REAKSI TERHADAP MULTI-NARASI PELAJARAN SEJARAH

seharusnya. Mereka tidak mempunyai cukup keberaniaan untuk mengambil resiko jika didapati oleh institusi memberi bahan-bahan tambahan kepada siswa-siswi. Sebenarnya ketakutan-ketakutan imajiner semacam ini hanya semacam utopia, dan sering terjadi pada guru sejarah yang sudah mengajar di jaman Orde Baru. Penjelasan mengenai poin ini akan dibahas lebih lanjut dengan memberikan bukti otentik wawancara dengan para guru sejarah di sub-bab selanjutnya.

4.2. Sejarah Lisan dan Subjektifitas Masa Lalu

Metode penggunaan sejarah lisan dapat mengatasi keterbatasan dokumen yang dirasa tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut Henk Schulte Nordholt, sejarah lisan sangat penting bagi historiografi Indonesia, bukan saja karena birokrasi pemerintah pada era- Soeharto yang tidak banyak meninggalkan arsip yang terbuka untuk umum, tetapi juga sejarah lisan membuka peluang bagi sejarawan untuk mengalihkan perhatiannya dari versi sejarah dan menyoroti pengalaman-pengalaman yang berada di luar arsip negara. Bahan- bahan sejarah lisan menjadi satu sumber utama dalam penulisan sejarah alternatif. Seperti yang dituliskan dibawah ini: “Salah satu alasan mengapa prosedur penilaian sumber lisan dan tulisan itu sama adalah karena sumber tulisan sendiri sering didasarkan pada informasi yang dikumpulkan secara lisan. Dokumen dasar yang digunakan sejarawan – surat kabar, laporan intelijen atau polisi, dan sebagainya – ditulis oleh orang-orang yang melakukan wawancara lisan. Dalam hal ini sumber lisan mempunyai kelebihan dibandingkan dokumen tertulis: peneliti bisa kembali kepada orang yang diwawancarai berulang-ulang untuk meminta penjelasan dan gambaran lebih rinci mengenai sesuatu. Kita dapat terus mengajukan pertanyaan kepada narasumbernya.” 70 Menurut Bambang Purwanto, sikap masyarakat terhadap sejarah bersifat mendua. Kepercayaan mereka terhadap validitas tulisan sejarah sampai pada titik terendah karena mereka menganggap masih sangat subjektif dan penuh rekayasa sehingga tidak memenuhi kebutuhan akan wacana yang diinginkan masyarakat. 71 Di satu sisi, munculnya tradisi seperti itu sangat membentuk historiografi Indonesia, yaitu sangat memuji sumber tertulis, dalam arti dokumen pemerintah. Perdebatan tentang sumber tertulis dalam historiografi Indonesia memunculkan perkembangan penelitian baru yaitu metode penelitian alternatif untuk mereorientasi historiografi Indonesia yang lebih objektif. Sejarah lisan 72 adalah metode menulis sejarah yang bercerita tentang wawancara dengan sumber informasi. Inilah yang menjadi metode alternatif yang 70 John Rossa, Ayu Ratih, Hilmar Farid. 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Lisan, Jakarta: ELSAM, hal. 2. 71 Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesianis. Yogyakarta: Ombak, hal. 51. dianggap lebih objektif daripada sejarah lisan dan sejarah lisan umumnya lebih berpihak kepada para korban atau pihak-pihak yang selama ini dibungkam suaranya 73 . Sejarah lisan dalam sastra Indonesia pertama ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Perawan Remaja di Cengkraman Militer. Yaitu mengenai jugun ianfu Jepang, Pram bertemu dan sekelompok tapol saat ditahan di Pulau Buru bertemu dengan sejumlah perempuan Jawa yang menuturkan kisah hidup mereka. Metode sejarah lisan dalam arti komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia untuk mentransfer informasi dan membangun ingatan. Di dalam bentuk komunikasi itu, korban membagi informasi seputar kejadian nyata, menunjukkan emosi mereka dan saling bertanya. Manusia mempunyai kecenderungan untuk membagi pengalaman masa lalu mereka dalam bentuk dokumentasi visual maupun narasi retorik, hal ini bertujuan untuk meregenerasi 72 Di bab pendahuluan ”Menyimak Suara Terbungkam” dari buku Suara di Balik Prahara hlm 20-23, Baskara. T. Wardaya, SJ. mengungkapkan pentingnya teknik sejarah lisan bagi sejarahwan. 73 Pengakuan kembali terhadap sejarah lisan juga bergaung ke Indonesia, meskipun terlambat 34 tahun, yakni dimulai pada tahun 1964 oleh sejarawan dari Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950.Kerja sejarah lisannya lalu dipusatkan pada keberhasilan para perwira TNI Angkatan Darat menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965 sebagaimana terlihat dalam karyanya, “40 Hari Kegagalan G-30-S”. Sejak tahun itu Notosusanto memfokuskan kerja sejarah lisannya pada upaya menulis riwayat hidup para tokoh militer atau tentang sejarah militer Indonesia. kejadian yang tidak dialami generasi berikutnya. Dalam menarasikan pengalaman, harus ada kesinambungan antara topik dan retorika pencerita. Jadi tidak semua pengalaman pribadi bisa disebut sebagai sejarah lisan, dalam hal ini sejarah lisan terkait dengan ingatan kolektif dimana masyarakat Indonesia harus mengetahui cerita tersebut. Saat ini sejarah lisan banyak digunakan sebagai metode alternatif untuk melakukan advokasi terhadap para korban kekerasan masa lalu. Kekerasan dan korban memang seperti menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Selama ada hubungan kekuasaan yang dilandasi ketidakadilan, selama itu korban ada. Tatanan sosial selalu ada dalam hubungan antar manusia, seperti kata Hannah Arendt yang mengatakan pengakuan bebas dari semua yang terlibat di dalam tatanan tempat kekuasaan itu berlaku. Dasar untuk pengakuan bebas adalah keadilan. 74 Ketika pihak yang berkuasa menolak tuntutan keadilan, pengakuan berlangsung atas dasar paksaan atau kekerasan yang melahirkan penindasan dan korban-korbannya, baik korban kekerasan fisik maupun struktural. Sejarah lisan yang berasal dari cerita korban adalah cerita terdomestifikasi dan terpinggirkan. Di dalam peperangan paling besar sekalipun, nama korban sengaja digeser dari 74 Hannah Arendt. 1959. The Human Condition, New York: Doubleday. sejarah dalam sebuah conspiracy of silence 75 yang dibangun demi kepentingan kekuasaan. “Lembaga Bantuan Hukum LBH Jakarta menggunakan sistem peradilan pengadilan perdata sebagai bentuk advokasi dengan menggugat lima orang presiden melalui sebuah class-action pada tahun 2005. Gugatan ini menuntut kompensasi dan rehabilitasi korban pembantaian massal tahun 1965, dimana diperkirakan 500.000 sampai sejuta warga sipil Indonesia dibunuh. Gugatan ini juga menuntut sebuah permintaan maaf tertulis, dibangunnya sebuah monumen untuk korban 1965, penulisan sejarah yang benar dalam kurikulum nasional, dan pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif.” ICTJ dan Kontras, 2011 Itulah pentingnya sejarah lisan, dimana menjembatani para korban dengan generasi setelahnya. Saat, sejarawan konvensional lebih menekankan pentingya dokumen tertulis, namun sejarawan yang sering terlibat dalam metode sejarah lisan berpendapat bahwa dokumentasi tertulis dapat mengandung bias dan distorsi. 76 Dalam konteks ini, sejarah lisan mampu memiliki keunggulan komparatif, kuantitatif dan kualitatif sebagai penambahan data tertulis yang sudah ada. Sebagai cabang ilmu sejarah yang sangat tergantung pada ingatan dan teks, sejarah lisan dianggap sebagai kesatuan dokumen pantas diarsipkan karena mampu membangkitkan relevansi pengalaman kelompok minoritas untuk merekonstruksi masa lalu dan munculnya perspektif penulisan sejarah dari bawah, 75 Conspiracy of silence, atau culture of silence, atau budaya diam adalah kondisi dimana sesuatu terjadi, namun secara sosial tidak dibicarakan atau dibahas oleh subjek pelaku dan yang mengetahui. 76 Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesianis. Yogyakarta: Ombak, hal. 17. sejarah lisan, dalam hal ini mengkaitkan ingatan sebagai sumber sejarah. Penelitian ini menggunakan ingatan dalam bentuk sejarah lisan yang diarsipkan dalam media audio-visual yang digunakan sebagai bentuk stimulasi pengambilan data wawancara dengan guru-guru pelajaran sejarah beberapa Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta.

4.3. Menjadi Guru yang MemBebaskan

Guru sejarah mempunyai peluang yang sangat sedikit untuk menjadi pengajar yang membebaskan. Pelajaran sejarah, faktanya, adalah pelajaran yang kurang diminati oleh banyak murid karena dianggap sebagai pelajaran yang membosankan dan tidak berguna di masa mendatang. Maka menjadi suatu tantangan besar bagi seorang guru sejarah untuk membuat pelajaran sejarah disukai dan diminati oleh peserta didiknya. Menghadapi pertanyaan muridnya, G30SPKI atau G30S mana yang benar? Guru sejarah harus mampu memberi jawaban yang mengajak muridnya untuk berpikir kritis dan mengetahui wacana sejarah dari banyak versi, tidak hanya satu versi saja. Pelajaran sejarah yang memebebaskan diimplementasikan di kelas karena berawal dari keprihatinan kondisi bangsa Indonesia baca: generasi muda yang pesimis terhadap wacana sejarah karena dirasa tidak lagi berguna dalam pendidikan.Dalam hal ini, peserta didik tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena suatu tantangan yang disadari dalam hakekat materi pendidikan sejarah dalam pendidikan dasar adalah materi tersebut sangat abstrak. Tingkat abstraksi materi pendidikan sejarah disebabkan karena peristiwa sejarah terjadi dalam kurun waktu yang sangat jauh dari kehidupan anak-anak yang bersangkutan. Secara dialektis, pendidikan kritis bisa melemahkan dam melawan reporduksi ideologi dominan. Dan guru sejarah-lah yang melakukan tugas itu, tentunya dengan impian politiknya yaitu, pembebasan.

4.3.1. Mengajar yang Alternatif

Pendidikan sejarah adalah rekonstruksi sosial, dalam hal ini kurikulum sejarah harusnya disesuaikan dengan kehidupan masa kini yang akrab dengan kehidupan generasi yang mempelajarinya. Salah satu peran pendidikan adalah menciptakan ruang kritis terhadap sistem ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Terjadinya penurunan kualitas pendidikan disebabkan oleh acuh tak acuhnya para pelaku pendidikan terhadap wacana sejarah,dimana materi pendidikan sejarah diharapkan dapat memberi kemampuan kepada anak-anak, untuk merefleksikan tentang yang terjadi pada kurun waktu tertentu. Sejarah hendaknya tidak dilihat dalam hal fakta yang selalu terkait masalah keakuratan dan kejadian, namun melalui pendidikan sejarah diharapkan dapat menciptakan peran kritis para peserta didik. Adanya penyeragaman versi serta penghilangan fakta mengenai tragedi kekerasan yang terjadi selama ini, menyebabkan terhambatnya sebuah proses ajar sejarah yang humanis. “Kalau sudut pandang film G30SPKI kan film indoktrinasi, artinya itulah pembenaran bahwa pelakunya adalah PKI, tapi paska itu kan kemudian yang tidak pernah terungkap adalah proses pembantaian itu… Salah satu kelemahan utama ya memang daya juang. Artinya kan anak anak itu kan daya juang membacanya kalau nggak benar-benar minat kan nggak akan membaca, tapi kan ketika nonton film bisa, imejnya nonton film kan bukan imej menekan artinya imej refreshing melihat sesuatu, kalau buku cenderung akademis otak, tapi kalau melihat itu kan bisa sambil duduk segala macem.” Melihat kondisi tersebut, pengajaran konvensional semacam itu diupayakan dihentikan dengan upaya perlawanan yang melibatkan generasi muda dan lebih tepat jika pendekatannya bersifat teknologis, artinya mengoptimalkan teknologi yang sudah familiar atau diminati di kalangan generasi muda. Maka, salah satu strateginya adalah belajar sejarah melalui media komunitas video dokumenter, sastra, seni pertunjukan, dan lain-lain. Cara pandang beragam alternatif diperlukan untuk memahami wacana penulisan sejarah kekerasan HAM di Indonesia. Di samping itu, upaya penyajian sejarah alternatif harus melibatkan murid secara aktif dengan tujuan pemerataan edukasi. Artinya, program-program alternatif harus melibatkan mereka untuk berpartisipasi dalam proses kreatif seperti dialog, pertunjukan seni, workshop sebagai medium pendidikan sejarah kritis. Kemunculan berbagai media sejarah alternatif tentang bangsa paska Orde Baru ini, sungguh merupakan sebuah proses dalam meneruskan dan mempertahankan spirit dari kelompok-kelompok non-pemerintah pada era Reformasi. Walau fakta menunjukkan bahwa diseminasi akan karya-karya tersebut berjalan dengan cukup lamban, akan tetapi mampu memompa saraf untuk selalu bekerja dan memahami dunia ke-Indonesiaan kita secara kritis dan humanis. Sejarah alternatif merupakan sebuah pilihan dan kewajiban yang mesti dibangun agar kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu tidak terulang lagi. Acuan pengajaran sejarah berdasarkan kurikulum yang berlaku, sepertinya masih menyimpan persoalan terhadap pengajaran sejarah yang berbasis pada anak didik itu sendiri. Mulai dari singkatnya waktu ajar sampai metode pengajaran yang cenderung non partisipatif. Hal ini menyebabkan ketumpulan nalar kritis anak di dalam mengelaborasikan peristiwa sejarah di masa lalu dengan kejadian di masa kini. Peranan sekolah adalah sebagai medium pengantara untuk memperolah pengetahuan dan memiliki andil yang cukup besar di dalam perkembangan pengajaran sejarah pada anak. Proses ajar yang terjadi diantara guru dan murid akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pengetahuan murid mengenai peristiwa panjang bangsanya. Tidak hanya itu, proses ajar tersebut mestinya juga menjadi medium dialog untuk mengembangkan kesadaran anak sebagai bagian dari entitas bangsa ini. Guru sejarah memang dituntut menyelesaikan tugasnya sebagai seorang pengajar agar tepat waktu untuk mentransfer ilmu sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Ia dipacu dengan segala tekanan agar tidak keluar dari koridor yang telah disepakati, baik dari Dinas Pendidikan serta Pihak Penyelenggara Sekolah. Maka tak jarang, beberapa kasus di lapangan menunjukan bahwa guru menjadi “tak berdaya” ketika durasi yang diberikan sangat singkat untuk mengajarkan bab mengenai Sejarah Pergerakan Nasional di Indonesia serta terbatasnya media pengajaran yang efektif. Metode belajar sejarah yang pasif, menyebabkan seorang anak hanya menghafal nama, tempat dan tahun dari sebuah peristiwa tanpa tahu semangat serta nilai apa yang sebenarnya terkandung dalam peristiwa tersebut. Anak masih diposisikan sebagai murid obyek dari pengajaran sejarah yang baku. Memang diperlukan usaha yang kreatif untuk meretas problematika pengajaran sejarah ini. Hal ini memerlukan pembelajaran yang serius untuk memberikan solusi bagaimana menciptakan proses belajar mengajar yang tidak lagi memposisikan anak sebagai obyek, melainkan subyek.

4.3.2. Film Dokumenter sebagai Media Populer Pengajaran Sejarah

Metode pengajaran sejarah yang populer pada murid merupakan bagian yang penting terhadap proses belajar. Pengajaran sejarah mesti diupayakan agar tidak hanya memposisikan anak untuk sekedar menghafal nama, tempat, dan tanggal peristiwa, namun lebih mengarahkan anak secara kritis melihat nilai dibalik peristiwa sejarah. Film dokumenter merupakan salah satu media yang memiliki keterkaitan terhadap penulisan narasi sejarah perjuangan bangsa. Melalui visual-teks nya, Film dianggap mampu memberikan daya tarik tersendiri bagi anak, guna menyerap cerita di masa lalu. Gaya bertutur yang imajinatif, akan memberikan ‘sensasi’ tersendiri dalam proses belajar sejarah. Cara penyampaian dengan gambaran adegan-adegan heroik, serta perjuangan untuk mencapai cita-cita, dapat mengembangkan daya imajinatif, sehingga menarik dan diminati oleh murid-murid. Secara ideologis, penciptaan sebuah film dokumenter memerlukan perjalan panjang si pembuat film di dalam menganalisa kejadian-kejadian di masa lalu. Semacam representasi dari kronologi peristiwa, cerita dalam film dokumenter menjelaskan bagaimana situasi dan kondisi pada masanya. Salah satu judul film yang menarik untuk diperhatikan adalah 40 Years of Silence.Sebuah film dokumenter yang dibuat Robert Lemelson, seorang Indonesianis asal Amerika. Film ini merekam wawancara langsung dari para korban Tragedi Kemanusiaan 1965, secara langsung film dokumenter ini melakukan praktik sejarah lisan. Belajar sejarah melalui pendekatan yang berbeda, akan menciptakan ketertarikan tersendiri bagi murid untuk melihat isi dibalik peristiwa masa lalu. Sejarah lisan sangat kuat dengan unsur naratif di dalamnya, demikian pula penyajian film dokementer yang tidak hanya mengandalkan dokumentasi tertulis namun bertujuan untuk merekonstruksi sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965. Versi sejarah alternatif dalam penyajian film dokumenter mampu mendokumentasikan aspek-aspek tertentu dari wacana sejarah yang tidak ada pada sumber lainnya, seperti yang dikatakan oleh guru dari sekolah Katolik di Yogyakarta bahwa penyajian sejarah alternatif melalui film adalah salah satu cara yang memudahkan metode pengajaran masa sekarang dengan meninggalkan gaya pengajaran konvensional. Para siswa-siswi cenderung bosan untuk hanya membaca banyak buku yang sangat tebal. Maka penyajian flm dokumenter, yang mencakup indera penglihatan dan pendengaran adalah suatu metode populer yang untuk melihat lebih daripada yang dipelajari selama ini. Dengan film dokumenter, tambahnya, akan membuka peluang sejarah menjadi sebuah narasi alternatif yang mudah dipahami dan menyenangkan untuk dipelajari Guru sejarah mempunyai potensi untuk melihat bahwa film dokumenter sejarah alternatif sangat penting untuk diberi tempat dalam proses pembelajaran di kelas. Kata seorang guru dari hasil wawancara setelah menonton film 40 Years of Silence, dia bertutur bahwa film ini memang berbeda kontennya dari film Pengkhianatan G30SPKI, karena film ini adalah film dokumenter yang merekam kesaksian nyata dari para korban. Film semacam ini memang bisa menjadi bahan menarik untuk melakukan praktik pengajaran sejarah yang lebih kritis dengan melihat versi-versi alternatifnya pula.

4.4 Usaha Penyadaran Kritis Publik melalui Sejarah Alternatif

Tak banyak media, khususnya mainstream, menyiarkan kejadian serta fakta berimbang mengenai kondisi yang terjadi pada sebagian besar sejarah Tragedi Kemanusiaan di Indonesia. Padahal, apabila kita memiliki keberanian serta konsistensi untuk mendalami peristiwa masa lalu yang menyangkut pernyataan sebelumnya, wacana atas sejarah kemanusiaan bangsa ini begitu menggugah rasa kebangsaan kita. Namun yang tak kalah penting, melihat bagian lain dari perjuangan menuju Indonesia Merdeka melalui angle dari golongan yang selama ini menjadi side-minority. Pokok gagasan di awal merupakan narasi besar yang melatarbelakangi film dokumenter ini. Harapannya dapat memberikan gambaran visual bagi publik sebagai referensi lain dari nilai kehidupan di tengah aspek sejarah alternatif. Selain itu juga memberikan perspektif lain pada wacana sejarah kemanusiaan yang selama ini tidak diangkat kepermukaan oleh media. Tentu saja hal tersebut terjadi karena kekuasaan politis yang bertujuan melemahkan rasa kebersamaan dalam keberbedaan. Film 40 Years of Silence ini akan menggugah rasa kemanusiaan publik yang selama ini masih memandang bahwa etnis Tionghoa bukanlah bagian dari kolektif bangsa. Di samping itu, hadirnya film ini ditengah masyarakat luas adalah bagian dari usaha untuk mengurai kembali problematika yang melatarbelakangi konflik rasial di Indonesia. Khususnya bagi para pelajar, film ini akan memberikan pandangan baru di dalam pengajaran sejarah nasional.

BAB V NEGOSIASI DAN RESISTENSI GURU SEJARAH

5.1. Resistensi untuk Keluar “Batas”

Sebagai guru sejarah, mereka bisa menemukan bagaimana proses didominasi oleh ideologi dominan dan menarik jarak dengan kekuasaan tersebut. Oleh sebab itu, mereka dapat belajar tentang bagaimana menjadi bebas melalui perjuangan mengajar dalam dunia pendidikan. Muncul kecenderungan baru dalam lembaga pendidikan formal bahwa guru-guru mengajar hal-hal yang bukan menjadi bagian dari apa yang diyakininya karena mereka tunduk kepada pengawasan institusi tempatnya mengajar. Menurut Alisjahbana, desentralisasi pendidikan di Indonesia dilaksanakan pada tiga tingkatan, yaitu level distrik atau kebijakan tempat dimana mereka mengajar. Kedua adalah desentralisasi pada level sekolah, yaitu memberi kewenangan kepada para sekolah untuk mengatur dan menyelenggarakan proses pendidikan di sekolah, dan terakhir adalah desentralisasi pendidikan pada level guru. Furu di sekolah diberikan otonomi yang lebih besar, sehingga mereka dapat mengajar, melakukan inovasi pembelajaran, dan melaksanakan penilaian. Demikian halnya dengan guru sejarah, mereka seyogyanya mempunya wewenang untuk melakukan metode pengajaran yang menarik dalam proses belajar- mengajar. 77 Sebagaimana diketahui sistem pendidikan di Indonesia saling berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa sosial lainnya, terutama untuk pelajaran sejarah sangat dipengaruhi oleh sistem politik. Hal ini mempengaruhi posisi peranan pendidikan di masyarakat karena masih menggunakan sistem sentralistik, diaman pedidikan dapat dijadikan sebagai alat politik pemerintah atau disebut dengan politisasi pendidikan, dimana penguasa menjadikan pendidikan sebagai alat kekuasaan. Dalam pelajaran sejarah, guru memegang peranan penting untuk diberi kewenangan di tengah-tengah politisasi pendidikan tersebut. Guru-guru pada masa Orde Baru dituntut untuk menanamkan dalam diri para murid keyakinan dan “kebohongan” yang dipandang berguna oleh mereka yang mengawasi dan memerintahkannya. Adanya versi-versi sejarah yang berubah, terkadang membuat guru sejarah merasa malas untuk mengajak murid-muridnya berpikir kritis dengan menganalisa semua versi sejarah tersebut. 77 Armina S. Alisjabahna. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Bandung. Dalam H.M. Zainuddin. Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 51. Di tahun 2013 sudah banyak sekali akses-akses untuk mendapatkan bahan- bahan pengajaran alternatif yang dapat dipakai untuk mengajar, namun guru sejarah yang tidak progresif cenderung enggan untuk memberi bahan-bahan alternatif tersebut dengan berbagai alasan, contohnya seperti yang dikatakan oleh salah satu guru dari SMA Negeri Yogyakarta: “lha saya itu tidak punya waktu untuk cari-cari film yang lain mbak, ya kalau mbak punya bisa saya pinjam. Kalau cari sendiri ya saya juga nggak tahu dimana carinya, terus saya nggak ngerti cara nyetel alatnya gimana. Belum lagi cuma 45 menit ngajar untuk nonton film yang 2 jam, tahu sendiri kan mbak anak-anak itu kalau keluar kelas disuruh pindah ruangan audio-visual gimana, masih guyonan dulu, jadi efektif waktu cuma setengah jam” Dari pernyataan salah satu guru diatas bisa dilihat bagaimana guru bersikap skeptis terhadap perkembangan pelajaran sejarah. Pendidikan sejarah- pun selamanya akan bersifat konvensional jika guru sejarahnya malas untuk menemukan cara-cara baru dalam mengajar. Kekuasaan Orde Baru telah membentuk pandangan ini, mereka terbiasa dengan sikap menerima apa yang harus diajarkan oleh pemerintah, dan tidak boleh memberi alternatif lain diluar pengajaran yang ditetapkan tersebut. Paket-paket pengajaran menjadi alat-alat propaganda dari birokrasi besar dengan misi dan kepentingannya. 78 78 Mangunwijaya. 2008. Pendidikan yang Memerdekakan Rakyat. Yogyakarta: CV. Diandra Primamitra Media, hal. 91. “Jangankan siswa, lha wong gurunya saja masih memperdebatkan berbagai versi. Malah ketika forum MGMP Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah mempertanyakan, apakah ketika banyak terbit buku putih ini dan itu malah berdampak pada kebingungan siswa ? Saya tegas mengatakan, sejarah kan sesuatu yang tidak final, ada hukumnya ketika ditemukan fakta dan bukti baru, yang lama harus gugur ya kan.. Guru-guru harus memahami hal seperti itu. Karena para guru telah terjebak status-quo tadi, pokoknya enggan berpikir lain. Saya memaklumi itu, toh mereka adalah pekerja-pekerja teknis saja. Guru itu kan pekerja teknis ya, jarang ada yang berupaya untuk mengadakan pembaharuan pada bidangnya. Jadi ketika harus didistorsi seperti sekarang pun harus terima-terima sajalah. Bayangkan saja, kita selama 32 tahun diindoktrinasi seperti itu, sehingga sudah menjadi dogma ya.. Sejarah lalu didogmakan seperti itu. Sebagaimanapun itu, harus ada perubahan narasi. Karena kehidupan berbangsa dan bernegara ini kedepan ini akan sangat berbahaya, ketika dibalik itu tidak ada kejujuran. Pembantaian yang memakan nyawa sekian ratus ribu dianggap biasa saja, ini sesuatu yang berbahaya menurut saya. Ndak usah diutik-utik.. ndak usah dimunculkan lagi.. dengan pendekatan HAM misalnya. Ini kan bahayanya ke depan, sesuatu yang kita lakukan kekerasan apapun akan dianggap hal yang biasa,ketika peristiwa yang sebesar itu terjadi lagi, toh juga nantinya dianggap biasa saja.” Menanggapi guru yang yang memiliki resistensi cukup besar terhadap institusi tempatnya mengajar seperti diatas, tentunya akan menarik saat bertanya bagaimana posisinya dalam lembaga formal. Katanya, ternyata tidak semua guru di Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta berani mengambil resiko untuk memberi wacana alternatif tentang Tragedi Kemanusiaan 1965. Memang semua dari mereka mengetahu adanya versi-versi lain di luar buku-buku teks resmi dari Menteri Pendidikan Nasional. Namun hanya beberapa dari mereka yang mau mengimplementasikannya dalam proses belajar di kelas. Saat mengadakan workshop tentang proses pembelajaran alternatif yang diadakan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, salah satu guru dari Sekolah Menengah Atas beragama di Yogyakarta mengatakan bahwa dia tidak mau mengambil resiko karena mengambil jalan di luar yang ditentukan. Hal ini bisa dilihat bahwa pelajaran sejarah masih sangat dikuasai oleh lembaga resmi pemerintahan sehingga masih ada tingkat kekuasaan dan ketakutan bagi guru sejarah. Namun, tambah guru di lain sekolah, pembatasan pelarangan buku tidak bisa dilakukan lagi, karena kontroversi selalu bisa diakses oleh murid melalui media sosial dan teknologi. Berbicara secara sempit, sekolah adalah lembaga total total institution yang mengawasi kehidupan para ‘penghuninya’. Termasuk menurut Saya Sasaki Shiraishi 79 adalah pemisahan anak-anak ke dalam celah sosial dalam masyarakat. Sebagai lembaga formal, sekolah jaman Orde Baru memberi pengajaran secara indoktrinasi, doktrin-doktrin yang tertanam melingkupi nilai-nilai benar-salah, hitam putih, bahkan penguasa-tertindas. Dalam buku Pahlawan-pahlawan Belia, Saya Sasakhi Shiraishi menempatkan sistem persekolahan sebagai kontinuitas 79 Saya Sasaki Shiraishi. 2009. Pahlawan-pahlawan Belia. Jakarta.