REPRODUKSI PENENTUAN POSISI SUBJEK SEBAGAI PAHLAWAN

2.1.1. Paradigmatik Pelajaran Sejarah

Sejarah di sekolah mengandung tugas menanamkan semangat character building bagi peserta didiknya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam konsep akademik, tujuan-tujuan itu lebih terwujud secara spesifik seperti kesadaran empati, nasionalisme, patriotisme, kesadaran humaniora, yang sampai sekarang belum secara intensif mencapai sasarannya. Pendidikan sejarah berisi cerita sejarah pengetahuan sejarah, gambaran sejarah yang kesemuanya itu adalah bersifat koheren antara fakta-fakta yang ada dan bukti-bukti yang tersedia. Penulisan pelajaran sejarah diharapkan dapat menempatkan diri ke dalam pelaku- pelaku sejarah yang bersangkutan. Hal ini merupakan unsur pokok dalam cara berpikir historis dan menjadi dasar dari cara menerangkan sejarah atau biasa disebut historical thinking towards historical explanation.Selain itu, sejarah dianggap sebagai suatu lingkaran waktu yang bergerak yaitu masa lampau, masa kini dan masa mendatang. Generasi yang hidup sekarang mempunyai kedudukan strategis karena membangun kelangsungan masa lampau sampai masa kini. Sehingga murid-murid yang belajar sejarah pada masa kini mempunyai banyak kesempatan untuk melihat bagaimana peristiwa sejarah di masa lalu beserta perubahannya sampai pada masa kini. Berkaitan dengan penglihatan tiga dimensi waktu dalam sejarah tersebut, fakta sebagai produksi masa lampau pada dasarnya juga tergantung pada masa kini, artinya sejarah tidak menghadapi realitas itu sendiri, tetapi hanya bekas dalam fakta berupa pernyataan simbol dari realitas. Sejarawan harus menjelaskan peristiwa, di mana eksplanasinya dipengaruhi kebudayaan zamannya, sehingga waktu lampau tidak dapat ditangkap secara keseluruhan karena dipengaruhi masa kini. Dalam konsep ini Reiner menerangkan pengalaman masa lalu manusia merupakan bagian penting dalam proses berpikir karena tanpa pengalaman masa lampau tidak akan dapat disusun ide tentang akibat dari tindakannya.

2.1.2. Sejarah Versi Orde Baru

Sebelum Orde Baru, pendidikan sejarah menjadi kurikulum berbasis ilmu pengetahuan namun tidak bertahan lama sampai pada tahun 1964, dimana kurikulum sejarah sangat bernuansa politis yaitu harus berlandaskan Pancasila dan Manipol Manifestasi Politik UUD 1945 yang terdiri dari Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Sebenarnya ide ini dapat diterima dengan akal sehat jika pada kenyataannya terdapat kecocokan antara teori dan praktik. Sampai setelah Soekarno runtuh, masuklah kurikulum Orde Baru yang secara resmi diterapkan pada tahun 1968 yang juga bernuansa politis dengan diajarkannya PSPB Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Tujuan diadakan PSPB adalah agar murid meyakini: 1 Penjajahan Belanda menyebabkan kemiskinan dan penderitaan di kalangan rakyat Indonesia; 2 Kebenaran rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah; 3 Partai Komunis Indonesia secara sepihak menghancurkan NKRI; 4 Aksi melawan Partai Komunis Indonesia adalah didorong dengan prinsip membela kebenaran dan keadilan; 5 Orde Baru mengutamakan kepentingan negara dan Masyarakat. 28 Dari kelima poin tersebut 28 Ibid. hlm:48. sudah sangat jelas terbaca akan nuansa politis yang ditanamkan pada peserta didik yang ada di zaman bangkitnya Orde Baru. Pada masa Orde Baru berjaya sejarah dibelokkan demi kepentingan politik dan sangat elitis terutama mengenai Tragedi Kemanusiaan 65. Jatuhnya Orde Baru, persis seperti ketika berdirinya rezim tiga puluh dua tahun sebelumnya, diselimuti oleh kerahasiaan dan penuh kekerasan. Pada tahun 1965 dilancarkan aksi militer terhadap pihak yang dituduh akan melakukan kudeta, yang berujung pada penghancuran terhadap mereka yang tidak mendukung Soeharto. Pusat Sejarah ABRI sudah beroperasi ketika usaha kudeta terjadi. Di bawah arahan Nugroho Notosusanto, Pusat Sejarah ABRI langsung bekerja dengan tujuan untuk segera menerbitkan narasi kudeta versi Angkatan Darat. Hasilnya ialah 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November, yang sebagian besar merupakan versi propaganda Angkatan Darat yang bertujuan membuktikan bahwa kudeta adalah hasil persengkokolan komunis. Buku itu adalah buku yang pertama kali ditulis mengenai kudeta Tragedi 1965 yang dikeluarkan Indonesia dan merupakan narasi berulang kali yang dikonsolidasi sepanjang periode rejim Orde Baru. Pusat Sejarah ABRI menegaskan bahwa buku tersebut berhasil meyakinkan masyarakat bahwa PKI adalah dalang dari kudeta. Pada masa Orde Baru, ABRI dan militer mendirikan Museum Pengkhianatan PKI pada tahun 1983 yang berlokasi di Lubang Buaya 29 . Koleksi yang dimiliki museum itu adalah replika benda-benda bersejarah dan beberapa diorama dan Nugroho Notosusanto memegang peranan penting dalam menyetujui pembuatan diorama untuk museum itu. Diorama memang memberi kesan lebih meyakinkan daripada benda bersejarah lain karena tampak secara audio-visual. Michael Van Langenberg berpendapat bahwa ditemukannya jenazah perwira angkatan darat merupakan bagian penting dari propaganda awal mengenai kudeta. 30 Awalnya, Mayjen Soeharto juga menginginkan pengangkatan jenazah diliput oleh media, seperti yang diberitakan Pangkostrad di RRI dan TVRI, Senin 5 Oktober 1965 pukul 15.00 31 : “Jelas betapa kejam dan biadabnya aniaya yang dilakukan petualang-petualang G30S. Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, 6 Jenderal dan seorang perwira pertama, ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh luka karena siksaan. Bekas luka di sekujur tubuh pahlawan kita.” Hasil otopsi yang dilakukan tim forensik bentukan Soeharto yang terdiri dari dua orang dokter tentara, masing-masing Brigjen dr. Roebiono Kertopati dan 29 Lubang Buaya adalah tempat dimana para jenazah Angkatan Darat dan perwira tinggi dibunuh dan ditemukan ke dalam sebuah sumur. Tempat itu kemudian oleh pemerintah Orde Baru dibangun menjadi sebuah museum, lengkap dengan diorama penyiksaan oleh anggota Partai Komunis Indonesia. 30 Langeberg. Michael Van. Gestapu and State Power in Indonesia, dalam Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965-66: Studies from Java and Bali.Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1990, hal. 48. 31 A. Pambudi. 2011. Antara Fakta dan Rekayasa. Jakarta: PT. Buku Seru, hal. 19. Kolonel dr. Frans Patiasina, dan tiga ahli forensik sipil dan Fakultas Kedokteran UI, Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, dr Liauw Yan Siang, dan dr. Liem Joey Thay dengan Surat Perintah nomor PRIN-0310-1965 ternyata berbeda jauh dari yang diberitakan di media. Dokter Lim Joey Thay, tidak menemukan satupun tanda- tanda penyiksaan seperti yang diberitakan. Surat forensik ini mulai pelan-pelan muncul ke publik pasca Reformasi 98 dan jatuhnya Soeharto, apalagi setelah film Pengkhianatan G30SPKI dihentikan penayangannya. Hal ini membuat banyak orang kembali bertanya mengenai kesahihan kronologis peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965. Dalam buku pelajaran sejarah banyak menyebutkan bahwa jenderal- jenderal itu dinarasikan sebagai simbol pembela Pancasila. Dari situ, Orde Baru berhasil membuat konstruksi dan rekonstruksi sejarah yang hegemonik dan manipulatif untuk membuat fakta-fakta sejarah yang menjadi momok masyarakat 32 . Jika benar tidak ada penyiksaan, dengan demikian muncul persepsi bahwa ada peran besar media massa terhadap keberhasilan Soeharto menumpas PKI dan 32 Dedy Kristanto, dalam tesis berjudul Politik Ingatan Pekerja Kemanusiaan: Trauma dan Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service JRS Indonesia dalam Program Rekonsiliasi-Repatriasi Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor Leste, dalam pemenuhan untuk Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. lawan-lawan politiknya. Peran media massa disini termasuk media cetak, radio, audio-visual, dan dampak nyatanya adalah pembentukan opini publik dari propaganda media massa itu. Menyinggung tentang film Pengkhianatan G30SPKI, yang menurut beberapa sejarahwan isinya mengelu-elukan Soeharto sebagai penyelamat bangsa ini. Karena film tersebut sering ditayangkan, hampir semua yang menontonnya hafal betul dengan adegan-adegan serta dialog kunci yang muncul dalam film tersebut. Seperti ucapan “Darah itu merah, Jendral” menjadi ucapan populer yang mengindikasikan kekejaman PKI pada peristiwa tersebut. Tujuan dari produksi film ini tidak lain ialah untuk mengingatkan kembali rakyat Indonesia akan ‘bahaya laten komunisme’. Eros Jarot berkata bahwa sang sutradara, Arifin. C. Noer sangat kecewa terhadap hasil film yang dibuatnya sendiri itu. Berdasarkan pengakuannya, ia telah dipaksa tunduk kepada pimpinan negara. Begitulah, kata Eros Djarot merupakan usaha untuk terus menghidup-hidupkan bahaya laten PKI yang menurutnya, tanpa argumentasi. Pernyataan dan sejarah yang dibuat oleh Orde Baru kini perlu dinilai apakah betul-betul fakta atau fiksi. Pihak militer pula yang berperan penting dalam pembuatan diorama di Museum Lubang Buaya. Apakah gambaran itu betul-betul akurat sesuai dengan kenyataan atau lebih banyak mengandung fitnah. Fakta-fakta sejarah diatas dapat ditemukan di buku-buku sejarah terutama terbitan masa Orde Baru. Pada bab pendahuluan telah diungkapkan pendidikan sejarah mengalami beberapa kali perubahan, tentunya, dengan tujuan yang ingin dicapai oleh para penguasa dan kondisi zaman.

2.2. Pendidikan Sejarah sebagai Alat Kekuasaan

Salah satu keberhasilan Soeharto adalah kemampuannya membuktikan tesis bahwa antara pendidikan dengan politik kekuasaan merupakan dua hal yang tidak terpisah. Seperti dikutip oleh Ibe Karyanto dalam tulisan M. Surozi bahwa lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Pendidikan menjadi alat politik Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya. Menurut Michael Sturner, masa depan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lalu. 33 Dalam hal ini pemegang kekuasaan tentu akan melakukan “penguasaan ingatan kolektif.” Dan penguasaan sejarah dipakai untuk pembenaran sistem yang dipakai untuk masa depan. 33 Dikutip oleh Taufik Abdullah, 1996. Masalah Kontemporer Ilmu Sejarah dan Historiografi, Makalah Kongres Nasional Sejarah, hal. 2. Upaya mencekoki masyarakat termasuk murid sekolah dengan versi resmi Orde Baru telah berjalan puluhan tahun. Jelas butuh waktu untuk “membenahi” sesuatu yang telah diporak-porandakan sekian lama. Historiografi sejarah Indonesia memiliki dua kekuatan narasi yaitu narasi formal dan narasi yang bersifat pinggiran Henk Schulte Nordholt, 2008 : 24-31. Narasi formal adalah historiografi resmi yang ditulis oleh negara yang biasanya ditampilkan dalam buku Sejarah Nasional. Sejarah Nasional merupakan historiografi yang dibuat oleh negara dan harus disosialisasikan kepada masyarakat terutama dalam pendidikan sejarah yang diajarkan sekolah. Dengan demikian historiografi yang ada dalam buku teks pelajaran sejarah menjadi suatu narasi besar atau arus utama tentang interpretasi sejarah Indonesia. Sedangkan historiografi pinggiran biasanya lahir dari hasil penelitian di perguruan tinggi seperti dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi atau hasil-hasil penelitian karya akademisi lainnya. Interpretasi sejarah pada historiografi formal dan pinggiran memungkinkan terjadinya perbedaan. Hal ini lah yang kemudian menjadi isu penting dalam historiografi sejarah Indonesia pada awal reformasi. Sejak awal reformasi terjadi gugatan-gugatan yang begitu besar terhadap penulisan sejarah Indonesia. Gugatan-gugatan sejarah terjadi disebabkan oleh adanya ketidakpuasan beberapa kalangan terhadap penulisan sejarah pada zaman Orde Baru. Salah satu ciri utama dalam penulisan sejarah Orde Baru yaitu bersifat sentralistis. Sentralistis yang dimaksud di sini adalah adanya dominasi interpretasi yang bersifat tunggal dari negara. Historiografi Indonesia yang ditulis oleh Orde Baru telah menempatkan bahwa Orde Baru sebagai upaya penyelamatan negara dari berbagai ancaman dan gangguan yang telah merongrong negara.

2.2.1. Hegemoni dan Alienasi dalam Pendidikan Sejarah

Dalam menjelaskan keterkaitan antara pelajaran sejarah, guru, murid dan institusi dengan produk aktifitasnya, Marx menyebut keterasingan alienasi sebagai proses historis di mana manusia semakin terasing dari satu sama lain. Meskipun konsep ini dititikberatkan pada pembahasan mengenai efek negatif yang menimpa buruh dalam industri kapitalis, tapi konsep Marx ini juga mengacu pada perasaan terasing dari masyarakat, kelompok, kultur atau diri manusia sendiri yang lazim dirasakan oleh orang dalam budaya industrial yang kompleks. Demikian pula halnya terjadi dalam dunia pendidikan terutama pendidikan sejarah yang telah ’terasingkan’ dari proses pembentukan individu, budaya, pencerdasan anak, dan pemberdayaan. Pendidikan sejarah lebih menjadi komoditas politik, ekonomi dan kekuasaan. Telah terjadi alienasi pendidikan sejarah dan kita menyadari bahwa wacana histori terjebak sebagai praktik ideologi dominan. Dengan pelanggengan kekuasaan kegiatan belajar-mengajar tidak bertujuan membantu manusia muda menemukan identitas, kepribadian, nilai-nilai dan perjuangan hidup. Secara pragmatis, pendidikan sejarah juga digunakan sebagai instrumen kekuasaan yang bersifat melegitimasi dalil-dalil kebenaran dan dogma penguasa. Pendidikan adalah entitas aktif yang bebas dari konstruksi sosial bahkan bersifat mengobjektivasikan masyarakat. Sekolah menjadi subjek yang mengobjek, yang tak lepas dari kekuasaan dari berbagai pihak. Bagi penulis pendidikan sejarah kini ditempatkan pada proses alienasi yang membuat anak didiknya menjadi objek yang pasif. Pendidikan tereleminasi pencapaian target kurikulum dengan fokus penghafalan konsep demi angka-angka ujian dengan terpaksa dan dalam alienasi tersebut tentunya kita bisa melihat adanya kekuasaan ideologi dominan yang mengendalikan dan membuat anak merasa terancam jika tidak melakukan apa yang diperintahkan. Bahruddin mengidentifikasi proses belajar mengajar didominasi oleh guru, dan kepentingan- kepentingan pihak tertentu yaitu institusi sekolah itu sendiri dan negara. Masalah- masalah pendidikan seperti di atas menjadi meluas dan rumit seiring dengan perkembangan zaman. Jadi, akar dari permasalahan pendidikan dasar dan menengah Indonesia adalah pemeliharaan dominasi yang tampak pada pemerataan pendidikan, mutu pendidikan dan manajamen pendidikan dan pasifnya peran murid itu sendiri dalam pendidikan.Dominasi dalam pemerataan pendidikan sangat berkaitan erat dengan kapitalisme karena pengaruhnya sangat besar pada masyarakat modern. Dari kedua pandangan diatas, alienasi dalam pendidikan dan adanya hegemoni dalam pendidikan tampak berbeda namun sebenarnya bersifat identik. Keduanya meletakkan pendidikan sebagai subjek maupun objek dalam fungsinya masing-masing. Pendidikan di satu sisi memiliki kekuasaan atas pembentukan identitas masyarakat-negara, namun di sisi lain menjadi instrumen kekuasaan dari masyarakat-negara. Dalam studi kasus ini penulis menempatkan pendidikan sejarah di beberapa sekolah menengah atas sebagai data empiris. Sekolah-sekolah tersebut dipakai untuk melihat kebelakang bagaimana proses pendidikan konvensional telah mengalienasi siswanya dan bagaimana ideologi dominan wacana sejarah yang secara berperiode bermain dalam pembentukan siswa sebagai objek. Marx lebih menekankan alienasi dalam pekerjaan. Karena dalam sistem kapitalisme orang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan karena terpaksa atau syarat untuk hidup. Ada dua macam alienasi. Pertama, keterasingan dari dirinya sendiri. Bentuk alienasi ini mempunyai tiga segi yaitu teralienasi dari produknya yang artinya produknya adalah milik pabrik, apalagi apabila ia hanya mengerjakan bagian kecil dari produk yang sudah jadi. Karena hasil pekerjaan terasing dari padanya, tindakan pekerjaan itu sendiri pun kehilangan arti bagi si pekerja. Itulah bentuk kedua dari keterasingan. Pekerjaan yang dilakukan buruh adalah pekerjaan paksaan, si pekerja akan merasa menjadi dirinya sendiri saat dia sudah tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena ia tak bekerja menurut hasrat dan dorongan batin. Jadi bukan pekerjaan itu kebutuhan si pekerja melainkan ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup diluar pekerjaan. Ia harus menjadikan kegiatan hidupnya menjadi sarana untuk mempertahankan kebutuhan fisik. Kedua, keterasingan dari orang lain. Konsukuensi langsung dari keterasingan manusia dari produk pekerjaannya adalah keterasingan manusia dari manusia. Secara empiris keterasingan sesama menyatakan diri dalam kepentingan yang bertentangan karena kepentingan hak pribadi ada ditangan penguasa dan kepentingan sesama pekerja. 34 Pedagogi juga selalu menempatkan disiplin ilmiah berdasarkan pengalaman empiris. Dalam kaitan ini pendidikan sejarah selalu bersifat kontekstual. Artinya, seluruh isi pembelajaran selalu berkait dengan situasi dan kondisi baik IPTEK, ekonomi, politik, sosial, budaya, sejarah, hukum, kebegaramaan, dan ketatanegaraan. Setiap pembelajaran harus terkait dengan problematika kehidupan masa lalu, masa kini dan masa sekarang, juga secara lokal, regional, nasional, dan internasional.

2.2.2 Pengetahuan dan Kekuasaan

Jika dalam satu sisi pendidikan membicarakan tentang alienasi, tentunya kita juga harus mencermati siapa yang bermain dalam proses penciptaan alienasi tersebut. Alienasi sangat dipengaruhi oleh satu pihak yang berkuasa, dalam pendidikan alienasi bisa dilihat oleh bagaimana murid tidak pernah berperan menjadi subjek dalam menentukan apa yang menjadi aktualisasi dirinya. 35 Dari 34 Franz Magniz-Suseno. 1993. Sejarah Filsafat Sosial Jerman Abad Ke-Sembilan Belas. Jakarta: Sekolah Tinggi Driyarkara. 35 H.A.R Tilaar. 2005. Kekuasaan dan Pendidikan, hal. 115. konsep Gramsci tentang ideologi dan hegemoni tersebut memperlihatkan kepada kita adanya budaya dominan yang ditekankan di suatu persekolahan bahkan dapat dikatakan adanya pemeliharaan dominasi. Gramsci adalah salah satu tokoh neo- marxis yang selama hidupnya membangun aliansi buruh dan petani dengan membangun poros utara yaitu kelas proletarian di kawasan industri maju dan poros selatan yaitu tuan-tuan rumah yang mendominasi tanah. Menurut Gramsci memperjuangkan kelas tertindas adalah tugas dari pemikir-pemikir yang bisa mempengaruhi perjuangan mereka dengan tidak menghasilkan kepentingan sepihak karena untuk memperjuangkan kelas diperlukan war of position, yakni memperebutkan kekuasaan atas suprastruktur negara dengan menciptakan hegemoni tandingan melalui budaya alternatif. Berbicara dominasi, pedagogi kritik 36 mengkaitkan konsep hegemoni dengan pendidikan. Bagi Gramsci, kajian budaya mengadopsi makna-makna yang menyokong kelompok sosial tertentu. Maka konsep-konsep hegemoni pun menjadi relevan bagi gerakan sosial kebudayaan dalam pendidikan. 37 Pemikiran 36 Paradigma pendidikan kritis ini selain menghapus kekuasaan dalam kapitalisme juga berimplikasi kepada metode dan pendekatan pengajaran. Pendidikan kritis juga tidak hanya diterapkan sebagai hubungan subjek-objek, namun juga dalam bentuk kurikulum ataupun metode belajar. Dengan demikian, yang harus dipertajam dari pendidikan kritis ini adalah bagaimana suatu institusi pendidikan dapat berfungsi sebagai agen utnuk memperoduksi sistem sosial yang baru Stanley, 2000 37 Chris Barker. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang, hal. 147. Gramsci menempatkan analisa kebudayaan dan perjuangan ideologis yang akhirnya menjadikan kajian budaya menjadi sangat relevan bagi mereka yang peduli terhadap pendidikan sejarah. Pemikirannya memberikan tempat khusus bagi kaum intelektual yang menghubungkan mereka dengan peserta perjuangan sosial lainnya. Di sini Gramsci membedakan antara “intelektual organik” dengan “intelektual tradisional”. Begitu pula dalam hal pendidikan, kajian budaya Gramscian memimpikan sang “intelektual organik” yang memegang peran kunci dalam penyiapan kaum intelektual dan gerakan yang kontrahegemonik tentang digunakannya konsep- konsep Gramsci dalam kajian budaya adalah karena penekanannya pada nilai-nilai penting dalam pertarungan ideologis. Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai “sekumpulan fungsi pendominasian, pendidikan, dan pengarahan yang dilakukan suatu kelas sosial yang dominan selama periode tertentu terhadap suatu kelas sosial lainnya, bahkan sejumlah kelas sosial lainnya. 38 Dominasi wacana sejarah dalam konteks pendidikan Indonesia selalu berhubungan dengan wacana-wacana yang kontroversi, contohnya Tragedi Kemanusiaan 1965, di mana sampai kini masih diperdebatkan cara mengajar topik tersebut di sekolah secara netral. 38 Ibid . Tragedi kemanusiaan 1965 merupakan sejarah yang bersifat kontroversial pada pelajaran sejarah dalam beberapa tahun terakhir karena terdapat beberapa versi dan masing-masing mempunyai landasan yang kuat. Menurut Abu Su’ud, pengembangan isu kontroversial dalam kelas sejarah bertujuan mencapai: 1 peningkatan daya penalaran, 2 peningkatan daya kritik sosial, 3 peningkatan kepekaan sosisal, 4 peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, 5 peningkatan keberanianpengungkapan pendapat secara demokratis, dan 6 peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab 39 . Pelajaran sejarah yang kontroversial baru dianggap sebagai sesuatu yang kontroversial setelah Reformasi 98, dimana mulai banyak tulisan dan buku yang isinya memberi alternatif wacana bagi buku pelajaran sejarah di sekolah. Namun seperti disebutkan di Bab I, bahwa pelajaran di sekolah hanya mendorong siswanya untuk menghafal tanggal, nama dan tokoh sejarah persis seperti di buku pelajaran daripada mengajak siswa untuk memahami berbagai versi wacana sejarah. Menurut Asvi Warman Adam, dalam www.sejarahkritis.wordpress.com , kecenderungan ini juga disebabkan oleh kurangnya inisiatif dari guru sejarah 39 Pernyataan Abu Su’ud ini dikutip di blog sejarahkritis.wordpress.com oleh tsabitazinarahmad berjudul Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial, yang diunggah tanggal 2 April, 2012 jam 12: 49. untuk mengadakan evaluasi pedagogi sejarah kritis. Hal ini tampak dari adanya intervensi dari pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019AJA032007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1948 dan 1965. Dengan melihat kenyataan bahwa pelajaran sejarah selalu mutlak menggunakan buku yang ditentukan oleh institusi, maka pelajaran sejarah dianggap sebagai alat indoktrinasi sebuah rejim dan menghasilkan hegemoni wacana yang mutlak antar-generasi. Mengingat bahwa murid-murid tidak dapat menentukan sendiri bahan-bahan yang harus dipelajari, maka peran guru disini sebagai agen pengetahuan perlu mendapat perhatian khusus. Guru mempunyai peran untuk mendampingi murid belajar secara mandiri dan sebaliknya mereka juga berperan memediasi murid untuk berintegrasi dengan materi-materi lain di luar yang ditentukan institusi. Membahas tentang politik kurikulum resmi dari institusi berarti bicara tentang kekuasaan. Kekuasaan disini adalah relasi antara pemerintah dengan institusi, institusi dengan guru dan guru dengan murid. Murid sudah terbiasa dengan pengetahuan gaya konvensional yang mengharuskan mereka untuk menyerah kepada kekuasaan demi mendapatkan nilai diatas rata-rata. Sebaliknya, ada beberapa murid yang menunjukkan penolakan dengan membisu, meskipun ada beberapa yang menunjukkannya dengan pertentangan yang aktif karena sejarah juga tidak bisa secara instan menuntut muridnya untuk berpikir kritis, seolah seperti orang yang akan menulis ulang teks yang dibacanya. Ketika penulis melakukan penelitian di beberapa sekolah dan melakukan beberapa wawancara dengan murid mengenai pelajaran sejarah, bisa diduga bahwa sebagian besar murid-murid SMA di Yogyakarta masih dididik oleh model pengajaran konvensional. Hal inilah yang menjadi perbandingan model transisi pedagogi pelajaran sejarah di sekolah lain untuk dianalisa. Dalam kasus lain murid menjadikan guru sebagai role model persis tanpa menelaah lebih dalam apa yang diajarkannya. Kekuasaan semacam ini tidak mampu memberikan stimulasi terhadap murid bagaimana cara berpikir kritis. Contohnya, mereka menulis apa yang guru bicarakan di depan kelas karena murid merasa asing dengan apa yang diajarkan guru sejarah. Hal ini berkaitan dengan peristiwa sejarah yang tidak dijelaskan secara konseptual oleh guru sejarah. Akibatnya saat belajar di rumah murid merasa teralienasi dari wacana sejarah yang diajarkan, sehingga memilih untuk menghafal yang sudah dicatatnya. Dua macam cara mengajar sejarah diatas hanyalah menitikberatkan pada teknik dan bukan melakukan kontak dengan realitas secara kritis. Inilah yang menghalangi analisis atas kekuasaan politik pembuatan kurikulum dalam pendidikan menjadi sesuatu yang dianggap berkuasa sehingga sudah selayaknya dipatuhi oleh murid dan bahkan guru sejarahnya. Para guru sejarah dibiasakan dan terbiasa untuk tidak mengajukan pertanyaan kritis tentang keputusan atasan jika tidak ingin berdampak terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Pada metode pendidikan kritis dalam pembelajaran sejarah, pengajaran yang bersifat dialogis mendorong guru dan murid melakukan pengupasan pemikiran dari bahan kajian sejarah, dan bukan semata-mata pengalihan pengetahuan dan teknik menguasai alfabet. Ira Shor mengatakan gagasan tersebut adalah pedagogi yang mencerahkan realitas, artinya pendidikan yang membebaskan bukan panduan atau teknik cerdas, melainkan suatu perspektif cerdas tentang sekolah, masyarakat dan belajar untuk transformasi sosial. 40 Pendidikan sejarah merupakan tindakan yang politis. Oleh sebab itu, sampai saat ini tidak ada pedagogi yang netral dalam belajar sejarah karena adanya dominasi dari wacana sejarah yang masih bermuatan politik dan memiliki 40 Ira Shor Paulo Freire. 2001. Menjadi Guru Merdeka. Yogyakarta: LKIS. hubungan sosial dengan masyarakat. Menurut Paulo Freire, dalam suatu proses pedagogi dapat ditemukan bagaimana kita didominasi ideologi dominan. Kita dapat menarik jarak atas momen eksistensi kita. Oleh sebab itu, kita dapat belajar tentang bagaimana menjadi bebas melalui perjuangan politik dalam masyarakat. 41 Pendidikan sejarah yang bersifat statis ini menimbulkan kebingungan bagi guru sejarah dan murid. Pada saat Orde Baru, mereka terbiasa membaca sejarah yang cenderung mendiskreditkan satu pihak tertentu. Selepas Reformasi 98, “pahlawan” yang dulu dipuja-puja seketika harus berubah karena perkembangan historiografi. Banyak buku yang akhirnya cenderung menulis peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965 dengan menyertakan lebih dari satu pendapat. Guru sejarah harus berupaya menyesuaikan materi dengan mengikuti perubahan-perubahan wacana tersebut dan mengajak murid-murid untuk berpikir kritis dengan melihat perubahan yang terus terjadi. Kontroversi wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 tidak sebatas pada pencatuman tiga huruf di belakangnya saja, namun juga karena ada berbagai versi terhadap tafsiran peristiwa tersebut. 41 Paulo Freire. 2011. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial. Yogyakarta: Logung Pustaka, hal. 22.

BAB III PENDIDIKAN KRITIS AHISTORIS

Setelah Reformasi 98, era baru penulisan sejarah Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia dengan menggunakan metodologi kritis historiografi sejarah pun dimulai. Saat ini, kritik ditujukan terhadap para akademisi sejarah yang hanya berkutat pada data di ruang arsip, tidak mencoba keluar untuk memahami benar pada masalah yang ada dalam penelitian mereka, dan menyebabkan kajian sejarah hanya akan berada di menara gading. Indah bagi mereka yang menekuni bidangnya, namun tidak berarti apa-apa untuk masyarakatnya. Pada bab II telah diuraikan tentang bagaimana pendidikan sejarah telah mengalienasi subjek dan objek yang diajarkannya, sehingga seperti yang sebelumnya dikatakan, wacana sejarah tidak berarti apa-apa bagi yang mempelajarinya. Menurut Y.B. Mangunwijaya, pendiri Yayasan Dinamika Edukasi Dasar DED, kondisi pendidikan di Indonesia didominasi oleh pemerintah melalui kebijakan kurikulum nasional. Menurut Mangunwijaya pendidikan di Indonesia hanyalah tempat penataran bagi siswa-siswi menghafal materi-materi pelajaran berkuantitas banyak yang tidak relevan untuk menghadapi kehidupan nyata nantinya. Dunia pendidikan adalah penyeragaman yang menghasilkan siswa-siswi menjadi manusia yang dehumanis. 42 Penyeragaman dalam penelitian ini diartikan sebagai penyeragaman wacana sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965 oleh Orde Baru. Meminjam konsep habitus Pierre Bourdieu, habitus adalah pembiasaan pikiran, persepsi, aksi yang menghasilkan struktur kepatuhan dan kesiapsediaan seseorang untuk melakukan tindakannya. 43 Hasil-hasil buku sejarah terbitan Orde Baru adalah sebuah habitus 44 dalam pendidikan sejarah yang menghegemoni kurikulum nasional. Namun, orang Indonesia yang tinggal di luar negeri mendapat pengalaman yang berbeda dan membuat mereka berpikir ulang tentang Orde Baru. Sektor pendidikan adalah sektor yang berhubungan dengan sektor-sektor lain, sehingga saat ada perubahan dalam sektor lain, terjadi juga dalam proses pendidikan. Ariel Heryanto mengatakan kalau mau bermain dalam sektor pendidikan maka harus paham politik juga dan kalau dikutak-katik lagi semua 42 Y.B Mangunwijaya yang dikutip oleh Antonius Ferry Timur Indratno dalam tesisnya yang berjudul Konsep Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Tinjauan Kritis atas Kurikulum Nasional dan Dominasi Pemerintah Studi Kasus SD Eksperimental Mangunan, hal. 84. 43 Michael Grenfell dan David James. 1998. Bourdieu and Education: Acts of Practical Theory. London: Farmer Press, hal. 162-170. 44 Habitus adalah sistim atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulang kali inculcation. Habitus lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi terstruktur dari kondisi sosial yang sudah diproduksi. Bourdieu. Pierre. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.Terjemahan oleh Richard Nice. Harvard Universtity Press, hal. 170. berhubungan dengan apa yang terjadi pada tahun 1965 dan menimbulkan pendisiplinan. 45 Dalam bab tiga ini penulis menganalisa bagaimana perubahan wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 di buku teks 46 pelajaran sekolah dari masa ke masa. Disini penulis mengambil data dari buku teks pelajaran sejarah sebelum Reformasi 98 sampai yang terbitan terbaru beserta analisa terhadap polemik atas respon beberapa lembaga mengenai pencantuman beberapa topik tertentu di buku teks sejarah. Dalam bab ini penulis menunjukkan bahwa pendidikan sejarah di Indonesia tidak mengalami perubahan yang cukup drastis dari pemerintahan Orde Baru dan masih ada wacana hegemoni dalam tema Tragedi Kemanusiaan. Kenyataan tersebut diperlihatkan oleh subjektifitas penyusunan buku pelajaran sejarah di tingkat Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta. 45 Ariel Heryanto. 2001. Teror Negara: Tentang Politik dan Batuk-Batuk Lagi dalam buku Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Ed: Baskara. T. Wardaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 303 46 Menurut Prof. Dr. Bintang Petrus Sitepu, M. A., buku teks dalam pelajaran sekolah adalah semua buku yang dipakai dalam proses belajar mengajar, sebagaimana dikutip oleh Sitepu, B. P. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sedangkan buku teks sejarah adalah sebuah teks historiografi yang disusun oleh guru, sejarawan dan pakar- pakar pendidikan sejarah yang memadukan kaidah-kaidah keilmuan sejarah dan unsur pendidikan yang mengacu pada kurikulum yang berlaku.

3.1. Tragedi Kemanusiaan 1965 dalam Buku Pelajaran Sejarah Orde Baru

Di dalam bukunya, Soeharto: Sisi Gelap Indonesia, Asvi Warman Adam menyimpulkan bahwa pelurusan sejarah akan menjadi beragam pada zaman setelah Orde Baru. Namun, bagaimana dengan pelajaran sejarah nasional? Itu soal lain, katanya. 47 Asvi menjelaskan bahwa peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965 memerlukan tindakan korektif oleh negara tidak hanya dalam aspek yuridis namun juga dalam aspek ingatan masyarakat. Oleh sebab itu untuk mengelola ingatan masyarakat perlu diperbaiki pendidikan sejarah 48 dan metode sejarah lisan oleh para korban. Dewasa ini, kedudukan buku teks menjadi semakin sentral dalam proses mengajar di ruang kelas karena guru merasamsulit dan berat untuk mengembangkan sendiri materi pelajaran yang diajarkan karena faktor internal dan tuntutan institusi. Terlebih lagi, pada tahun 2005 Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan peraturan No.11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Pada Pasal 3 ayat 1 tertulis bahwa buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih dari buku-buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh menteri 47 Asvi Warman. 2004. Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Ygyakarta: Ombak, hal. 28. 48 Ibid. berdasarkan rekomendasi penilaian kelayakan dari Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP tahun 2005. BSNP menetapkan empat kriteria utama yaitu materi, penyajian, bahasa, keterbacaan dan grafika. Ketentuan BNSP ini berlaku untuk teks semua mata pelajaran, dan khusus untuk buku teks sejarah BNSP tidak mampu mencermati isi di dalamnya. Model penulisan sejarah harusnya mencakup dua ideologis, yaitu pewarisan dan akademik. Buku teks di satu sisi harus mampu menjadi media pewaris, tetapi di sisi lain harus dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik. Penulisan sejarah nasional juga harus tidak lepas dari keseimbangan wacana, seperti yang dikatakan Sartono Kartodirdjo tentang penulisan sejarah nasional, yaitu sejarah harus mampu mengungkapkan “sejarah dari dalam” dimana bangsa Indonesia sendiri memegang peranan pokok. Kedua, menguraikan faktor atau kekuatan yang mempengaruhinya, baik ekonomi, sosial, maupun politik ataupun kultural. Ketiga, mengungkapkan aktivitas pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya bangsawan atau ksatria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongan-golongan lainnya. Keempat, sejarah harus disusun sebagai suatu sintese, dimana digambarkan proses yang menunjukkan perkembangan ke arah kesatuan geopolitik seperti yang kita hadapi saat ini. Menggarisbawahi poin ke tiga, artinya