Kekuasaan dalam Pendidikan Landasan Teori

Proses indoktrinasi dalam pendidikan masuk melalui kurikulum. Semua aspek-aspek kurikulum yang sudah diatur sedemikian rupa sesuai dengan proses domestifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka apa yang terjadi dalam proses pendidikan sebenarnya adalah suatu proses mentransmisikan ilmu pengetahuan secara paksa. 21 Tidak mengherankan apabila banyak menyimpulkan bahwa pemerintah Orde Baru mempunyai kepentingan untuk menguasai pendidikan dan kurikulum sejarah, karena rejim tersebut mempunyai kepentingan- kepentingan politik yang melatarbelakangi. Melalui kurikulum inilah terjadi proses indoktrinasi, yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada. Bertolak dari permasalahan hegemoni dalam pendidikan, poin ketiga adalah solusi untuk mengatasi indoktrinasi dalam kekuasaan metode pengajaran tersebut, yakni proses pendidikan demokrasi, yaitu suatu prinsip yang membebaskan manusia dari berbagai ikatan. Masuknya demokrasi ke dalam dunia pendidikan memberi banyak pengakuan kepada sumber-sumber kekuasaan yang baru, yaitu kekuasaan yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak. 22 Dalam konteks Tragedi Kemanusiaan 1965, wacana demokrasi muncul melalui versi- versi alternatif di luar versi resmi Orde Baru. Tidak hanya berhenti disitu saja, 21 Ibid. hlm: 93 22 Ibid. hlm: 96. versi sejarah alternatif juga bisa diakses oleh semua pihak terutama pelaku dan subjek pendidikan. Solusi kedua untuk menghapus indoktrinasi pendidikan adalah integrasi sosial. Solusi ini sangat dibutuhkan dalam pendidikan demokrasi. Integrasi sosial hanya dapat ditumbuhkan dari bawah dan mengesampingkan kekuasaan dari atas. 23 Integrasi sosial juga mengacu pada masalah-masalah setempat dimana para peserta didik merasa dekat dengan peristiwa yang dipelajarinya. Wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 menjadi sangat disintegrasi jika yang dipelajari hanya sekadar membaca dari buku teks pelajaran sekolah. Sebaliknya, wacana sejarah yang cukup sensitif tersebut harus dipelajari dengan menggunakan media yang cukup dekat dengan generasi muda, atau bisa juga dengan bertemu langsung dengan pelaku dan korban sejarah sehingga apa yang mereka pelajari merupakan kapital lokal yang mudah dipahami. Hubungan kekuasaan kedua adalah hubungan kekuasaan subjek antara guru dengan pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud disini adalah bentuk wacana sejarah yang telah dilanggengkan oleh rejim Orde Baru. Dalam buku Surveiller et Punir, Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bekerja melalui sifat 23 Ibid. hlm: 99 normalisasi, tidak hanya terjadi di penjara namun juga bekerja melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan dan kesejahteraan. 24 Kekuasaan yang dimaksud Foucault bukan hubungan kausalitas melainkan lebih ke kerangka tujuan dan sasaran. Wacana sejarah menjadi pengetahuan yang melahirkan kekuasaan terhadap mekanisme pengajaran yang dilakukan oleh guru dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu melahirkan kekuasaan oleh rejim Orde Baru. Hubungan kekuasaan disini bukan hanya satu arah atau pendominasian satu pihak, melainkan menunjukkan posisi subjek guru sebagai mereka yang didominasi. Bentuk kekuasaan sejarah di kurikulum sekolah juga merupakan bentuk disiplin dan panoptisme. Artinya, ada bentuk pengawasan terhadap guru untuk memperoleh ketaatan dan keteraturan. Guru sejarah pada masa Orde Baru sangat taat kepada institusi dan pengetahuan sejarah, mereka tidak mengajar versi sejarah di luar versi resmi karena ada pengawasan dari institusi dan negara untuk yang sifatnya “mendukung” jalannya rejim. Kekuasaan antara guru dan sejarah pada masa itu terlihat langgeng karena subjek memperlihatkan kepatuhan terhadap dominasi negara. 24 Haryatmoko. Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan. Majalah Basis Nomor 01-02, Tahun ke 51, Januari-Februari 2002.

6.3. Pengajaran Sejarah Kritis di Sekolah Menengah Atas

Acuan pengajaran sejarah berdasarkan kurikulum yang berlaku, sepertinya masih menyimpan persoalan terhadap pengajaran sejarah yang berbasis pada anak. Mulai dari singkatnya waktu ajar sampai metode pengajaran yang cenderung non partisipatif. Hal ini menyebabkan ketumpulan nalar kritis anak di dalam mengelaborasikan peristiwa sejarah di masa lalu dengan kejadian di masa kini. Peranan sekolah sebagai agent of knowledge memiliki andil yang cukup besar di dalam perkembangan pengajaran sejarah pada anak. Proses ajar yang terjadi diantara guru dan murid akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pengetahuan murid mengenai peristiwa panjang bangsanya. Tidak hanya itu, proses ajar tersebut mestinya juga menjadi medium dialog untuk mengembangkan kesadaran anak sebagai bagian dari entitas bangsa ini. Namun, kenyataan yang terjadi adalah masih banyaknya persoalan yang muncul dikarenakan figur sekolah saat ini lebih bersifat industri yang notabene menyerap sebanyak-banyaknya jumlah murid secara kuantitas, bukan membantu serta mengarahkan murid menjadi pribadi yang kritis terhadap sejarah bangsanya. Guru sejarah memang dituntut menyelesaikan tugasnya sebagai seorang pengajar agar tepat waktu untuk mentransfer ilmu sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Ia dipacu dengan segala tekanan agar tidak keluar dari koridor yang telah disepakati, baik dari Dinas Pendidikan serta pihak penyelenggara sekolah. Maka tak jarang, beberapa kasus di lapangan menunjukkan bahwa guru menjadi “tak berdaya” ketika durasi yang diberikan sangat singkat untuk mengajarkan bab mengenai Sejarah Pergerakan Nasional di Indonesia serta terbatasnya media pengajaran yang efektif. Metode belajar sejarah yang pasif, menyebabkan seorang anak hanya menghafal nama, tempat dan tahun dari sebuah peristiwa tanpa tahu semangat serta nilai apa yang sebenarnya terkandung dalam peristiwa tersebut. Anak masih diposisikan sebagai murid objek dari pengajaran sejarah yang baku. Memang diperlukan usaha yang kreatif untuk meretas problematika pengajaran sejarah ini. Hal ini memerlukan pembelajaran yang serius untuk memberikan solusi bagaimana menciptakan proses belajar mengajar yang tidak lagi memposisikan anak sebagai objek, melainkan subjek. “Di negeri yang tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merusmuskan konsep, dan menafsirkan masa lalu” 25 . Hal yang dikatakan Sturmer ini terjadi dalam proses pengajaran sejarah. Dalam 25 Michael Sturmer. Dikutip oleh Y.R. Subakti. 2001. Problematika Pengajaran Sejarah. berbagai kasus dijumpai kenyataan bagaimana “ingatan kolektif” anak-anak bangsa diseragamkan dan sarat akan legitimasi kekuasaan. Untuk menghindari hal-hal yang hanya digunakan untuk kepentingan penguasa, maka dibutuhkan metode-metode pengemasan bahan ajar sejarah kritis. Keberadaan pelajaran sejarah di sekolah bukan hanya sekadar bahan cerita yang didialogkan antara guru dan murid, tetapi bertujuan untuk membimbing murid agar memahami dan mengerti situasi masa lampau yang digunakan sebagai pembelajaran masa depan. Proses belajar mengajar sejarah pada dasarnya dipengaruhi oleh tujuan, materi pelajaran, metode, media, dan instrumen yang mendukung. Namun, pada kenyataannya, pelajaran sejarah hanya berorientasi pada banyaknya hafalan yang harus dilakukan oleh murid dan target guru adalah agar materi cepat selesai tepat waktu. Pelajaran sejarah tidak lagi menekankan aspek afektif dan konatif, sehingga peserta didik menjadi bosan tak menjadi kritis terhadap materi yang dipelajari. Pengajaran sejarah tidak bisa berada dalam posisi stagnan. Pengajaran tersebut harus mengikuti perkembangan dinamika dan teknologi supaya bisa menerangkan sebuah peristiwa secara komprehensif. Pengajaran sejarah yang diarahkan kepada komunikasi antara pelaku sejarah dan peserta didik diharapkan akan membantu peserta didik lebih memahami yang terjadi di masa lalu daripada sekadar membaca. Komunikasi yang dimaksud adalah menggunakan metode sejarah lisan dan dipertontonkan kepada siswa. Sejarah lisan bisa menjadi alternatif dalam sebuah dekonstruksi dan rekonstruksi wacana untuk membuat sejarah yang lebih berimbang dan menghindari ketimpangan cerita sejarah di tengah masyarakat. Dalam penelitian ini bisa dilihat bagaimana alur wacana sejarah berjalan melalui hegemoni negara secara mono-naratif, dan di satu sisi ada perlawanan dengan munculnya versi multi-naratif. Seperti yang terlihat di bawah ini: Gambar 1: Bagan yang menjelaskan alur praktek kekuasaan dalam pendidikan untuk wacana Tragedi Kemanusiaan 1965. Bagan diatas mengkaji praktek kekuasaan yang berhubungan dengan praktik-praktik budaya dan sejarah dalam institusi sekolah. Meminjam bahasa Paulo Freire, mengindikasikan keyakinan akan kekuatan potensi pendidikan untuk melakukan perubahan sosial lewat agen manusia, dan pendidikan menghubungkan kekuasaan dan politik, ketiganya terkait satu sama lain. Pada dasarnya, semua aktifitas pendidikan memang bersifat politis dan mempunyai konsekuensi dan kualitas politis. Wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 mempunyai dua versi, yaitu versi resmi dari pemerintahan Orde Baru dan versi alternatif dari berkembangnya hasil penelitian pasca Orde Baru. Versi resmi dari pemerintah mempunyai sifat yang mono-naratif karena apa yang mereka katakan mengenai peristiwa tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya dan semua lapisan masyarakat didoktrin oleh wacana tersebut. Sedangkan versi alternatif sifatnya sangat multi-naratif yang merupakan penelitian bertahun-tahun beberapa institusi dan individu, juga tidak menutup kemungkinan untuk mendiskusikan lebih lanjut secara terbuka mengenai fakta dan kebenarannya. Hegemoni tandingan yang diciptakan oleh wacana alternatif ini merupakan reaksi atas ketidakpercayaan mereka terhadap kekuasaan negara dalam menciptakan narasi sejarah. Sebelum tumbangnya Orde Baru,