Korelasi body mass index terhadap HBA1C pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.

(1)

KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA WANITA DEWASA SEHAT DI DESA KEPUHARJO KECAMATAN

CANGKRINGAN SLEMAN YOGYAKARTA FIRMINA MARIA SEPTIMA ELISA UN

128114090

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

ABSTRACT

Anthropometric measurement is a simple measurement that shows an association with disease risk factors. Body mass index is a measurement based on the anthropometric measurements of weight and height. Body mass index can be used to detect the presence of obesity with a body mass index value range is ≥30,00 kg / m2. Obesity can lead to insulin resistance. Insulin resistance can lead to type 2 diabetes mellitus, where type 2 diabetes mellitus is a risk factor for cardiovascular disease. The aim of this study was to identify the correlation between BMI measurement of the HbA1c in healthy adult women. This research is an observational analytic study with cross sectional study design. The selection of respondents is done in a non-random purposive sampling The number of respondents who used as many as 45 respondents who meet the inclusion and exclusion criteria. The research data were analyzed using the Shapiro-Wilk test nomalitas, the comparative test unpaired t test and Pearson correlation test with 95% confidence level. The results showed the characteristic profile of age 44.53±3.37 years, BMI 25.20±3.76 kg/m2, hemoglobin (Hb) 13,66±1,22 g/dL and HbA1c 5.39±0.23%. There is no significant correlation, weak strength with the direction of a positive correlation between BMI on HbA1c (r = 0.281; p = 0.061) in healthy adult women in the village Kepuharjo Cangkringan Sleman, Yogyakarta.


(2)

INTISARI

Pengukuran antropometri adalah pengukuran sederhana yang menunjukkan adanya hubungan dengan faktor risiko penyakit. Body mass index adalah pengukuran antropometri berdasarkan pengukuran pada berat badan dan tinggi badan. Body mass index dapat digunakan untuk mendeteksi adanya obesitas dengan rentang nilai body mass index adalah ≥30,00 kg/m2. Obesitas dapat menyebabkan resistensi insulin. Resistensi insulin dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 2, dimana diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi korelasi antara pengukuran BMI terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Pemilihan responden dilakukan secara

non-random porposive sampling. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 45

responden yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Data penelitian dianalisis menggunakan uji nomalitas Shapiro-wilk, uji komparatif uji t tidak berpasangan, serta uji korelasi Pearson dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan profil karakteristik rerata usia responden 44,53±3,37 tahun, rerata BMI responden 25,20±3,76 kg/m2, rerata hemoglobin (Hb) responden 13,66±1,22 g/dL dan rerata HbA1c responden 5,39±0,23%. Terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan lemah dengan arah korelasi positif antara BMI terhadap HbA1c (r=0,281; p=0,061) pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.


(3)

KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA WANITA DEWASA SEHAT DI DESA KEPUHARJO KECAMATAN

CANGKRINGAN SLEMAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Firmina Maria Septima Elisa Un NIM: 128114090

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA WANITA DEWASA SEHAT DI DESA KEPUHARJO KECAMATAN

CANGKRINGAN SLEMAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Firmina Maria Septima Elisa Un NIM: 128114090

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

INTISARI

Pengukuran antropometri adalah pengukuran sederhana yang menunjukkan adanya hubungan dengan faktor risiko penyakit. Body mass index adalah pengukuran antropometri berdasarkan pengukuran pada berat badan dan tinggi badan. Body mass index dapat digunakan untuk mendeteksi adanya obesitas dengan rentang nilai body mass index adalah ≥30,00 kg/m2. Obesitas dapat menyebabkan resistensi insulin. Resistensi insulin dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 2, dimana diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi korelasi antara pengukuran BMI terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Pemilihan responden dilakukan secara

non-random porposive sampling. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 45

responden yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Data penelitian dianalisis menggunakan uji nomalitas Shapiro-wilk, uji komparatif uji t tidak berpasangan, serta uji korelasi Pearson dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan profil karakteristik rerata usia responden 44,53±3,37 tahun, rerata BMI responden 25,20±3,76 kg/m2, rerata hemoglobin (Hb) responden 13,66±1,22 g/dL dan rerata HbA1c responden 5,39±0,23%. Terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan lemah dengan arah korelasi positif antara BMI terhadap HbA1c (r=0,281; p=0,061) pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.


(10)

vii ABSTRACT

Anthropometric measurement is a simple measurement that shows an association with disease risk factors. Body mass index is a measurement based on the anthropometric measurements of weight and height. Body mass index can be used to detect the presence of obesity with a body mass index value range is ≥30,00 kg / m2. Obesity can lead to insulin resistance. Insulin resistance can lead to type 2 diabetes mellitus, where type 2 diabetes mellitus is a risk factor for cardiovascular disease. The aim of this study was to identify the correlation between BMI measurement of the HbA1c in healthy adult women.

This research is an observational analytic study with cross sectional study design. The selection of respondents is done in a non-random purposive sampling. The number of respondents who used as many as 45 respondents who meet the inclusion and exclusion criteria. The research data were analyzed using the Shapiro-Wilk test nomalitas, the comparative test unpaired t test and Pearson correlation test with 95% confidence level.

The results showed the characteristic profile of age 44.53±3.37 years, BMI 25.20±3.76 kg/m2, hemoglobin (Hb) 13,66±1,22 g/dL and HbA1c 5.39±0.23%. There is no significant correlation, weak strength with the direction of a positive correlation between BMI on HbA1c (r = 0.281; p = 0.061) in healthy adult women in the village Kepuharjo Cangkringan Sleman, Yogyakarta.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN...iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...vi

PRAKATA...vi

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR...xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

INTISARI...xvi

ABSTRACT...xvii

BAB I. PENGANTAR...1

A. Latar Belakang...1

1. Perumusan Masalah...3

2. Keaslian Penelitian...3

3. Manfaat Penelitian...6

B. Tujuan...6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA...7

A. Antropometri...7


(12)

ix

B. Obesitas...8

C. Diabetes Melitus tipe 2...9

D. Hemoglobin (Hb)...10

E. HbA1c...11

F. Penyakit Kardiovaskular...12

G. Landasan Teori...12

H. Hipotesis...15

BAB III. METODE PENELITIAN...16

A. Jenis dan Rancangan Penelitian...16

B. Variabel Penelitian...16

C. Definisi Operasional...17

D. Responden Penelitian...17

E. Lokasi dan Waktu Penelitian...21

F. Ruang Lingkup Penelitian...21

G. Teknik Sampling...22

H. Instrumen Penelitian...23

I. Tata Cara Penelitian...23

1. Observasi Awal...23

2. Permohonan Ijin dan Kerjasama...23

3. Pembuatan Leaflet dan Informed Consent...24

4. Pencarian Responden...24

5. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian...26


(13)

7. Penyerahan hasil pemeriksaan kepada responden...27

8. Pengolahan data...27

J. Analisis Data...28

K. Keterbatasan Penelitian...29

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...30

A. Profil Karakteristik Responden...30

1. Usia...31

2. Body Mass Index (BMI)...33

3. Hemoglobin (Hb)...35

4. HbA1c...37

B. Perbandingan Rerata HbA1c pada Kelompok Body Mass Index ≥25kg/m2 dan Body Mass Index <25kg/m2...39

C. Korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c...41

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...46

A. Kesimpulan...46

B. Saran...46

DAFTAR PUSTAKA...47

LAMPIRAN...54


(14)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel I. Keaslian Penelitian...4

Tabel II. Klasifikasi Body Mass Index Penduduk Asia Dewasa...8

Tabel III. Kategori Kadar HbA1c...11

Tabel IV. Penelitian Korelasional Antara BMI terhadap HbA1c...14

Tabel V. Interpretasi Hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi...29

Tabel VI. Profil Karakteristik Responden...30

Tabel VII. Hasil Perbandingan rerata HbA1c pada kelompok body mass index ≥25kg/m2 dan body mass index >25kg/m2 ...40


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Pencarian Responden...20

Gambar 2. Bagan Kajian Penelitian Payung...22

Gambar 3. Grafik Distribusi Usia Responden...31

Gambar 4. Grafik Distribusi Body Mass Index Responden...34

Gambar 5. Grafik Distribusi Hemoglobin (Hb)...36

Gambar 6. Grafik Distribusi HbA1c Responden...37

Gambar 7. Diagram Sebaran Korelasi Body Mass Index dengan kadar HbA1c...42


(16)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ethical Clearence...55

Lampiran 2. Surat Ijin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Yogyakarta...56

Lampiran 3. Surat Ijin Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta...57

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Responden Wanita...58

Lampiran 5. Leaflet Tampak Depan...59

Lampiran 6. Leaflet Tampak Belakang...59

Lampiran 7. Informed Consent ...60

Lampiran 8. Pedoman Wawancara...61

Lampiran 9. Form Pengukuran Antropometri...62

Lampiran 10. Sertifikat Peneraan Timbangan Berat Badan...63

Lampiran 11. Sertifikat Peneraan Pengukur Tinggi Badan ...64

Lampiran 12. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian...65

Lampiran 13. Sertifikat Lisensi Data Statistik...66

Lampiran 14. Deskriptif dan Uji Normalitas Usia Responden...67

Lampiran 15. Deskriptif dan Uji Normalitas Body Mass Index...68

Lampiran 16. Deskriptif dan Uji Normalitas HbA1c...69

Lampiran 17. Deskriptif dan Uji Normalitas Hemoglobin (Hb)...70

Lampiran 18. Deskriptif dan Uji Normalitas HbA1c pada Kelompok Body Mass Index ≥25 kg/m2 dan <25 kg/m2...71 Lampiran 19. Uji Komparatif antara HbA1c pada kelompok Body Mass Index


(17)

≥25 kg/m2 dan <25 kg/m2...73

Lampiran 10. Uji Korelasi Pearson antara Body Mass Index dengan HbA1c...74

Lampiran 21. Data HbA1c dan hemoglobin (Hb) responden wanita...75

Lampiran 22. Standard Operating Procedure Pengukuran Tinggi Badan...77


(18)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Penyakit Kardiovaskular adalah penyakit nomor satu penyebab kematian di dunia. Lebih banyak orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit kardiovaskular daripada penyebab lainnya. Pada bulan Januari tahun 2015 diperoleh data yang menyatakan bahwa sekitar 17,5 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2012, dan mewakili sekitar 31% dari semua jenis kematian di dunia. Dari kematian ini diperkirakan 7,4 juta meninggal karena penyakit jantung koroner dan sekitar 6,7 juta disebabkan oleh stroke (WHO, 2005). Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah terus meningkat dan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial ekonomi bagi keluarga penderita, masyarakat, dan negara. Pada tahun 2013, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter sekitar 0,5%, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter gejala yang terjadi sebesar 1,5%. Penyakit gagal jantung di Indonesia pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter didapatkan data sebesar 0,13% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

Penyakit kardiovaskular adalah istilah umum yang menggambarkan penyakit jantung. Aliran darah ke jantung, otak atau badan dapat berkurang sebagai akibat dari bekuan darah (trombosis), atau oleh penumpukan deposit lemak di dalam arteri yang menyebabkan arteri mengeras dan menyempit (aterosklerosis). Penyakit kardiovaskular merupakan masalah kesehatan besar yang dialami oleh manusia (NHS, 2015). Salah satu faktor risiko terjadinya


(19)

penyakit kardiovaskular adalah obesitas. Obesitas dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan baik secara independen serta hubungan dengan penyakit lainnya. Obesitas dapat ditentukan dari body mass index (BMI) yang dilakukan pengukuran secara langsung pada berat badan dan tinggi badan. Obesitas dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin, dengan adanya resistensi insulin dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 2 (WHO, 2015; Foulds, Bredin, and Warburton, 2012).

Pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya diabetes melitus dan mengontrol kadar glukosa dalam darah adalah pemeriksaan HbA1c. Peningkatan HbA1c merupakan faktor risiko untuk pengembangan kardiovaskular pada pasien dengan diabetes melitus, dengan 10-15% peningkatan risiko kardiovaskular untuk setiap kenaikan satu unit di HbA1c (National Institutes of

Health, 2012).

Upaya pencegahan dan deteksi dini terhadap risiko munculnya penyakit kardiovaskular dapat dilakukan dengan cara paling sederhana, murah dan mudah diaplikasikan yaitu pengukuran antropometri. Pengukuran antropometri merupakan pengukuran yang dilakukan untuk melihat status gizi dari seseorang. Pada penelitian ini menggunakan bidang antropometri body mass index yang dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi badan seseorang. Semakin tinggi nilai body mass index, risiko untuk mengalami obesitas semakin besar. Seseorang dikatakan mengalami obesitas bila nilai BMI lebih besar dari 30,00 kg/m2 (Centers for Disease Control and Prevention of Unitetd States, 2011;


(20)

Perhimpunan Ergonomi Indonesia, 2013). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara body mass index dengan HbA1c pada responden wanita, sehingga diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memprediksi risiko diabetes melitus tipe 2 yang dapat memicu terjadinya kardiovaskular dengan melakukan pengukuran body mass index, hal ini dapat didukung oleh hasil penelitian Martins, Jones, Cumming, Silva, Teixeira, and Verissimo (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara BMI dan kadar HbA1c (r=0,31; p=0,01).

1. Permasalahan

Apakah terdapat korelasi yang bermakna antara body mass index (BMI) dengan HbA1c pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta?

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil pencarian informasi terkait penelitian mengenai korelasi body mass index (BMI) terhadap HbA1c dapat dinyatakan belum pernah melakukan penelitian ini sebelumnya, dikarenakan penelitian ini dilakukan di daerah pedesaan dengan menggunakan responden wanita sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta, namun ada penelitian yang berkaitan dengan antropometri, kadar glukosa darah, kardiovaskular, hipertensi, serta penyakit diabetes melitus. Penelitian-penelitian yang dilakukan adalah:


(21)

Tabel I. Keasliaan Penelitian

Judul Penelitian Hasil Persamaan Perbedaan

“Correlation

Among BMI, Fasting Plasma Glucose and HbA1c Levels in Subjects with Glycemic Anomalies Visiting Diabetic Clinics of Lahore” (Farasat, Cheema, and Khan, 2009)

Pasien Impaired

Glucose Tolerance ada korelasi bermakna pada glukosa darah dan HbA1c (r=0,298; p<0,05), tidak terdapat korelasi antara glukosa darah puasa dengan BMI (r= -0,091; p>0,05).

 Pada pasien DM ada korelasi bermakna antara glukosa darah puasa dengan HbA1c (r=0,460, p<0,05), korelasi tidak bermakna antara glukosa darah puasa dengan BMI (r= -0,093, p>0,05). Meneliti tentang korelasi antara body mass index dengan HbA1c.

Penelitian ini menggunakan subyek penelitian yang

telah yang telah dilakukan diagnosa menderita Diabetes melitus dan Impaired Glucose Tolerance (IGT)

pada pria dan wanita, menilai korelasi antara Glukosa Plasma dengan HbA1c.

 Subyek penelitian yang digunakan 508 (laki-laki = 228; wanita= 280). “Identification of the Anthropometric index that correlates with fasting blodd glucose and BMI in Post-Pubescent Female Nigerians” (Akinola, Omotoso, Akinlolu, and Ayangbemi, 2014  Terdapat hubungan antara BMI dengan glukosa darah puasa (r=0,15; p<0,05).

 Ada hubungan yang bermakna antara rasio lingkar pinggang terhadap BMI (r=0,14; p<0,05 Meneliti hubungan BMI terhadap kadar glukosa

 Penelitian ini menggunakan subyek penelitian remaja wanita post-pubertas dengan usia 16-23 tahun.

 Subyek penelitian 178 responden.

 Menilai hubungan antara BMI dan rasio lingkar pinggang.


(22)

Tabel I. Lanjutan

Judul Penelitian Hasil Persamaan Perbedaan

“Korelasi body

mass index (BMI) terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta”

(Bonaventura, 2014).

 Terdapat korelasi tidak bermakna, antara BMI terhadap HbA1c (r=-0,039; p=0,781). Meneliti pengaruh body mass index terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat.

 Penelitian ini dilakukan di daerah perkotaan (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

 Subyek penelitian staf wanita

Universitas Sanata Dharma yaitu 52 responden.

 Usia responden 40-50 tahun. “Hubungan Index Massa Tubuh dengan Kadar Glukosa darah puasa pada Pengawai Sekretariat daerah Provinsi Riau” (Arif, Ernalia, dan Rosdiana, 2014)  Adanya hubungan yang tidak bermakna dari Indeks masaa tubuh terhadap kadar glukosa dalam darah (p>0,05). Meneliti hubungan antara body mass index yang dapat menyebabkan obesitas sebagai faktor risiko dari diabetes melitus

 Pada penelitian ini dilakukan pengukuran BMI pada pria dan wanita Pegawai Negri Sipil di Riau, jumlah subyek 43 responden “Hubungan antara usia dan Indeks Massa tubuh dengan Kejadian Diabetes Melitus tipe 2 di Poliklinik Interna BLU RSUD Prof.Dr.R.D. Kandou Manado” Robrusme, 2014  Terdapat hubungan antara usia dan indeks massa tubuh dengan kejadian diabetes melitus tipe 2. Nilai probabilitas sebesar 0,000. Meneliti dan mengukur indeks massa tubuh yang menimbulkan obesitas sebagai faktor risiko diabetes melitus.

 Penelitian ini dilakukan

pengukuran indeks massa tubuh dengan kejadian DM tipe 2, total subyek penelitian 150 dibagi pria dan wanita dengan menggunakan kadar glukosa darah.


(23)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai korelasi BMI terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta dan dapat dijadikan sebagai referensi pada penelitian yang serupa lainnya.

b. Manfaat praktis. Pengukuran BMI diharapkan mampu memberikan gambaran awal kepada masyarakat mengenai obesitas dan kadar HbA1c untuk mendeteksi dini penyakit diabetes melitus.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi adanya korelasi antara body mass index (BMI) terhadap HbA1c pada wanita sehat dewasa di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta.


(24)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Antropometri

Antropometri adalah studi tentang pengukuran tubuh manusia seperti pada tulang, otot, dan jaringan lemak. Pengukuran antropometri adalah pengukuran pada manusia yang meliputi bidang pengukuran seperti body mass

index (BMI), lingkar tubuh (lingkar pinggang dan lingkar pinggang panggul),

skinfold thickness, panjang tungkai, bahu, dan pergelangan tangan. Antropometri

ini dapat berhubungan dengan beberapa gangguan penyakit seperti penyakit jantung, diabetes melitus serta gangguan kognitif (Karakas, Bilgin, Polatli, Ozlem

and Tas-Gulen, 2014).

1. Body Mass Index (BMI)

Body Mass Index (BMI) adalah pengukuran yang paling sering digunakan sebagai alat untuk memantau status gizi seseorang yang berkaitan dengan kelebihan atau kekurangan berat badan dengan melakukan perhitungan dari pengukuran tinggi badan dan berat badan. Body Mass Index dapat diukur dengan menggunakan rumus berat badan dalam kilogram (kg) dibagi kuadrat dari tinggi badan dalam meter per segi (m2) (Gomez-Ambrosi, Silva, Galofre, Escalada, Santos, Millan et al., 2012).

Rumus perhitungan BMI sebagai berikut.

� �� � (���) =�� ���� � �� ��� � (��)

( �)

Body Mass Index berkorelasi dengan lemak tubuh yang dapat


(25)

tepat untuk melakukan skrining untuk mengetahui obesitas dan risiko kesehatan (Centers For Disease Control and Prevention, 2012).

Tabel II. Klasifikasi Body Mass Index (BMI) berdasarkan Central For Disease Control And Prevention (Centers For Disease Control and Prevention,

2012)

B. Obesitas

Obesitas merupakan proses penyakit yang ditandai dengan akumulasi lemak tubuh yang berlebihan dalam jaringan lemak pada seseorang. Obesitas dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan baik secara independen serta hubungan dengan penyakit lainnya. Obesitas dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan asupan energi dengan energi yang dikeluarkan sehingga menyebabkan terjadinya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Terjadinya obesitas lebih ditentukan oleh pola hidup yang tidak sehat seperti terlalu mengkonsumsi makanan, menurunkan aktifitas atau latihan fisik. Penanda kelebihan lemak dalam tubuh yang biasa digunakan adalah body mass

index (BMI). Pengukuran BMI dilakukan secara langsung pada berat badan dan

tinggi badan. Seseorang dikatakan obesitas bila nilai BMI lebih besar dari 30,00 kg/m2. Peningkatan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa terjadi karena diawali dengan kelebihan berat badan dalam tubuh dan obesitas. Obesitas dapat dikaitkan dengan komplikasi penyakit berupa kelainan jantung, hipertensi,

BMI (kg/m2) Kategori

<18.5 Rendah

18.5 – 24.9 Normal

25.0 – 29.9 Overweight / Pre Obesitas


(26)

osteoarthritis, dislipidemia, dan diabetes melitus (Bogchi, and Preuss, 2013;

WHO, 2015; Foulds et al., 2012; Dipiro et al., 2015).

Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi utama untuk diabetes melitus tipe 2 yang dapat menyebabkan gangguan pada sekresi insulin dan menyebabkan resistensi insulin. Obesitas dapat meningkatkan jumlah jaringan lemak, sehingga dapat memicu terganggunya kemampuan insulin untuk mempengaruhi pengambilan glukosa dan metabolismenya dengan jaringan yang sensitif dengan insulin, hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin adalah hal terpenting dari metabolik sindrom dan berkembang menjadi diabetes melitus tipe 2 (Mukherjee et al 2013).

C. Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan reseptor insulin yang tidak dapat berikatan dengan insulin akibat resistensi insulin, produksi insulin menurun, dan sel beta pankreas rusak. Hal ini menyebabkan penurunan transpor glukosa ke dalam hati, sel-sel otot dan sel-sel lemak. Diabetes melitus tipe 2 diawali dari sindrom metabolik. Sindrom metabolik yang terjadi mencakup obesitas, hipertensi, kolesterol tinggi (hiperlipidemia) (American Diabetes Association, 2013; Olokoba and Obateru, 2012). Diabetes melitus tipe 2 dapat disebabkan oleh faktor genetik dan pengaruh lingkungan seperti obesitas dan kurangnya aktivitas fisik. Obesitas dapat menyebabkan tergganggunya kemampuan kerja insulin, sehingga sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak dapat merespon insulin secara normal, akibatnya dapat meyebabkan terjadinya resistensi insulin. Resistensi


(27)

insulin adalah kondisi saat insulin dalam tubuh tidak dapat mengerahkan insulin yang cukup untuk konsentrasi dalam darah. Target penurunan insulin yang utama adalah pada sel hati dan sel otot (Kochi, 2010).

Diabetes melitus tipe 2 lebih sering dialami oleh orang dewasa dan berhubungan dengan riwayat diabetes dari keluarga, obesitas (>120% berat badan ideal), serta hiperglikemia. Penderita diabetes melitus tipe 2 dapat menyebabkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Kombinasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1. Komplikasi makrovaskular antara lain hipertensi, dislipidemia, serta penyakit kardiovaskular (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

D. Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin (Hb) adalah protein yang memiliki zat besi dalam jumlah yang banyak. Hemoglobin terdapat dalam sel-sel darah merah dan merupakan pigmen pemberi warna merah dan juga sebagai pembawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Kekurangan hemoglobin dapat menyebabkan terjadinya anemia. Anemia adalah kondisi dimana jumlah sel darah merah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis. Konsentrasi hemoglobin dapat berpengaruh terhadap HbA1c terutama pada pasien dengan anemia hemolitik (WHO, 2011).

HbA1c adalah protein yang terbentuk atas reaksi antara glukosa dan hemoglobin dalam sel darah merah. Glukosa masuk dalam se-sel darah merah dan terglikasi dengan molekul hemoglobin. Semakin banyak glukosa dalam darah, semakin tinggi hemoglobin akan terglikasi, sehingga terjadi penumpukkan


(28)

hemoglobin terglikasi dalam sel darah merah yang dapat mencerminkan kadar rata-rata dari glukosa dalam sel selama siklus hidup sel (Adeoye, Abraham, Erlikh, Sarfraz, Borda, and Yeung, 2014; American Diabetes Association, 2013).

E. HbA1c

HbA1c atau hemoglobin A1c adalah protein yang terbentuk atas reaksi antara glukosa dan hemoglobin dalam sel darah merah. Hemoglobin A1c digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kondisi glukosa darah. Peningkatan HbA1c merupakan faktor risiko untuk pengembangan penyakit gagal jantung pada pasien dengan diabetes melitus. Pemeriksaan HbA1c didasarkan pada glukosa hemoglobin, protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen. Dalam tubuh, sel-sel darah merah terus-menerus dibentuk dengan lama hidup sel darah merah adalah 120 hari (3 bulan), sehingga pemeriksaan HbA1c menggambarkan rata-rata kadar glukosa darah selama 3 bulan terakhir. Pengukuran HbA1c adalah cara yang akurat untuk memberikan ukuran terpercaya pada glikemia kronis dan berkorelasi baik dengan risiko komplikasi diabetes jangka panjang. HbA1c tidak dipengaruhi oleh perubahan sementara glukosa darah yang disebabkan oleh makanan (Sofia, Nimbal and Horwich, 2011; Ibrahim, Ismail, Bahari, and Bebakar, 2010).

Tabel III. Kategori Kadar HbA1c (American Diabetes Association, 2014)

Kategori Kadar

Normal <5,7%

Pradiabetes 5,7-6,4%


(29)

F. Penyakit Kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang menyerang sistem peredaran darah pada manusia, terutama organ jantung dan pembuluh darah. Mayoritas penyakit kardiovaskular disebabkan oleh faktor risiko yang dapat dikendali, diperlakukan atau diubah seperti darah tinggi, kolesterol, kegemukan atau obesitas, dan diabetes (World Heart Federation, 2012).

Salah satu contoh penyakit kardiovaskular adalah ischemic heart disease (IHD) yaitu terjadi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan jantung akan darah teroksigenasi yang disebabkan adanya atherosklerosis kronis. Akibat atherosklerosis ini, aliran darah yang menyuplai oksigen ke jantung menjadi terhambat (Kumar, Abbas, Fausto, and Aster, 2010).

G. Landasan Teori

Pengukuran antropometri adalah pengukuran pada manusia yang meliputi bidang pengukuran seperti body mass index (BMI), lingkar tubuh (lingkar pinggang dan lingkar pinggang panggul), skinfold thickness, panjang tungkai, bahu, dan pergelangan tangan. Pada penelitian ini menggunakan pengukuran antropometri yaitu body mass index. Body mass index adalah ukuran berat badan dan tinggi badan yang sederhana, murah dan noninvasif pada lemak tubuh. Oleh karena itu, BMI adalah ukuran yang tepat melakukan skrining untuk mengetahui obesitas dan risiko kesehatan. Seseorang dengan BMI >25 kg/m2 termasuk dalam kategori kelebihan berat badan. Kelebihan lemak di dalam tubuh ini berhubungan dengan berbagai macam penyakit, seperti diabetes melitus tipe 2 dan penyakit


(30)

tidak menular lainnya. Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi utama untuk diabetes melitus tipe 2 yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin dan menyebabkan resistensi insulin (Gomez-Ambrosi et al., 2012; Karakas et al., 2014; Sizer and Whitney, 2013).

Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi saat reseptor insulin tidak mampu berikatan dengan reseptor insulin, akibatnya glukosa tidak dapat masuk ke dalam jaringan untuk digunakan sebagai energi. Pemeriksaan yang digunakan untuk prediktor diabetes melitus dan untuk mengontrol kadar glukosa dalam darah adalah HbA1c. Pemeriksaaan HbA1c yang digunakan adalah pemeriksaan darah untuk mengetahui rata-rata glukosa seseorang. Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular adalah fungsi abnormal dari jantung atau darah. Mayoritas penyakit kardiovaskular disebabkan oleh faktor risiko yang dapat dikendali, diperlakukan atau diubah seperti darah tinggi, kolesterol, kegemukan atau obesitas, dan diabetes (World Heart Federation, 2012; Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005; Ibrahim et al., 2010).

Berikut terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait dengan korelasional antara BMI terhadap HbA1c pada Tabel IV, dimana terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian sekarang antara lain pada tempat penelitian, responden dan jumlah responden yang digunakan serta usia responden. Pada tabel IV menjelaskan tentang rancangan penelitian yang dilakukan, responden yang digunakan pada penelitian ini, serta hasil penelitian berupa adanya korelasi antara BMI terhadap HbA1c.


(31)

Tabel IV. Penelitian Korelasioal antara Body Mass Index terhadap HbA1c

Peneliti Judul Rancangan

Penelitian

Responden Hasil Kastela

n et al (2014)

Body Mass Index and Retinopathy in Type 1 Diabetic Patients Cross Sectional Sebanyak 176 responden dengan diabetes melitus tipe 1 Terdapat korelasi bermakna antara BMI dan penurunan yang signifikan dari HbA1c (r=0,375), peningkatan kolesterol (r=0,252), hipertensi (sistolik, r= 0,175 ; diastolik r= 0,194) yang berkaitan dengan perkembangan retinopati diabetik pada pasien DM tipe 1 (p<0,01). Dofuor (2013)

Evaluation of Hba1c as an objective marker for monitoring blood glucose control for Diabetes patients on treatment at Dormaa Presbyterian Hospital Cross Sectional 150 responden dengan rentang usia 21-87 tahun Terdapat korelasi yang tidak bermakna antara BMI terhadap HbA1c, dengan korelasi negatif sangat lemah (r= -0,1112 ; p=0,7053).


(32)

Tabel IV. Lanjutan

Peneliti Judul Rancangan

Penelitian

Responden Hasil Martins et al

(2012)

Glycated

hemoglobin and associated risk factors in older adults Cross Sectional 118 responden Hasil penelitian menunjukkan korelasi yang bermakna dan berkekuatan lemah antara kadar HbA1c dengan BMI (r=0,31; p=0,01). Bonaventura (2014)

Korelasi Body Mass

Index tterhadap

HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Cross sectional 52 responden Terdapat korelasi tidak bermakna, antara BMI terhadap HbA1c (r=-0,039; p=0,781).

H. Hipotesis

Terdapat korelasi yang bermakna antara Body Mass Index (BMI) terhadap kadar HbA1c pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan berupa cross sectional/potong lintang. Rancangan penelitian cross

sectional adalah rancangan penelitian yang mempelajari korelasi antara faktor

risiko sebagai variabel sebab dan faktor efek sebagai variabel akibat. Analisis korelasi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara Body

Mass Index (BMI) sebagai faktor risiko, dan HbA1c sebagai faktor efek pada

wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta. Pada rancangan penelitian cross sectional, peneliti hanya melakukan observasi dan variabel pada satu waktu tertentu, dimana subyek peneliti hanya melakukan penelitian hanya sekali tanpa ada pengukuran yang diulang. Data penelitian yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk menganalisis korelasi antara faktor risiko dan faktor efek (Notoatmodjo, 2012).

B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas: Body Mass Index (BMI)

2. Variabel tergantung: HbA1c 3. Variabel pengacau:

a. Terkendali: usia dan jenis kelamin, hemoglobin (Hb) b. Tidak terkendali: keadaan patologis, gaya hidup responden.


(34)

C. Defenisi Operasional

1. Responden penelitian adalah wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta yang masih aktif dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini, serta memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang ditetapkan.

2. Karakteristik penelitian meliputi pengukuran antropometri dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pengukuran antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan dan yang dihitung adalah BMI. Hasil pemeriksaan laboratorium dengan menganalisis kadar HbA1c.

3. Pengukuran Body Mass Index (BMI) adalah perhitungan berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter persegi (m2).

4. Kadar HbA1c diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium Pramita Yogyakarta dalam persen (%). Pengukuran kadar HbA1c menggunakan metode Turbidimetric inhibition immunoassay.

5. Kriteria kadar HbA1c berdasarkan American Diabetes Association (2014). 6. Kriteria Body Mass Index berdasarkan Central For Disease Control And

Prevention (2012), dengan cut-off body mass index normal <25 kg/m2 dan

body mass index dengan obesitas ≥25 kg/m2.

D. Responden Penelitian

Responden penelitian adalah wanita dewasa sehat Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta yang masih aktif, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan di dalam penelitian. Masyarakat


(35)

Desa Kepuharjo merupakan salah satu Desa dengan mata pencaharian masyarakatnya adalah petani, dan buruh pasir. Pemilihan responden penelitian di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti kemudahan dalam berinteraksi dengan responden terkait lokasi yang dekat dan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan dalam lingkup masyarakat desa. Kriteria inklusi subyek penelitian adalah penduduk Desa Kepuharjo yang berusia 40-60 tahun serta bersedia menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi meliputi responden tidak hadir saat pengambilan data, menderita penyakit-penyakit degeneratif (diabetes melitus, hipertensi, dan dislipidemia), sudah menopause, sedang hamil, menggunakan alat kontrasepsi (kecuali IUD), dan konsumsi obat-obatan terkait kardiometabolik.

Jumlah calon responden penelitian diperoleh dengan mengetahui data jumlah secara keseluruhan warga wanita di Desa Kepuharjo. Desa kepuharjo terdiri dari tujuh Pedukuhan antara lain Pedukuhan Kepuh, Pedukuhan Kaliadem, Pedukuhan Pagerjurang, Pedukuhan Batur, Pedukuhan Kopeng, Pedukuhan Petung dan Pedukuhan Manggong. Ada lima Pedukuhan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu Pedukuhan Kepuh, Pedukuhan Pagerjurang, Pedukuhan Kaliadem, Pedukuhan Petung dan Pedukuhan Batur, sementara untuk dua pedukuhan yaitu Pedukuhan Manggong dan Pedukuhan Kopeng tidak diikutsertakan dalam pengambilan data ini, dikarenakan responden dari pedukuhan tersebut sudah digunakan untuk subyek validasi kuisoner. Data warga pada Pedukuhan yang digunakan diperoleh dari pendataan di Kantor Desa


(36)

Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta dengan hasil adalah 2.209 penduduk. Data yang diperoleh dipilih lagi berdasarkan kriteria usia yaitu 40-60 tahun dan masuk kriteria inklusi yaitu 120 responden. Pengambilan data sampel dilakukan sebanyak tiga kali, dengan rincian kegiatan sebagai berikut.

1. Pengambilan data pertama dilakukan pada tanggal 30 Mei 2015 di Balai Desa Kepuharjo dengan total responden yang terdata adalah 44 orang dengan jumlah responden wanita yang terdata adalah 27 orang dan 1 orang drop out dikarenakan responden takut untuk diambil darahnya.

2. Pengambilan data yang kedua dilakukan di Balai Desa Kepuharjo pada tanggal 18 Juni 2015. Total data yang terkumpul adalah 36 orang, dengan jumlah data wanita yang terkumpul adalah 12 orang.

3. Pengambilan data yang ketiga dilakukan pada tanggal 19 Juni 2015 di Gedung Serba Guna Huntap Pagerjurang. Total data responden yang diperoleh adalah sebesar 21 responden, dengan jumlah responden wanita yang terdata adalah 11 orang responden wanita.

Total responden yang bersedia menandatangani informed consent dan bersedia melakukan pengambilan darah adalah 100 responden dengan rincian 50 responden wanita dan 50 responden pria. Responden wanita (50 responden) melakukan pengukuran antropometri dan pengambilan darah untuk mengukur HbA1c. Hasil pengukuran diperoleh 5 responden positif diabetes melitus dengan nilai HbA1c yang tinggi, sehingga total secara keseluhuran responden yang sehat adalah 45 responden. Berikut skema pencarian responden pada Gambar 1.


(37)

Gambar 1. Skema Pencarian Responden

Dipilih berdasarkan usia 40-60 tahun

Jumlah penduduk dari 5 Pedukuhan: 2.209 penduduk

120 responden

6 orang tidak hadir saat pengambilan

data 3 orang menderita hipertensi

1 orang menggunakan

Pil KB

100 responden pria dan wanita

50 responden pria

50 responden wanita

45 responden wanita sehat tanpa diabetes

melitus

9 orang sudah menopouse 1 orang takut


(38)

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta. Pengambilan data di Desa Kepuharjo dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 2015 di Balai Desa Kepuharjo, 18 Juni 2015 di Balai Desa Kepuharjo, dan 19 Juni 2015 di Gedung Serbaguna Huntap Pagerjurang, Desa Kepuharjo.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian payung Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang berjudul “Korelasi Antropometri dan Faktor

Risiko Penyakit Kardiovaskular pada Masyarakat Pedesaan”, dan telah

memperoleh ijin dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan nomor Ref: KE/FK/502/EC. Penelitian payung ini bertujuan untuk mengkaji korelasi antara pengukuran antropometri terhadap faktor risiko penyakit Kardiovaskular.

Penelitian ini dilakukan secara berkelompok dengan jumlah anggota 10 orang dengan kajian yang berbeda-beda. Pada penelitian kali ini, peneliti hanya mengkaji korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta. Kajian yang diteliti dalam penelitian payung ini sebagai berikut.


(39)

Gambar 2. Bagan Kajian Penelitian Payung G. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

non-random sampling dengan jenis purposive sampling. Teknik non-non-random sampling

adalah teknik pengambilan sampel dengan tidak semua anggota populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel. Teknik purposive sampling berarti pada pengambilan sampel dilakukan dengan suatu tujuan yaitu pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan. Jenis

purposive sampling merupakan teknik yang berdasarkan pada ciri/sifat tertentu

yang diperkirakan mempunyai hubungan dengan ciri/sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya sehingga ciri yang spesifik dalam populasi tersebut digunakan sebagai kunci untuk pengambilan sampel. Jumlah

Body Mass Index

Pria HbA1c

Wanita

HbA1c hs-CRP

Body Fat Percentage

Pria HbA1c

Wanita

HbA1c lp(a)

LP & RLPP

Pria HbA1c

Wanita

HbA1c hs-CRP lp(a)


(40)

sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 subyek, yang diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dengan teknik non-random.

H. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah timbangan berat badan merk

Idealine®, dan alat pengukur tinggi badan dengan merk Height®, alat tulis, serta

hasil dari pengukuran tersebut digunakan untuk menghitung Body Mass Index. Pada pengukuran berat badan dan tinggi badan responden diminta untuk tidak menggunakan alat kaki. Pengukuran kadar HbA1c menggunakan Cobas C501® dan pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan metode Turbidimetric

inhibition immunoassay.

I. Tata cara Penelitian 1. Observasi awal

Observasi awal dilakukan dengan mencari informasi mengenai jumlah penduduk di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta, serta mencari tempat atau lokasi yang cocok untuk melakukan pengukuran antropometri.

2. Permohonan ijin dan kerjasama

Permohonan ijin pertama diajukan kepada Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk memperoleh ethical clearance. Ethical clearance dibutuhkan karena di dalam penelitian ini menggunakan sampel darah manusia. Permohonan


(41)

ijin kedua ditujukan kepada Kecamatan Cangkringan, Desa Kepuharjo, Sleman Yogyakarta agar dapat memperoleh ijin untuk melibatkan penduduk yaitu pria dan wanita dalam melakukan penelitian. Permohonan kerjasama pertama diajukan ke bagian Laboratorium Pramita Yogyakarta untuk pengambilan dan analisis darah. Permohonan kerjasama kedua diajukan kepada responden penelitian dengan menggunakan informed consent.

3. Pembuatan informed consent dan leaflet

a. Informed consent. Merupakan bukti tertulis pernyataan kesediaan calon responden untuk ikut terlibat di dalam penelitian. Informed consent disusun berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

b. Leaflet. Digunakan untuk membantu responden dalam memahami gambaran penelitian ini. Konten dari leaflet yaitu tujuan penelitian, manfaat penelitian bagi responden, pengukuran antropometri meliputi pengukuran body mass index, serta pemeriksaan HbA1c.

4. Pencarian responden

Pencarian responden dilakukan dengan mendapatkan ijin dari Camat Cangkringan untuk memperoleh informasi mengenai penduduk Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta. Data setiap Desa yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Cangkringan kemudian dipilih Desa Kepuharjo yang direkomendasikan oleh pihak Kecamatan terkait kriteria yang diinginkan dalam penelitian. Pencarian responden selanjutnya dilakukan di Desa Kepuharjo dengan


(42)

meminta izin di Kantor Desa Kepuharjo untuk memperoleh data tiap Pedukuhan. Peneliti berkoordinasi dengan Kepala Dukuh masing-masing Pedukuhan untuk mengetahui persebaran rumah warga dan batas-batas Pendukuhan, sehingga peneliti dapat mendatangi calon responden untuk melakukan wawancara. Ada beberapa warga yang tidak dapat ditemui, hal ini dikarenakan sebagian warga sedang melakukan pekerjaan seperti mencari rumput, bertani, buruh batu, dan ada sebagian warga yang menolak untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Calon responden yang diwawancarai diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian, manfaat yang diperoleh, gambaran penelitan yang akan dilakukan, penjelasan mengenai kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan peneliti, serta menanyakan kesediaan calon responden untuk terlibat dalam penelitian ini. Calon responden yang bersedia untuk berpatisipasi dalam penelitian ini dan telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, diberikan informed consent, kemudian diisi dan ditandatangani oleh responden sebagai bukti kesediaannya untuk mengikuti penelitian ini.

Responden wanita yang dipilih, diberikan informasi mengenai tempat dan waktu pelaksanaan penelitian. Responden dihubungi melalui Bapak Dukuh melalui pengumuman di Masjid dan melalui SMS secara personal sehari sebelum melakukan pengambilan data untuk mengingatkan responden bahwa akan diadakan pengukuran antropometri, pengambilan darah pada jam dan tempat yang telah ditentukan sebelumnya serta mengingatkan responden untuk berpuasa 8-12 jam. Ada beberapa responden yang tidak dapat terlibat dalam penelitian ini karena beberapa alasan, meliputi: sudah menopause, menggunakan kontrasepsi selain


(43)

IUD, takut jarum suntik, menderita penyakit kardiometabolik, serta berhalangan hadir saat pengambilan darah.

5. Validasi dan reliabilitas instrumen penelitian

Instrumen dalam penelitian ini yang divalidasi adalah timbangan berat badan merk Idealine® dan alat pengukur tinggi badan merk Height® di Balai Metrologi Yogyakarta. Suatu instrumen valid dan reliabel, apabila instrumen tersebut telah dikalibrasi dan nilai CV atau koefisien varansi ≤5%. Nilai CV diperoleh dengan melakukan pengukuran reliabilitas sebanyak 5 kali berturut-turut (Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik, 2011).

Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan pengukuran sebanyak 5 kali berturut-turut oleh subyek yang sama (wanita usia 49 tahun) dengan nilai CV pada alat timbangan berat badan adalah 0.417% sedangkan nilai CV pada alat pengukur tinggi badan adalah 0.155%. Alat timbangan berat badan dan alat pengukur tinggi badan dikatakan reliabel karena nilai CV timbangan berat badan dan alat ukur tinggi badan sebesar ≤5% dan dikatakan valid karena telah dikalibrasi oleh Balai Metrologi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 15 Mei 2015 dengan nomer sertifikat peneraan: 2607/TE-295/V/2015 untuk timbangan berat badan dan nomer sertifikat peneraan: 2606/UP-208/V/2015. Alat

Cobas C501® yang digunakan untuk mengukur kadar HbA1c di dalam darah,

telah divalidasi oleh Laboratorium Pramita Yogyakarta. 6. Pengukuran Parameter

Hasil antropometri body mass index (BMI) diperoleh dengan melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan.


(44)

a. Berat badan. Responden menimbang berat badan dengan timbangan yang telah disediakan, responden harus melepas alas kaki untuk mengurangi faktor koreksi. Responden harus berdiri di atas posisi timbangan dengan posisi tegak lurus.

b. Tinggi badan. Responden diukur tinggi badan dengan menempelkan meretan pada dinding datar. Responden harus melepas alas kaki untuk mengurangi faktor koreksi, berdiri tegak lurus sampai meteran menyentuh ujung kepala responden.

c. Kadar Hemoglobin (Hb) dan Kadar HbA1c. Pengambilan darah dilakukan pada responden yang telah berpuasa 8-12 jam sebelum waktu pengambilan darah dan dilakukan oleh analis dari Laboratorium Pramita Yogyakarta.

7. Penyerahan hasil pemeriksaan kepada responden

Hasil pengukuran antropometri serta hasil analisis sampel darah dari Laboratorium Pramita Yogyakarta diberikan kepada responden. Peneliti memberikan penjelasan mengenai hasil pengukuran antropometri dan analisis darah responden serta memberikan saran untuk menjaga kesehatan, pola makan jika ditemukan hasil pemeriksaan yang tidak normal.

8. Pengolahan Data

Data yang diperoleh disusun yang sejenis untuk kemudian digolongkan ke dalam kategori yang ditetapkan, yaitu BMI, HbA1c, Hb, dan usia. Proses selanjutnya dilakukan analisis data.


(45)

J. Analisis Data

Data body mass index, HbA1c dan usia responden dihitung secara statistik dengan taraf keperayaan 95% menggunakan spss versi 17. Sebelum uji korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui distribusi data. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, pada jumlah sampel >50 responden, dan menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan jumlah sampel ≤50 responden. Pada penelitian ini menggunakan uji Shapiro-Wilk, hal ini disebabkan karena jumlah subyek yang digunakan untuk mengolah data adalah 45 responden wanita. Setelah uji normalitas dilakukan, uji selanjutnya dilakukan uji komparatif, dimana pada uji ini diawali dengan mengelompokkan data kadar HbA1c berdasarkan nilai BMI ≥25 kg/m2

dan BMI <25 kg/m2. Kelompok BMI tersebut diuji normalitasnya untuk melihat sebaran data dari kelompok tersebut, jika kedua kelompok data terdistribusi normal atau tersebar merata maka dilanjutkan uji t tidak berpasangan, apabila salah satu atau kedua data tersebut tidak terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Uji komparatif pada penelitian ini menggunakan uji t tidak berpasangan untuk membandingkan dua kelompok tersebut karena data kedua kelompok terdistribusi normal. Pada uji komparatif, kelompok data dikatakan berbeda bermakna jika nilai p<0,05. Tahap akhir yang dilakukan adalah uji korelasi menggunakan uji Pearson. Analisis korelasi dilakukan untuk menentukan hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung. Pada uji korelasi menggunakan uji Pearson dikarenakan data antara


(46)

BMI dan HbA1c terdistribusi normal. Analisis deskriptif akan dilakukan untuk menentukan prevalensi overweight dan obesity.

Tabel V. Interpretasi Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan Kekuatan korelasi, nilai p, dan Arah Korelasi (Dahlan, 2014)

Parameter Nilai Interpretasi

Kekuatan korelasi statistik

0,0 - <0,2 0,2 - <0,4 0,4 - <0,6 0,6 - <0,8 0,8 - 1,00

Sangat Lemah Lemah

Sedang Kuat

Sangat Kuat Arah Korelasi Positif (+)

Negatif (-)

Searah. Semakin tinggi variabel A, semakin tinggi variabel B.

Berlawanan arah. Semakin tinggi variabel A, semakin rendah variabel B

Nilai p Nilai p>0,05 Nilai p<0,05

Korelasi tidak bermakna Korelasi bermakna Kemaknaan

klinis

r yang diperoleh < r minimal r yang diperoleh > r minimal

Korelasi tidak bermakna Korelasi bermakna

K. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan yang dialami oleh peneliti adalah kesulitan dalam mencari responden karena harus mencari calon responden satu persatu berdasarkan data yang diperoleh dari tiap Pendukuhan di Desa Kepuharjo, dan sulit untuk menemui calon responden dikarenakan masing-masing calon responden bekerja di luar rumah. Peneliti juga tidak bisa menjamin ketaatan responden berpuasa pada saat pengukuran.


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Karakteristik Responden

Penelitian ini dilakukan di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta untuk mengetahui profil kesehatan warga wanita dewasa sehat yang berusia 40-60 tahun di Desa Kepuharjo dan untuk mengetahui adanya korelasi BMI terhadap HbA1c. Penelitian ini merupakan penelitian payung dengan judul “Korelasi Antropometri dan Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular

pada Masyarakat Pedesaan”. Responden pada penelitian ini terdiri dari 45 orang

wanita dewasa sehat yang telah ditetapkan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Profil karakteristik responden meliputi usia, body mass index (BMI), hemoglobin (Hb) dan HbA1c.

Tabel VI. Profil Karakteristik Responden

No. Karakteristik Profil

(n=45)

p

1 Usia 45,00 (40-53)** 0,031

2 Body Mass Index 25,20±3,76* 0,738

3 Hb 13,70 (9,50-15,70)** 0,010

4 HbA1c 5,39±0,23* 0,263

*p>0.05 menunjukkan bahwa data terdistribusi normal (mean±SD)

**p<0,05 menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal (median (minimum-maksimum)

Penelitian ini melakukan uji normalitas pada profil karakteristik responden menggunakan uji normalitas Shapiro-wilk dikarenakan responden berjumlah ≤50 responden. Profil data yang disajikan adalah mean±SD yang menggambarkan data terdistribusi normal dengan nilai p>0,05 sedangkan data yang disajikan berupa median (minimum-maksimum) menggambarkan data yang


(48)

1. Usia

Penelitian ini menggunakan responden wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta dengan rentang usia 40-60 tahun. Kategori dewasa pertengahan berada pada rentang usia 40-60 tahun. Responden pada penelitian ini termasuk dalam kategori middle adulthood, dimana periode ini adalah periode transisi antara usia dewasa dini dengan usia lanjut (Santrock, 2004).

Uji normalitas pada usia responden dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk pada taraf kepercayaan 95% dengan hasil nilai signifikansi sebesar p=0,031 sehingga dapat disimpulkan bahwa data distribusi usia responden tidak terdistribusi normal. Pada ukuran pemusatan data, hasil yang diperoleh adalah nilai tengah usia responden 45 tahun dan ukuran penyebaran dinyatakan dalam minimum-maksimum yaitu 40-53 tahun. Distribusi data usia responden dapat dilihat pada Gambar 3.


(49)

Menurut penelitian Walia et al (2014) usia merupakan salah satu faktor berkembangnya suatu penyakit. Pada penelitian ini rentang usia 40-69 tahun memiliki risiko terjadinya peningkatan penyakit kardiovaskluar seperti hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung koroner, dan resistensi insulin. Prevalensi penyakit kardiovaskular dapat disebabkan karena perubahan gaya hidup termasuk perubahan dalam pola diet konsumsi karbohidrat dan lemak jenuh. Faktor risiko kardiovaskular yang lain adalah penyakit arteri koroner dan diabetes melitus, yang disebabkan karena adanya obesitas sentral, hipertensi, dislipidemia dan pradiabetes. Penelitian tersebut sama dengan penelitian dari Ekpenyong, Akpan, Ibu, and Nyebuk (2011) yang menyatakan bahwa prevalensi diabetes melitus meningkat dengan bertambahnya usia. Pada penelitian tersebut menunjukkan hasil prevalensi pada diabetes melitus pada orang dewasa dengan usia 40-60 tahun pada laki-laki adalah sebesar 23,70% dan pada wanita sebesar 29,39%. Oleh karena itu, prevalensi terjadinya diabetes melitus pada usia 40-60 tahun secara signifikan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada laki-laki (p=0,003). Usia dan jenis kelamin secara global dapat diidentifikasi sebagai faktor risiko diabetes melitus.

Hasil penelitian Trisnawati dan Setyorogo (2013), menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara faktor risiko usia terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2 dengan nilai signifikansi p=0,026. Pada rentang usia ≥45 tahun risiko terhadap kejadian diabetes melitus yaitu sebanyak 24 orang (75%). Usia <45 tahun risiko terhadap kejadian diabetes melitus adalah 7 orang (38,9%), sehingga dapat dikatakan pada penelitian tersebut rentang usia ≥45 tahun memiliki risiko lebih besar terhadap diabetes melitus tipe 2. Penelitian tersebut


(50)

dapat mendukung penelitian sekarang, dimana dengan semakin bertambahnya usia, risiko terjadinya penyakit kardiovaskular seperti diabetes melitus akan semakin tinggi. Hal ini dapat diperjelas lagi dengan kategori middle adulthood dimana saat seseorang sudah memasuki periode middle adulthood akan mengalami penurunan fungsi organ dan penurunan keterampilan fisik. Peningkatan risiko diabetes seiring dengan usia, khususnya pada usia >40 tahun, dapat disebabkan karena pada rentang usia tersebut mulai terjadi peningkatan intorelansi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin (Sujaya, 2009).

2. Body mass index (BMI)

Nilai BMI diperoleh dari perhitungan terhadap hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan responden. Pada pengukuran BMI menggunakan uji normalitas yaitu uji Shapiro-wilk dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil yang diperoleh pada uji normalitas BMI adalah 0,738 dan hasil ini menunjukkan nilai yang signifikan dan data terdistribusi normal. Ukuran pemusatan BMI dinyatakan dalam mean yaitu 25,20 kg/m2 (kategori overweight) serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam standar deviasi sebesar 3,76. Berikut merupakan diagram data distribusi dari nilai BMI responden pada Gambar 4.


(51)

Gambar 4. Grafik distribusi Body mass index (BMI)

Penelitian ini menggunakan 45 responden wanita dalam pengukuran BMI. Hasil pengukuran diperoleh 22 responden masuk dalam kategori normal, 16 responden masuk dalam kategori overweight, 5 responden masuk dalam kategori obesitas dan 2 responden masuk dalam kategori underweight. Nilai BMI responden pada penelitian ini berkisar antara 17,37-35,54 kg/m2. Nilai BMI berhubungan dengan lemak tubuh dan risiko beberapa penyakit di kemudian hari. Seseorang yang memiliki nilai BMI yang tinggi (≥25 kg/m2

) lebih berisiko mengalami obesitas, dimana berhubungan dengan beberapa masalah kesehatan daripada seseorang dengan nilai BMI normal. Kelebihan lemak tubuh diketahui dapat menjadi salah satu faktor risiko penyakit diabetes melitus tipe 2 (Centers

For Disease Control and Prevention, 2012). BMI tetap memiliki kekurangan

karena BMI hanya digunakan sebagai indikator perkiraan overweight dan obesitas; beberapa faktor seperti massa otot, asal etnis atau ras, serta faktor


(52)

BMI tidak dapat memberikan distribusi lemak tubuh dan tidak sepenuhnya menyesuaikan efek tinggi badan dan bentuk tubuh untuk mengelompokkan tiap individu dari berbagai etnis (National Obesity Observatory, 2009).

Berdasarkan penelitian Al-Sharafi and Gunaid (2014) yang melibatkan 1.640 responden pria dan wanita dengan diabetes melitus tipe 2 pada rentang usia 25-65 tahun, menunjukkan hasil bahwa kondisi overweight terjadi pada 58,5% responden wanita dan 28,5% pada responden pria, sedangkan kondisi obesitas terjadi pada 38% responden wanita dan 11% pada responden pria. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya nilai BMI dapat mempengaruhi prevalensi diabetes melitus tipe 2 (p=0,01). Penelitan lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al (2008) yang melibatkan responden berusia 20-60 tahun menunjukkan prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar 11,5% di Kolkata, presentase tersebut dipengaruhi oleh riwayat penyakit, usia, serta obesitas sentral tetapi tidak memiliki pengaruh yang cukup besar dari BMI. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik pada BMI saat dibandingkan dengan kelompok normoglycaemic dan diabetes melitus tipe 2. 3. Hemoglobin (Hb)

Uji normalitas nilai Hb menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan taraf kepercayaan adalah 95%. Hasil yang diperoleh adalah nilai p=0,010 yang menunjukkan data tidak terdistribusi normal. Ukuran pemusatan data Hb dinyatakan dalam median Hb responden yaitu 13,70 g/dL serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam minimum-maksimum 9,50-15,70 g/dL. Distribusi data Hb dapat dilihat pada gambar 4.


(53)

Gambar 5. Grafik Distribusi Hemoglobin (Hb) responden

Menurut penelitian Adeoye et al (2014), menunjukkan ada pengaruh yang signifikan pada tes HbA1c ketika nilai hemoglobin <6g/dL atau >16g/dL. Hasil pemeriksaan Hb responden pada penelitian sekarang tidak ditemukan pasien yang memiliki nilai hemoglobin lebih kecil atau lebih besar dari rentang kategori yang ditunjukkan dalam penelitian tersebut, hal ini dapat dilihat dari nilai minimum-maksimum pada uji normalitas terhadap hemoglobin responden yaitu 9,50-15,70 g/dL, sehingga dikatakan tidak terdapat pengaruh dari kadar hemoglobin pasien terhadap kadar HbA1c. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Sinha, Mishra, Singh, and Gupta (2012) pada 50 responden anemia dengan rentang usia 30-50 tahun menunjukkan hasil yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara anemia terhadap peningkatan kadar HbA1c pada responden (r=0,593; p<0,01). Penelitian yang dilakukan oleh Koga and Kasayama (2010) juga mendukung penelitian sekarang, yang


(54)

menyatakan bahwa nilai HbA1c tidak akurat digunakan untuk mendeteksi kontrol glikemik seseorang saat pasien tersebut memiliki penyakit tertentu seperti anemia. 4. HbA1c

Uji normalitas nilai HbA1c menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan taraf kepercayaan adalah 95% menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,263 yang menunjukkan data terdistribusi normal. Ukuran pemusatan data HbA1c dinyatakan dalam mean yaitu 5,39% (termasuk dalam kategori normal) serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam standar deviasi yaitu 0,23. Distribusi nilai HbA1c dari responden dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 6. Grafik Distribusi HbA1c Responden

Hasil pengukuran kadar HbA1c diperoleh 39 responden dengan kadar HbA1c 5,39% dan masuk dalam kategori normal HbA1c, sedangkan terdapat 6 responden dengan kadar HbA1c 5,7-6,4% (kategori pre-diabetes).


(55)

HbA1c telah direkomendasikan sebagai salah satu tes untuk mendiagnosa diabetes melitus tipe 2 dan pre-diabetes. Hasil tes dari HbA1c dapat dilaporkan dalam bentuk persen. HbA1c dengan mudah dapat digunakan oleh banyak orang yang melakukan tes HbA1c, sehingga diharapkan dapat terjadi penurunan jumlah pasien dengan penyakit diabetes melitus tipe 2 yang tidak bisa terdiagnosa dengan benar (National Institute of Diabetes and Digestive and

Kidney Diseases, 2014; The Internasional Expert Committee, 2009). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Bancks, Odegaard, Koh, Yuan, Gross, and Pereira (2015) juga mendukung rekomendasi untuk penggunaan tes HbA1c yang dapat digunakan untuk mendiagnosa terjadinya diabetes melitus. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan 5.770 responden dewasa Singapura-China dengan rentang usia 45-74 tahun. Hasil penelitian menunjukkan responden dengan nilai HbA1c ≥6,5% signifikan untuk mendiagnosa diabetes melitus (p=0,001), sedangkan pada responden dengan nilai HbA1c <5,7% tidak terkait secara signifikan untuk mendiagnosa insiden diabetes melitus (p=0,10).

Penelitian lain yang berhubungan dengan HbA1c juga dilakukan oleh Pradhan, Rifai, Buring, and Ridker (2007) yang melibatkan responden wanita dengan rentang usia >45 tahun dan tidak menderita diabetes melitus serta penyakit kardiovaskular menyatakan bahwa kadar HbA1c yang terukur berkorelasi secara signifikan dengan kejadian penyakit diabetes melitus serta berkorelasi positif lemah dengan kejadian penyakit kardiovaskular. Pada penelitian yang dilakukan oleh Bao et al (2010), yang melibatkan responden 4.886 dengan jumlah responden laki-laki 1.828 dan jumlah responden wanita 3.058 pada rentang usia >20 tahun


(56)

menunjukkan penggunaan nilai cut-off untuk mendiagnosa diabetes melitus 5,9% pada HbA1c, memiliki nilai sensitifitas sebesar 77,7% dan nilai spesifisitas sebesar 78,2%. Pada penelitian ini juga menggunakan kadar glukosa yang berkorelasi dengan HbA1c masing-masing dengan nilai r=0,619 dan nilai p=0,001 dan r=0,622 dan nilai p=0,001.

B. Perbandingan Rerata HbA1c pada Kelompok Body Mass Index ≥25 kg/m2 dan Body Mass Index <25 kg/m2

Analisis komparatif bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak perbedaan yang bermakna antara variabel bebas (BMI) dengan HbA1c. Responden dibedakan menjadi dua kelompok menurut BMI yaitu HbA1c dengan kelompok BMI ≥25 kg/m2

(kelompok tidak normal) dan HbA1c dengan kelompok BMI <25 kg/m2 (kelompok normal). Penelitian ini membandingkan kadar HbA1c pada kelompok BMI ≥25 kg/m2

dan HbA1c pada kelompok BMI <25 kg/m2. Penelitian ini mengklasifikasikan nilai BMI berdasarkan Central For Disease

Control And Prevention (2012). Jumlah responden yang memiliki nilai BMI ≥25

kg/m2 sebanyak 21 responden, dan jumlah responden yang memiliki nilai BMI <25 kg/m2 adalah sebanyak 24 responden.

Pada kedua kelompok ini dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-wilk karena jumlah kedua kelompok ≤50 responden. Hasil dari uji normalitas dari masing-masing kelompok BMI ≥25 kg/m2 (n=21) terdistribusi normal dengan nilai signifikansi p=0,136 sedangkan hasil uji normalitas pada kelompok BMI <25 kg/m2 (n=24) terdistribusi normal dengan nilai p=0,416.


(57)

Berdasarkan hasil uji normalitas dari kedua kelompok, maka untuk uji komparatif dianalisis dengan menggunakan uji t tidak berpasangan karena kedua data kelompok BMI terdistribusi normal (Dahlan, 2014).

Tabel VII. Hasil Perbandingan rerata HbA1c pada kelompok BMI

≥25 kg/m2

dan kelompok BMI <25 kg/m2

BMI ≥25 kg/m2

(n=21)

BMI <25 kg/m2 (n=24)

p

HbA1c 5,45±0,22 5,34± 0,23 0,116

Hasil uji komparatif pada penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara dua kelompok yaitu HbA1c dengan kelompok BMI ≥25 kg/m2 dan HbA1c dengan kelompok BMI <25 kg/m2 (p=0,116). Kedua rata-rata kadar HbA1c termasuk dalam kategori normal menurut American Diabetes

Association (2014) sehingga hasil uji statistik menyatakan rata-rata kadar HbA1c

pada kedua kelompok sama atau berbeda tidak bermakna.

Penelitian yang dilakukan oleh Bhale (2013) menyerupai dengan penelitian sekarang. Hasil menunjukkan bahwa pada uji perbandingan antara kadar HbA1c pada kelompok responden obesitas dengan diabetes melitus tipe 2 (9,93±2,02%) dengan kelompok non-obesitas dengan diabetes melitus tipe 2 (8,9±1,53%) terdapat perbedaan yang tidak bermakna (p=2,15). Penelitian lain yang menyerupai dengan penelitian sekarang adalah penelitian yang dilakukan oleh Martins et al (2012). Hasil menunjukkan uji perbandingan antara kadar HbA1c pada kelompok responden tidak obesitas dengan BMI <30 kg/m2 (5,4±0,5) dan pada kelompok responden yang obesitas dengan nilai BMI ≥30 kg/m2 (5,8±1,0) adalah terdapat perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai p=0,14.


(58)

Hasil penelitian sekarang tidak menyerupai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lukich, Gavish, and Shargorodsky (2014), yang menunjukkan uji perbandingan kadar HbA1c pada responden obesitas dengan diabetes melitus tipe 2 (8,1±1,7%) terhadap kadar HbA1c pada responden non-obesitas dengan diabetes melitus tipe 2 (7,4±1,4%) terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,008. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya adalah pada kelompok responden yang digunakan, penelitian sebelumnya menggunakan kelompok responden dengan diabetes melitus tipe 2, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan responden dewasa sehat tanpa penyakit degeneratif seperti diabetes melitus tipe 2. Penelitian sekarang menunjukkan bahwa tinggi rendahnya nilai BMI pada kondisi responden yang sehat tidak menimbulkan perbedaan rerata kadar HbA1c yang bermakna antara kedua kelompok responden sedangkan pada penelitian Lukich et al (2014) yang menggunakan responden dengan diabetes melitus tipe 2 menunjukkan bahwa tinggi rendahnya nilai BMI dapat menimbulkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok responden.

C. Korelasi Body Mass Index (BMI) terhadap HbA1c

Uji korelasi pada penelitian ini dilakukan antara BMI terhadap HbA1c. Uji korelasi ini menggunakan uji Pearson, hal ini dikarenakan data BMI dan HbA1c terdistribusi normal. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan korelasi positif lemah dengan nilai koefisien korelasi adalah 0,281 antara BMI dengan kadar HbA1c pada responden. Hasil korelasi positif lemah ini dapat disebabkan karena ada beberapa responden yang memiliki nilai BMI yang tinggi sehingga


(59)

menyebabkan nilai kadar HbA1c pada responden juga terjadi peningkatan. Terdapat pula responden yang memiliki nilai BMI yang tinggi namun memiliki kadar HbA1c yang kecil. Kedua kondisi ini dapat mempengaruhi korelasi yang dihasilkan. Nilai p=0,061 pada hasil penelitian ini menunjukkan hasil korelasi yang tidak bermakna antara nilai BMI dengan kadar HbA1c. Nilai signifikansi yang tidak bermakna tersebut dapat disebabkan karena data yang tidak tersebar secara merata, ada sebagian besar data yang tersebar ke atas dan ada sebagian data yang tersebar ke bawah, sementara yang diharapkan adalah arah korelasinya naik secara keseluruhan. Diagram sebaran korelasi antara BMI dengan kadar HbA1c pada Gambar 6.

Gambar 7. Diagram sebaran korelasi BMI dengan HbA1c

Pada diagram sebaran korelasi, ada sebagian besar data yang tersebar ke atas, hal ini menunjukkan semakin tinggi nilai BMI maka cenderung semakin tinggi kadar HbA1c responden, tetapi tidak signifikan. Terdapat pula beberapa


(60)

data yang tersebar turun artinya semakin tinggi nilai BMI maka cenderung semakin rendah kadar HbA1c responden, dan tidak signifikan. BMI merupakan salah satu prediksi jumlah lemak dalam tubuh. BMI berkorelasi kuat dengan jumlah lemak dalam tubuh, semakin tinggi nilai BMI maka semakin tinggi jumlah lemak dalam tubuh. Kelebihan lemak tubuh (overweight dan obesitas) dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin yang terjadi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak dapat merespon insulin secara normal. Resistensi insulin dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemi karena reseptor insulin tidak sensitif sehingga glukosa dalam darah meningkat. Hiperglikemia pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Ranasinghe, Gamage, Katulanda, Andraweera, and Tharanga et al 2013; McGarty, 2010).

Koefisien determinasi (R2) dalam penelitian ini adalah 0,079. Nilai R2 menunjukkan bahwa sebesar 7,9% variasi dari HbA1c (variabel tergantung) dapat dijelaskan oleh BMI (variabel bebas), sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh BMI terhadap HbA1c adalah 7,9%.

Tabel VIII. Korelasi Body Mass Index (BMI) terhadap HbA1c

Variabel Korelasi (r) Signifikansi (p) R2

BMI 0,281 0,061 0,079

Hasil penelitian sekarang serupa dengan penelitian oleh Zoghlami and Reguig (2015), pada hasil uji korelasi menggunakan uji korelasi Pearson menunjukkan adanya korelasi yang tidak bermakna dengan kekuatan lemah antara BMI dengan HbA1c, dengan nilai r=0,351; p=0,457. Penelitian yang menyerupai dengan penelitian sekarang adalah penelitian yang dilakukan oleh Lipoeta dkk


(61)

(2007), hasil penelitian pada uji korelasi menunjukkan adanya korelasi sangat lemah dan tidak bermakna antara BMI terhadap kadar glukosa darah (HbA1c) (r=0,101; p>0,05). Hasil penelitian lain yang serupa dengan penelitian sekarang adalah penelitian oleh Bonaventura (2014), hasil menunjukkan terdapat korelasi tidak bermakna antara nilai BMI dan kadar HbA1c pada responden wanita (r=-0,039; p=0,781). Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang adalah pada penelitian sebelumnya dilakukan penelitian didaerah Perkotaan dengan responden staf wanita sehat Universitas Sanata Dharma dengan rentang usia 40-50 tahun, sedangkan pada penelitian sekarang dilakukan di daerah Pedesaan yang melibatkan responden wanita sehat dengan rentang usia 40-60 tahun.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Innocent et al (2013), tidak menyerupai dengan penelitian sekarang, hasil menunjukkan terdapat korelasi yang bermakna dengan korelasi positif dan kuat antara BMI dengan kadar glukosa dalam darah pada wanita dengan nilai r=0,54; p≤0,05. Perbedaan hasil penelitian tersebut dengan penelitian sekarang adalah pada usia responden. Penelitian sebelumnya menggunakan usia responden 20-30 tahun, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan usia responden 40-60 tahun. Perbedaan pada usia tersebut dapat mempengaruhi kadar glukosa darah atau HbA1c karena pada usia 20-30 pada wanita cenderung mengalami peningkatan deposisi lemak dalam tubuh.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Farasat et al (2009) tidak menyerupai dengan penelitian sekarang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi yang bermakna dengan kekuatan korelasi sedang antara BMI dan HbA1c


(62)

dengan nilai r=0,460; p<0,005. Perbedaan hasil penelitian Farasat et al (2009) dengan penelitian sekarang adalah penelitian sebelumnya menggunakan responden yang menderita diabetes melitus tipe 2, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan responden dewasa sehat tanpa riwayat penyakit kardiometabolik seperti diabetes melitus tipe 2. Responden dengan diabetes melitus tipe 2 dapat mempengaruhi kadar HbA1c.

Hasil penelitian sekarang menunjukkan bahwa ada korelasi yang tidak bermakna antara body mass index sebagai variabel bebas terhadap HbA1c sebagai variabel tergantung korelasi. Hal ini menunjukkan bahwa nilai body mass index belum bisa dijadikan sebagai skrining untuk memprediksi apakah responden mengalami resistensi insulin atau tidak yang dapat berkembang menjadi penyakit diabetes melitus tipe 2. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan penyakit diabetes melitus tipe 2 menggunakan nilai body mass index pada orang dewasa sehat.


(63)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Kesimpulan pada penelitian ini adalah terdapat korelasi yang tidak bermakna berkekuatan lemah dengan arah korelasi positif antara Body Mass Index terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.

B. Saran

1. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan peneliti dapat meningkatkan jumlah responden untuk diikutsertakan dalam penelitian.

2. Pada penelitian selanjutkan, diharapkan kriteria sehat pada responden tidak hanya dilakukan dengan wawancara, tetapi dapat didukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium.

3. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan peneliti dapat memberikan edukasi lebih lanjut mengenai cara menjaga pola hidup sehat sehingga masyarakat terhindar dari penyakit degeneratif yang disebabkan oleh obesitas seperti diabetes melitus tipe 2.


(64)

47

DAFTAR PUSTAKA

Adeoye, S., Abraham, S., Erlikh, I., Sarfraz, S., Borda, T., and Yeung, 2014, Anemia and Hemoglobin A1c level: Is there a case for redefining reference ranges and therapeutic goals?, British Journal of Medical

Practitioner, 2014;7(1):a706.

Aguilar, D., Bozkurt, B., Ramasubbu, K., Deswal, A., 2009, Relationship of Hemoglobin A1C and Mortality in Heart Failure Patients with Diabetes, NIH Public Access, Am Journal Hypertens, 54(5), 422-428.

Akinola, O., Omotoso, G., Akinlolu, A., and Ayangbemi, D., 2014, Identification of the Anthropometric Index That Best Correlates with Fasting Blood Glucose and BMI in Post-Pubescent Female Nigerians, Department of Anatomy, Faculty of Medical Sciences, College of Health Sciences, University of Ilorin, PMP 1515, Ilorin, Nigeria, Anatomy Journal of

Africa, 3(2), 324-328.

Al-Sharafi, B., and Gunaid, A., 2014, Prevalence of Obesity in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus in Yemen, Internasional Journal Endocrinol Metabolism, Department of Medicine, Sana’a University Medical School,

Sana’a Yemen, 12(2):e13633.

Arif, Ernalia, dan Rosdiana, 2014, Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Glukosa Darah Puasa pada Pegawai Sekretariat Daerah provinsi Riau, 1(2).

American Diabetes Association, 2010, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, Diabetes Care Journal, 33(1), 562-569.

American Diabetes Association, 2013, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, Diabetes Care Journal,36 (1), 67-74.

American Diabetes Association, 2014, Diagnosing Diabetes and Learning About

Prediabetes, http://www.diabetes.org/diabetes-basics/diagnosis/, diakses

pada tanggal 25 Maret 2015.

American Diabetes Association, 2013, Genetics diabetes,

http://www.diabetes.org/diabetes-basics/genetics-of-diabetes.html, diakses tanggal 22 Maret 2015.

American Diabetes Association, 2014, A1C and eAG,

http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/treatment-and-care/blood-glucose-control/a1c/, diakses tanggal 11 Januari 2016.


(1)

Lampiran 20. Uji Korelasi Pearson antara Body Mass Index dengan HbA1c

Correlations

BMI HbA1c

BMI Pearson Correlation 1 .281

Sig. (2-tailed) .061

N 45 45

HbA1c Pearson Correlation .281 1

Sig. (2-tailed) .061


(2)

Lampiran 21. Data HbA1c dan hemoglobin (Hb) responden wanita

NO HbA1c (%) Hb

1 5.20 15.1

2 5.40 14.6

3 5.90 9.5

4 5.40 15.1

5 5.40 13.3

6 5.30 14.4

7 5.10 13.1

8 5.10 13.8

9 4.90 15.5

10 5.10 12.8

11 5.70 14.2

12 5.40 13.6

13 5.40 14.4

14 5.20 13.6

15 5.10 13.4

16 5.50 13

17 5.60 13.6

18 5.30 13.7

19 5.70 12.7

20 5.60 13

21 5.80 13.3

22 5.50 13.5

23 5.50 13.1

24 5.40 13.8

25 5.30 14.9

26 5.40 15

27 5.40 15

28 5.60 15.2

29 5.60 11.3

30 5.50 10.8

31 5.30 14.6

32 5.50 12.2

33 5.00 13.8

34 5.40 13.3


(3)

36 5.70 11.9

37 5.10 14.1

38 5.50 14.4

39 4.90 13.9

40 5.40 13.9

41 5.10 14.9

42 5.30 15.7

43 5.40 13

44 5.40 14.4


(4)

Lampiran 22. Standard Operating Procedure Pengukuran Tinggi Badan


(5)

Lampiran 23. Standard Operating Procedure Pengukuran Berat Badan


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Firmina Maria Septima Elisa Un (Lisa), lahir di Atambua, Nusa Tenggara Timur 25 September 1994. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Daniel Un dan Maria Un Meak. Pendidikan awal penulis dimulai di TKK Kuntum Bahagia Atambua (1999-2000), SDI Tenubot Atambua (2000-2003), kemudian SDN Wirasakti Atambua (2004-2005), SMP Katolik St. Don Bosco Atambua (2006-2008), kemudian melanjutkan di SMA Katolik St. Fransiskus Asisi Suria Atambua (2009-2011). Pada tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Farmasi. Selama kuliah penulis aktif sebagai Pengurus Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) Universitas Sanata Dharma sebagai Anggota Divisi Pengabdian Masyarakat periode Januari-Desember 2013. Pada Januari-Desember 2014, penulis aktif sebagai Ketua divisi Pengabdian Masyarakat di Organisasi Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) dan menjadi Ketua Panitia dalam acara JMKI “CBIA (Cara Belajar Ibu Aktif)” di Desa Sorogedug Lor, Bantul. Penulis juga meraih hibah DIKTI dalam kegiatan PKM-M (pengabdian Masyarakat) dengan judul “Menumbuhkan Pola hidup BEBEK (Bebas dari Bakteri, Sehat dan Ekonomis) di SMP-SMA Gotong Royong Yogyakarta periode tahun 2013-2014, penulis meraih Juara 2 dalam Business Plan Competition 2014, serta penulis meraih Hibah KOPERTIS V Wilayah Yogyakarta dalam Program MAUBISA (Mahasiswa Bina Desa) bidang Kewirausahaan dengan judul “Pembuatan Sabun Batang Transparan Minyak Kacang Tanah di Desa Sewon RT 3 Bantul, Yogyakarta.