2.1.1. Paradigmatik Pelajaran Sejarah
Sejarah  di  sekolah  mengandung  tugas  menanamkan  semangat  character building bagi peserta didiknya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor  20  tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  Pasal  3,  dijelaskan bahwa  pendidikan  nasional  berfungsi  untuk  mengembangkan  kemampuan  dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam mencerdaskan kehidupan  bangsa,  bertujuan  untuk  berkembangnya  potensi  peserta  didik  agar
menjadi  manusia  yang  beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa, berakhlak  mulia,  sehat,  berilmu,  cakap,  kreatif,  mandiri,  dan  menjadi  warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam  konsep  akademik,  tujuan-tujuan  itu  lebih  terwujud  secara  spesifik
seperti  kesadaran  empati,  nasionalisme,  patriotisme,  kesadaran  humaniora,  yang sampai  sekarang  belum  secara  intensif  mencapai  sasarannya.  Pendidikan  sejarah
berisi cerita sejarah pengetahuan sejarah, gambaran sejarah yang kesemuanya itu adalah bersifat koheren antara fakta-fakta yang ada dan bukti-bukti yang tersedia.
Penulisan pelajaran sejarah diharapkan dapat menempatkan diri ke dalam pelaku- pelaku  sejarah  yang  bersangkutan.  Hal  ini  merupakan  unsur  pokok  dalam  cara
berpikir  historis  dan  menjadi  dasar  dari  cara  menerangkan  sejarah  atau  biasa
disebut  historical  thinking  towards  historical  explanation.Selain  itu,  sejarah dianggap sebagai suatu lingkaran waktu yang bergerak yaitu masa lampau, masa
kini dan masa mendatang. Generasi yang hidup sekarang mempunyai kedudukan strategis  karena  membangun  kelangsungan  masa  lampau  sampai  masa  kini.
Sehingga  murid-murid  yang  belajar  sejarah  pada  masa  kini  mempunyai  banyak kesempatan  untuk  melihat  bagaimana  peristiwa  sejarah  di  masa  lalu  beserta
perubahannya sampai pada masa kini. Berkaitan  dengan  penglihatan  tiga  dimensi  waktu  dalam  sejarah  tersebut,
fakta  sebagai  produksi  masa  lampau  pada  dasarnya  juga  tergantung  pada  masa kini,  artinya  sejarah  tidak  menghadapi  realitas  itu  sendiri,  tetapi  hanya  bekas
dalam fakta berupa pernyataan simbol dari realitas. Sejarawan harus menjelaskan peristiwa,  di  mana  eksplanasinya  dipengaruhi  kebudayaan  zamannya,  sehingga
waktu lampau tidak dapat ditangkap secara keseluruhan karena dipengaruhi masa kini.  Dalam  konsep  ini  Reiner  menerangkan  pengalaman  masa  lalu  manusia
merupakan bagian penting dalam proses berpikir karena tanpa pengalaman masa lampau tidak akan dapat disusun ide tentang akibat dari tindakannya.
2.1.2.   Sejarah Versi Orde Baru
Sebelum Orde Baru, pendidikan sejarah menjadi kurikulum berbasis ilmu pengetahuan  namun  tidak  bertahan  lama  sampai  pada  tahun  1964,  dimana
kurikulum sejarah sangat bernuansa politis yaitu harus berlandaskan Pancasila dan Manipol  Manifestasi  Politik  UUD  1945  yang  terdiri  dari  Sosialisme  ala
Indonesia,  Demokrasi  Terpimpin,  Ekonomi  Terpimpin  dan  Kepribadian Indonesia.  Sebenarnya  ide  ini  dapat  diterima  dengan  akal  sehat  jika  pada
kenyataannya terdapat kecocokan antara teori dan praktik. Sampai  setelah  Soekarno  runtuh,  masuklah  kurikulum  Orde  Baru  yang
secara  resmi  diterapkan  pada  tahun  1968  yang  juga  bernuansa  politis  dengan diajarkannya  PSPB  Pendidikan  Sejarah  Perjuangan  Bangsa.  Tujuan  diadakan
PSPB  adalah  agar  murid  meyakini:  1  Penjajahan  Belanda  menyebabkan kemiskinan  dan  penderitaan  di  kalangan  rakyat  Indonesia;  2  Kebenaran  rakyat
Indonesia dalam mengusir penjajah; 3 Partai Komunis Indonesia secara sepihak menghancurkan  NKRI;  4  Aksi  melawan  Partai  Komunis  Indonesia  adalah
didorong  dengan  prinsip  membela  kebenaran  dan  keadilan;  5  Orde  Baru mengutamakan  kepentingan  negara  dan  Masyarakat.
28
Dari  kelima  poin  tersebut
28
Ibid. hlm:48.
sudah sangat jelas terbaca akan nuansa politis yang ditanamkan pada peserta didik yang ada di zaman bangkitnya Orde Baru.
Pada masa Orde Baru berjaya sejarah dibelokkan demi kepentingan politik dan  sangat  elitis  terutama  mengenai  Tragedi  Kemanusiaan  65.  Jatuhnya  Orde
Baru,  persis  seperti  ketika  berdirinya  rezim  tiga  puluh  dua  tahun  sebelumnya, diselimuti  oleh  kerahasiaan  dan  penuh  kekerasan.  Pada  tahun  1965  dilancarkan
aksi  militer  terhadap  pihak  yang  dituduh  akan  melakukan  kudeta,  yang  berujung pada penghancuran terhadap mereka yang tidak mendukung Soeharto.
Pusat Sejarah ABRI sudah beroperasi ketika usaha kudeta terjadi. Di bawah arahan  Nugroho  Notosusanto,  Pusat  Sejarah  ABRI  langsung  bekerja  dengan
tujuan  untuk  segera  menerbitkan  narasi  kudeta  versi  Angkatan  Darat.  Hasilnya ialah 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November, yang sebagian besar
merupakan versi propaganda Angkatan Darat yang bertujuan membuktikan bahwa kudeta adalah hasil persengkokolan komunis. Buku itu adalah buku yang pertama
kali  ditulis  mengenai  kudeta  Tragedi  1965  yang  dikeluarkan  Indonesia  dan merupakan narasi berulang kali yang dikonsolidasi sepanjang periode rejim Orde
Baru. Pusat Sejarah ABRI menegaskan bahwa buku tersebut berhasil meyakinkan masyarakat bahwa PKI adalah dalang dari kudeta.
Pada  masa  Orde  Baru,  ABRI  dan  militer  mendirikan  Museum Pengkhianatan  PKI  pada  tahun  1983  yang  berlokasi  di  Lubang  Buaya
29
.  Koleksi yang  dimiliki  museum  itu  adalah  replika  benda-benda  bersejarah  dan  beberapa
diorama dan Nugroho Notosusanto memegang peranan penting dalam menyetujui pembuatan  diorama  untuk  museum  itu.  Diorama  memang  memberi  kesan  lebih
meyakinkan daripada benda bersejarah lain karena tampak secara audio-visual. Michael  Van  Langenberg  berpendapat  bahwa  ditemukannya  jenazah
perwira angkatan darat merupakan bagian penting dari propaganda awal mengenai kudeta.
30
Awalnya,  Mayjen  Soeharto  juga  menginginkan  pengangkatan  jenazah diliput oleh media, seperti yang diberitakan Pangkostrad di RRI dan TVRI, Senin
5 Oktober 1965 pukul 15.00
31
:
“Jelas  betapa  kejam  dan  biadabnya  aniaya  yang  dilakukan  petualang-petualang G30S.  Ketujuh  jenazah  Pahlawan  Revolusi,  6  Jenderal  dan  seorang  perwira
pertama,  ditemukan  dalam  keadaan  tubuh  yang  jelas  penuh  luka  karena  siksaan. Bekas luka di sekujur tubuh pahlawan kita.”
Hasil  otopsi  yang  dilakukan  tim  forensik  bentukan  Soeharto  yang  terdiri dari dua orang dokter tentara, masing-masing Brigjen dr. Roebiono Kertopati dan
29
Lubang Buaya adalah tempat dimana para jenazah Angkatan Darat dan perwira tinggi dibunuh dan  ditemukan  ke  dalam  sebuah  sumur.  Tempat  itu  kemudian  oleh  pemerintah  Orde  Baru
dibangun  menjadi  sebuah  museum,  lengkap  dengan  diorama  penyiksaan  oleh  anggota  Partai Komunis Indonesia.
30
Langeberg.  Michael  Van.  Gestapu  and  State  Power  in  Indonesia,  dalam  Robert  Cribb,  The Indonesian  Killings  of  1965-66:  Studies  from  Java  and  Bali.Clayton:  Centre  of  Southeast
Asian Studies, Monash University, 1990, hal. 48.
31
A. Pambudi. 2011. Antara Fakta dan Rekayasa. Jakarta: PT. Buku Seru, hal. 19.
Kolonel dr. Frans Patiasina, dan tiga ahli forensik sipil dan Fakultas Kedokteran UI, Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, dr Liauw Yan Siang, dan dr. Liem Joey Thay
dengan  Surat  Perintah  nomor  PRIN-0310-1965  ternyata  berbeda  jauh  dari  yang diberitakan  di  media.  Dokter  Lim  Joey  Thay,  tidak  menemukan  satupun  tanda-
tanda  penyiksaan  seperti  yang  diberitakan.  Surat  forensik  ini  mulai  pelan-pelan muncul ke publik pasca Reformasi 98 dan jatuhnya Soeharto, apalagi setelah film
Pengkhianatan  G30SPKI  dihentikan  penayangannya.  Hal  ini  membuat  banyak orang  kembali  bertanya  mengenai  kesahihan  kronologis  peristiwa  Tragedi
Kemanusiaan 1965. Dalam  buku  pelajaran  sejarah  banyak  menyebutkan  bahwa  jenderal-
jenderal  itu  dinarasikan  sebagai  simbol  pembela  Pancasila.  Dari  situ,  Orde  Baru berhasil  membuat  konstruksi  dan  rekonstruksi  sejarah  yang  hegemonik  dan
manipulatif  untuk  membuat  fakta-fakta  sejarah  yang  menjadi  momok masyarakat
32
. Jika benar tidak ada penyiksaan, dengan demikian muncul persepsi bahwa
ada peran besar media massa terhadap keberhasilan Soeharto menumpas PKI dan
32
Dedy  Kristanto,  dalam  tesis  berjudul  Politik  Ingatan  Pekerja  Kemanusiaan:  Trauma  dan Identitas  Pekerja  Kemanusiaan  Jesuit  Refugee  Service  JRS  Indonesia  dalam  Program
Rekonsiliasi-Repatriasi  Pasca  Jajak  Pendapat  1999  di  Timor  Leste,  dalam  pemenuhan  untuk Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
lawan-lawan  politiknya.  Peran  media  massa  disini  termasuk  media  cetak,  radio, audio-visual,  dan  dampak  nyatanya  adalah  pembentukan  opini  publik  dari
propaganda  media  massa  itu.  Menyinggung  tentang  film  Pengkhianatan G30SPKI,  yang  menurut  beberapa  sejarahwan  isinya  mengelu-elukan  Soeharto
sebagai  penyelamat  bangsa  ini.  Karena  film  tersebut  sering  ditayangkan,  hampir semua  yang  menontonnya  hafal  betul  dengan  adegan-adegan  serta  dialog  kunci
yang  muncul  dalam  film  tersebut.  Seperti  ucapan  “Darah  itu  merah,  Jendral” menjadi  ucapan  populer  yang  mengindikasikan  kekejaman  PKI  pada  peristiwa
tersebut.  Tujuan  dari  produksi  film  ini  tidak  lain  ialah  untuk  mengingatkan kembali  rakyat  Indonesia  akan  ‘bahaya  laten  komunisme’.  Eros  Jarot  berkata
bahwa  sang  sutradara,  Arifin.  C.  Noer  sangat  kecewa  terhadap  hasil  film  yang dibuatnya sendiri itu. Berdasarkan pengakuannya, ia telah dipaksa tunduk kepada
pimpinan  negara.  Begitulah,  kata  Eros  Djarot  merupakan  usaha  untuk  terus menghidup-hidupkan bahaya laten PKI yang menurutnya, tanpa argumentasi.
Pernyataan  dan  sejarah  yang  dibuat  oleh  Orde  Baru  kini  perlu  dinilai apakah  betul-betul  fakta  atau  fiksi.  Pihak  militer  pula  yang  berperan  penting
dalam  pembuatan  diorama  di  Museum  Lubang  Buaya.  Apakah  gambaran  itu betul-betul akurat sesuai dengan kenyataan atau lebih banyak mengandung fitnah.
Fakta-fakta sejarah diatas dapat ditemukan di buku-buku sejarah terutama terbitan masa  Orde  Baru.  Pada  bab  pendahuluan  telah  diungkapkan  pendidikan  sejarah
mengalami  beberapa  kali  perubahan,  tentunya,  dengan  tujuan  yang  ingin  dicapai oleh para penguasa dan kondisi zaman.
2.2. Pendidikan Sejarah sebagai Alat Kekuasaan
Salah  satu  keberhasilan  Soeharto  adalah  kemampuannya  membuktikan tesis bahwa antara pendidikan dengan politik kekuasaan merupakan dua hal yang
tidak  terpisah.  Seperti  dikutip  oleh  Ibe  Karyanto  dalam  tulisan  M.  Surozi  bahwa lembaga-lembaga  dan  proses  pendidikan  berperan  penting  dalam  membentuk
perilaku  politik  masyarakat  di  negara  tersebut.  Pendidikan  menjadi  alat  politik Soeharto  untuk  melanggengkan  kekuasaannya.  Menurut  Michael  Sturner,  masa
depan  dikuasai  oleh  mereka  yang  menguasai  isi  ingatan,  yang  merumuskan konsep  dan  menafsirkan  masa  lalu.
33
Dalam  hal  ini  pemegang  kekuasaan  tentu akan  melakukan  “penguasaan  ingatan  kolektif.”  Dan  penguasaan  sejarah  dipakai
untuk pembenaran sistem yang dipakai untuk masa depan.
33
Dikutip  oleh  Taufik  Abdullah,  1996.  Masalah  Kontemporer  Ilmu  Sejarah  dan  Historiografi, Makalah Kongres Nasional Sejarah, hal. 2.
Upaya mencekoki masyarakat termasuk murid sekolah dengan versi resmi Orde  Baru  telah  berjalan  puluhan  tahun.  Jelas  butuh  waktu  untuk  “membenahi”
sesuatu  yang  telah  diporak-porandakan  sekian  lama. Historiografi  sejarah
Indonesia  memiliki  dua  kekuatan  narasi  yaitu  narasi  formal  dan  narasi  yang bersifat  pinggiran  Henk  Schulte  Nordholt,  2008  :  24-31.  Narasi  formal  adalah
historiografi  resmi  yang  ditulis  oleh  negara  yang  biasanya  ditampilkan  dalam buku  Sejarah  Nasional.  Sejarah  Nasional  merupakan  historiografi  yang  dibuat
oleh  negara  dan  harus  disosialisasikan  kepada  masyarakat  terutama  dalam pendidikan  sejarah  yang  diajarkan  sekolah.  Dengan  demikian  historiografi  yang
ada dalam buku teks pelajaran sejarah menjadi suatu narasi besar atau arus utama tentang interpretasi sejarah Indonesia. Sedangkan historiografi pinggiran biasanya
lahir  dari  hasil  penelitian  di  perguruan  tinggi  seperti  dalam  bentuk  skripsi,  tesis, dan  disertasi  atau  hasil-hasil  penelitian  karya  akademisi  lainnya.  Interpretasi
sejarah  pada  historiografi  formal  dan  pinggiran  memungkinkan  terjadinya perbedaan.  Hal  ini  lah  yang  kemudian  menjadi  isu  penting  dalam  historiografi
sejarah Indonesia pada awal reformasi. Sejak  awal  reformasi  terjadi  gugatan-gugatan  yang  begitu  besar  terhadap
penulisan  sejarah  Indonesia.  Gugatan-gugatan  sejarah  terjadi  disebabkan  oleh
adanya ketidakpuasan beberapa kalangan terhadap penulisan sejarah pada zaman Orde Baru. Salah satu ciri utama dalam penulisan sejarah Orde Baru yaitu bersifat
sentralistis. Sentralistis yang dimaksud di sini adalah adanya dominasi interpretasi yang  bersifat  tunggal  dari  negara.  Historiografi  Indonesia  yang  ditulis  oleh  Orde
Baru  telah  menempatkan  bahwa  Orde  Baru  sebagai  upaya  penyelamatan  negara dari berbagai ancaman dan gangguan yang telah merongrong negara.
2.2.1.  Hegemoni dan Alienasi dalam Pendidikan Sejarah
Dalam  menjelaskan  keterkaitan  antara  pelajaran  sejarah,  guru,  murid  dan institusi  dengan  produk  aktifitasnya,  Marx  menyebut  keterasingan  alienasi
sebagai  proses  historis  di  mana  manusia  semakin  terasing  dari  satu  sama  lain. Meskipun  konsep  ini  dititikberatkan  pada  pembahasan  mengenai  efek  negatif
yang menimpa buruh dalam industri kapitalis, tapi konsep Marx ini juga mengacu pada  perasaan  terasing  dari  masyarakat,  kelompok,  kultur  atau  diri  manusia
sendiri yang lazim dirasakan oleh orang dalam budaya industrial yang kompleks. Demikian pula halnya terjadi dalam dunia pendidikan terutama pendidikan
sejarah  yang  telah  ’terasingkan’  dari  proses  pembentukan  individu,  budaya, pencerdasan  anak,  dan  pemberdayaan.  Pendidikan  sejarah  lebih  menjadi
komoditas  politik,  ekonomi  dan  kekuasaan.  Telah  terjadi  alienasi  pendidikan sejarah dan kita menyadari bahwa wacana histori terjebak sebagai praktik ideologi
dominan.  Dengan  pelanggengan  kekuasaan  kegiatan  belajar-mengajar  tidak bertujuan membantu manusia muda menemukan identitas, kepribadian, nilai-nilai
dan perjuangan hidup. Secara  pragmatis,  pendidikan  sejarah  juga  digunakan  sebagai  instrumen
kekuasaan yang bersifat melegitimasi dalil-dalil kebenaran dan dogma penguasa. Pendidikan  adalah entitas aktif yang bebas dari konstruksi sosial bahkan bersifat
mengobjektivasikan  masyarakat.  Sekolah  menjadi  subjek  yang  mengobjek,  yang tak lepas dari kekuasaan dari berbagai pihak.
Bagi  penulis  pendidikan  sejarah  kini  ditempatkan  pada  proses  alienasi yang membuat anak didiknya menjadi objek yang pasif. Pendidikan tereleminasi
pencapaian target kurikulum dengan fokus penghafalan konsep demi angka-angka ujian  dengan  terpaksa  dan  dalam  alienasi  tersebut  tentunya  kita  bisa  melihat
adanya  kekuasaan  ideologi  dominan  yang  mengendalikan  dan  membuat  anak merasa  terancam  jika  tidak  melakukan  apa  yang  diperintahkan.  Bahruddin
mengidentifikasi proses belajar mengajar didominasi oleh guru, dan kepentingan- kepentingan pihak tertentu yaitu institusi sekolah itu sendiri dan negara. Masalah-
masalah  pendidikan  seperti  di  atas  menjadi  meluas  dan  rumit  seiring  dengan perkembangan zaman.
Jadi,  akar  dari  permasalahan  pendidikan  dasar  dan  menengah  Indonesia adalah  pemeliharaan  dominasi  yang  tampak  pada  pemerataan  pendidikan,  mutu
pendidikan  dan  manajamen  pendidikan  dan  pasifnya  peran  murid  itu  sendiri dalam  pendidikan.Dominasi  dalam  pemerataan  pendidikan  sangat  berkaitan  erat
dengan kapitalisme karena pengaruhnya sangat besar pada masyarakat modern. Dari  kedua  pandangan  diatas,  alienasi  dalam  pendidikan  dan  adanya
hegemoni  dalam  pendidikan  tampak  berbeda  namun  sebenarnya  bersifat  identik. Keduanya meletakkan pendidikan sebagai subjek maupun objek dalam fungsinya
masing-masing.  Pendidikan  di  satu  sisi  memiliki  kekuasaan  atas  pembentukan identitas masyarakat-negara, namun di sisi lain menjadi instrumen kekuasaan dari
masyarakat-negara. Dalam  studi  kasus  ini  penulis  menempatkan  pendidikan  sejarah  di
beberapa sekolah menengah atas sebagai data empiris. Sekolah-sekolah  tersebut dipakai  untuk  melihat  kebelakang  bagaimana  proses  pendidikan  konvensional
telah  mengalienasi  siswanya  dan  bagaimana  ideologi  dominan  wacana  sejarah yang secara berperiode bermain dalam pembentukan siswa sebagai objek.
Marx  lebih  menekankan  alienasi  dalam  pekerjaan.  Karena  dalam  sistem kapitalisme  orang  tidak  bekerja  secara  bebas  dan  universal,  melainkan  karena
terpaksa atau syarat untuk hidup. Ada dua macam alienasi. Pertama, keterasingan dari dirinya sendiri. Bentuk alienasi ini mempunyai tiga segi yaitu teralienasi dari
produknya yang artinya produknya adalah milik pabrik, apalagi apabila ia hanya mengerjakan  bagian  kecil  dari  produk  yang  sudah  jadi.  Karena  hasil  pekerjaan
terasing  dari  padanya,  tindakan  pekerjaan  itu  sendiri  pun  kehilangan  arti  bagi  si pekerja.  Itulah  bentuk  kedua  dari  keterasingan.  Pekerjaan  yang  dilakukan  buruh
adalah pekerjaan paksaan, si pekerja akan merasa menjadi dirinya sendiri saat dia sudah tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena ia tak bekerja menurut hasrat dan
dorongan  batin.  Jadi  bukan  pekerjaan  itu  kebutuhan  si  pekerja  melainkan  ia bekerja  untuk  memenuhi  kebutuhan  hidup  diluar  pekerjaan.  Ia  harus  menjadikan
kegiatan  hidupnya  menjadi  sarana  untuk  mempertahankan  kebutuhan  fisik. Kedua,  keterasingan  dari  orang  lain.  Konsukuensi  langsung  dari  keterasingan
manusia  dari  produk  pekerjaannya  adalah  keterasingan  manusia  dari  manusia. Secara  empiris  keterasingan  sesama  menyatakan  diri  dalam  kepentingan  yang
bertentangan  karena  kepentingan  hak  pribadi  ada  ditangan  penguasa  dan kepentingan sesama pekerja.
34
Pedagogi  juga  selalu  menempatkan  disiplin  ilmiah  berdasarkan pengalaman  empiris.  Dalam  kaitan  ini  pendidikan  sejarah  selalu  bersifat
kontekstual.  Artinya,  seluruh  isi  pembelajaran  selalu  berkait  dengan  situasi  dan kondisi  baik  IPTEK,  ekonomi,  politik,  sosial,  budaya,  sejarah,  hukum,
kebegaramaan,  dan  ketatanegaraan.  Setiap  pembelajaran  harus  terkait  dengan problematika  kehidupan  masa  lalu,  masa  kini  dan  masa  sekarang,  juga  secara
lokal, regional, nasional, dan internasional.
2.2.2 Pengetahuan dan Kekuasaan
Jika  dalam  satu  sisi  pendidikan  membicarakan  tentang  alienasi,  tentunya kita juga harus mencermati siapa yang bermain dalam proses penciptaan alienasi
tersebut.  Alienasi  sangat  dipengaruhi  oleh  satu  pihak  yang  berkuasa,  dalam pendidikan  alienasi  bisa  dilihat  oleh  bagaimana  murid  tidak  pernah  berperan
menjadi  subjek  dalam  menentukan  apa  yang  menjadi  aktualisasi  dirinya.
35
Dari
34
Franz Magniz-Suseno. 1993. Sejarah Filsafat Sosial Jerman Abad Ke-Sembilan Belas. Jakarta: Sekolah Tinggi Driyarkara.
35
H.A.R Tilaar. 2005. Kekuasaan dan Pendidikan, hal. 115.
konsep Gramsci tentang ideologi dan hegemoni tersebut memperlihatkan kepada kita adanya budaya dominan yang ditekankan di suatu persekolahan bahkan dapat
dikatakan  adanya  pemeliharaan  dominasi.  Gramsci  adalah  salah  satu  tokoh  neo- marxis  yang  selama  hidupnya  membangun  aliansi  buruh  dan  petani  dengan
membangun  poros  utara  yaitu  kelas  proletarian  di  kawasan  industri  maju  dan poros selatan yaitu tuan-tuan rumah yang mendominasi tanah.
Menurut  Gramsci  memperjuangkan  kelas  tertindas  adalah  tugas  dari pemikir-pemikir  yang  bisa  mempengaruhi  perjuangan  mereka  dengan  tidak
menghasilkan  kepentingan  sepihak  karena  untuk  memperjuangkan  kelas diperlukan  war  of  position,  yakni  memperebutkan  kekuasaan  atas  suprastruktur
negara  dengan  menciptakan  hegemoni  tandingan  melalui  budaya  alternatif. Berbicara  dominasi,  pedagogi  kritik
36
mengkaitkan  konsep  hegemoni  dengan pendidikan.  Bagi  Gramsci,  kajian  budaya  mengadopsi  makna-makna  yang
menyokong  kelompok  sosial  tertentu.  Maka  konsep-konsep  hegemoni  pun menjadi  relevan  bagi  gerakan  sosial  kebudayaan  dalam  pendidikan.
37
Pemikiran
36
Paradigma  pendidikan  kritis  ini  selain  menghapus  kekuasaan  dalam  kapitalisme  juga berimplikasi  kepada  metode  dan  pendekatan  pengajaran.  Pendidikan  kritis  juga  tidak  hanya
diterapkan  sebagai  hubungan  subjek-objek,  namun  juga  dalam  bentuk  kurikulum  ataupun metode  belajar.  Dengan  demikian,  yang  harus  dipertajam  dari  pendidikan  kritis  ini  adalah
bagaimana suatu institusi pendidikan dapat berfungsi sebagai agen utnuk memperoduksi sistem sosial yang baru  Stanley, 2000
37
Chris Barker. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang, hal. 147.
Gramsci  menempatkan  analisa  kebudayaan  dan  perjuangan  ideologis  yang akhirnya  menjadikan  kajian  budaya  menjadi  sangat  relevan  bagi  mereka  yang
peduli  terhadap  pendidikan  sejarah.  Pemikirannya  memberikan  tempat  khusus bagi  kaum  intelektual  yang  menghubungkan  mereka  dengan  peserta  perjuangan
sosial lainnya. Di sini Gramsci membedakan antara “intelektual organik” dengan “intelektual tradisional”.
Begitu pula dalam hal pendidikan, kajian budaya Gramscian memimpikan sang  “intelektual  organik”  yang  memegang  peran  kunci  dalam  penyiapan  kaum
intelektual  dan  gerakan  yang  kontrahegemonik  tentang  digunakannya  konsep- konsep Gramsci dalam kajian budaya adalah karena penekanannya pada nilai-nilai
penting  dalam  pertarungan  ideologis.  Gramsci  mendefinisikan  hegemoni  sebagai “sekumpulan fungsi pendominasian, pendidikan, dan pengarahan yang dilakukan
suatu  kelas  sosial  yang  dominan  selama  periode  tertentu  terhadap  suatu  kelas sosial lainnya, bahkan sejumlah kelas sosial lainnya.
38
Dominasi wacana sejarah dalam  konteks  pendidikan  Indonesia  selalu  berhubungan  dengan  wacana-wacana
yang  kontroversi,  contohnya  Tragedi  Kemanusiaan  1965,  di  mana  sampai  kini masih diperdebatkan cara mengajar topik tersebut di sekolah secara netral.
38
Ibid .
Tragedi kemanusiaan 1965 merupakan sejarah yang bersifat kontroversial pada  pelajaran  sejarah  dalam  beberapa  tahun  terakhir  karena  terdapat  beberapa
versi  dan  masing-masing  mempunyai  landasan  yang  kuat.  Menurut  Abu  Su’ud, pengembangan  isu  kontroversial  dalam  kelas  sejarah  bertujuan  mencapai:  1
peningkatan  daya  penalaran,  2  peningkatan  daya  kritik  sosial,  3  peningkatan kepekaan  sosisal,  4  peningkatan  toleransi  dalam  perbedaan  pendapat,  5
peningkatan  keberanianpengungkapan  pendapat  secara  demokratis,  dan  6 peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab
39
. Pelajaran  sejarah  yang  kontroversial  baru  dianggap  sebagai  sesuatu  yang
kontroversial  setelah  Reformasi  98,  dimana  mulai  banyak  tulisan  dan  buku  yang isinya memberi alternatif wacana bagi buku pelajaran sejarah di sekolah. Namun
seperti  disebutkan  di  Bab  I,  bahwa  pelajaran  di  sekolah  hanya  mendorong siswanya untuk menghafal tanggal, nama dan tokoh sejarah persis seperti di buku
pelajaran  daripada  mengajak  siswa  untuk  memahami  berbagai  versi  wacana sejarah.  Menurut  Asvi  Warman  Adam,  dalam
www.sejarahkritis.wordpress.com ,
kecenderungan  ini  juga  disebabkan  oleh  kurangnya  inisiatif  dari  guru  sejarah
39
Pernyataan  Abu  Su’ud  ini  dikutip  di  blog  sejarahkritis.wordpress.com  oleh  tsabitazinarahmad berjudul Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial, yang diunggah tanggal 2 April, 2012 jam
12: 49.
untuk  mengadakan  evaluasi  pedagogi  sejarah  kritis.  Hal  ini  tampak  dari  adanya intervensi dari pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung
Nomor 019AJA032007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan Partai Komunis Indonesia
tahun 1948 dan 1965. Dengan  melihat  kenyataan  bahwa  pelajaran  sejarah  selalu  mutlak
menggunakan  buku  yang  ditentukan  oleh  institusi,  maka  pelajaran  sejarah dianggap  sebagai  alat  indoktrinasi  sebuah  rejim  dan  menghasilkan  hegemoni
wacana  yang  mutlak  antar-generasi.  Mengingat  bahwa  murid-murid  tidak  dapat menentukan  sendiri  bahan-bahan  yang  harus  dipelajari,  maka  peran  guru  disini
sebagai  agen  pengetahuan  perlu  mendapat  perhatian  khusus.  Guru  mempunyai peran  untuk  mendampingi  murid  belajar  secara  mandiri  dan  sebaliknya  mereka
juga  berperan  memediasi  murid  untuk  berintegrasi  dengan  materi-materi  lain  di luar yang ditentukan institusi.
Membahas  tentang  politik  kurikulum  resmi  dari  institusi  berarti  bicara tentang  kekuasaan.  Kekuasaan  disini  adalah  relasi  antara  pemerintah  dengan
institusi,  institusi  dengan  guru  dan  guru  dengan  murid.  Murid  sudah  terbiasa dengan  pengetahuan  gaya  konvensional  yang  mengharuskan  mereka  untuk
menyerah kepada kekuasaan demi mendapatkan nilai diatas rata-rata. Sebaliknya, ada  beberapa  murid  yang  menunjukkan  penolakan  dengan  membisu,  meskipun
ada  beberapa  yang  menunjukkannya  dengan  pertentangan  yang  aktif  karena sejarah  juga  tidak  bisa  secara  instan  menuntut  muridnya  untuk  berpikir  kritis,
seolah seperti orang yang akan menulis ulang teks yang dibacanya. Ketika penulis melakukan  penelitian  di  beberapa  sekolah  dan  melakukan  beberapa  wawancara
dengan  murid  mengenai  pelajaran  sejarah,  bisa  diduga  bahwa  sebagian  besar murid-murid  SMA  di  Yogyakarta  masih  dididik  oleh  model  pengajaran
konvensional.  Hal  inilah  yang  menjadi  perbandingan  model  transisi  pedagogi pelajaran sejarah di sekolah lain untuk dianalisa.
Dalam kasus lain murid menjadikan guru sebagai role model persis tanpa menelaah  lebih  dalam  apa  yang  diajarkannya.  Kekuasaan  semacam  ini  tidak
mampu  memberikan  stimulasi  terhadap  murid  bagaimana  cara  berpikir  kritis. Contohnya, mereka menulis apa yang guru bicarakan di depan kelas karena murid
merasa  asing  dengan  apa  yang  diajarkan  guru  sejarah.  Hal  ini  berkaitan  dengan peristiwa  sejarah  yang  tidak  dijelaskan  secara  konseptual  oleh  guru  sejarah.
Akibatnya  saat  belajar  di  rumah  murid  merasa  teralienasi  dari  wacana  sejarah yang diajarkan, sehingga memilih untuk menghafal yang sudah dicatatnya.
Dua  macam  cara  mengajar  sejarah  diatas  hanyalah  menitikberatkan  pada teknik  dan  bukan  melakukan  kontak  dengan  realitas  secara  kritis.  Inilah  yang
menghalangi  analisis  atas  kekuasaan  politik  pembuatan  kurikulum  dalam pendidikan  menjadi  sesuatu  yang  dianggap  berkuasa  sehingga  sudah  selayaknya
dipatuhi oleh murid dan bahkan guru sejarahnya. Para guru sejarah dibiasakan dan terbiasa  untuk  tidak  mengajukan  pertanyaan  kritis  tentang  keputusan  atasan  jika
tidak ingin berdampak terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Pada  metode  pendidikan  kritis  dalam  pembelajaran  sejarah,  pengajaran
yang  bersifat  dialogis  mendorong  guru  dan  murid  melakukan  pengupasan pemikiran  dari  bahan  kajian  sejarah,  dan  bukan  semata-mata  pengalihan
pengetahuan dan teknik menguasai alfabet. Ira Shor mengatakan gagasan tersebut adalah  pedagogi  yang  mencerahkan  realitas,  artinya  pendidikan  yang
membebaskan  bukan  panduan  atau  teknik  cerdas,  melainkan  suatu  perspektif cerdas tentang sekolah, masyarakat dan belajar untuk transformasi sosial.
40
Pendidikan  sejarah  merupakan  tindakan  yang  politis.  Oleh  sebab  itu, sampai  saat  ini  tidak  ada  pedagogi  yang  netral  dalam  belajar  sejarah  karena
adanya dominasi dari wacana sejarah yang masih bermuatan politik dan memiliki
40
Ira Shor  Paulo Freire. 2001. Menjadi Guru Merdeka. Yogyakarta: LKIS.
hubungan  sosial  dengan  masyarakat.  Menurut  Paulo  Freire,  dalam  suatu  proses pedagogi  dapat  ditemukan  bagaimana  kita  didominasi  ideologi  dominan.  Kita
dapat menarik jarak atas momen eksistensi kita. Oleh sebab itu, kita dapat belajar tentang bagaimana menjadi bebas melalui perjuangan politik dalam masyarakat.
41
Pendidikan sejarah yang bersifat statis ini menimbulkan kebingungan bagi guru  sejarah  dan  murid.  Pada  saat  Orde  Baru,  mereka  terbiasa  membaca  sejarah
yang  cenderung  mendiskreditkan  satu  pihak  tertentu.  Selepas  Reformasi  98, “pahlawan”  yang  dulu  dipuja-puja  seketika  harus  berubah  karena  perkembangan
historiografi.  Banyak  buku  yang  akhirnya  cenderung  menulis  peristiwa  Tragedi Kemanusiaan  1965  dengan  menyertakan  lebih  dari  satu  pendapat.  Guru  sejarah
harus  berupaya  menyesuaikan  materi  dengan  mengikuti  perubahan-perubahan wacana tersebut dan mengajak murid-murid untuk berpikir kritis dengan melihat
perubahan  yang  terus  terjadi.  Kontroversi  wacana  Tragedi  Kemanusiaan  1965 tidak sebatas pada pencatuman tiga huruf di belakangnya saja, namun juga karena
ada berbagai versi terhadap tafsiran peristiwa tersebut.
41
Paulo Freire. 2011. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial. Yogyakarta: Logung Pustaka, hal. 22.
BAB III PENDIDIKAN KRITIS AHISTORIS
Setelah  Reformasi  98,  era  baru  penulisan  sejarah  Indonesia  yang  ditulis oleh orang Indonesia dengan menggunakan metodologi kritis historiografi sejarah
pun dimulai. Saat ini, kritik ditujukan terhadap para akademisi sejarah yang hanya berkutat  pada  data  di  ruang  arsip,  tidak  mencoba  keluar  untuk  memahami  benar
pada masalah yang ada dalam penelitian mereka, dan menyebabkan kajian sejarah hanya  akan  berada  di  menara  gading.  Indah  bagi  mereka  yang  menekuni
bidangnya, namun tidak berarti apa-apa untuk masyarakatnya. Pada  bab  II  telah  diuraikan  tentang  bagaimana  pendidikan  sejarah  telah
mengalienasi  subjek  dan  objek  yang  diajarkannya,  sehingga  seperti  yang sebelumnya  dikatakan,  wacana  sejarah  tidak  berarti  apa-apa  bagi  yang
mempelajarinya.  Menurut  Y.B.  Mangunwijaya,  pendiri  Yayasan  Dinamika Edukasi  Dasar  DED,  kondisi  pendidikan  di  Indonesia  didominasi  oleh
pemerintah  melalui  kebijakan  kurikulum  nasional.  Menurut  Mangunwijaya pendidikan  di  Indonesia  hanyalah  tempat  penataran  bagi  siswa-siswi  menghafal
materi-materi pelajaran berkuantitas banyak yang tidak relevan untuk menghadapi
kehidupan  nyata  nantinya.  Dunia  pendidikan  adalah  penyeragaman  yang menghasilkan siswa-siswi menjadi manusia yang dehumanis.
42
Penyeragaman  dalam  penelitian  ini  diartikan  sebagai  penyeragaman wacana  sejarah  Tragedi  Kemanusiaan  1965  oleh  Orde  Baru.  Meminjam  konsep
habitus Pierre Bourdieu, habitus adalah pembiasaan pikiran, persepsi, aksi yang menghasilkan  struktur  kepatuhan  dan  kesiapsediaan  seseorang  untuk  melakukan
tindakannya.
43
Hasil-hasil  buku  sejarah  terbitan  Orde  Baru  adalah  sebuah habitus
44
dalam  pendidikan  sejarah  yang  menghegemoni  kurikulum  nasional. Namun,  orang  Indonesia  yang  tinggal  di  luar  negeri  mendapat  pengalaman  yang
berbeda dan membuat mereka berpikir ulang tentang Orde Baru. Sektor  pendidikan  adalah  sektor  yang  berhubungan  dengan  sektor-sektor
lain,  sehingga  saat  ada  perubahan  dalam  sektor  lain,  terjadi  juga  dalam  proses pendidikan.  Ariel  Heryanto  mengatakan  kalau  mau  bermain  dalam  sektor
pendidikan  maka  harus  paham  politik  juga  dan  kalau  dikutak-katik  lagi  semua
42
Y.B  Mangunwijaya  yang  dikutip  oleh  Antonius  Ferry  Timur  Indratno  dalam  tesisnya  yang berjudul  Konsep  Manusia  Pasca-Indonesia  dan  Pasca-Einstein:  Tinjauan  Kritis  atas
Kurikulum  Nasional  dan  Dominasi  Pemerintah  Studi  Kasus  SD  Eksperimental  Mangunan, hal. 84.
43
Michael Grenfell dan David James. 1998. Bourdieu and Education: Acts of Practical Theory. London: Farmer Press, hal. 162-170.
44
Habitus  adalah  sistim  atau  perangkat  disposisi  yang  bertahan  lama  dan  diperoleh  melalui latihan  berulang  kali  inculcation.  Habitus  lahir  dari  kondisi  sosial  tertentu  dan  karena  itu
menjadi  terstruktur  dari  kondisi  sosial  yang  sudah  diproduksi.  Bourdieu.  Pierre.  1984. Distinction:  A  Social  Critique  of  the  Judgement  of  Taste.Terjemahan  oleh  Richard  Nice.
Harvard Universtity Press, hal. 170.
berhubungan  dengan  apa  yang  terjadi  pada  tahun  1965  dan  menimbulkan pendisiplinan.
45
Dalam  bab  tiga  ini  penulis  menganalisa  bagaimana  perubahan  wacana Tragedi  Kemanusiaan  1965  di  buku  teks
46
pelajaran  sekolah  dari  masa  ke  masa. Disini  penulis  mengambil  data  dari  buku  teks  pelajaran  sejarah  sebelum
Reformasi 98 sampai yang terbitan terbaru beserta analisa terhadap polemik atas respon beberapa lembaga mengenai pencantuman beberapa topik tertentu di buku
teks  sejarah.  Dalam  bab  ini  penulis  menunjukkan  bahwa  pendidikan  sejarah  di Indonesia tidak mengalami perubahan yang cukup drastis dari pemerintahan Orde
Baru  dan  masih  ada  wacana  hegemoni  dalam  tema  Tragedi  Kemanusiaan. Kenyataan  tersebut  diperlihatkan  oleh  subjektifitas  penyusunan  buku  pelajaran
sejarah di tingkat Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta.
45
Ariel  Heryanto.  2001.  Teror  Negara:  Tentang  Politik  dan  Batuk-Batuk  Lagi  dalam  buku Menuju  Demokrasi:  Politik  Indonesia  dalam  Perspektif  Sejarah.  Ed:  Baskara.  T.  Wardaya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 303
46
Menurut  Prof.  Dr.  Bintang  Petrus  Sitepu,  M.  A.,  buku  teks  dalam  pelajaran  sekolah  adalah semua buku yang dipakai dalam proses belajar mengajar, sebagaimana dikutip oleh Sitepu, B.
P. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sedangkan buku teks  sejarah  adalah  sebuah  teks  historiografi  yang  disusun  oleh  guru,  sejarawan  dan  pakar-
pakar  pendidikan  sejarah  yang  memadukan  kaidah-kaidah  keilmuan  sejarah  dan  unsur pendidikan yang mengacu pada kurikulum yang berlaku.
3.1. Tragedi Kemanusiaan 1965 dalam Buku Pelajaran Sejarah Orde Baru
Di  dalam  bukunya,  Soeharto:  Sisi  Gelap  Indonesia,  Asvi  Warman  Adam menyimpulkan  bahwa  pelurusan  sejarah  akan  menjadi  beragam  pada  zaman
setelah Orde Baru. Namun, bagaimana dengan pelajaran sejarah nasional? Itu soal lain,  katanya.
47
Asvi  menjelaskan  bahwa  peristiwa  Tragedi  Kemanusiaan  1965 memerlukan  tindakan  korektif  oleh  negara  tidak  hanya  dalam  aspek  yuridis
namun  juga  dalam  aspek  ingatan  masyarakat.  Oleh  sebab  itu  untuk  mengelola ingatan masyarakat perlu diperbaiki pendidikan sejarah
48
dan metode sejarah lisan oleh para korban.
Dewasa  ini,  kedudukan  buku  teks  menjadi  semakin  sentral  dalam  proses mengajar  di  ruang  kelas  karena  guru  merasamsulit  dan  berat  untuk
mengembangkan  sendiri  materi  pelajaran  yang  diajarkan  karena  faktor  internal dan  tuntutan  institusi.  Terlebih  lagi,  pada  tahun  2005  Departemen  Pendidikan
Nasional  mengeluarkan  peraturan  No.11  Tahun  2005  tentang  Buku  Teks Pelajaran.  Pada  Pasal  3  ayat  1  tertulis  bahwa  buku  teks  pelajaran  untuk  setiap
mata  pelajaran  yang  digunakan  pada  satuan  pendidikan  dasar  dan  menengah dipilih  dari  buku-buku  teks  pelajaran  yang  telah  ditetapkan  oleh  menteri
47
Asvi Warman. 2004. Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Ygyakarta: Ombak, hal. 28.
48
Ibid.
berdasarkan  rekomendasi  penilaian  kelayakan  dari  Badan  Standar  Nasional Pendidikan BSNP tahun 2005.
BSNP  menetapkan  empat  kriteria  utama  yaitu  materi,  penyajian,  bahasa, keterbacaan  dan  grafika.  Ketentuan  BNSP  ini  berlaku  untuk  teks  semua  mata
pelajaran, dan khusus untuk buku teks sejarah BNSP tidak mampu mencermati isi di  dalamnya.  Model  penulisan  sejarah  harusnya  mencakup  dua  ideologis,  yaitu
pewarisan  dan  akademik.    Buku  teks  di  satu  sisi  harus  mampu  menjadi  media pewaris, tetapi di sisi lain harus dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik.
Penulisan  sejarah  nasional  juga  harus  tidak  lepas  dari  keseimbangan  wacana, seperti  yang  dikatakan  Sartono  Kartodirdjo  tentang  penulisan  sejarah  nasional,
yaitu sejarah harus mampu mengungkapkan “sejarah dari dalam” dimana bangsa Indonesia  sendiri  memegang  peranan  pokok.  Kedua,  menguraikan  faktor  atau
kekuatan  yang  mempengaruhinya,  baik  ekonomi,  sosial,  maupun  politik  ataupun kultural.  Ketiga,  mengungkapkan  aktivitas  pelbagai  golongan  masyarakat,  tidak
hanya  bangsawan  atau  ksatria,  tetapi  juga  dari  kaum  ulama  atau  petani  serta golongan-golongan lainnya. Keempat, sejarah harus disusun sebagai suatu sintese,
dimana  digambarkan  proses  yang  menunjukkan  perkembangan  ke  arah  kesatuan geopolitik seperti yang kita hadapi saat ini. Menggarisbawahi poin ke tiga, artinya