PENDIDIKAN KRITIS AHISTORIS Respon guru sejarah Sekolah Menengah Atas Yogyakarta terhadap wacana alternatif tragedi kemanusiaan 1965.

berdasarkan rekomendasi penilaian kelayakan dari Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP tahun 2005. BSNP menetapkan empat kriteria utama yaitu materi, penyajian, bahasa, keterbacaan dan grafika. Ketentuan BNSP ini berlaku untuk teks semua mata pelajaran, dan khusus untuk buku teks sejarah BNSP tidak mampu mencermati isi di dalamnya. Model penulisan sejarah harusnya mencakup dua ideologis, yaitu pewarisan dan akademik. Buku teks di satu sisi harus mampu menjadi media pewaris, tetapi di sisi lain harus dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik. Penulisan sejarah nasional juga harus tidak lepas dari keseimbangan wacana, seperti yang dikatakan Sartono Kartodirdjo tentang penulisan sejarah nasional, yaitu sejarah harus mampu mengungkapkan “sejarah dari dalam” dimana bangsa Indonesia sendiri memegang peranan pokok. Kedua, menguraikan faktor atau kekuatan yang mempengaruhinya, baik ekonomi, sosial, maupun politik ataupun kultural. Ketiga, mengungkapkan aktivitas pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya bangsawan atau ksatria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongan-golongan lainnya. Keempat, sejarah harus disusun sebagai suatu sintese, dimana digambarkan proses yang menunjukkan perkembangan ke arah kesatuan geopolitik seperti yang kita hadapi saat ini. Menggarisbawahi poin ke tiga, artinya adalah wacana sejarah dalam pendidikan nasional harus memperhatikan keberimbangan yaitu, mewadahi fenomena historis dari berbagai golongan. Penelitian menempatkan data tekstual tentang Tragedi Kemanusiaan 1965 dari jaman Orde Baru sampai paska Orde Baru. Data tekstual yang digunakan adalah buku yang digunakan dalam pelajaran sejarah di tingkat Sekolah Menengah Atas SMA di kota Yogyakarta. Di SMA, materi Tragedi Kemanusiaan 1965 diajarkan pada kelas XI program IPA semester II dan kelas XII program IPS semester I. Penulis hanya mengambil data dari program IPS saja dengan alasan pembahasan di buku pelajaran lebih mendalam dan terperinci daripada program IPA. Selama Orde Baru telah terjadi tiga kali pergantian kurikulum, yaitu tahun 1975, tahun 1984 dan tahun 1994. Karena kesulitan data untuk mendapat sumber lebih dari buku teks, maka penulis hanya menggunakan satu buku yang diterbitkan sebelum tahun 1998, yang akan kemudian ditunjang oleh analisa dari data wawancara dengan guru yang bersangkutan. Bab ini akan menggunakan metode analisa isi untuk meneliti lebih dalam mengenai kajian buku teks sejarah di berbagai Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta. Buku yang digunakan berjudul Sejarah Nasional Indonesia Dunia Jilid III, penulisnya terdiri dari Dra. Siti Waridah Q dan Drs. J. Sukardi. Pada tahun 1996 buku ini digunakan untuk kelas tiga Sekolah Menengah Atas dan disusun oleh Tim Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP Sejarah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gambar 2. Sampul Luar buku Pelajaran Sejarah berjudul Sejarah Nasional Indonesia Dunia Jilid III, Disusun oleh Tim MGMP Sejarah SMU Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 1996. Tragedi Kemanusiaan 1965 diulas di catur wulan pertama atau terdiri dari dua puluh empat jam pelajaran. Pada pengantar disebutkan program pengajarannya antara lain menelaah terjadinya pengkhianatan Gerakan 30 SeptemberPKI dan penumpasannya. Indikator pada bahasan tentang kontroversi wacana ini adalah menganalisa proses peralihan kekuasaan politik setelah Gerakan 30 September 1965. Pada masa Orde Baru, indikator pencapaian pada materi Tragedi Kemanusiaan 1965 adalah: 49 1 Mengidentifikasi strategi politik PKI masa demokrasi liberal dan terpimpin, 2 Mengidentifikasi aksi-aksi sepihak PKI sebelum G30SPKI 1965, 3 Menunjukkan kaitan antara gerakan 30 September dengan dewan revolusi, 4 Menjelaskan bahwa Gerakan 30 September adalah aksi perebutan kekuasaan yang sah, 5 Mengidentifasi nama-nama dalang di balik G30SPKI, 6 Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen Gilchrist 50 , 7 Menerangkan prosesi pengangkutan jenazah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya, 8 Menyebutkan upaya-upaya penumpasan G30SPKI 1965, 9 Menjelaskan akibat sosial politik G30SPKI 1965, 10 Mengidentifikasi adanya bahaya laten komunis. 49 Indikator ini ditulis di blog www.sejarahkritis.wordpress.com yang berjudul Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial, oleh tsabitazinarahmad. Tanggal unggah 2 April 2012. Penulis blog melakukan penelitian mengenai kontrovesial wacana G30S dan Supersemar di sekolah. Sedangkan 10 indikator yang tertulis berdasar oleh penelitiannya di kota Semarang yang didapat dari Lembar Ujian Kompetensi Siswa, disusun oleh MGMP Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah. 50 Dokumen Gilchrist bahasa Inggris:Gilchrist Document adalah sebuah dokumen yang dahulu banyak dikutip surat khabar pada era tahun 1965 yang sering digunakan untuk mendukung argumen untuk keterlibatan blok Barat dalam penggulingan Soekarno di Indonesia. Namun dokumen tersebut kemungkinan besar palsu atau sebenarnya tidak ada. Dokumen ini konon sebenarnya berasal dari sebuah telegram dari Duta Besar Inggris di Jakarta yang bernama Andrew Gilchrist yang ditujukan kepada Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris. Pada Mei 1965 sejumlah anggota Pemuda Rakyat yang menyerbu vila milik Bill Palmer, distributor film Amerika di Puncak, Bogor, Jawa Barat yang diduga jadi mata-mata CIA. Saat itu para pemuda juga menemukan dokumen yang memuat telegram rahasia Sir Andrew Gilchrist kepada atasannya di Kementerian Luar Negeri Inggris tentang kemungkinan kerjasama antara Inggris dengan Angkatan Darat Indonesia Our local Army friends serta rencana gabungan Inggris-AS untuk mengintervensi Indonesia. Sumber: http:historia.co.id?d=703 . 17 Maret 2011. Di dalam buku sejarah terbitan Orde Baru ini sangat bernuansa sistem politik. Pengaruh tersebut terlihat jelas dalam isi dan materi yang mengagung- agungkan rejim tersebut sebagai pengamal ideologi Pancasila. Namun terlihat jelas bahwa cara Orde Baru kental dengan sikap diskriminatif terhadap rejim sebelumnya yang dianggap banyak melakukan penyimpangan dan historiografi resmi sejarah nasional harus seijin dari militer, apabila tidak ada seijin dari yang bersangkutan maka akan dianggap sebagai historiografi yang tidak resmi. Seperti yang tercantum dalam buku pelajaran sejarah terbitan 1996 ini dari judul sub-bab untuk topik Tragedi Kemanusiaan 1965 diberi judul Pengkhianatan G30SPKI, masuk dalam bab pertama untuk pembahasan. Sub bab ini terdiri dari tiga bagian. Pertama, pengkhianatan G30SPKI yang membahas kronologi antara lain kronologis peristiwa tanggal 1 Oktober 1965 yaitu dari awal RRI mengenai gerakan militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo yang ditujukan kepada para Jenderal. Kedua, pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Ketiga, menyiarkan pidato Mayor Jendral Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat, berisi tentang pemberitahuan bahwa Gerakan 30 September adalah Gerakan Kontra Revolusioner yang telah menculik perwira tinggi Angkatan Darat dan telah mengambil alih kekuasaan negara coup, seperti yang tertulis di bawah ini: “G. Pengkhianatan G 30 S PKI dan Penumpasannya …Kesatuan-katuan Aksi, ABRI, semua organisasi politik dan organisasi masa yang setia pada Pancasila dan UUD 1945 berjuang membela kepentingan rakyat. Mereka berusaha menyampaikan Tiga Tuntutan Rakyat Tri Tura yaitu: a. Bubarkan PKI b. Bersihkan Kabinet dari unsur PKI c. Turunkan harga Perjuangan mereka lewat konstitusi gagal sehingga mereka menempuh cara lain, yaitu ke jalan. Tindakan ini beberapa kali dilakukan sehingga mengganggu ketertiban umum. Namun akhirnya yang salah tetap salah, dan yang benar akan tampak benar. Pada tanggal 12 Maret 1966 PKI sebagai dalang pemberontakan G 30 S PKI berhasil dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia. Pembubaran PKI tersebut dilakukan oleh Jendral Suharto Selaku pemegang Supersemar 1966. Untuk memperkuat tindakan pengemban Supersemar maka MPRS dalam Sidang Umum IV 1966 menetapkan pembubaran PKI dengan Tap MPRS Nomor XXVMPRS1966. PKI telah bubar namun idiologi Komunis masih ada. Oleh sebab itu kita harus waspada terhadap bahaya laten Komunis. Satu-satunua penangkal idiologi komunis adalah Pancasila. Karena itu setiap warga negara Indonesia harus mau dan mampu menghayati dan memengamalkan Pancasila sampai titik darah penghabisan” 51 Kronologis peristiwa diatas adalah satu-satunya wacana yang berlaku pada saat itu. Kurang lebih semua buku pelajaran sejarah di sekolah Yogyakarta menggunakan versi yang sama dan telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dengan mengikuti kurikulum 1994, bukan berarti permasalahan politisasi kurikulum selesai, melainkan justru permasalahan menjadi semakin kompleks. 52 Dari buku sejarah terbitan tahun 1996 diatas, mengacu pada kurikulum yang sarat dengan berbagai pengetahuan yang makro dan sepihak, sehingga untuk situasi mikro bagi Indonesia dianggap kurang relevan. Menurut 51 Siti Waridah Q dan J. Sukardi. 1996. Penunjang: Sejarah Nasional Indonesia Dunia. Yogyakarta, hal. 58. 52 Aman. 2012. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hal. 49. Katherine McGregor, rejim Orde Baru juga digambarkan sebagai rejim yang otoriter karena pengendaliannya yang ketat terhadap pendidikan dan media. 53 Kekuasaan dalam pendidikan sejarah yang diimplementasikan dalam buku mata pelajaran sejarah terbitan 1994, berorientasi pada legitimatif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Apple dalam bukunya IdeologyandCurriculum maka kurikulum yang berlaku sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. 54 “Namun akhirnya yang salah tetap salah, dan yang benar akan tampak benar. Pada tanggal 12 Maret 1966 PKI sebagai dalang pemberontakan G 30 S PKI berhasil dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia. Pembubaran PKI tersebut dilakukan oleh Jendral Suharto selaku pemegang Supersemar 1966. Menurut Apple, pengetahuan adalah suatu kapital dan kapital merupakan sumber dari suatu kekuasaan. Tidak mengherankan bila pemerintah mempunyai kepentingan untuk menguasai pendidikan dan khususnya kurikulum pada jaman Orde Baru. Melalui kurikulum inilah terjadi proses indoktrinasi, yaitu proses untuk melanggengkan struktur kekuasaan Orde Baru melalui pendidikan. Seperti 53 Katherine McGregor. 2008. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Syarikat. Yogyakarta, hal. 66. 54 Michel W. Apple. 1979. Ideology and Curriculum, Chapter 2: Ideology and Cultural and Economic Reproduction. New York: Routledge, hal. 148. dijelaskan pada bab 1, kurikulum berfungsi sebagai doxa 55 yang mengatur dan mengarahkan tingkah laku para murid dan bahkan gurunya. Apabila kurikulum berisi indoktrinasi maka cara mengajar juga akan mengikuti pola indoktrinasi. Apa yang dalam buku sejarah adalah mutlak pada saat itu dan harus dipercaya kebenarannya, dan pada saat itu yang tertulis dalam buku sejarah adalah pendiskreditan satu pihak tertentu. Manajemen pendidikan yang cocok dengan proses indoktrinasi tentunya haruslah terpusat dan terkontrol. Yang diterapkan dalam sistem yang demikian adalah manajemen berdasarkan kontrol Management by Control dan bukan manajemen yang berdasarkan tujuan Management by Objective. Buku pelajaran yang digunakan pada tahun 1994 sangat kental dengan faktor subjektifitas. Hasil interpretasi yang sangat subjektif ini timbul karena adanya permintaan dari penguasa Orde Baru, sebaliknya menurut Haryono dalam bukunya yang berjudul Mempelajari Sejarah Secara Objektif, penulisan sejarah haruslah se-objektif mungkin yaitu memaparkan berbagai fakta, terlepas dari apa yang penulis sukai atau tidak. 56 Peranan ABRI dan militer juga sangat besar 55 Pierre Bourdieu. 1977. Outline Theory of Practice. London: Cambridge University Press. 56 Haryono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Andre Bagus Irshanto, di paper kontroversi sejarah dalam buku pelajaran ini, karena banyak insan militer memegang jabatan kunci dalam birokrasi dan seolah-olah ABRI dan militer adalah penyelamat bangsa karena telah berhasil membantu menumpas komunis pada saat itu. “Akhirnya rakyat dan ABRI yang setia pada Pancasila mengadakan rapat raksasa dan mengutuk G 30 S PKI serta mengumandangkan slogan bubarkan PKI, gantung Aidit, dan lain-lain.” Sepanjang pemerintahan Orde Baru, militer memang memegang peranan penting dalam birokrasi dan alat politik pemerintahan karena menjadi semacam pemerintah bayangan dalam setiap regional. Seperti yang diungkapkan Drs. Ponirin di Jurnal Jasmerah 57 : “Dari buku-buku sejarah Orde Baru tampak jelas bagaimana narasi sejarah tunggal atau seragam telah dibangun canon yang berguna untuk kepentingan Orde Baru dan militer, yakni 1 Sebagai legitimasi naiknya Orde Baru ke panggung politik guna memimpin Indonesia dengan cara memproduksi versi peristiwa Gerakan 30 September yang tabu untuk diperdebatkan selama Suharto memimpin. 2 Sebagai pengokohan kekuatan militer di Indonesia dengan menempatkan militer sebagai penyelamat bangsa dan penjaga stabilitas politik dan ekonomi republik ini. Orde Baru dan militer dalam narasi sejarah Indonesia versi Orde Baru diinterpretasikan dalam seragam yang sama. Dengan kata lain, sejarah yang dibangun adalah untuk melegitimasi rezim, baik itu Orde Baru maupun kolektivitas militer. Keduanya dapat diberi garis pembeda, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bilamana berbicara tentang Orde Baru, maka ada militer di dalamnya, dan militer merupakan bagian dari kekuatan Orde Baru.” 57 Ponirin. 2012. Nasionalisme dan Patriotisme. Medan: Jurnal Jasmerah UNIMED, yang dikutip oleh Andre Bagus Irshanto, untuk tugas mata kuliah Kajian Buku Teks berjudul Mendekonstruksi Historiografi Buku Teks SMP dan SMA Pada Masa Orde Baru. Pelajaran ini juga berusaha mengkaitkan. Pancasila dengan Orde Baru, indoktrinasi yang digunakan adalah menciptakan ikatan antara rezim dengan Pancasila dan selanjutnya ikatan rakyat dengan rezim. 58 Rezim Orde Baru sangat kental dengan nilai-nilai patriotik bahwa militer adalah pembela negara terhadap ancaman-ancaman internal dan ideologis dalam negeri. Di dalam buku ini juga terdapat banyak sekali unsur-unsur ideologisme kepentingan Orde Baru yang tujuannya menerapkan Pancasila dan UUD 1945 secara utuh dalam segala aspek dan menilai bahwa Orde sebelumnya cenderung tidak mensejaterahkan masyarakat Indonesia. Gaya penulisan buku teks sejarah pada masa Orde Baru juga terlihat sangat subjektif, karena pada masa itu yang dianggap sejarah resmi nasional adalah wacana sejarah yang disetujui oleh pemerintah dan anggota militer.

3.2. Perubahan Teks Tragedi Kemanusiaan 1965 setelah Orde Baru

Seperti diutarakan pada bab-bab sebelumnya, bahwa peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965 masih menjadi kontroversi di dunia pendidikan, terutama tentang historiografi penulisan yang sangat subjektif sifatnya. Menjadi pertanyaan 58 Katherine McGregor. 2008. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat, hal. 70. penting apakah Indonesia di masa setelah Suharto akan menghasilkan kurikulum sejarah yang lebih objektif sifatnya ataukah masih ada sisa-sisa dominasi Orde Baru dalam pelajaran sejarah di sekolah. Penulis berhasil mendapatkan tiga buku pelajaran yang resmi digunakan beberapa sekolah di Yogyakarta untuk mengajar sejarah dengan topik Tragedi Kemanusiaan 1965. Ketiga buku ini diterbitkan paska Reformasi 98, dua diantaranya dicetak oleh penerbit resmi negara disertai dengan hak cipta, sedangkan satu buku yang berbentuk jurnal digunakan untuk mengajar pelajaran sejarah di sekolah menengah atas Katolik disusun sendiri oleh guru sejarahnya sendiri. Dari dua buku terbitan resmi Erlangga dan Yudhistira, terbitan tahun 2006 dan 2002. Agak berbeda dari buku pelajaran terbitan Orde Baru, kedua buku ini mempunyai keterangan standar isi yang dalam bahasa pendidikan disebut Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Sejarah SMA Kelas XII. Isinya adalah: Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 1. Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya Orde Baru 1.1. Menganalisis peristiwa sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pembentukan pemerintahan Indonesia 1.2. Menganalisis perkembangan ekonomi-keuangan dan politik pada masa awal kemerdekaan sampai tahun 1950 1.3. Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia daam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan antara lain: PKI Madiun 1948, DITII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-SPKI 1.4. Menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi kemerdekaan 2. Menganalisis proses berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya Reformasi 2.1. Menganalisis perkembangan pemerintahan Orde Baru 2.2. Menganalisis proses berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya Reformasi 2.3. Menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia pada masa Reformasi Standar kompetensi diatas sebagai pemenuhan fungsi pengajaran sejarah yang menurut Prof. Sartono Kartodirdjo ada tiga fungsi utama pembelajaran sejarah, yaitu fungsi pragmatis, genetis dan didaktis. Fungsi sejarah yang pragmatis amat nampak bila sejarah sebagai legitimasi serta yustifikasi eksistensi suatu bangsa dan negara. Fungsi genetis adalah sejarah sebagai sarana pengungkapan tentang bagaimana peristiwa itu terjadi, asal mula peristiwa itulah yang ditekankan. Fungsi didaktis adalah peristiwa masa lalu harus diambil hikmah dan pelajaran sehingga menjadi nilai-nilai bagi generasi setelahnya. 59 Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Sehingga dalam setiap kegiatan belajar- mengajar diperlukan evaluasi bertahap untuk mengukur hasil pembelajaran secara komprehensif apakah sudah mencukupi untuk pemenuhan fungsi-fungsi pengajaran sejarah tersebut. Di dalam tabel kompetensi dasar di atas, Tragedi Kemanusiaan 1965 masuk dalam pembelajaran sejarah semester satu dan masuk dalam sub-bab topik pergolakan dan pemerintahan. Di sini bisa terlihat bahwa peristiwa tersebut diasosiasikan dalam gerakan yang merupakan ancaman bagi stabilitas nasional. Hal tersebut diperkuat peta konsep pada bab tiga di buku 59 Sartono Kartodirjo. Kompas, 26 September 1998 yang dikutip di buku Strategi Pembelajaran Sejarah. 2001. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, hal. 83. pembelajaran topik tersebut, di buku terbitan Yudhistira 60 , karangan Prof. Dr. M. Habib Mustopo dkk, berjudul Pemberontakan G-30-SPKI, isinya: Gambar 3. Peta Konsep untuk pembelajaran Bab 3, Perjuangan Terhadap Ancaman Disintegrasi Bangsa di buku teks sejarah dari Penerbit Yudhistira. 2010. Halaman 78. Peta konsep diatas memadukan ilmu sejarah yang diakronis, yaitu mengkaji secara vertikal suatu peristiwa atau fenomena yang sama dengan memperhatikan kronologis dan bersifat sinkronis yaitu mengkaji suatu peristiwa atau fenomena secara horisontal pada waktu dan tempat yang berbeda dalam setiap penjelasan periodenya. Namun jika melihat dari bagan sebab akibat dan 60 M. Habib Mustopo dkk. 2002. Sejarah SMA Kelas XII Program IPS Kelas 3. Yudhistira, hal. 100. peristiwanya, peta konsep diatas tidak mengikutsertakan akibat dan dampak lahirnya Orde Baru dan pelarangan terhadap Partai Komunis Indonesia. Masuk di bagian pembahasan tentang PKI, buku terbitan Yudhistira ini mengawali dengan Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan dijabarkan betapa dekat hubungan PKI dengan Sukarno pada saat itu. Cara penyampaian buku ini ternyata juga masih dipenuhi dengan sikap subjektif dengan menjelaskan bahwa PKI identik dengan aksi-aksi brutal dan vigilantis, contohnya seperti yang dijabarkan pada halaman 100-107: ”…PKI mendasarkan politiknya atas analisis Marxis mengenai keadaan yang konkrit dan perimbangan kekuatan.” Berdasarkan pernyataan ini PKI mulai mengambil langkah-langkah persiapan untuk mengimbangi cara parlementer dengan cara lain, yaitu cara-cara kekerasan.” Dari situ kemudian dijelaskan bentuk-bentuk kekerasan apa saja yang telah dilakukan PKI sebelum peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965, seperti sabotase, aksi masa dan aksi sepihak, teror, perusakan, agitasi dan propaganda. Buku ini adalah buku pengganti setelah cetakan sebelumnya telah ditarik oleh Kejaksaan Agung terkait dengan pelarangan peredaraan buku-buku sejarah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 19AJA2007 tanggal 5 Maret 2007 yang isinya melarang peredaran dan penggunaan sejumlah buku pelajaran sejarah. Pelarangan tersebut dilakukan karena buku-buku itu tidak mencantumkan sejumlah fakta pemberontakan PKI di Madiun dan tidak menyertakan kata PKI di belakang G-30-S. Di beberapa daerah, bahkan terjadi aksi pembakaran buku-buku teks sejarah. Buku-buku yang dimusnahkan antara lain Kronik Sejarah Kelas 1 SMP dengan penerbit Yudhistira, Manusia Dalam Perkembangan Zaman penerbit Ganeca Exact, Sejarah 2 untuk SMP penerbit Erlangga, Sejarah 3 untuk SMP penerbit Erlangga, Sejarah Nasional 1 SMA penerbit Bumi Aksara, Sejarah Nasional dan Umum 1 SMA penerbit Balai Pustaka serta beberapa buku yang mengacu pada kurikulum 2004. Mereka menuntut untuk semua buku teks resmi terbitan paska Orde Baru menggunakan kata PKI, hal ini telah menimbulkan perdebatan di antara banyak pihak. Pada saat itu Menteri Pendidikan Nasional beserta dengan beberapa saksi dan ahli sejarah dipanggil untuk menyelesaikan masalah ini seperti Taufik Ismail, mantan sastrawan dan K.H. Yusuf Hasyim, selaku Pelaku dan Saksi Sejarah yang menginginkan supaya versi yang ditulis di buku teks sejarah adalah G30SPKI bukan hanya G30S saja karena mereka berpendapat bahwa PKI adalah pihak yang bersalah dan pelaku dari penculikan para jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya, disertai dengan kekacauan stabilitas nasional yang terjadi setelah peristiwa tersebut. Sedangkan Asvi Warman Adam, sejarawan dan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menginginkan ingin meluruskan sejarah yang ditulis oleh Orde Baru dengan kurikulum 2004 yang mengedepankan alternatif analisa dari peristiwa G 30 S dengan melihat peristiwa tersebut secara multi-dimensional 61 . Menurut beberapa sejarawan, peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965 yang bersifat kompleks itu tidak bisa disederhanakan karena banyak pihak yang bermain dalam peristiwa kelabu tersebut. Saat ini terdapat beberapa versi tentang dalang di balik peristiwa itu. Buku pelajaran Sejarah yang disusun berdasarkan acuan standar kompetensi kurikulum 2004 oleh sebuah tim ahli yang beranggotakan para sejarawan kapabel dengan menggunakan perangkat metodologi sejarah. Masruhan Samsurie, anggota DPR komisi E DPRD Jawa Tengah, menyebut buku-buku teks sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI di belakang G30S tersebut tidak ilmiah dan lebih menggunakan pendekatan politis. Lebih lanjut, dia juga menyayangkan imbauan Masruhan menarik buku tersebut dari peredaran. Sedangkan, Prof. Dr. Abu Suud tak mempersoalkan ada atau tidaknya kata PKI di belakang G30S. Yang terpenting, kata dia, buku tersebut tidak menghilangkan data dan fakta yang terjadi di seputar peristiwa 1965. 61 Achdian, Andi. Menuju Masyarakat Sadar Sejarah. Buku Teks Sejarah: Kontroversi Penarikannya oleh Kejaksaan Agung yang ditulis di blog pribadi onghokham- institute.blogspot.com200710buku-teks-sejarah-kontroversi.html. Akses terakhir: Oktober 2007. lihat lampiran Keragaman tafsir di dalamnya harus tetap disampaikan. Di situ guru punya peranan besar untuk menjelaskan data-data sejarah yang ada. Namun sayangnya, guru-guru sejarah masih banyak yang berpatron pada tafsir tunggal penguasa. 62 Dengan terjadinya polemik mengenai ketidakstabilan kurikulum untuk pelajaran sejarah, buku-buku teks terbaru yang digunakan oleh beberapa sekolah menengah atas di Yogyakarta kini seolah kembali ke versi Orde Baru, disertai beberapa perubahan yang tidak cukup signifikan. Di buku ini dicantumkan kronologi pemberontakan PKI yang secara horisontal menjabarkan dari awal persiapan pemberontakan sampai pada penumpasannya. Kedua buku terbiatan Yudhistira dn Erlangga ini berpendapat bahwa Gerakan 30 September adalah murni didalangi oleh PKI, dan antek-antek PKI-lah yang membunuh para Jenderal Angkatan Darat dan membuangnya ke sumur Lubang Buaya. Seperti ditulis pada halaman 106-107 buku terbitan Yudhistira sub-bab 2Aksi: “Setelah langkah persiapan dinilai cukup, PKI mulai bergerak sesuai tanggal yang diputuskan. Pada dinihari 1 Oktober 1965, PKI melakukan aksi penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap “Dewan Jenderal”. Dalam penculikan itu, A. H. Nasution selamat, namun putrinya Ade Irma Suryani dan ajudannya yang bernama Pierre Tendean menjadi korban. Para korban penculikan yang masih hidup maupun yang telah meninggal dibawa ke Lubang Buaya. Korban yang masih hidup adalah Pierre Tendean ajudan A. H. Nasution, Suprapto, S. Parman, dan 62 Diambil dari forum diskusi di website resmi PPI India Perhimpunan Pelajar Indonesia di India http:permalink.gmane.orggmane.culture.region.indonesia.ppi-india12775. Akses terakhir: 4 Juli 2005. Sutojo S. Sedangkan korban yang sudah dalam keadaan meninggal adalah A. Yani, D. I. Pandjaitan, dan Haryono M. T. Keempat korban hidup mendapat siksaan akhirnya meninggal. Selanjutnya, pada sukwan PKI melemparkan seluruh korban ke dalam sumur.” Sedangkan di buku terbitan Erlangga diperkuat dengan beberapa gambar seperti pada halaman 78 mengenai pembunuhan para jenderal Angkatan Darat tersebut dan perkembangan situasi pemberontakan: Gambar 4. Enam jenderal Angkatan Darat dan satu perwira tinggi yang di buku teks Sejarah terbitan Erlangga, diinformasikan bahwa mereka adalah korban keganasan Partai Komunis Indonesia karena dibunuh dan dimasukkan ke sumur Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965. Gambar 5. Peta peristiwa Gerakan 30 September di Jawa Tengah pada tanggal 1 samai 4 Oktober 1965 yang dimuat di buku teks Sejarah kelas XII. Penerbit oleh Erlangga, 2006. Sedikit berbeda dengan penerbit Yudhistira, penerbit Erlangga memberi wacana alternatif di akhir bab pembahasan tentang Tragedi Kemanusiaan 1965. Menurutnya, peristiwa Gerakan 30 September mempunyai beberapa versi tentang siapa dalangnya. Meskipun dari awal buku ini mencantumkan kata PKI di belakang G30S, tetapi penulisan yang multi-naratif di penutupan bab setidaknya memberi gambaran kepada para guru sejarah dan murid-muridnya tentang versi alternatif di luar versi resmi sejarah nasional.

3.3. Ketika Guru Membuat Versi Sejarahnya Sendiri

Menarik ketika penulis menemukan salah satu sekolah yang dijadikan sebagai data menggunakan diktat yang disusun sendiri oleh guru sejarahnya sendiri. Meskipun diawali dengan pencantuman judul Peristiwa G 30 S Pemberontakan PKI, yang dimana bisa diartika pemberontakan tersebut didalangi oleh PKI, namun isi keseluruhan pembahasan bersifat netral dan memberi banyak versi mengenai Tragedi Kemanusiaan tersebut. Dalam diktat ini dibahas mengenai berbagai istilah perubahan G30SPKI menjadi G30S sampai pada istilah GESTAPU Gerakah September Tiga Puluh dan GESTOK dan menjelaskan beerbagai versi alternatif yang menjadi dalang dari peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965 seperti pada halaman 15: “Teori tentang dalang peristiwa G 30: Teori tentang mengapa dan siapa dalang dari peristiwa G 30 S yang berkembang saat ini ada 6 teori: a. PKI b. Sukarno c. Suharto d. Konflik intern AD e. USA f. Inggris” Di diktat ini juga memberi pilihan bacaan mengenai buku versi alternatif dari Robert Cribb: The Indonesian Killings, dan membahas dampak sosial dan psikologis persitiwa tersebut yang memakan korban lebih dari satu juta jiwa. Kalau melihat dari penyusunan buku teks sejarah seperti ini, harusnya tidaklah susah bagi guru sejarah untuk melepaskan diri dari gaya penulisan buku teks sejarah yang konvensional. Penyusunan diktat ini adalah tahun 2009, tentunya sudah mengalami perubahan dengan memperhatikan polemik-polemik yang terjadi atas pelarangan buku-buku sejarah resmi. Penggunaan diktat adalah cara agar pembelajaran sejarah di ruangan kelas tidak dibatasi oleh wacana-wacana resmi dari institusi. Buku diktat ini tidak menjelaskan secara rinci mengenai peristiwa dan kronologisnya, namun memberi kata kunci dan keterangan sumber sehingga murid bisa mencari sendiri apa yang dimaksud oleh tulisan itu. Sehingga murid dan guru tidak hanya melakukan praktek pembelajaran hanya semata hafalan belaka dan tidak teralienasi oleh apa yang dipelajarinya. Dengan kondisi pendiskreditan Partai Komunis Indonesia melalui wacana pendidikan, maka trauma masyarakat terhadap wacana komunis akan semakin mendalam. Apalagi dalam buku teks resmi Indonesia, peristiwa politik Tragedi Kemanusiaan 1965 sendiri selalu diasosiasikan dengan gerakan PKI yang melakukan kudeta dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat. Maka penulisan G30S dianggap sebagai penulisan yang wajar dan tak bermasalah dalam penulisan sejarah. Di ujian-ujian sekolah, jawaban dari para murid akan disalahkan jika hanya menulis G30S tanpa PKI. 63 Sehingga apa yang ditulis di diktat pelajaran sejarah guru ini adalah bentuk tuntutan pelurusan sejarah melalui pendidikan dari faktor internal. Sejarah adalah pengetahuan, dimana pengetahuan adalah kuasa. Apa yang dipelajari di buku sejarah, adalah apa yang menempel di benak para murid jika mempelajarinya. Menyikapi beberapa polemik perubahan dalam kurikulum pelajaran sejarah, guru sejarah tidak perlu terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang bersifat politik dan paradigmatik, melainkan justru semakin bebas dan merdeka untuk menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Namun tidak bisa berhenti sampai disitu saja, guru menempati posisi yang serba salah karena kedudukannya lemah di dalam institusi. Lembaga sekolah menuntut guru sampai pada tahapan-tahapan dan target tertentu dalam setiap pembelajaran, jadi terkadang guru akan fokus pada target-target tersebut dibanding memperhatikan kualitas pembelajaran para murid-murid itu sendiri. 63 Achidsti, Sayfa Auliya. Kekerasan Pasca 1965 dan Proyek Pengaburan Sejarah “Formal”. Dari situs www.indoprogress.comkekerasan-pasca-1965-dan-proyek-pengkaburan-sejarah- formal. Akses terakhir 20 Agustus 2013. Dari keempat analisa buku-buku teks sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pelajaran sejarah sebagian besar masih berbicara mengenai kekuasaan dan menggambarkan pemerintah dengan birokrasinya. Problematika yang timbul dalam pengajaran sejarah yang menggunakan versi alternatif yang tidak mengikuti birokrasi institusi memang sangat beresiko dan akan dianggap tidak sesuai dengan fakta. Sebelum penerbit Yudhistira dan Erlangga, dua buku yang dianalisa diatas mengganti versi penggunaan kata PKI di belakang G30S, banyak pihak yang menentang peredarannya. Salah satunya adalah Amien Rais, di artikel Rakyat Merdeka, 64 mengatakan bahwa sungguh bodoh negara ini jika kembali pada penyebarluasan ajaran komunisme, marxisme dan leninisme, tambahnya: “Kambing congek saja tidak akan membenturkan kepalanya dua kali. Kalau kita belum bisa mengambil pelajaran dari dua peristiwa bersejarah tersebut ya kita lebih bodoh dari kambing.”

3.4. Respon Guru terhadap Inkonsistensi Kurikulum

Di bab ini, penulis akan mendiskusikan respon guru-guru sejarah di beberapa Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta tentang kurikulum sejarah khususnya topik Tragedi Kemanusiaan 1965 yang kerap kali berganti-ganti kurikulumnya dan kontennya di buku-buku teks sejarah dari penerbit resmi. Dari 64 Ibid. semua wawancara, penulis akan menunjukkan ada respon yang berbeda terhadap perubahan buku teks sejarah. Permasalahan yang muncul adalah apakah pemikiran baru dan historiografi yang kerap berubah juga mempengaruhi cara mengajar guru sejarah di dalam kelas ataukah mereka tetap mengikuti historiografi model Orde Baru yang sarat akan kekuasaan politis. Menjadi guru sejarah adalah suatu tantangan tersendiri, semakin lama mengajar akan semakin banyak pula yang diajarkan karena mengikuti peristiwa- peristiwa bersejarah yang harus dimasukkan ke dalam pelajaran. Ternyata tidak hanya kuantitas yang berubah, namun secara konten wacana sejarah juga bisa berubah karena historiografi sejarah Indonesia akan berubah seiring dengan temuan-temuan baru. Tragedi Kemanusiaan 1965 disebut-sebut sebagai wacana yang tidak pernah selesai karena pengkaburan fakta. Maka verifikasi pada penelitian sejarah identik dengan kritik sumber tertulis dan non-tertulis atau lisan. 65 Paska Reformasi 98, seperti disebutkan pada bab sebelumnya, terdapat beberapa perubahan terhadap wacana sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965. Beberapa lembaga di luar pemerintahan menuntut penggantian kurikulum di buku 65 Sugeng Riyadi. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hal. 62. sejarah dan berusaha menghapus kata PKI di belakang G30S. Mereka beranggapan bahwa peristiwa tersebut tidak bisa mendiskreditkan hanya satu pihak tertentu, yaitu PKI, melainkan ada beberapa aktor yang tidak pernah disebutkan oleh buku- buku teks resmi sejarah di sekolah-sekolah. Usaha itu juga nampaknya tidak sepenuhnya berhasil, karena sejak PSPB yang mengundang reaksi, ternyata kekuasaan Orde Baru masih dilestarikan secara implisit hingga sekarang dan menyusup melalui pendidikan formal. Sehingga buku-buku alternatif sering menimbulkan kontroversi bahkan sikap-sikap anarkisme seperti pembakaran buku, karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Orde Baru. Asvi Warman Adam mengatakan bahwa kontroversi sejarah mengandung makna perdebatan, persengketaan dan pertentangan. 66 Selama ini guru hanya melaksanakan apa yang digariskan dalam uraian kurikulum. Dari hasil wawancara di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di Yogyakarta, saat ditanya buku mana yang digunakan untuk mengajar, dia berpendapat bahwa buku-buku sejarah di sekolahnya masih menggunakan versi Orde Baru: 66 Asvi Warman Adam. Kontroversi: Proses dan Implikasi Bagi Pengajaran Sejarah. Disampaikan dalam Seminar Nasional, 28 Mei 2009 di UNS yang dikutip oleh Ketut Sedana Arta, Kurikulum dan Kontroversi Buku Teks Sejarah dalam KTSP, hal. 159. “Saya dipanggil ke Bogor dengan guru-guru dari luar Jogja untuk memilih buku teks yang ada di situ, ternyata saat kami harus memilih buku-buku itu, sesungguhnya fakta-fakta yang tersajikan logis, tapi saya ndak tau pasti kerena BSNP itu sendiri juga menghadirkan dosen-dosen perguruan tinggi, yang saya tahu dulu pak Joko Suryo dari Sejarah UGM, nampaknya dari pemerintah belum mengijinkan kalau ada buku sejarah yang mencamtumkan G30S tanpa PKI.” Hal yang diungkapkan diatas tidak berbeda jauh dengan beberapa sekolah lain saat ditanya mengenai bahan acuan yang digunakan untuk mengajar, seperti jawaban dari salah satu guru Sekolah Menengah Atas nasional di bawah ini: “ya memang kalau buku, bagaimanapun juga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan dan disuplai oleh penerbit. Karena mereka langsung datang ke sekolah toh…Tapi beberapa waktu lalu kan sempat ada perdebatan tentang pencantuman kata PKI ya, bagi saya itu tidak masalah selama guru sejarah bisa menggunakan metode yang lain” Dari contoh jawaban diatas, bisa disimpulkan bahwa guru mempunyai sifat bebas dalam mengajar di dalam kelas, namun dia tetap harus ikut dalam birokrasi sekolah untuk tetap menggunakan buku teks resmi sejarah. Pada pelaksanaannya, upaya untuk mengajarkan sejarah yang alternatif masih merupakan hal yang baru dan jarang dilakukan.

3.4.1. Ambivalensi dan Sikap “Hanya Sekedar Tahu”

Pada saat terjadi ketegangan penarikan buku-buku teks sejarah kurikulum 2004, Departemen Pendidikan Nasional mengambil sikap sebagai badan yang bertanggung jawab penuh. Bambang Sudibjo, menteri Pendidikan Nasional yang menjabat pada saat itu, mengambil keputusan untuk kembali ke kurikulum 1994. Bagi sekolah yang menggunakan kurikulum 2004 dalam pendidikan sejarahnya, harus kembali ke kurikulum 1994. Tentunya kebijakan ini dilakukannya dengan alasan tidak sesuai lagi dengan semangat Reformasi 98. Posisi guru menjadi semakin tidak jelas karena diombang-ambing oleh kurikulum yang harus berubah-ubah, jadi tidak heran saat mereka merasa jenuh pula untuk mengganti-ganti bahan ajar yang sudah ada. Tugas guru sejarah juga akan semakin berat karena mereka hanya diberi satu sampai dua jam mata pelajaran selama seminggu. Pada saat Orde Baru yang mengikuti kurikulum 1994, mata pelajaran sejarah tetap bisa diperjuangkan dua jam pelajaran dalam seminggu, namun sekarang beberapa sekolah dari hasil data, hanya mendapat satu jam pelajaran saja. Padahal untuk memproduksi sebuah pengetahuan, guru membutuhkan waktu lebih supaya bisa memberi persepsi tentang peristiwa sejarah yang tidak hanya menghafal. Hal ini juga dikeluhkan oleh salah satu guru dari hasil wawancara: “…kelas 2 – kls 3, kelas IPA itu hanya 1 jam, Bahasa 2 jam, IPS 3 jam. Nah, yang bisa leluasa, idealnya klo sejarah paling tidak 2 jam untuk semua kelas, tapi kalau kelas 10 itu cuma 1 jam itu ya dapat dibayang kan ketika mungkin lokal ruanganya jauh-jauh jalan menuju kelasnya, paling pol efektif pelajaran itu paling bagus ya mungkin cuma setengah jam, jadi kalo setengah jam itu buat apa kan agak repot” Idealnya, di waktu yang tidak banyak itu guru sejarah juga mereproduksi pengetahuan dari ilmu yang sudah ada dan memberi persepsi yang sama persis tertuliskan di buku. Sebagai akibatnya, guru hanya mereduksi makna pengetahuan menjadi sekedar “memindahkan” yang sudah ada. Beberapa guru yang diwawancarai mengetahui wacana-wacana lain yang sudah ada. Seperti contohnya dari pendapat guru di Sekolah Menengah Atas Negeri Yogyakarta: “Jadi tidak ada pergeseran substansi pada masa orde baru maupun masa reformasi gampangnya begitu, tidak ada perubahan subsansial. Jadi tetap di buku itu harus ditulis G30S garis miring PKI misalnya seperti itu. Padahal kan ada wacana lain, Gestok dan seterusnya, Gestapu dan seterusnya. Tidak ada wacana lain, tidak ada wacana substansial perubahan , misalnya ya dibuku-buku itu disebutkan dijelaskan bahwa Tragedi 65 itu memang coup nya PKI. Tidak ada wacana lain. Padahal kalau dari buku-buku sejarah lain misalnya dari desertasinya Hermawan Sulistyo yang kemudian diterbitkan itu, kan di situ banyak sekali wacana, ee.. bukan banyak sekali,, paling tidak ada 6, sory paling tidak ada 5 wacana tentang tahun 65 itu. Sebenarnya pemicu tahun 65 itu siapa?, ada versinya Benedict Anderson, versinya… macem-macem lah.. versi – versi Indonesianis gitu… memang tidak semua versi misalnya Sukarno Sebagai dalang, PKI sebagai dalang, Suharto sebagai dalang, CIA sebagai dalang, kemudian agen rahasia Inggris dan sebagaianya, memang tidak ada yang exact yang pasti siapa yang sebenarnya menjadi penyebap keributan itu. Tetapi kalau di tarik dari semua versi- versi itu, saya kok percaya bahwa, saya makin mendapat pemahaman , peristiwa itu yang saya menganggap justru Partai Komunis Indonesia itu sebagai korban, Partai Komunis Indonesia itu sebagai pelaku sekaligus korban. Nah sekarang wacana Orde Baru sampai sekarang, komunisme , PKI itu kan pelaku jadi pantas untuk di persalahkan, pantas untuk di pesalahkan. Dan di buku-buku pelajaran itu tidak ada discourse, tidak ada wacana lain kecuali ini adalah percobaan kudeta mau menggulingkan pemerintah Indonesia, dan tidak ada konstelasi misalnya pristiwa itu terjadi dalam ketegangan perang dingin.” Dari pendapat guru diatas, bisa dilihat dia mengetahui secara kritis mengenai polemik wacana Tragedi Kemanusiaan 1965. Kekritisan memang akan menciptakan disiplin intelektual yang dibutuhkan, mampu mengajukan pertanyaan atas bacaan, penulisan, buku dan teks. Namun saat ditanya mengenai bagaimana mereka menuturkan versi-versi alternatif kepada para murid, jawabnya; “ya saya sih mendukung adanya penulisan-penulisan alternatif ya mbak, tapi memang kurikulum yang saya coba lakukan adalah, kurikulum pemerintah versi materi-materi yang di tetapkan pemerintah dalam kurikulum ya saya berikan. Cuma menurut saya itu terlalu kurus, terlalu apa ya? Ibarat kita ini peternak kambing, peternak lembu setiap hari kita ini hanya kasih mereka itu rumput kering dan jerami. Jadi bisa anda bayangkan betapa kurang berkaidahnya asupan seperti ini, kalau kambing dan lembu yang kita pelihara hanya kita beri rumput kering dan jerami, bisa kita bayangkan kualitas produk kita. Nah, ini kan pendidikan ini kan bukan hanya pengajaran, kalau para siswa itu hanya diberi materi yang.. apa namanya… materi materi itu ada bahaya maksud saya hanya sekedar pelatihan menjadi bodoh, stupidifikasi. Kalau tidak hati-hati seperti itu.” Dalam wawancara diatas, guru sejarah terlihat mengetahui banyak versi alternatif dari peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965, namun saat dihadapkan dengan transisi pengetahuan kepada para murid, dia tidak berani mengambil resiko untuk memberikan versi tersebut dalam proses pengajaran. Pendidikan disini sangat jelas dilihat sebagai tindakan politis. Oleh sebab itu sangat sulit melakukan bentuk pedagogi yang netral, guru sejarah seolah-olah dihadapkan pilihan untuk mengambil posisi kanan atau kiri, hitam atau putih. Yagn terjadi dalam pengambilan data tulisan ini adalah, hal ini terjadi hanya di Sekolah Menengah Umum Negeri. Agaknya mereka memiliki bentuk dan isi yang berhubungan erat dengan kekuasaan di masyarakat, yang membentuk sistem di dalam institusi dan menegaskan dominasi kekuasaan tersebut.

BAB IV REAKSI TERHADAP MULTI-NARASI PELAJARAN SEJARAH

4.1. Tumbangnya Orde Baru

Kisah tentang pelarangan buku pada jaman Reformasi memang berbeda bila dibandingkan dengan rezim sebelum dan setelahnya. Pembedanya adalah soal reaksi-reaksi perlawanan yang meresponnya. Pada jaman reformasi, ada istilah “teror sejarah” yang maksudnya adalah sejarah telah terwujud menjadi dominan sebuah teror dan mempunyai sifat meneror. Sejarah menjadi teror ketika pelaku- pelakunya sengaja memperlakukan sejarah itu sendiri secara langsung. 67 Dalam teror sejarah, ada tokoh yang memegang tunggal kebenaran, dan cirinya mutlak tak bisa terganggu gugat. Hal ini berlangsung sekian puluh tahun karena banyak yang “terteror” oleh wacana kebenaran tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Lukman Hakim Husnan, Mahasiswa IAIN Raden Fatah Palembang Sumatera Selatan dalam ingatannya mengenai ajaran tentang Tragedi Kemanusiaan 1965: “PKI adalah dosa, walau banyak dari kami tidak mengalami luka sejarah yang barangkali memang pernah mereka torehkan. Selama lebih dari 32 tahun dan sepanjang yang terbaca di literatur-literatur sejarah lazim resmi, PKI selalu 67 Slamet Soetrisno. 2003. Kontruksi dan Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Media Pressindo, hal. 64. dilukiskan dengan citra negatif. Umumnya, citra negatif tersebut berhubungan dengan cita radikalitas dan separatisme; pemberontakan tahun 1926, pemberontakan tahun 1948, dan terakhir pemberontakan plus pembantaian pada tahun 1965. Dan sejak TAP MPRS No. XXVMPRS1966, perbincangan tentang PKI harus dikemukakan dengan berbisik.” 68 Sekarang sejarah menjadi ajang pertarungan antara negara dan masyarakat. Dewasa ini, pertarungan tersebut makin meluas. Di satu sisi, ada pihak tertentu yang ingin memberikan legitimasi atas kekuasaan dengan melakukan rekayasa sejarah. Di sisi lain, demokratisasi pengajaran dan penyebaran pengetahuan sejarah melalui media massa, seperti film dan televisi memberikan kontribusi bagi warga negara untuk menemukan identitas dan menyadarkan mereka tentang politisasi sejarah . Di Indonesia paska cengkraman tirani yang diduga keras melakukan pendistorsian sejarah, diperlukan pemaknaan ulang terhadap penuturan peristiwa masa lalu yang amat penting di Indonesia. Misalnya Gerakan 30 September G30S Tahun 1965. Ketika pemerintahan Orde Baru tumbang, maka perubahan di tingkat politik memberikan pengaruh terhadap bergulirnya polemik di sekitar materi pembelajaran sejarah, khususnya yang berhubungan dengan peristiwa Gestapu dan rejim pemerintahan Orde Baru. 68 Tercantum dalam buku Demi Masa Depan: Kumpulan Esai Anak Muda Indonesia tentang Tragedi Kemanusiaan 1965-1969. Ed: Hendri F. Isnaeni. Friederich Ebert Stiftung dengan Majalah Historia. Berbagai kajian terhadap peristiwa itu semakin banyak setelah tumbangnya reformasi, dan tidak ada lagi kendala perijinan dan teror bagi siapa saja yang melakukan penelitiannya. Nyatanya karya-karya tersebut memunculkan fakta-fakta baru yang mengejutkan yang sebelumnya belum pernah didengar. Perubahan-perubahan semacam itu sebenarnya telah didahului oleh kepentingan dan penentangan terhadap praktek developmentalisme 69 . Artinya, secara prinsip sejarah dirumuskan bukan untuk suatu legimitasi atau pendiskreditan suatu kelompok tertentu, melainkan pengungkapan kebenaran dan kenyataan masa lalu tanpa harus ditutup-tutupi. Pengungkapan kebenaran sejarah atau biasa disebut rekonstruksi sejarah muncul karena keinginan untuk menghadirkan wacana sejarah yang tidak pernah mereka dapat saat masa Orde Baru. Kejatuhan sebuah rezim dan munculnya berbagai nilai baru yang menyertainya segera diikuti oleh kebutuhan memiliki sebuah konstruksi masa lalu versi alternatif. Persoalan perbedaan wacana baru dan lama terletak pada interpretasi karena tidak sedikit pula wacana alternatif yang menghadirkan fakta-fakta sejarah yang juga menutup-nutupi wacana sebelumnya. 69 Developmentalism atau developmentalisme menurut Sail M. Katz diartikan sebagai perkembangan atau pergeseran ekonomi suatu negara dunia ketiga menuju kesejaterahan. Dalam konteks Indonesia, developmentalisme terjadi pada masa Orde Lama yang condong ke arah politik menuju ke rejim Orde Baru yang lebih menekankan pada kesejaterahan ekonomi. www.pergerakan07.blogspot.com, akses terakhir: Mei 2012. Maka saat semua alternatif sejarah muncul di sekolah, guru sejarah harus mampu menghadirkan semua wacana dan mengajak siswanya untuk berpikir secara kritis untuk melihat keberbedaan tersebut. Ada banyak fakta-fakta baru yang bisa dijadikan bahan untuk tambahan kurikulum sejarah. Baik melalui media baca ataupun media alternatif lainnya, namun pada kenyataannya para guru sejarah tidak cukup kreatif untuk menyajikan bahan-bahan baru itu kepada para peserta didik karena banyak faktor yang melatarbelakangi. Pertama, adanya birokratisasi dalam suatu institusi resmi. Para pendidik sejarah merasa tidak berperan untuk memberi bahan-bahan tambahan karena mereka menganggap akan tidak patuh pada birokrasi sekolah dan Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan di satu sisi mereka harus mempertimbangkan ranah kognitif dimana ada target secara kuantitas yang harus dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu. Alhasil, dengan menambahkan bahan- bahan yang ada diluar kurikulum yang telah diberikan akan memakan waktu dan takut tidak berhasil menyelesaikan target. Kedua, guru sejarah merasa dalam posisi powerless tidak berdaya, untuk melakukan perubahan pragmatis. Ketakutan-ketakutan untuk memberikan bahan-bahan diluar “tuntutan” institusi membuat para guru sejarah merasa sangat berdosa karena berada diluar jalur yang seharusnya. Mereka tidak mempunyai cukup keberaniaan untuk mengambil resiko jika didapati oleh institusi memberi bahan-bahan tambahan kepada siswa-siswi. Sebenarnya ketakutan-ketakutan imajiner semacam ini hanya semacam utopia, dan sering terjadi pada guru sejarah yang sudah mengajar di jaman Orde Baru. Penjelasan mengenai poin ini akan dibahas lebih lanjut dengan memberikan bukti otentik wawancara dengan para guru sejarah di sub-bab selanjutnya.

4.2. Sejarah Lisan dan Subjektifitas Masa Lalu

Metode penggunaan sejarah lisan dapat mengatasi keterbatasan dokumen yang dirasa tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut Henk Schulte Nordholt, sejarah lisan sangat penting bagi historiografi Indonesia, bukan saja karena birokrasi pemerintah pada era- Soeharto yang tidak banyak meninggalkan arsip yang terbuka untuk umum, tetapi juga sejarah lisan membuka peluang bagi sejarawan untuk mengalihkan perhatiannya dari versi sejarah dan menyoroti pengalaman-pengalaman yang berada di luar arsip negara. Bahan- bahan sejarah lisan menjadi satu sumber utama dalam penulisan sejarah alternatif. Seperti yang dituliskan dibawah ini: