan jumlah eritrosit, kadar dan
susunan hemoglobin dapat mempengaruhi kadar HbA1c misalkan perubahan masa
hidup eritrosit (perdarahan, anemia, hemolysis, kekurangan zat besi ataupun kelainan
hemoglobin) sehingga diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lain pada keadaan
tersebut. Pada keadaan gagal ginjal, pengaruh zat yang tidak dapat dikeluarkan dari
tubuh dan obat-obatan juga dapat mempengaruhi kadar HbA1c seseorang.
E. HbA1c
HbA1c atau yang dikenal dengan hemoglobin glikat adalah salah satu fraksi
hemoglobin di dalam tubuh manusia yang berikatan dengan glukosa secara enzimatik.
Hal ini dapat pula diartikan bila kadar glukosa yang berlebih akan selalu terikat di
dalam hemoglobin, juga dengan kadar yang tinggi (Acton, 2013). Pembentukan
HbA1c terjadi dengan lambat yaitu selama 120 hari, yang merupakan rentang hidup
sel darah merah. HbA1 terdiri dari atas tiga molekul, HbA1a, HbA1b dan HbA1c
sebesar 70%, HbA1c dalam bentuk 70% terglikosilasi (mengabsorbsi glukosa).
Jumlah hemoglobin yang terglikolisasi bergantung pada jumlah glukosa yang
tersedia. Jika kadar glukosa darah meningkat selama waktu yang lama, sel darah
(37)
2009). Kriteria HbA1c menurut American Diabetic Association dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel III. Klasifikasi nilai HbA1c berdasarkan American Diabetes Association (ADA, 2014)
Klasifikasi Nilai HbA1c (%)
Normal <5,7
Prediabetes 5,7-6,4
Diabetes ≥6,5
Kadar HbA1c merupakan kontrol glukosa jangka panjang yang
menggambarkan kondisi 8-12 minggu sebelumnya, karena paruh waktu eritrosit 120
hari. Peningkatan kadar HbA1c >8% mengindikasikan diabetes melitus yang tidak
terkendali dan berisiko tinggi untuk menjadikan komplikasi jangka panjang seperti
nefropati, retinopati, atau kardiopati. Penurunan 1% dari HbA1c akan menurunkan
komplikasi sebesar 35%. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk dilakukan secara
rutin pada pasien diabetes melitus, pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan
glikemik pada tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan
pemantauan terhadap keberhasilan pengendalian (American Diabetic Association,
2014).
Faktor-faktor yang menjadi alasan pendukung penggunaan HbA1c sebagai
alat skrining dan diagnosis diabetes antara lain pemeriksaan dapat dilakukan kapan
saja, dapat memperkirakan keadaan glukosa darah dalam waktu yang lebih lama serta
tidak dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup jangka pendek, lebih stabil dalam
(38)
yang menjadi kekuranggan HbA1c sebagai alat skrining atau diagnosis antara lain
perubahan karena faktor-faktor selain glukosa misalnya perubahan masa hidup
eritrosit dan etnis, pengujian HbA1c belum tersedia di beberapa laboratorium di
dunia, dan biaya yang mahal (Sacks, 2011).
F. Penyakit Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang menyerang sistem peredaran
darah manusia, terutama organ jantung dan pembuluh darah. Penyebab penyakit
kardiovaskular adalah adanya ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
jantung akan darah teroksigenasi sehingga menyebabkan terjadinya aterosklerosis.
Aterosklerosis merupakan suatu keadaan menebalnya lumen pembuluh darah yang
disebabkan oleh penumpukkan lipid. Pada beberapa penelitian yang dilakukan
beberapa tahun terakhir ini membuktikan tingginya prevalensi obesitas pada
masyarakat usia lanjut menyebabkan peningkatan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular (Kumar, et al., 2010; Gotera, Aryana, Suastika, Santosa, dan
Kuswardhan, 2006).
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama pada pasien
diabetes melitus yang merupakan salah satu penyulit makrovaskular pada diabetes
melitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang
dapat mengenai organ-organ vital seperti jantung dan otak. Penyebab aterosklerosis
pada pasien diabetes melitus tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi
(39)
oksidatif, penuaan dini dan hiperinsulinemia serta perubahan-perubahan dalam proses
koagulasi dan fibrinolysis. Pada pasien diabetes melitus risiko payah jantung
kongestif meningkat 4 sampai 8 kali dibanding dengan pasien lain (Shahab, 2007).
G. Landasan Teori
Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang meliputi berat badan,
tinggi badan, dan ukuran tubuh, termasuk ketebalan lipatan kulit (skinfold thickness),
lingkar pinggang (circumferences), panjang, dan luas (breadths). Hasil pengukuran
antropometri dapat menggambarkan dan mengevaluasi status gizi dan status
kesehatan seseorang atau suatu populasi, sesuai dengan indikator antropometri yang
diinginkan (NHANES, 2007). Salah satu pengukuran antropometri yang paling sering
digunakan adalah pengukuran Body Mass Index (BMI). Pengukuran body mass index
ini berhubungan dengan pengukuran tinggi dan berat badan. Metode pengukuran
body mass index sering digunakan sebagai prediktor obesitas ataupun tidak obesitas
(CDC, 2009). Nilai BMI yang berada di antara 25-29,9 kg/m2 disebut kelebihan berat badan (overweight) sedangkan nilai BMI ≥30 kg/m2 disebut obesitas(WHO, 2013). Bila lemak di tubuh berlebih (obesitas), akan berdampak terjadinya intoleransi
glukosa dan perlawanan terhadap aksi insulin. Hal ini berkaitan dengan jaringan
adiposa abdomen yang berlebih kemudian akan berakibat hiperglikemia bahkan
diabetes melitus (Steyn, et al., 2004).
Diabetes melitus tipe 2 yang cenderung diderita oleh orang dewasa ini
(40)
memberikan sumbangan hingga 90% terjadinya diabetes melitus tipe 2. Diabetes
melitus tipe 2 dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti penyakit
kardiovaskular, peripheral vascular, ocular, neurologic, abnormalitas renal yang
menyebabkan penyakit jantung, stroke, kebutaan, kerusakan saraf ginjal hingga
kematian (Ceriello and Motz, 2004). HbA1c adalah suatu pemeriksaan yang
bertujuan untuk mengetahui apakah penyakit diabetes melitus terkendali dengan baik
atau tidak. HbA1c dapat digunakan untuk memperkirakan kadar rata-rata glukosa
darah seseorang selama 3 bulan terakhir (Reinhold and Earl, 2014). Kadar HbA1c
yang rendah bukan berarti penderita DM bebas dari risiko komplikasi, namun tingkat
risiko akan lebih rendah dibanding penderita DM dengan kadar HbA1c yang tinggi,
oleh sebab itu International Expert Comitte menetapkan pentingnya pemeriksaan
HbA1c dalam skrining diagnosis penyakit diabetes melitus (American Diabetic
Association, 2014).
Pada tabel di bawah ini terdapat tabel penelitian korelasional antara BMI
terhadap HbA1c, hal ini menunjukkan bahwa sebelum penelitian ini dilakukan telah
terdapat penelitian yang serupa pernah dilakukan sebelumnya yang menunjukkan
terdapat korelasi yang bermakna antara BMI terhadap HbA1c yang dapat menguatkan
hipotesis peneliti. Pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya terdapat
perbedaan-perbedaan misalnya dari jenis kelamin responden yang digunakan, jumlah responden,
tempat penelitian di lakukan hingga rentang usia responden yang dilibatkan dalam
(41)
Tabel IV. Penelitian Korelasional antara BMI terhadap HbA1c
Peneliti Judul Rancangan
Penelitian
Responden Hasil Penelitian
Ismail, et al. (2011) Control of glycosylated haemoglobin (HbA1c) among type 2 diabetes mellitus patients attending an urban health clinis in Malaysia Cross sectional 307 responden (177 laki-laki dan 190 perempuan) berusia diatas 18 tahun Terdapat korelasi yang tidak bermakna antara BMI terhadap HbA1c dengan nilai p=0,387 Dofuor (2013) Evaluation of HbA1c as an objective marker for monitoring blood glucose control for Diabetes patients on Treatment at Dormaa Prebyterian Hospital Cross Sectional 150 responden yang telah terdiagnosa diabetes melitus tipe 2 dengan rentang usia 21-86 tahun Terdapat korelasi yang tidak bermakna antara BMI terhadap HbA1c dengan korelasi negative sangat lemah (r= -0,1112; p=0,705) Martins, et al. (2012) Glycated hemoglobin and associated risk factors in older adults
Cross sectional
118 responden (46 laki-laki dan 72 perempuan) dengan rentang usia 65-95 tahun
Terdapat korelasi yang bermakna namun lemah antara nilai BMI terhadap HbA1c dengan nilai p=0,01 dan r=0,31
H. Hipotesis
Terdapat korelasi yang bermakna antara Body Mass Index (BMI) terhadap
kadar HbA1c pada pria dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,
(42)
21
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan
cross sectional. Penelitian observasional analitik adalah jenis penelitian yang
mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi.
Selanjutnya dilakukan analisis korelasi antara faktor risiko dan faktor efek. Faktor
risiko adalah suatu fenomena yang mengakibatkan terjadinya suatu efek, sedangkan
faktor efek adalah akibat dari adanya faktor risiko (Notoatmodjo, 2010). Pada
penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan antara pengukuran antropometri yaitu
Body Mass Index yang sebagai faktor risiko dan HbA1C sebagai faktor efek pada pria
dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta.
Pendekatan rancangan pada penelitian ini dilakukan secara cross sectional
yang berarti penelitian dimana variabel sebab atau risiko dan akibat atau kasus yang
terjadi pada objek penelitian diukur dan dilakukan pengumpulan data pada waktu
yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas: Body Mass Index (BMI)
(43)
3. Variabel Pengacau:
a. Terkendali: usia, jenis kelamin dan hemoglobin
b. Tidak Terkendali: keadaan patologis, gaya hidup responden
C. Definisi Operasional
1. Responden penelitian adalah pria dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan
Cangkirngan, Sleman, Yogyakarta yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini,
serta telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan.
2. Karakteristik penelitian meliputi pengukuran antropometri dan hasil pemeriksaan
laboratorium. Pengukuran antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan
yang kemudian dihitung ialah BMI. Hasil pemeriksaan laboratorium yang
dianalisis ialah HbA1c.
3. Pengukuran Body Mass Index adalah perhitungan dari penimbangan berat badan
dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter persegi (m2).
4. Kadar HbA1c diperoleh dari hasil pemeriksaan di Laboratorium Pramitha
Yogyakarta yang dinyatakan dalam persen (%).
(44)
6. Kriteria Body Mass Index berdasarkan Central For Disease Control and
Prevention (2012) dengan cut-off Body Mass Index normal <25 kg/m2 dan Obesitas ≥25 kg/m2.
D. Responden Penelitian
Responden penelitian yaitu pria dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan
Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang
telah ditetapkan dalam penelitian ini. Pemilihan responden penelitian di Desa
Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu kemudahan dalam berinteraksi dengan responden terkait lokasi
yang dekat dan untuk meningkatan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan
dalam lingkup masyarakat pedesaan. Kriteria inklusi yang ditetapkan adalah
reponden pria yang berusia antara 40-60 tahun dan bersedia menandatangani
informed consent, serta bersedia berpuasa selama 10-12 jam sebelum dilakukan
pengambilan darah. Kriteria eksklusi yang ditetapkan adalah responden tidak hadir
saat pengambilan data, mengidap penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes
melitus dan penyakit kardiovaskular, keadaan oedem dan mengkonsumsi obat-obatan
rutin seperti obat-obatan terkait penyakit diabetes melitus, penyakit kardiovaskular,
dyslipidemia dan hipertensi. Pada penelitian ini subjek dipilih secara non-random
yang artinya tidak semua subjek mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih
(45)
sampel atau subjek yang dipilih berdasarkan suatu kriteria yang telah ditetapkan
dalam penelitian.
Pemilihan Kecamatan Cangkringan pada penelitian ini dikarenakan responden
yang diinginkan adalah masyarakat pedesaan sehingga dipilihlah Kecamatan
Cangkringan yang merupakan Kecamatan yang menurut peta persebaran penduduk
merupakan Kecamatan pedesaan, selanjutnya Kecamatan Cangkringan
merekomendasikan Desa Kepuharjo karena Desa Kepuharjo sesuai dengan kriteria
pada penelitian ini.
Jumlah calon responden penelitian diperoleh dengan cara mengetahui data
jumlah keseluruhan warga setiap Padukuhan di Desa Kepuharjo yang ikut terlibat di
dalam penelitian. Desa kepuharjo terdiri dari 7 Padukuhan, antara lain: Padukuhan
Kepuh, Padukuhan Kaliadem, Padukuhan Pagerjurang, Padukuhan Batur, Padukuhan
Kopeng, Padukuhan Petung, dan Padukuhan Manggong. Padukuhan yang diambil
datanya dalam penelitian ini yaitu sebanyak 5 Padukuhan, antara lain: Padukuhan
Kepuh, Padukuhan Pagerjurang, Padukuhan Kaliadem, Padukuhan Petung, dan
Padukuhan Batur sementara sisanya sebanyak 2 Padukuhan, yaitu: Padukuhan
Manggong dan Padukuhan Kopeng tidak diikutsertakan dalam pengambilan data
penelitian ini dikarenakan responden dari padukuhan tersebut telah digunakan untuk
subyek validasi kuesioner. Data warga pada 5 Padukuhan yang digunakan pada
penelitian didapatkan dari pendataan di Kantor Kepala Desa Kepuharjo, Cangkringan,
Sleman, Yogyakarta yaitu sebanyak 2209 orang, selanjutnya data yang diperoleh
(46)
kemudian diperoleh populasi sebanyak 120 orang, namun hanya 100 orang yang
bersedia menandatangani inform consent dan bersedia melakukan pengambilan darah,
dengan jumlah responden pria yang menandatangani inform consent dan bersedia
untuk diambil darah adalah 50 responden. Sebanyak 4 orang diekslusi setelah
dilakukan pengambilan darah karena didapatkan nilai HbA1c >6,5 % sehingga
didapatkan jumlah responden pria dewasa sehat yang digunakan dalam penelitian
yaitu 46 responden.
Pengambilan data sampel dilakukan sebanyak tiga kali. Pengambilan data
pertama dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 2015 di Balai Desa Kepuharjo dengan
total responden yang terdata sebanyak 44 orang dengan jumlah responden pria yang
terdata adalah 16 orang. Pengambilan data kedua dilaksanakan pada tanggal 18 Juni
2015 di Balai Desa Kepuharjo dengan total responden yang terdata sebanyak 36
orang dengan jumlah responden pria yang terdata adalah 24 orang. Pengambilan data
ketiga dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2015 di Gedung Serbaguna Padukuhan
Huntap Pagerjurang, Desa Kepuharjo dengan total responden yang terdata sebanyak
21 orang dengan jumlah responden pria yang terdata adalah 10 orang. Total
responden yang terdata secara keseluruhan adalah 100 orang dengan total responden
(47)
Gambar 1. Skema Pencarian Responden
Dipilih berdasarkan usia 40-60 tahun
Jumlah penduduk
dari 5 Padukuhan 2.209 orang
120 responden
6 orang tidak hadir saat pengambilan
data 3 orang menderita hipertensi
1 orang menggunakan
Pil KB
100 responden
pria dan wanita
50 responden wanita
50 responden pria
46 responden pria dewasa sehat tanpa
diabetes melitus 9 orang sudah
menopouse 1 orang takut
(48)
E. Lokasi dan Waktu Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan sebanyak tiga kali dengan perincian waktu penelitian
sebagai berikut :
a. Tanggal 30 Mei 2015 bertempat di Balai Desa Kepuharjo, Kecamatan
Cangkringan, Sleman Yogyakarta, pukul 08.00-13.00.
b. Tanggal 18 Juni 2015 bertempat di Balai Desa Kepuharjo, Kecamatan
Cangkringan, Sleman Yogyakarta, pukul 08.00-13.00.
c. Tanggal 19 Juni 2015 bertempat di Gedung Serbaguna Padukuhan Huntap
Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta, pukul 13.00-17.00.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian payung Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta yang berjudul “Korelasi Antropometri dan Faktor Risiko
Penyakit Kardiovaskular pada Masyarakat Pedesaan” dan telah memperoleh ijin dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta dengan nomor Ref: KE/FK/502/EC. Penelitian payung ini
bertujuan untuk mengkaji korelasi antara pengukuran antropometri terhadap faktor
risiko penyakit kardiovaskular. Penelitian ini dilakukan secara berkelompok dengan
jumlah anggota 10 orang dengan kajian yang berbeda – beda. Pada penelitian kali ini, peneliti hanya mengkaji korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c pada pria dewasa
(49)
sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Kajian yang
diteliti dalam penelitian payung ini sebagai berikut:
Gambar 2. Bagan Kajian Penelitian Payung
LP & RLPP
Pria HbA1c
Wanita
HbA1c
lp(a)
hs-CRP
Body Mass Index
Pria HbA1c
Wanita
HbA1c
hs-CRP
Body Fat Percentage
Pria HbA1c
Wanita
HbA1c
(50)
G. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara non-random
dengan jenis purposive sampling. Teknik non-random sampling merupakan cara
pengambilan sampel dimana tidak semua anggota populasi diberi kesempatan untuk
dipilih menjadi sampel. Teknik purposive sampling berarti dalam penelitian ini
pengambilan sampel dilakukan dengan suatu tujuan yaitu pengambilan sampel sesuai
dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan. Jenis purposive sampling
merupakan teknik yang berdasarkan pada ciri/sifat tertentu yang diperkirakan
mempunyai sangkut paut erat dengan ciri/sifat yang ada dalam populasi yang sudah
diketahui sebelumnya sehingga ciri/sifat yang spesifik dalam populasi tersebut
digunakan sebagai kunci untuk pengambilan sampel (Notoatmodjo, 2010).
H. Instrumen Penelitian
Instrumen pada penelitian ini adalah timbangan berat badan dengan merek
Idealine® dan alat pengukur tinggi dengan merek Height® dimana hasil dari
pengukuran tersebut digunakan untuk menghitung Body Mass Index. Pengukuran
kadar HbA1c menggunakan Cobas C 501® dan dilakukan dengan menggunakan
(51)
I. Tata Cara Penelitian 1. Observasi awal
Observasi awal dilakukan dengan mencari informasi mengenai jumlah
penduduk di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, serta mencari
tempat atau lokasi yang tepat untuk melakukan penelitian. Pencarian
laboratorium yang tepat untuk menganalisis darah responden juga
dilakukan kemudian dipilihlah Laboratorium Pramitha Yogyakarta untuk
menganalisis sampel darah pasien karena laboratorium tersebut telah
terakreditasi dan merupakan salah satu laboratorium yang terpercaya di
Yogyakarta.
2. Permohonan izin dan kerjasama
Permohonan izin pertama diajukan kepada Komisi Etik Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta untuk memperoleh ethical clearance. Ethical clearance
dibutuhkan karena di dalam penelitian ini menggunakan sampel darah
manusia serta agar hasil penelitian dapat dipublikasikan. Ethical clearance
diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan nomor Ref:
(52)
Permohonan izin selanjutnya diteruskan kekantor Kecamatan
Cangkringan agar dapat memperoleh izin untuk melibatkan penduduk
yaitu pria dan wanita di Kecamatan Cangkringan dalam penelitian.
Permohonan izin terakhir ditujukan kepada kantor Kepala Desa Kepuharjo
dimana penelitian akan dilakukan di Desa ini yang melibatkan warga desa
pria dan wanita yang memenuhi kriteria penelitian.
Permohonan kerjasama pertama diajukan ke bagian Laboratorium
Pramitha Yogyakarta untuk pengambilan dan analisis darah. Permohonan
kerjasama selanjutnya diajukan kepada calon responden penelitian dengan
menggunakan informed consent.
3. Pembuatan informed consent dan leaflet
Informed consent merupakan bukti tertulis pernyataan kesediaan calon
responden untuk mengikuti penelitian ini. Informed consent disusun
berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Komisi Etik Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Responden yang bersedia bekerja sama dalam
penelitian ini selanjutnya mengisi informed consent berupa nama lengkap,
usia, tanggal lahir, alamat dan menandatangani informed consent tersebut
sebagai tanda persetujuan.
Leaflet digunakan untuk membantu responden dalam memahami
(53)
manfaat penelitian bagi responden, pengukuran antropometri meliputi
pengukuran body mass index serta pemeriksaan HbA1c.
4. Pencarian responden
Waktu pencarian responden dilakukan setelah mendapatkan izin dari
Kecamatan Cangkringan. Kecamatan Cangkringan merekomendasikan
Desa Kepuharjo terkait kriteria penduduk yang diinginkan dalam
penelitian. Selanjutnya peneliti meminta izin langsung ke Kantor Kepala
Desa Kepuharjo dan didapatkan informasi mengenai jumlah penduduk
Desa Kepuharjo serta Padukuhan-Padukuhan yang terdapat di Desa
Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta. Peneliti
kemudian berkoordinasi dengan kepala Dukuh masing-masing Padukuhan
untuk mengetahui persebaran rumah penduduk dan batas-batas padukuhan
yang kemudian setiap calon responden didatangi satu persatu ditiap-tiap
rumah (door to door) yang selanjutnya diwawancarai sesuai kriteria
inklusi dan ekslusi yang digunakan pada penelitian. Calon responden yang
masuk dalam kriteria inklusi rumahnya ditandai untuk memudahkan
peneliti dalam memberikan undangan untuk pengambilan sampel darah.
Calon responden yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian akan
diberikan informed consent, yang selanjutnya diisi dan ditandatangani
oleh responden sebagai bukti kesediaannya untuk mengikuti penelitian ini.
Responden juga kemudian diberi informasi mengenai tempat dan waktu
(54)
5. Validasi, reabilitas, dan kalibrasi instrumen penelitian
Pengujian reabilitas dilakukan pada alat timbangan berat badan dan
pengukur tinggi badan dengan replikasi pengukuran sebanyak lima kali.
Pada pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan pengukuran
sebanyak lima kali berturut-turut oleh subyek yang sama (pria berumur 53
tahun) dengan nilai CV pada alat timbangan berat badan adalah
0,0415481% sedangkan nilai CV pada alat pengukur tinggi badan adalah
0,151918%. Alat timbangan berat badan dan alat pengukur tinggi badan
dikatakan reliable karena nilai CV yang diperoleh yaitu ≤ 5%. Alat timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan ini juga dapat dikatakan
valid karena telah dikalibrasi oleh Badan Meterologi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Alat Cobas C 501® yang digunakan untuk mengukur kadar
HbA1c juga telah divalidasi oleh Laboratorium Pramitha Yogyakarta.
6. Pengukuran parameter antropometri dan pengambilan darah untuk pengukuran kadar Hb dan HbA1c
a. Parameter antropometri. Pengukuran antropometri diperoleh dengan
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan. Berat badan,
responden menimbang berat badan dengan timbangan yang telah
disediakan, responden harus melepas alas kaki untuk mengurangi
faktor koreksi. Responden harus berdiri dengan posisi tegak lurus
dan pandangan kearah depan di atas timbangan. Tinggi badan,
(55)
dinding datar. Responden harus melepas alas kaki untuk mengurani
faktor koreksi, berdiri tegak lurus sampai meteran menyentuh ujung
kepala responden.
b. Pengambilan darah responden yang sebelumnya telah berpuasa 8-12
jam. Pengambilan darah untuk pengukuran nilai Hb dan HbA1c ini
dilakukan oleh tenaga ahli dari Laboratorium Pramitha Yogyakarta.
7. Penyerahan hasil pemeriksaan kepada responden
Hasil pengukuran antropometri serta hasil analisis sampel darah dari
Laboratorium Pramitha Yogyakarta diberikan kepada responden kemudian
peneliti memberikan penjelasan mengenai hasil pengukuran antropometri
dan analisis darah responden disertai dengan memberikan saran mengenai
perbaikan atau perubahan gaya hidup responden.
8. Pengolahan data
Pada pengolahan data langkah pertama yang dilakukan yaitu
menyusun data yang sejenis yang kemudian digolongkan kedalam
kategori yang telah ditetapkan, yaitu BMI, Hb, HbA1c, dan usia. Proses
terakhir yang diakukan yaitu analisis data.
J. Analisis Data Penelitian
Data diolah secara statistik dengan taraf keperayaan 95% menggunakan program
SPSS versi 17. Proses analisis data yang pertama kali dilakukan adalah uji normalitas
(56)
menggunakan uji Shapiro-Wilk, karena responden yang terlibat sebanyak 46 orang.
Suatu data dikatakan memiliki distribusi normal jika nilai p>0,05. Langkah
selanjutnya yaitu melakukan uji komparatif. Uji komparatif dilakukan pada dua
kelompok data yaitu HbA1c dengan body mass index ≥25 kg/m2 dan HbA1c dengan body mass index <25 kg/m2. Dalam hasil yang diperoleh terdapat satu kelompok data yang tidak terdistribusi normal, maka uji komparatif yang digunakan yaitu uji
Mann-Whitney. Pada uji komparatif, kelompok data dikatakan tidak berbeda bermakna jika
p>0,05. Tahap terakhir dalam analisis data adalah uji korelasi, pada penelitian ini data
BMI dan HbA1c terdistribusi normal, sehingga digunakan uji Pearson. Suatu korelasi
dianggap bermakna jika nilai p<0,05 (Ahmad, 2011; Dahlan, 2014).
Tabel V. Interpretasi Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan Kekuatan Korelasi, Nilai p, dan Arah Korelasi (Dahlan, 2014)
Parameter Nilai Interpretasi
Kekuatan korelasi (r) 0,00-0,199 0,20-0,399 0,40-0,599 0,60-0,799 0,80-1,000 Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat
Nilai (p) p< 0,05 p>0,05
Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel
Tidak terdapat korelasi bermakna antara dua variabel
Arah korelasi +(positif) -(negatif)
Searah. Semakin besar nilai satu variabel, semakin besar pula variabel lainnya
Berlawanan arah. Semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil variabel lainnya
(57)
K. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan yang dialami peneliti adalah kesulitan mencari responden
dikarenakan harus mencari calon responden satu-persatu yang kemudian harus
diwawancarai langsung terkait kriteria dalam penelitian. Selain itu juga kesulitan
dalam bertemu warga dikarenakan warga yang sebagian bekerja disawah atau ladang
(58)
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penelitian
Responden pada penelitian ini merupakan pria dewasa sehat di Desa
Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta yang berusia 40-60 tahun.
Terdapat 46 orang yang bersedia terlibat di dalam penelitian dimana responden
tersebut telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan. Jumlah
responden dalam penelitian ini telah melebihi batas minimum sampel yaitu 30 sampel
untuk penelitian korelasional (Spiegel and Stephens, 2007). Analisis deskriptif
digunakan untuk menggambarkan karakteristik data responden dari hasil penelitian.
Profil karakteristik yang dianalisis yaitu usia, body mass index, dan HbA1c. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah non-random sampling, apabila data
terdistribusi normal maka profil karakteristik data yang disajikan dalam mean ± SD,
sedangkan jika data tidak terdistribusi normal maka profil karakteristik data yang
disajikan adalah median (minimum-maksimum). Uji normalitas data yaitu
Shapiro-Wick karena jumlah data penelitian kurang dari 50 responden (Dahlan, 2014).
Tabel VI. Profil Karakteristik Responden
No. Karakteristik Profil p
(n=46)
1 Usia 48,50(40-60)** 0,005
2 Body Mass Index 24,44 ± 2,98 * 0,233
3 Hb 15,00(12,10-16,00)** 0,001
4 HbA1c 5,50(5,00-6,20) ** 0,041
* Nilai signifikansi >0,05 berarti terdistribusi normal (mean±SD).
(59)
1. Usia
Pada penelitian ini responden yang terlibat adalah pria dewasa sehat
yang berusia 40-60 tahun. Uji normalitas responden menggunakan
Shapiro-Wilk dengan taraf kepercayaan 95% menghasilkan signifikansi 0,005 yang
menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal. Ukuran pemusatan usia
dinyatakan dalam median yaitu 48,50 serta ukuran penyebarannya dinyatakan
dalam minimum-maksimum yaitu 40-50. Distribusi usia responden dilihat
pada gambar 3.
Gambar 3. Grafik distribusi usia responden
Menurut Santrock (2004), rentang usia yang tergolong dalam kategori
dewasa pertengahan atau middle adulthood adalah dari usia 40-60 tahun.
Middle adulthood merupakan usia transisi antara usia dewasa dini dengan usia
(60)
dalam kategori middle adulthood dimana dalam periode ini mulai terjadi
penurunan fungsi organ, penurunan kekuatan fisik hingga penurunan daya
ingat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati dan Setyoroga
(2012), kelompok usia ≥45 tahun lebih berisiko menderita diabetes melitus tipe 2 dibandingkan dengan kelompok usia <45 tahun (p=0,026). Peningkatan
kejadian diabetes melitus tipe 2 sangat erat kaitannya dengan peningkatan usia
karena lebih dari 50% diabetes melitus tipe 2 terjadi pada kelompok umur
lebih dari 60 tahun (Goldstein and Muller 2008). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Tekade dan Srijampana (2012) pada masyarakat urban di India
yang melibatkan 613 responden (323 laki-laki dan 290 perempuan)
menunjukkan bahwa 26,3% perempuan dan 31,03% laki-laki berada pada
risiko tertinggi peningkatan diabetes melitus tipe 2 dimana risiko tersebut
meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Penelitian yang dilakukan oleh Sujaya (2009) menemukan bahwa
kelompok usia yang paling banyak menderita diabetes melitus tipe 2 adalah
kelompok usia 45–52 tahun (47,5%). Peningkatan risiko diabetes seiring dengan usia, khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada
usia tersebut mulai terjadi intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan
menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin. Penelitian yang dilakukan oleh Jalal, Indrawaty, Susanti, dan Oenzil
(61)
kejadian sindrom metabolik karena semakin meningkatnya usia, maka
prevalensi sindrom metabolik semakin meningkat. Semakin bertambahnya
usia seseorang, maka fungsi organ tubuh semakin menurun. Menurut
American Diabetic Association (2014) semakin bertambah tua usia manusia,
semakin menambah berkembangnya risiko penyakit diabetes. Diabetes
melitus merupakan suatu sindrom klinik yang khas ditandai oleh adanya
hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi atau penurunan efektivitas
insulin. Wanita lebih berisiko mengidap diabetes melitus tipe 2 dibandingkan
laki-laki karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan index masa
tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome),
pasca-menopause membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah
terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita lebih berisiko
menderita diabetes melitus tipe 2 (Irawan, 2010).
2. Body Mass Index (BMI)
Nilai body mass index yang diperoleh pada penelitian ini adalah perhitungan terhadap hasil pengukuran berat badan (kg) dan tinggi badan (m2) responden. Uji normalitas body mass index menggunakan Shapiro-Wilk
dengan taraf kepercayaan 95% yang menghasilkan signifikansi sebesar 0,233
yang menunjukkan bahwa data terdistribusi normal. Ukuran pemusatan body
mass index dinyatakan dalam mean yaitu 24,44 serta ukuran penyebarannya
dinyatakan dalam standar deviasi yaitu 2,98. Distribusi body mass index
(62)
Gambar 4. Grafik distribusi Body Mass Index responden
Pada penelitian ini, dari 46 responden pria didapatkan 26 responden
memiliki body mass index normal (18,5-24,9 kg/m2), 18 responden memiliki body mass index pre obesitas (18,5-24,9 kg/m2), dan 2 responden memiliki
body mass index obesitas (≥30 kg/m2). Body mass index merupakan variabel penting terhadap kejadian diabetes melitus hampir disemua penelitian dengan
model prediksi. Obesitas merupakan faktor risiko yang penting terhadap
terjadinya penyakit diabetes melitus. Mekanismenya terjadi karena pankreas
harus bekerja keras untuk menormalkan kadar gula darah yang tinggi akibat
masukan makanan yang berlebih dengan cara memperbanyak produksi insulin
sampai akhirnya sel beta kelenjar pankreas tidak mampu lagi untuk
(63)
kalori sehingga mengalami toleransi glukosa terganggu yang akhirnya
menyebabkan diabetes melitus (Waspadji, 2007). Nilai BMI berkorelasi
dengan lemak tubuh dan risiko beberapa penyakit di masa yang akan datang.
Seseorang yang memiliki nilai BMI yang tinggi (≥25 kg/m2) lebih berisiko
mengalami obesitas dimana berhubungan dengan beberapa masalah kesehatan
daripada seseorang dengan nilai BMI normal (Centers for Disease Control
and Prevention of United State, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Hermita (2006) menyatakan bahwa
orang yang mengalami kegemukan (BMI 25-29,9 kg/m2) memiliki risiko 1,59 kali (OR=1,59;95% CI 1,21-2,08) dan pada orang yang mengalami obesitas
(BMI ≥30 kg/m2) beresiko 1,90 kali (OR=1,90;955 CI 1,45-2,49) menderita
diabetes dibandingkan dengan orang normal. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Rumiyati (2008) dimana orang yang mengalami kegemukan
berisiko 2,01 kali (OR=2,01;95% CI 1,24-3,26) dibandingkan dengan orang
normal.
Menurut Kumar (2013), presentase penderita diabetes melitus tipe 2
dengan obesitas sentral lebih tinggi daripada obesitas general, hal ini
menunjukkan bahwa deteksi dini dan pengendalian pada obesitas sentral lebih
penting dilakukan daripada obesitas general dalam populasi Asia. Pada
penelitian yang melibatkan 240 responden pria penderita diabetes melitus tipe
2 berusia 30 -70 tahun di Punjabi menunjukkan bahwa kondisi overweight dan
(64)
Kamath, Shivaprakash, dan Adhikari (2011) yang dilakukan pada 446
responden dengan diabetes melitus tipe 2 di India Selatan juga mendapatkan
bahwa responden dengan diabetes melitus tipe 2 sebagian besar memiliki
obesitas sentral (68,1%) dibandingkan dengan obesitas general (48,9%).
3. Hemoglobin
Uji normalitas HbA1c menggunakan Shapiro-Wilk dengan taraf
kepercayaan 95% yang menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,001 yang
menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal. Distribusi nilai Hb
responden dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Grafik Distribusi Hb responden
Ukuran pemusatan data HbA1c dinyatakan dalam median yaitu 15,00
serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam minimum-maksimum yaitu
(65)
Penelitian yang dilakukan oleh Adeoye, et al. (2014) menunjukkan
pengaruh yang signifikan pada tes HbA1c ketika nilai hemoglobin responden
<6g/dl atau >16g/dl, pada penelitian ini tidak ada pasien yang memiliki nilai
hemoglobin lebih kecil ataupun lebih besar dari rentang yang ditunjukkan
dalam penelitian tersebut, sehingga tidak ada risiko kesalahan ataupun
pengaruh dari kadar hemoglobin pasien. Penelitian ini didukung pula oleh
penelitian yang dilakukan oleh Koga dan Kasayama (2010) yang menyatakan
bahwa nilai HbA1c tidak akurat digunakan untuk mendeteksi kontrol
glikemik seseorang jika seseorang memiliki penyakit tertentu seperti anemia
dan kondisi lain. Pada penelitian ini kadar hemoglobin responden pria,
rata-rata lebih tinggi daripada responden wanita hal ini terjadi karena
kemungkinan adanya responden pria yang merokok, menurut Adamson
(2005) peningkatan kadar hemoglobin darah pada perokok berat terjadi karena
reflek dari mekanisme kompensasi tubuh terhadap rendahnya kadar oksigen
yang berikatan dengan hemoglobin akibat digeser oleh karbonmonoksida
yang mempunyai afnitas terhadap hemoglobin yang lebih kuat. Maka, tubuh
akan meningkatkan proses hematopoiesis lalu meningkatkan produksi
hemoglobin akibat rendahnya tekanan parsial oksigen di dalam tubuh, hal
inilah yang menyebabkan tingginya kadar hemoglobin pada sebagian besar
(66)
4. HbA1c
Uji normalitas HbA1c menggunakan Shapiro-Wilk dengan taraf
kepercayaan 95% yang menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,040 yang
menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal.
Gambar 6. Grafik Distribusi HbA1c responden
Ukuran pemusatan data HbA1c dinyatakan dalam median yaitu 5,50
serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam minimum-maksimum yaitu
5,00-6,20. Pemeriksaan nilai HbA1c merupakan suatu uji sampel darah yang
memberikan informasi mengenai rata-rata kadar glukosa darah seseorang
selama 3 bulan terakhir. Tes HbA1c merupakan tes utama yang digunakan
untuk manajemen diabetes melitus. Hasil tes HbA1c dinyatakan dalam
presentase dimana semakin tinggi persentase HbA1c maka kadar glukosa
darah seseorang semakin tinggi pula, nilai normal HbA1c ialah dibawah 5,7%
(1)
Median 15.0000
Variance 1.029
Std. Deviation 1.01452
Minimum 12.10
Maximum 16.00
Range 3.90
Interquartile Range 1.53
Skewness -.827 .350
Kurtosis .077 .688
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Hb (g/dL) .177 46 .001 .907 46 .001
(2)
Lampiran 17. Deskriptif dan Uji Normalitas HbA1c pada kelompok Body Mass Index ≥ 25 kg/m2 dan <25 kg/m2
Descriptives
CBMI Statistic Std. Error
HbA1c (%) Normal Mean 5.4654 .06024
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 5.3413 Upper Bound 5.5895
5% Trimmed Mean 5.4491
Median 5.4000
Variance .094
Std. Deviation .30717
Minimum 5.00
Maximum 6.20
Range 1.20
Interquartile Range .32
Skewness 1.036 .456
Kurtosis 1.003 .887
Tidak normal Mean 5.5750 .06723
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 5.4343 Upper Bound 5.7157
5% Trimmed Mean 5.5722
Median 5.5500
Variance .090
Std. Deviation .30066
Minimum 5.00
Maximum 6.20
Range 1.20
(3)
Skewness .151 .512
Kurtosis -.230 .992
Tests of Normality
CBMI
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig. HbA1c (%) Normal .177 26 .036 .904 26 .020
Tidak normal .117 20 .200* .984 20 .977
a. Lilliefors Significance Correction
(4)
Lampiran 18. Uji Komparatif antara HbA1c pada kelompok Body Mass Index ≥ 25 kg/m2 dan < 25 kg/m2
Test Statisticsa
HbA1c (%) Mann-Whitney U 197.500
Wilcoxon W 548.500
Z -1.395
Asymp. Sig. (2-tailed) .163 a. Grouping Variable: CBMI
(5)
Lampiran 19. Uji korelasi Pearson antara Body Mass Index dengan HbA1c
Correlations
BMI (kg/m2) HbA1c (%) BMI (kg/m2) Pearson Correlation 1 .237
Sig. (2-tailed) .112
N 46 46
HbA1c (%) Pearson Correlation .237 1 Sig. (2-tailed) .112
(6)
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama lengkap Kristi Natalia. Penulis lahir di Kedukul, 26 Desember 1994, serta merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Maximus Sandong dan Laurina. Pendidikan awal penulis dimulai di SDN 02 Kedukul (2000-2006), SMPN 01 Mukok (2006-2009), SMAN 01 Sanggau (2009-2012). Pada tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan di kampus maupun di luar kampus. Penulis mengikuti beberapa kegiatan di dalam kampus seperti anggota seksi dekorasi dan dokumentasi Pharmacy Performance Road to School tahun 2013, anggota divisi Dana dan Usaha pada acara Pengobatan Gratis dalam Rangka Dies Natalis XIX Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dan anggota Sie Konsumsi pada Pelayanan Kesehatan Gratis Dies Natalis ke 59 Universitas Sanata Dharma. Penulis juga aktif sebagai penari di Sanggar Bukonk Betaja dan meraih penata busana terbaik tahun 2015 serta juara 1 dalam lomba tari kreasi dayak tahun 2013, 2014 dan 2015 pada Pesta Seni dan Budaya Dayak Se-Kalimantan, penulis juga terlibat sebagai kemitraan Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia pada kegiatan Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia dan Indonesia Channel 2015.