Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis Di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2009
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN FILARIASIS DI DESA PARDAMEAN
KECAMATAN MUARA BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN
TAHUN 2009
SKRIPSI
Oleh :
DESLIMAH DWIMULYA LUBIS NIM. 061000062
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2010
(2)
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN FILARIASIS DI DESA PARDAMEAN
KECAMATAN MUARA BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN
TAHUN 2009
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
DESLIMAH DWIMULYA LUBIS NIM. 061000062
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(3)
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judu l :
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN FILARIASIS DI DESA PARDAMEAN
KECAMATAN MUARA BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN
TAHUN 2009
Yang Dipersiapkan dan Dipertahankan Oleh : DESLIMAH DWIMULYA LUBIS
NIM. 061000062
Telah Diuji Dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 10 Maret 2010 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
(Dr.Dra.Irnawati Marsaulina, MS) (dr. Wirsal Hasan, MPH) NIP.19650109 199403 2 002 NIP.19491119 198701 1 001
Penguji II Penguji III
( dr.Taufik Ashar, MKM) (dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes)
NIP.1978033 1200312 1 001 NIP.19700219 199802 2 002
Medan, Maret 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
dr. Ria Masniari Lubis, MSi NIP. 19531018 198203 2 001
(4)
ABSTRAK
Penyakit Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit filariasis dapat merusak system limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula memmae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial. Species cacing filariasis yang sering menginfeksi manusia adalah Wuchereria bancrofti. Daerah Sumatera Utara merupakan daerah endemis filariasis salah satunya yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan Kecamatan Muara Batang Toru dengan nilai MF rate > 1% dan ditemukannya 8 kasus klinis kronis di Kecamatan Muara Batang Toru yaitu 5 kasus diantaranya terdapat di Desa pardamean.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten tapanuli Selatan tahun 2010.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain case kontrol
dilaksanakan di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru. Jumlah Sampel penelitian sebanyak 70 orang yang terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol yang diambil dengan menggunakan metode purposive.
Hasil penelitian menunjukkan, pekerjaan mayoritas petani 97,1%, lama bekerja ≥5 tahun yaitu 47 orang (67,1%), tingkat pendapatan ≥Rp.820.000 sebanyak 39 orang (55,7%), daerah asal masyarakat yaitu 41 orang (58,6%) masyarakat asli Desa Pardamean, pengetahuan buruk 39 orang (55,71%), sikap buruk 16 orang (22,86%), tindakan buruk 13 orang (18,6%).Hasil uji statistic Chi-Square variable pengetahuan (p=0,045<0,05), sikap (p=0,023<0,05), dan tindakan (p=0,000<0,05) masyarakat ada hubungan dengan kejadian filariasis di Desa Pardamean.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean. Oleh karena itu disarankan agar melakukan kegiatan penyuluhan, adanya pembinaan kelompok kerja di setiap lingkungan untuk kegiatan eliminasi penyakit filariasis,diadakannya kerja sama lintas sektor antar dinas pendidikan, dinas sosial, dinas kebersihan dengan dinas kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam kegiatan pemberantasan penyakit filariasis melaui metode penyuluhan yang efektif dan efesien.
Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Filariasis
(5)
ABSTRACT
Filariasis is a chronic contagious diseases caused by infection of filaria worm that attack the lymph gland. Filariasis damage the lymph system, cause the lump on hand, legs, glandular mammae and scrotum, cause the defect in a long of life and social stigma. Species of filaria worm that infect the human being is wucherexia bancrofii. North Sumatra is an endemic area for filariasis. One of the area is regency of South Tapanuli, subdistrict of Muara Batang Toru with the MF rate > 1% and there are 8 chronic clinical cases in subdistrict of Muara Batang Toru in which 5 cases found in Pardameanvillage.
This research aims to study the correlation between knowledge, attitude and action of society to the filariasis case in Village of Pardamean, subdistrict of Muara Batang Toru regency of South Tapanuli in 2010.
This research is an analytic descriptive study by case control design that conducted at village of Pardamean, subdistrict of Muara Batang Toru. The Number of sample are 70 persons that consists of 35 cases and 35 control using purposive method sampling.
The results of study indicates that more of them are farmer 97.1%, duration for work ≥ 5 years is 47 persons (67.1%), the income level ≥ Rp. 820.000 is 39 persons (55.7%), the originality of society is 41 persons (58.6%) are native peolle of Pardamean village, the poor knowledge is 39 persons (55.71%), bad behaviour 16 persons (22.86%), bad action 13 person (18.6%). The results of Statistical test Chi Square, the variable of knowledge (p = 0.045 < 0.05), behavior (p= 0.023 < 0.05) and action (p=0.000<0.05) has a correlation to the filariasis epidemic in village of Pardamean.
Based on research results can be concluded that there is a correlation of knowledge, attitudes, and action of society to the filariasis case in village of Pardamean. Therefore suggested to do the health extension, the building of work group in each sub village for elimination of filariasis diseases, the mutual cooperation among the education, social, Cleanliness and health offices to increase the knowledge of society in eradiation of filariasis diseases by effective and efficient extension method.
(6)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : DESLIMAH DWIMULYA LUBIS
Tempat/Tanggal lahir : Padangsidimpuan, 18 Desember 1987
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum menikah Nama Orang Tua : Ir. H. Bakhrian Lubis
Anak ke : 2 (dua) dari 3 Orang bersaudara
Alamat Rumah Orang Tua : Jl. Perintis Kemerdekaan Gg. Surau No. 7 Padangsidimpuan
Alamat : Jl. Sei Padang Gg. Turi No.7 Medan
Riwayat Pendidikan
Tahun 1994 – 2000 : SD Negeri No.142445 Padangsidimpuan Tahun 2000 – 2003 : SMP Negeri 5 Padangsidimpuan
Tahun 2003 – 2006 : SMA Negeri I Matauli Pandan Tapanuli Tengah Tahun 2006 – Sekarang : FKM USU
(7)
KATA PENGANTAR
Allhamdulillahhirobbil’alamin, segala puji syukur Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi ini yang berjudul “Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2009.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Selama proses pendidikan dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :
1. dr. Ria Masniari, Msi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Ir. Indra Cahaya, Msi selaku ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. DR. Dra. Irnawati Marsaulina, MS selaku Dosen Pembimbing skripsi I dan sekaligus sebagai Ketua Penguji yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan, petunjuk dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
(8)
4. dr. Wirsal Hasan, MPH selaku Dosen Pembimbing skripsi II dan sekaligus sebagai Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. dr. Taufik Ashar, MKM selaku Dosen Penguji II yang telah memberi masukan dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.
6. dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes selaku Dosen Penguji III yang telah memberi masukan dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
8. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
9. dr. Ismail Fahmi, M.Kes selaku Kabid P2P-PL dan dr. Sri Khairunnisa selaku Kasie P2P Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan yang telah banyak membantu dan mendukung di dalam penyelesaian skripsi ini..
10. Drs. Gusal Sakholin selaku Camat Muara Batang Toru dan Maratakun selaku kepala Desa Pardamean yang telah memberi izin untuk memperoleh data dalam penelitian ini.
11. Kepada keluarga ku tercinta khususnya Papa (Ir. H. Bakhrian Lubis) dan Mama (Dra. Hj. Jusmiati Pane), abang ( Amanda Mulya Lubis, SE) dan adik (Syafrina Khuzaimah) tersayang yang telah banyak memberikan doa, dukungan moril dan materi selama penulis mengikuti dan menyelesaikan perkuliahan ini.
(9)
12. Seluruh rekan-rekan mahasiswa angkatan 2006 khususnya buat teman-teman Tri, Ika, Yuni, Riri, Icha, Ayu, Widya dan Irma yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan.
13. Teman-teman peminatan kesehatan lingkungan FKM USU 06, khusunya anak-anak IMAKEL 06 yang telah banyak memberi bantuan, masukan, dan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan dari berbagai hal. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun demi kebaikan isi skripsi ini.
Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa akan membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah penulis terima selama ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan berkat dan rahmatNya bagi kita semua. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya keluarga besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Medan, Maret 2010 Penulis
(10)
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Pengesahan
Abstrak ... i
Abstract ... ii
Daftar Riwayat Hidup... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... vii
Daftar Tabel ... x
Daftar Lampiran ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.3.1. Tujuan Umum ... 5
1.3.2. Tujuan Khusus ... 5
1.5. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Gambaran Penyakit Filariasis ... 7
2.1.1. Pengertian Penyakit Filariasis ... 7
2.1.2. Penyebab Filariasis ... 7
2.1.3. Morfologi Cacing Filaria ... 9
2.1.4. Siklus Hidup Cacing Filariasis ... 11
2.1.5. Vektor Filariasis ... 12
2.1.6. Bionomik Vektor ... 13
2.1.7. Hospes Filariasis... 18
2.1.8. Lingkungan ... 19
2.1.7. Rantai Penularan Filariasis ... 20
2.1.8. Gejala Klinis Filariasis ... 22
2.1.9. Pencegahan dan pengobatan ... 24
2.2. Pengertian Perilaku ... 25
2.2.1. Bentuk perilaku ... 26
2.2.2. Pengetahuan ... 30
2.2.3. Sikap (attitide) ... 32
2.2.4. Tindakan atau Praktek (Practice) ... 33
2.3. Kerangka Konsep ... 34
(11)
BAB III METODE PENELITIAN ... 35
3.1. Jenis Penelitian ... 35
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35
3.3. Populasi dan Sampel ... 36
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 40
3.5. Defenisi Operasional ... 40
3.6. Aspek Pengukuran ... 42
3.7. Teknik Pengolahan Data ... 45
3.8. Analisa Data... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 47
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47
4.2. Karakteristik Responden ... 49
4.3. Pengetahuan Masyarakat Tentang Filariasis ... 50
4.4. Sikap Masyarakat Tentang Filariasis ... 55
4.5. Tindakan Masyarakat Tentang Filariasis ... 59
4.6. Hubungan Pengetahuan Responden Terhadap Filariasis ... 64
4.7. Hubungan Sikap Responden Terhadap Kejadian Filariasis .. 70
4.8. Hubungan Tindakan Responden Dengan Kejadian Filariasis 76 BAB V PEMBAHASAN ... 84
5.1. Karakteristik Responden ... 84
5.2. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di Desa Pardamean Tahun 2009 ... 85
5.2.1. Hubungan Pengetahuan Masyarakat Desa Pardamean Tentang Filariasis ... 85
5.2.2. Hubungan Sikap Masyarakat Desa Pardamean Tentang Filariasis ... 88
5.2.3. Hubungan Tindakan Masyarakat Desa pardamean Tentang Filariasis ... 90
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 93
6.1. Kesimpulan ... 93
6.2. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Jumlah Penderita Filariasis Kronis di Kecamatan Muara Batang
Toru Tahun 2009 ... 47 Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Karateristik Responden di Desa Pardamean
Tahun 2009 ... 49 Tabel 4.3. Distribusi Responden Kasus dan Kontrol Berdasarkan
Pengetahuan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di
Desa Pardamean Tahun 2009 ... 51 Tabel 4.4. Distribusi Responden Kasus dan Kontrol Berdasarkan
Kategori Pengetahuan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di Desa Pardamean Tahun 2009 ... 53 Tabel 4.5. Distribusi Responden Kasus dan Kontrol Berdasarkan
Sikap Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di
Desa Pardamean Tahun 2009 ... 55 Tabel 4.6. Distribusi Responden Kasus dan Kontrol Berdasarkan
Kategori Sikap Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di
Desa Pardamean Tahun 2009 ... 58 Tabel 4.7. Distribusi Responden Kasus dan Kontrol Berdasarkan
Tindakan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di
Desa Pardamean Tahun 2009 ... 60 Tabel 4.8. Distribusi Responden Kasus dan Kontrol Berdasarkan
Kategori Tindakan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di
Desa Pardamean Tahun 2009 ... 62 Tabel 4.9. Hubungan Pengetahuan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis
di Desa Pardamean Tahun 2009 ... 63 Tabel 4.10. Hubungan Sikap Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis
di Desa Pardamean Tahun 2009 ... 64 Tabel 4.11. Hubungan Tindakan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di Desa Pardamean Tahun 2009.
Lampiran 2 Master Data Penelitian Lampiran 3 Keterangan Master Data Lampiran 4 Hasil Analisa Data
Lampiran 5 Surat permohonan Izin Penelitian di Kecamatan Muara Batang Toru dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Lampiran 6 Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Desa Pardamean
Lampiran 7 Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Kecamatan Muara Batang Toru.
Lampiran 8 Peta Lokasi Penelitian Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan
(14)
ABSTRAK
Penyakit Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit filariasis dapat merusak system limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula memmae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial. Species cacing filariasis yang sering menginfeksi manusia adalah Wuchereria bancrofti. Daerah Sumatera Utara merupakan daerah endemis filariasis salah satunya yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan Kecamatan Muara Batang Toru dengan nilai MF rate > 1% dan ditemukannya 8 kasus klinis kronis di Kecamatan Muara Batang Toru yaitu 5 kasus diantaranya terdapat di Desa pardamean.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten tapanuli Selatan tahun 2010.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain case kontrol
dilaksanakan di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru. Jumlah Sampel penelitian sebanyak 70 orang yang terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol yang diambil dengan menggunakan metode purposive.
Hasil penelitian menunjukkan, pekerjaan mayoritas petani 97,1%, lama bekerja ≥5 tahun yaitu 47 orang (67,1%), tingkat pendapatan ≥Rp.820.000 sebanyak 39 orang (55,7%), daerah asal masyarakat yaitu 41 orang (58,6%) masyarakat asli Desa Pardamean, pengetahuan buruk 39 orang (55,71%), sikap buruk 16 orang (22,86%), tindakan buruk 13 orang (18,6%).Hasil uji statistic Chi-Square variable pengetahuan (p=0,045<0,05), sikap (p=0,023<0,05), dan tindakan (p=0,000<0,05) masyarakat ada hubungan dengan kejadian filariasis di Desa Pardamean.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean. Oleh karena itu disarankan agar melakukan kegiatan penyuluhan, adanya pembinaan kelompok kerja di setiap lingkungan untuk kegiatan eliminasi penyakit filariasis,diadakannya kerja sama lintas sektor antar dinas pendidikan, dinas sosial, dinas kebersihan dengan dinas kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam kegiatan pemberantasan penyakit filariasis melaui metode penyuluhan yang efektif dan efesien.
Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Filariasis
(15)
ABSTRACT
Filariasis is a chronic contagious diseases caused by infection of filaria worm that attack the lymph gland. Filariasis damage the lymph system, cause the lump on hand, legs, glandular mammae and scrotum, cause the defect in a long of life and social stigma. Species of filaria worm that infect the human being is wucherexia bancrofii. North Sumatra is an endemic area for filariasis. One of the area is regency of South Tapanuli, subdistrict of Muara Batang Toru with the MF rate > 1% and there are 8 chronic clinical cases in subdistrict of Muara Batang Toru in which 5 cases found in Pardameanvillage.
This research aims to study the correlation between knowledge, attitude and action of society to the filariasis case in Village of Pardamean, subdistrict of Muara Batang Toru regency of South Tapanuli in 2010.
This research is an analytic descriptive study by case control design that conducted at village of Pardamean, subdistrict of Muara Batang Toru. The Number of sample are 70 persons that consists of 35 cases and 35 control using purposive method sampling.
The results of study indicates that more of them are farmer 97.1%, duration for work ≥ 5 years is 47 persons (67.1%), the income level ≥ Rp. 820.000 is 39 persons (55.7%), the originality of society is 41 persons (58.6%) are native peolle of Pardamean village, the poor knowledge is 39 persons (55.71%), bad behaviour 16 persons (22.86%), bad action 13 person (18.6%). The results of Statistical test Chi Square, the variable of knowledge (p = 0.045 < 0.05), behavior (p= 0.023 < 0.05) and action (p=0.000<0.05) has a correlation to the filariasis epidemic in village of Pardamean.
Based on research results can be concluded that there is a correlation of knowledge, attitudes, and action of society to the filariasis case in village of Pardamean. Therefore suggested to do the health extension, the building of work group in each sub village for elimination of filariasis diseases, the mutual cooperation among the education, social, Cleanliness and health offices to increase the knowledge of society in eradiation of filariasis diseases by effective and efficient extension method.
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat sumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Selain itu jika penderita filariasis tidak mendapat pengobatan dengan baik dapat menimbulkan hambatan psikososial dan penurunan produktifitas kerja individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar (Depkes RI, 2006).
Species cacing filaria yang sering menginfeksi manusia di Indonesia adalah
Wunchereria bancrofti, brugia malayi dan brugia timori. Daerah-daerah endemis filariasis membentuk kantong-kantong filariasis di tengah masyarakat dan merupakan suatu kesatuan ekologis/epidemiologis yang khas bagi penyebaran penyakit filariasis. Manusia merupakan hospes defenitif utama. Selain manusia, kera, kucing dapat juga menjadi hospes defenitif pada filariasis pada filariasis malayi (Depkes RI, 2006).
Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis seperti India, Banglades, Taiwan, China, Philipina, Africa, Amerika Latin, daerah pasifik dan negara-negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, berdasarkan survai yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004, terdapat lebih dari 8000 orang menderita
(17)
klinis kronis filariasis (elepantiasis) yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengidentifikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang beresiko tinggi tertular filariasis, dengan 6 juta penduduk diantaranya telah terinfeksi (Depkes RI, 2007).
Menurut Depkes sampai Mei tahun 2007 tercatat 11.189 kasus kronis filariasis yang dilaporkan daerah yang tersebar di 378 kabupaten/kota. Berdasarkan survai darah jari dan epidemiologi 72,78% kabupaten/kota di Indonesia tergolong daerah endemis filariasis. Dan jumlah penduduk di daerah endemis yang beresiko tertular filariasis 150 juta jiwa. Survai kerugian ekonomi tahun 2000 oleh FKM UI, total kerugian ekonomi di daerah endemis filariasis diperkirakan mencapai Rp. 20,9 triliun (Depkes RI, 2007).
Pelaksanaan program eliminasi filariasis di Indonesia dimulai tahun 2001 dan tahun 2002 merupakan pelaksanaan tahap pertama eliminasi filariasis di 5 (lima) kabupaten, 5 (lima) Propinsi sebagai daerah panduan yaitu Kabupaten Tanjung Jaung Timur (Jambi), Kabupaten Banyuasin (Sumatera Selatan), Kabupaten Pasir (Kalimantan Timur), Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara) dan Kabupaten Alor (Nusa Tenggara Timur). Secara umum hasil cakupan pengobatan massal adalah sebesar 85,5% dari 220 desa (322.250 kasus) (Depkes RI, 2006).
Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah endemis filariasis dimana mulai dari tahun 2000 di peroleh MF Rate 1%, tahun 2003 >7%, 2004>3%, 2005>1% dan ditahun 2008 dengan ditemukannya kasus klinis kronis (8 kasus) di Muara Batangtoru. Dari hasil tersebut dilanjutkan dengan melakukan Survai Darah Jari
(18)
(SDJ) pada 500 orang penduduk di 4 (empat) desa yang ditemukan ada penderita yaitu : Rianiate I, Rianiate II, Pardamean dan Hutaraja pada tanggal 8 s/d 9 april 2008 dan hasil MF Ratenya 1,01 %. Sedangkan asumsi kerugian ekonomi akibat filariasis di Kabupaten Tapanuli Selatan menurut UMP Sumut tahun 2008 berkisar 13.818.017.640/tahun (Suhardiono, SKM, M.Kes). Bila dilihat dari keputusan Menteri Kesehatan R.I No.1582/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit kaki gajah) pada lampirannya dikatakan Kabupaten/kota yang memiliki kasus kronis filariasis, melaksanakan survai microfilaria (survai darah jari) di desa dengan jumlah kasus kronis terbanyak microfilaria rate 1% atau lebih merupakan Indikator sebagai Kabupaten/Kota Endemis Filariasis (Depkes RI, 2008).
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit filariasis antara lain tingginya populasi nyamuk culex, anopheles dan perantara lainnya, serta adanya hospes defenitif (hewan), selain itu juga disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu sanitasi perumahan, kebersihan diri, serta pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis (Khairuddin, 2005).
Salah satu yang penting menurut Sadjimin (2000), infestasi cacing pada manusia berhubungan dengan perilaku yang mencakup pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat di sekitar tempat tinggal dan manipulasinya terhadap lingkungan, penyakit banyak ditemukan pada daerah dengan kelembaban yang tinggi, dan terutama pada masyarakat yang hygiene sanitasinya kurang.
Pengetahuan, sikap dan tindakan merupakan salah satu factor terwujudnya derajat kesehatan. Perilaku masyarakat yang jelek tentang sanitasi, terutama dalam
(19)
memahami bagaimana penyebaran penyakit filariasis, cara pengendalian vektor penyebab filariasis yang dapat menurunkan derajat kesehatan masyarakat itu sendiri, sehingga dapat menimbulkan terjadinya penyakit filariasis.
Desa Pardamean merupakan salah satu daerah endemis filariasis di Kecamatan Muara Batang Toru. Berdasarkan pemeriksaan telah ditemukan 8 kasus kronis di Kecamatan Muara Batang Toru, diantaranya 5 kasus kronis tersebut terdapat di desa Pardamean. Masyarakat Desa Pardamean memiliki mata pencaharian sebagai petani, buruh perkebunan sehingga besar kemungkinan masyarakat tersebut kontak dengan vektor apalagi jika di lihat lingkungan sekitar Desa Pardamean memiliki areal pertanian dan perkebunan karet dan kelapa sawit serta aliran sungai. Lingkungan ini sangat tepat sebagai tempat perindukan vektor filariasis (Profil Puskesmas Desa Hutaraja Kecamatan Muara Batangtoru, 2008).
Berdasarkan survai di lapangan terlihat bahwa ada perilaku masyarakat yang kurang mengetahui cara-cara pencegahan penyakit filariasis, bagaimana penularan penyakit filariasis, serta masyarakat belum mengetahui bagaimana cara pengobatantan filariasis.
Sedangkan dilihat dari tingkat pendidikannya, penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang melek huruf berjumlah 41,7%,jumlah penduduk yang tidak/belum pernah sekolah di Desa Perdamean yaitu sekitar 34%, tidak atau belum tamat SD berjumlah 26%, tamat SD berjumlah 40%, tamat SMP 57%, tamat SLTA 59% , tamat akademi/diploma 0,3% , tamat universitas 0% (Profil Puskesmas Desa Hutaraja Kecamatan Muara Batangtoru, 2008).
(20)
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang Hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dengan kejadian filariasis di Desa Pardamean, Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, tahun 2009.
1.2.Perumusan Masalah
Desa Pardamean merupakan salah satu daerah endemis penyakit filariasis, dengan angka microfilaria > 1%. Berdasarkan hal ini dibuat perumusan masalah sebagai berikut : belum diketahui bagaimana Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di Desa Pardamean Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik responden (pekerjaan, lama bekerja, penghasilan dan daerah asal) dengan kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009.
(21)
2. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009.
3. Untuk mengetahui hubungan sikap masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009.
4. Untuk mengetahui hubungan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2009.
1.4.Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pihak pengelola program eliminasi filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan. 2. Sebagai bahan dalam menyusun rencana kegiatan/proyek eliminasi filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.
3. Dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah sebagai bahan masukan khususnya mengenai filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.
4. Menambah wawasan ilmu pengetahuan penulis tentang masalah filariasis. 5. Sebagai sumber informasi kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian
(22)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Penyakit Filariasis
2.1.1. Pengertian Penyakit Filariasis
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan karena cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfe) serta menyebabkan gejala akut, kronis dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Secara klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenomalimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali, dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan meninggalkan parut. Dapat terjadi limfedema dan hidrokel yang berlanjut menjadi stadium kronis yang berupa elefantiasis yang menetap yang sukar disembuhkan berupa pembesaran pada kaki (seperti kaki gajah) lengan, payudara, buah zakar (scrotum) dan kelamin wanita (Depkes RI,2006).
2.1.2. Penyebab Filariasis
2.1.2.1. Jenis dan Penyebaran Filariasis
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu :
1. Wuchereria bancrofti 2. Brugia malayi
(23)
Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya, mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada W. Bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru, jantung dan ginjal.
Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan banyak di temukan di kota seperti Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan, dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan.
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu : 1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)
Ditemukan di derah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk
culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. 2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai perioriditas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles, Culex dan Aedes.
(24)
3. Brugia malayi periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.
4. Brugia malayi tipe Subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.
5. Brugia malayi tipe non periodik
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba.
6. Brugia timori tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara (Depkes RI,2006).
2.1.3. Morfologi Cacing Filaria
Secara umum daur hidup ketiga species cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria). Hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.
(25)
1. Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar.
2. Mikrofilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 µ m x 8 µ m dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
3. Larva Dalam Tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah menusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk kedalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 m x 10-17m, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 m x 15-30 m, dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari 3-10 pada spesies Brugia atau hari ke 10-14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran
(26)
1400 m x 20 m. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif (Depkes RI, 2006).
2.1.4. Siklus Hidup Cacing Filaria
Cacing Filaria dalam berbentuk larva terbagi dalam 3 (tiga) tingkatan stadium, ketiga stadium tersebut, adalah :
a. Stadium satu (L1) berbentuk sosis selama 3 hari
b. Stadium dua (L2) dengan ekor tumpul dan memendek selama 6 hari
c. Stadium tiga (L3) bentuk panjang dan ramping hari ke 10 sampai dengan 14 hari. Pada saat nyamuk vektor menghisap darah manusia atau hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk kedalam lambung nyamuk dan selanjutnya bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari mikrofilaria akan berkembang menjadi larva stadium satu (L1) sampai larva stadium 3 (L3) di dalam tubuh nyamuk vektor tersebut.
Ukuran-ukuran tubuh mikrofilaria selama mengalami perkembangan di dalam tubuh nyamuk vektor akan bertambah sesuai dengan tingkatan stadiumnya. Pada stadium satu (L1) mikrofilaria berukuran 125-250 µ m x 10-17 µ m, mikrofilaria stadium 2 (L2) berukuran 200-300 µ m x 15-30 µ m dan untuk mikrofilaria stadium 3 (L3) berukuran 1400 µ m x 20 µ m.
Waktu yang diperlukan oleh cacing mikrofilaria untuk mengalami perubahan adalah ± 3 hari untuk menjadi larva stadium satu, setelah ± 6 hari menjadi larva stadium dua pada hari ke-10 sampai 14 menjadi larva stadium tiga. Untuk spesies
(27)
perubahan menjadi larva stadium tiga. Sedangkan spesies Wuchereria bancrofti baru pada hari 10 sampai 14 menjadi larva stadium tiga.
Setelah mengalami perubahan pada bentuk larva stadium tiga mikrofilaria telah bergerak dengan aktif. Pada stadium ini juga mikrofilaria merupakan bentuk infektif untuk terjadinya penularan penyakit kaki gajah (filariasis). Penularan penyakit ini akan terus berkembang apabila nyamuk sebagai vektor yang telah menghisap darah manusia telah terinfeksi cacing filaria dan akan menularkannya kepada manusia yang lain melalui gigitan vektor nyamuk tersebut (Depkes RI, 2006).
2.1.5. Vektor Filariasis
Di indonesia hingga saat ini terindetifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles diidentifiksi sebagai vektor wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan Vektor Brugia Malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirotis merupakan vektor filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan.
Untuk melaksanakan pemberantasan vektor filariasis, perlu mengetahui bionomik (tata hidup) vektor yang mencakup tempat berkembangbiak, perilaku menggigit (mencari darah) dan tempat istirahat. Tempat perindukan nyamuk
(28)
berbeda-beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak di sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, dapat hanya menyukai darah manusia (antropofilik), darah hewan (zoofilik), atau darah hewan dan manusia (zooantropofilik). Demikian juga waktu mencari mangsanya juga berbeda-beda, dapat hanya di luar rumah (eksofagik) atau di dalam rumah (endofagik). Perilaku nyamuk ini dapat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies nyamuk yang berbeda-beda, dan pada umumnya terdapat beberapa spesies nyamuk sebagai vektor utama dan spesies lainnya hanya merupakan vektor potensial (Depkes RI, 2006).
Desa Pardamean memiliki jenis cacing filaria Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Hal ini disebabkan karena di Desa Pardamean memiliki struktur wilayah perkebunan, sawah, rawa dan sebagian aliran sungai sehingga sangat memungkinkan tembat berkembang biak vektor filariasis tersebut. Wuchereria bancrofti mempunyai perioriditas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Aedes (Pelaksanaan program eliminasi filariasis di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2008).
2.1.6. Bionomik Vektor
Bionomik vektor sangat penting diketahui karena berhubungan dengan tindakan-tindakan dalam pencegahan dan pemberantasannya yang berhubungan dengan tempat perindukan, kebiasaan menggigit, tempat istirahat, jarak terbang dan siklus hidup.
(29)
2.1.6.1. Tempat Perindukan Anopheles
Tempat perindukan nyamuk anopheles adalah tempat genangan air yang mendapat sinar matahari secara langsung. Misalnya tempat penamungan air yang terbuka seperti drum, ember, bak mandi, tangki air, pelepah pohon dan lain-lain. 2.1.6.2. Kebiasaan Menggigit ( Feeding habit )
Nyamuk anopheles aktif menggigit pada malam hari. Anopheles bila menggigit mempunyai perilaku bila siap menggigit langsung kedalam rumah.
2.1.6.3. Tempat Istirahat (Resting Habit)
Tempat yang di gemari nyamuk anopheles untuk beristirahat selama menunggu bertelur adalah tempat yang lembab seperti gua, lubang lembab, tempat yang berwarna gelap dan lain lain.
2.1.6.4. Jarak terbang (Flight habit)
Bila nyamuk sedang aktif mencari darah akan terbang berkeliling sampai adanya rangsangan hospes yang cocok diterima oleh alat penerima rangsangannya. Rangsangan ini akan memberi petunjuk pada nyamuk untuk mengetahui dimana adanya hospes, kemudian baru mengigit (Jurnal kesehatan lingkungan, 2005)
2.1.6.5. Siklus Hidup
Siklus hidup nyamuk anopheles mengalami metamorfosa sempurna dengan tahap telur, larva, pupa dan dewasa.
a. Telur
Nyamuk anopheles berbentuk oval panjang, kedua ujungnya lancip dan mempunyai pelampung. Biasanya telur diletakkan satu persatu dan diletakkan di permukaan air.
(30)
b. Larva
Telur yang tidak menetas karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai membentuk larva. Larva berbentuk siphon yang pendek sekali atau siphon spiracle berbentuk seperti cincin pada ruas ke delapan abdomen. Pada ruas abdomen terdapat palmate hair. Badan larva sejajar dengan permukaan air dan diletakkan satu persatu. c. Jentik
Lamanya perkembangan jentik tergantung pada suhu, ketersediaan makanan dan kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi yang optimum, waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari termasuk dua hari untuk masa menjadi pupa, sedangkan pada suhu yang rendah membutuhkan beberapa minggu untuk kemunculan nyamuk dewasa. Habitat alami jentik jarang ditemukan, tetapi dapat ditemukan di lubang pohon, pangkal daun dan tempurung kelapa. (Suroso, 2003).
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa banyak ditemukan disepanjang tahun disemua kota di Indonesia sesaat setelah menjadi dewasa akan kawin dengan nyamuk betina yang sudah dibuahi dan akan menghisap darah. Darah merupakan sumber protein yang sangat penting untuk mematangkan telur.
2.1.6.6. Tempat Perindukan Aedes
Tempat perindukan utama adalah tempat-tempat penampungan air di dalam dan di luar sekitar rumah. Nyamuk Aedes Aegypti tidak berkembang biak di genangan
(31)
air yang langsung berhubungan dengan tanah. Misalnya tempat penampungan air seperti bak, ember, tempayan, barang-barang bekas, pelepah pohon dan lain-lain. 2.1.6.7. Kebiasaan Menggigit (Feeding habit)
Nyamuk aedes aegypti lebih menyukai darah manusia dari pada binatang (antropofilik). Darah diperlukan untuk mematangkan telur jika dibuahi oleh nyamuk jantan sehingga menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari. Nyamuk ini aktif pada siang hari dan menggigit di dalam dan diluar rumah. Mempunyai dua puncak aktifitas dalam mencari mangsa yaitu mulai pagi hari dan petang hari yaitu antara 09.00 – 10.00 WIB dan 16.00 – 17.00 (Suroso, 2003).
2.1.6.8. Tempat Istirahat (Resting Habit)
Tempat yang disayangi nyamuk untuk beristirahat selama menunggu bertelur adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit angin. Nyamuk aedes biasanya hinggap di dalam rumah pada benda-benda yang bergantungan seperti pakaian, kelambu (Suroso, 2003).
2.1.6.9. Jarak terbang (Flight habit)
Pergerakan nyamuk aedes dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk aedes betina adalah rata-rata 40-100 meter namun secara pasif karena angin dapat terbang sejauh 2 Km (Suroso, 2003).
(32)
2.1.6.10. Siklus Hidup
Siklus hidup nyamuk anopheles mengalami metamorfosa sempurna dengan tahap telur, larva, pupa dan dewasa.
a. Telur
Nyamuk aedes betina suka bertelur di atas permukaan air pada dinding vartikel bagian dalam tempat-tempat yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat air yang dipilih adalah tempat air di dalam rumah dan yang bersih. Telur diletakkan satu persatu di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah dan bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil maupun dapur. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48 jam di lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu proses embrionasi selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang lama. Telur akan menetas pada waktu yang sama (Suroso, 2003).
b. Larva
Telur yang tidak menetas karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai membentuk larva yang dilapisi kista dapat bertahan lebih dari setahun berbentuk oval dan berwarna putih. Larva aedes menempel di permukaan dinding vartikel sampai pada waktu menetas (Suroso, 2003).
c. Jentik
Lamanya perkembangan jentik tergantung pada suhu, ketersediaan makanan dan kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi yang optimum, waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari termasuk dua hari untuk masa menjadi pupa,
(33)
sedangkan pada suhu yang rendah membutuhkan beberapa minggu untuk kemunculan nyamuk dewasa. Habitat alami jentik jarang ditemukan, tetapi dapat ditemukan di lubang pohon, pangkal daun dan tempurung kelapa. (Suroso, 2003).
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa banyak ditemukan disepanjang tahun disemua kota di Indonesia sesaat setelah menjadi dewasa akan kawin dengan nyamuk betina yang sudah dibuahi dan akan menghisap darah. Darah merupakan sumber protein yang sangat penting untuk mematangkan telur.
2.1.7. Hospes Filariasis A. Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya.
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria. Akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Marsaulina. I, 2009).
(34)
B. Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang terinfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantsan filariasis pada manusia.
2.1.8. Lingkugan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distibusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor nyamuk Culex quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) secra umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis Brugia malayi.
Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya.
A. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan
(35)
filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes reservoir (kera, lutung dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B.malayi sub periodik nokturna dan non periodik.
B. Lingkungan Biologik
Lingkungan biologik dapat menjadi rantai penularan filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk
Mansonia spp.
C. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insidens filariasis perempuan karena umumnya laki-laki-laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI,2006).
2.1.9. Rantai Penularan Filariasis
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu :
1. Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya.
(36)
2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. 3. Manusia yang rentan terhadap filariasis.
Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3). Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal dikulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan demam berdarah, cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.
Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung microfilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap microfilria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika microfilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah microfilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.
Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga microfilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya
(37)
untuk tumbuh menjadi larva L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi
dan Brugia timori antara 8-10 hari.
Perioriditas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam hari) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan dapat terjadi siang dan malam hari.
Disamping faktor-faktor tersebut diatas, mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah (Depkes RI, 2006).
2.1.10. Gejala Klinis Filariasis
Ada dua macam gejala klinis filariasis, yaitu gejala klinis akut dan gejala klinis kronis.
2.1.10.1. Gejala Klinis Akut
Keadaan terlihat pada kondisi gejala klinis akut adalah berupa pandangan kelenjar limfe (limfadenitis) atau saluran limfe (limfangitis) sedangkan untuk pandangan yang terjadi pada kelenjar dan saluran limfe sekaligus disebut
adenomalimfangitis. Pada umumnya gejala klinis akut yang terjadi adalah disertai dengan demam, sakit kepala, rasa lemah atau kelelahan dan dapat pula disertai abses (bisul) yang kemudian pecah dan sembuh. Biasanya abses yang sembuh akan
(38)
meninggalkan bekas seperti parut. Bekas dalam bentuk parut sering kita lihat dan ditemukan di daerah lipatan paha dan ketiak. Keadaan ini banyak terdapat di daerah penularan filariasis dengan golongan spesies cacing filaria Brugia malari dan Brugia timori.
Kemudian untuk gejala spesies filaria Wuchereria bancrofti biasanya akan ditemukan demam, namun demam ini terjadi apabila pada penderitaan terjadi orkitis, epididimitis dasn funikulitis (Depkes RI, 2006).
2.1.10.2. Gejala Klinis Kronis
Pembagian gejala kronis secara umum dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
a. Limfedema/elephantiasis
Gejala kronis yang dialami penderita mengenai seluruh kaki atau lengan skrotum, vagina dan payudara. Gajala ini biasanya terdapat pada penderita yang terinfeksi cacing filaria dengan spesies Wuchereria bancofti. Sedangkan untuk penderita yang terinfeksi oleh jenis spesies Brugia malayi dan Brugia timori, bentuk gejala klinisnya dapat mengenai kaki atau lengan di bawah lutut atau siku.
b. Hidrokel
Gejala klinis pada penderita ini terjadi adanya pelebaran kantung buah skrotum yang berisi cairan limfe. Penderita yang mengalami gejala klinis tersebut dapat dikatakan sebagai penentuan atau menjadi indikator penilaian terhadap endemisitas penularan penyakit filariasis yang disebabkan oleh cacing filaria dengan spesies Wuchereria bancrofti.
(39)
c. Kiluria
Gejala klinis yang dialami oleh penderita ini adalah cairan air seni atau air kencing seperti susu. Cairan seperti susu ini disebabkan oleh karena adanya kebocoran saluran limfe di daerah pelvic ginjal, sehingga cairan limfe tersebut masuk ke dalam saluran kencing. Kasus kiluria ini ditemukan pada daerah penyebaran atau penularan penyakit kaki gajah oleh cacing filaria spesies Wuchereria bancrofti, namun kasus kiluria ini jarang ditemukan (Depkes RI, 2006).
2.1.11. Pencegahan dan Pengobatan Filariasis 2.1.11.1. Pencegahan Filariasis
Indonesia menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular dengan menerapkan dua strategi utama yaitu memutuskan rantai penularan dengan pengobatan masssal di daerah endemis dan upaya pencegahan dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan memutuskan mata rantai antara sumber penular dengan media tramsmisi. Contohnya dapat dilakukan dengan membersihkan tempat-tempat perindukan nyamuk, menutup barang-barang bekas, menguras tempat-tempat penampungan air, penyemprotan massal agar dapat mencegah penyebarluasan penyakit, menggunakan pelindung diri disaat bekerja dikebun misalnya menggunakan baju lengan panjang, menggunakan obat anti nyamuk, menggunakan kelambu di saat tidur, tidak keluar di saat malam hari dan lain-lain (Depkes RI, 2006).
(40)
2.1.11.2. Pengobatan Filariasis
Pengobatan filariasis dilakukan dengan cara pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6 mg/kgBB, Albendazol 400 mg dan Parasetamol 500 mg. Pengobatan massal bertujuan untuk mematikan semua mikrofilaria yang ada di dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan, sehingga memutuskan rantai penularannya. Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap semua penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi pengobatan untuk sementara di tunda bagi anak berusia kurang dari 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit berat, penderita kasus kronis filariasis sedang dalam serangan akut, anak berusia kurang dari 5 tahun dengan marasmus dan kwashiorkor. Pemberian obat menggunakan obat Diethylcarbamazine Citrate (DEC), Albendazol dan Paracetamol diberikan sekali setahun selama lima 5 tahun. Sebaiknya obat diberikan sesudah makan dan di depan petugas kesehatan (Depkes RI, 2006).
2.2. Pengertian Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri.
Perilaku dan gejala yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Hereditas atau faktor keturunan adalah merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup
(41)
itu untuk selanjutnya. Sedangkan faktor lingkungan adalah merupakan kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut.
Menurut Sarwono (1997), perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia degan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan) maupun aktif (disertai tindakan).
2.2.1. Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek. Respon ini dibedakan menjadi 2 (dua) :
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut covert behavior atau unobservable behavior.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktek (practice) misal,
(42)
seorang ibu memeriksa kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi dan sebagainya.
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok:
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
a. Perilaku pencegah penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan) dan miuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuaman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
(43)
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya.
2.2.2. Pengetahuan (Knowledge)
Putusan orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan tidak lain dari hasil tahu. Kalau orang, misalnya tahu bahwa pohon itu rendah, maka ia mengakui hal ini terhadap pohon itu. Ia mengakui sesuatu terhadap sesuatu. Memang ia tahu yang menghasilkan pengetahuan. Pengakuan sesuatu terhadap sesuatu itu disebut ‘putusan’, sehingga dalam dasarnya putusan dan pengetahuan itu sama (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni dengan indera pengelihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
(44)
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt Behavior) (Notoatmodjo,2003).
Ada enam tingkatan pengetahuan yaitu: 1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari dengan meyebutkan, merugikan, mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehansion)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat
(45)
dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis yaitu menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi yaitu berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilain itu berdasarkan suatu kriteria yang di tentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya dapat menanggapi terjadinya diare disuatu tempat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
2.2.3. Sikap (Attitude)
Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih dsb), disamping itu komponen kognitif (pengetahuan tentang obyek itu)serta aspek konatif
(46)
atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Allport (1954) yang dikutip Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
2.2.4. Tindakan atau Praktek (Practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkannya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Tingkat-tingkat tindakan/praktek, yaitu: 1. Persepsi (perseption)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
2. Respons Terpimpin (guide respons)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
(47)
3. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.
4. Adaptasi (adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut
2.3 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dijelaskan bahwa pengetahuan, sikap dan tindakan manusia dapat mempengaruhi kejadian filariasis.
Perilaku responden 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan
Angka Kejadian Filariasis
Karakteristik Responden 1. Pekerjaan
2. Lama bekerja 3. Penghasilan 4. Daerah asal
(48)
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut :
Ha : Ada hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan kejadian filariasis. Ho : Tidak ada hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan kejadian
filariasis.
Ha : Ada hubungan sikap masyarakat dengan kejadian filariasis. Ho : Tidak ada hubungan sikap masyarakat dengan kejadian filariasis. Ha : Ada hubungan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis. Ho : Tidak ada hubungan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis.
(49)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan
case kontrol, yaitu untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan tindakan (faktor penelitian) dan penyakit dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan dari kedua kelompok tersebut. Dengan demikian dapat diketahui apakah ada hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean di Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan. Alasan pemilihan lokasi ini karena Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah endemis filariasis dimana mulai dari tahun 2000 diperoleh MF rate 1%, tahun 2003>7%, 2004>3%, 2005>1% dan ditahun 2008 dengan ditemukannya kasus klinis kronis (8 kasus) di Muara Batang Toru, 5 diantara kasus tersebut terdapat di Desa Pardamean. Dengan jumlah penduduk yang relatif lebih sedikit di bandingkan dengan desa lain di Kecamatan Muara Batang Toru.
(50)
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 1 (satu) bulan dimulai dari bulan Desember 2009 sampai bulan Januari 2010.
3.3.Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah kepala rumah tangga yang berada Desa Pardamean yang dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis yaitu sebanyak 90 kepala rumah tangga.
3.3.2. Sampel
Besar sampel penelitian ini adalah ditentukan dengan menggunakan rumus penentuan sampel (Dahlan, 2005).
Rumus :
N1=N2=
(
)
)
(
2 2 1 2 2 2 1 1 P P Q P Q P Z PQ 2 Z − + β + α Dimana :OR =
(
)
)
(
1 2 2 1 P 1 P P 1 P − −N1 = Kelompok Kasus N2 = Kelompok Kontrol
Kesalahan tipe I = 5%, Hipotesis satu arah, Zα = 1,64 Kesalahan tipe II = 20%, maka Zβ= 0,84
P1 = Proporsi Kasus (0,8)
P2 = Proporsi pajanan pada kelompok kontrol (0,55)
(51)
P = Proporsi total = 0,67 2
P P1 2
= +
Q = 1-P = 0,33
Berdasarkan data pada survei pendahuluan diketahui bahwa jumlah kepala rumah tangga yang ada di Desa Pardamean sebanyak 90 kepala rumah tangga, maka besar sampel yang akan diteliti adalah :
N1=N2=
(
)
)
(
2 2 1 2 2 2 1 1 P P Q P Q P Z PQ 2 Z − + β + α =(
)
(
)
22 25 , 0 45 , 0 . 55 , 0 2 , 0 . 8 , 0 84 , 0 33 , 0 . 67 , 0 . 2 64 ,
1 + +
=
(
(
)
)
0625 , 0 24 , 0 16 , 0 84 , 0 44 , 0 64 ,1 + + 2
=
(
)
(
0,0625)
4 , 0 84 , 0 44 , 0 64 ,
1 + 2
=
(
)
0625 , 0 52 , 0 08 , 1 + =25,74 ≈26Dengan menggunakan rumus tersebut jumlah sampel yang akan diteliti adalah minimal 26, maka dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 35 orang kepala rumah tangga sebagai kasus dan 35 orang kepala rumah tangga sebagai kontrol yang tersebar di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.
(52)
3.3.3. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan desain studi kasus kontrol dimulai dari memilih kasus dan kontrol. Dimana kasus adalah kepala rumah tangga yang anggota keluarganya terkena penyakit filariasis yang diperoleh melalui data puskesmas dan kontrol adalah kepala rumah tangga yang anggota keluarganya tidak ada menderita penyakit filariasis yang bertempat tinggal di dekat terjadinya kasus, sehingga kedua kelompok ini memiliki karakteristik yang sebanding, kemudian melihat paparan yang dialami subjek pada waktu yang lalu (retrospektif) dengan cara observasi (Bhisma Murti, 2003).
Kriteria dalam pemilihan sampel pada penelitian ini terdiri dari : 1. Kriteria Inklusi
a. Kriteria Kasus merupakan kriteria yang harus dipenuhi oleh subjek agar dapat diikutsertakan ke dalam penelitian sebagai kelompok kasus, kasus dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Kepala rumah tangga yang memiliki anggota keluarga yang menderita filariasis berdasarkan diagnosis petugas kesehatan dinas kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2008-2009.
2. Tinggal di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.
3. Bertempat tinggal di Desa Pardamean minimal 4 tahun. 4. Bersedia menjadi responden dalam penelitian.
(53)
b. Kriteria Kontrol merupakan keadaan yang menyebabkan subjek diikutsertakan dalam penelitian sebagai kelompok kontrol, kriteria kontrol dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Kepala rumah tangga yang memiliki anggota keluarga yang tidak ada menderita filariasis berdasarkan diagnosis petugas kesehatan dinas kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2008-2009. 2. Tinggal di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru
Kabupaten Tapanuli Selatan.
3. Bertempat tinggal di Desa Pardamean minimal 4 tahun. 4. Bersedia menjadi responden dalam penelitian.
2. Kriteri Eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian, kriteria eksklusi dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Menderita filariasis tetapi tidak didiagnosis oleh petugas kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2008-2009.
b. Tidak tinggal di Desa Pardamean Kecamatam Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.
c. Tidak bertempat tinggal menetap
(54)
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan kuesioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan sebagai perilaku masyarakat terhadap angka kejadian filariasis, serta melakukan observasi langsung terhadap masyarakat di Desa Pardamean.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan mengambil data-data dari kantor seperti Badan Pusat Statistik Tapanuli Selatan untuk mengetahui data Kependudukan, Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tapanuli Selatan untuk mengetahui data kesehatan masyarakat.
3.5. Defenisi Operasional
Sesuai dengan kerangka penelitian, maka defenisi operasional sebagai berikut :
No. Variabel Defenisi
1. Independen
a. Pekerjaan responden Pekerjaan responden, adalah kegiatan utama maupun tambahan yang dilakukan anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
b. Lama bekerja Lama bekerja adalah waktu yang telah digunakan mulai saat bekerja sampai sekarang.
(55)
hasil pekerjaan utama maupun tambahan (dalam rupiah), yang dikategorikan berdasarkan Upah Minimun (UMR) Kabupaten Tapanuli Selatan.
d. Daerah asal Daerah asal adalah tempat dimana keberadaan sebelumnya
e. Pengetahuan responden
Pengetahuan Responden, adalah tingkat kemampuan responden tentang segala sesuatu yang terkait dengan penyakit filariasis di Desa Pardamean.
f. Sikap responden Sikap Responden, adalah tanggapan responden sehubungan dengan adanya kejadian penyakit filariasis.
g. Tindakan responden Tindakan Responden, adalah tingkah laku seseorang terhadap adanya kejadian penyakit filariasis.
2. Dependen a. Angka kejadian
Filariasis
Angka kejadian filariasis adalah ada tidaknya masyarakat usia dewasa di diagnosis oleh petugas kesehatan yang dinyatakan positif menderita filariasis.
(56)
3.6. Aspek Pengukuran 3.6.1. Variabel Independen I. Karakteristik Responden (1) Pekerjaan responden
Kategori :
1. Bekerja di luar/didalam rumah (PNS/TNI/POLRI, Pegawai Swasta, dan lain-lain)
2. Tidak bekerja (ibu rumah tangga, sedang bersekolah) (2) Lama bekerja diukur berdasarkan
Kategori : 1. < 5 tahun 2. ≥ 5 tahun
(3) Penghasilan keluarga diukur berdasarkan UMR Kabupaten Tapanuli Selatan Kategori :
1. < Rp.820.000 2. ≥ Rp.820.000
(4) Daerah asal diukur berdasarkan kriteria berikut : Kategori :
1. Masyarakat Desa Pardamean 2. Masyarakat pendatang.
(57)
II. Perilaku
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala likert (Sugiyono,2002) Berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu :
a. Kategori baik adalah apabila responden mendapat nilai > 75% dari seluruh skor yang ada
b. Kategori sedang adalah apabila responden mendapat nilai 45-75% dari seluruh skor yang ada
c. Kategori buruk adalah apabila responden mendapat nilai < 45% dari seluruh skor yang ada
1. Pengetahuan
Pengetahuan responden diukur berdasarkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Jumlah pertanyaan sebanyak 10 dengan total skor 20 dengan katagori sebagai berikut :
a. Untuk jawaban yang mempunyai 2 pilihan: 1. Jawaban tahu/ya (a) = 2
2. Jawaban tidak tahu/tidak (b) = 0 Khusus untuk pertanyaan 2,5, dan 7
1. Skor 2 : Jika 3-4 pilihan dapat disebutkan oleh responden 2. Skor 1 : Jika 2 pilihan dapat disebutkan oleh responden
3. Skor 0 : Jika tidak ada atau 1 pilihan dapat disebutkan oleh responden b. Berdasarkan jumlah nilai selanjutnya dikategorikan sebagai berikut :
(58)
2. Tingkat pengetahuan sedang apabila skor yang diperoleh 45 - 75% = 9 -15 3. Tingkat pengetahuan buruk apabila skor yang diperoleh < 45% < 9
2. Sikap
Sikap responden dapat diukur dengan berdasarkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Jumlah pertanyaan sebanyak 10 dengan total skor 20 dengan katagori sebagai berikut :
a. Untuk jawaban yang mempunyai 2 pilihan : 1. Jawaban setuju = 2
2. Jawaban tidak setuju = 0
Khusus untuk pertanyaan no 2,6,8 dan 9 jawaban setuju = 0 dan jawaban tidak setuju = 2
b. Berdasarkan jumlah nilai selanjutnya dikategorikan sebagai berikut : 1. Tingkat pengetahuan baik apabila skor yang diperoleh > 75% > 15
2. Tingkat pengetahuan sedang apabila skor yang diperoleh 45 - 75% = 9 -15 3. Tingkat pengetahuan buruk apabila skor yang diperoleh < 45% < 9
3. Tindakan
Tindakan responden diukur berdasarkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Jumlah pertanyaan sebanyak 10 dengan total skor 20 dengan katagori sebagai berikut:
(59)
a. Untuk jawaban yang mempunyai 2 pilihan : 1. Jawaban ya (a) = 2
2. Jawaban tidak (b) = 0
b. Berdasarkan jumlah nilai selanjutnya dikategorikan sebagai berikut : 1. Tingkat pengetahuan baik apabila skor yang diperoleh > 75% > 15
2. Tingkat pengetahuan sedang apabila skor yang diperoleh 45 - 75% = 9 -15 3. Tingkat pengetahuan buruk apabila skor yang diperoleh < 45% < 9
3.6.2. Variabel Dependen
Kejadian filariasis diukur berdasarkan catatan register pengobatan di Puskesmas Hutaraja.
3.7. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikulpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut :
1. Editing (pemeriksaan data)
Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan jawaban atas pertanyaan. Apabila terdapat jawaban yang belum lengkap atau terdapat kesalahan maka data harus dilengkapi dengan cara wawancara kembali terhadap responden. 2. Coding (pemberian kode)
Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual.
(60)
3. Tabulating
Memindahkan data dari daftar pertanyaan ke dalam tabel-tabel yang telah dipersiapkan.
3.8. Analisa Data
Data yang telah diperoleh dikumpulkan dan diolah dengan proses editing, coding, dan tabulating dengan tujuan untuk memperoleh kriteria nilai dari setiap responden, pengelompokan data.
Data dianalisis dengan menggunakan analisis Univariat dan analisis Bivariat kemudian diolah secara deskriptif menggunakan program komputer , kemudian dianalisis menggunakan Uji Chi- Square (Uji kai Kwadrat) dengan tingkat kepercayaan 95% dan disajikan dalam bentuk tabel.
(61)
BAB IV
HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Kecamatan Muara Batang Toru merupakan salah satu kecamatan dari 12 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan luas wilayah 9.691 Ha. Secara geografis batas-batas wilayah Kecamatan Muara Batang Toru adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara : Kabupaten Tapanuli Tengah
2. Sebelah Selatan : Kecamatan Batang Toru 3. Sebelah Timur : Kecamatan Batang Toru
4. Sebelah Barat : Samudera Hindia dan Kecamatan Angkola Barat Wilayah Kecamatan Muara Batang Toru merupakan wilayah bergelombang sampai berbukit, beriklim sedang dengan suhu maksimum sekitar 35 0C dan suhu minimun sekitar 27 0C. Memiliki curah hujan rata-rata 219,17 Mm setiap bulan dan memiliki hari hujan rata-rata 15,25 setiap bulan.
Jumlah penduduk menurut Data Statistik Kecamatan Muara Batang Toru Tahun 2008 sebanyak 13.979 jiwa yang terhimpun dalam 2.777 kepala keluarga. Berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 6.716 jiwa laki-laki dan 7.263 jiwa perempuan.
Desa Pardamean merupakan salah satu desa dari 7 desa di Kecamatan Muara Batang Toru mempunyai jumlah penduduk sebanyak 338 jiwa yang terhimpun dalam 90 kepala keluarga, terdiri dari 162 jiwa laki-laki dan 176 jiwa perempuan. Penduduk Desa Pardamean umumnya adalah suku batak dan mata pencaharian utama adalah sebagai petani.
(62)
Sarana pendukung pelayanan kesehatan di Desa Pardamean adalah posyandu 1 unit dengan tingkat kemadirian starata madya dan 1 posyamdu 1 unit dengan tingkat kemandirian pratama, sedangkan polindes berjumlah 1 unit. Kegiatan atau program yang dilaksanakan Puskesmas Hutaraja yang terkait dengan kesehatan lingkungan dilaksanakan oleh petugas kesehatan dengan latar belakang kesehatan lingkungan adalah meliputi pemberantasan sarang nyamuk yaitu dengan cara pembagian abate, dan foging.
Sebagian besar masyarakat Desa Pardamean memiliki mata pencaharian petani. Sehingga banyak waktu mereka habiskan di kebun. Keadaan lingkungan kerja dan sekitarnya yang banyak merupakan tempat hidup dan berkembangbiak nyamuk menjadi pemicu timbulnya penyakit yang disebabkan vektor nyamuk salah satu contohnya adalah filariasis. Berikut data kasus kronis filariasis di Puskesmas Hutaraja dapat dilihat pada Tabel 4.1. berikut ini.
Tabel 4.1. Jumlah Penderita Filariasis Kronis di Kecamatan Muara Batang Toru Tahun 2008
No Desa Jumlah Kasus Kronis Filariasis
1 Pardamean 5
2 Rianiate I 2
3 Hutaraja 1
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan 2008
Kecamatan Muara Batang Toru terdiri dari 7 desa dan terdapat 8 kasus kronis filariasis yaitu Desa Pardamean sebanyak 5 kasus kronis filariasis, Rianiate I terdapat 2 kasus kronis filariasis, dan Hutaraja satu kasus kronis filariasi.
(1)
70 70 70 70
0 0 0 0
Valid Missing N
Pekerjaan Lama bekerja Pendapatan Derah asal
Frequency Table
Pekerjaan
68 97.1 97.1 97.1
2 2.9 2.9 100.0
70 100.0 100.0
bekerja tidak bekerja Total Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Lama bekerja
23 32.9 32.9 32.9
47 67.1 67.1 100.0
70 100.0 100.0
0- 5 tahun >=5 tahun Total Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Pendapatan
31 44.3 44.3 44.3
39 55.7 55.7 100.0
70 100.0 100.0
< 820.000 >= 820.000 Total Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Derah asal
41 58.6 58.6 58.6
29 41.4 41.4 100.0
70 100.0 100.0
Masyarakat desa pardamean
masyarakat pendatang Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
(2)
Crosstabs
Case Processing Summary
70 100.0% 0 .0% 70 100.0%
Pengetahuan Total * Filariasis
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Pengetahuan Total * Filariasis Crosstabulation
0 1 1
.0% 100.0% 100.0%
.0% 2.9% 1.4%
.0% 1.4% 1.4%
14 16 30
46.7% 53.3% 100.0% 40.0% 45.7% 42.9% 20.0% 22.9% 42.9%
21 18 39
53.8% 46.2% 100.0% 60.0% 51.4% 55.7% 30.0% 25.7% 55.7%
35 35 70
50.0% 50.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 50.0% 50.0% 100.0% Count
% within
Pengetahuan Total % within Filariasis % of Total Count % within
Pengetahuan Total % within Filariasis % of Total Count % within
Pengetahuan Total % within Filariasis % of Total Count % within
Pengetahuan Total % within Filariasis % of Total baik sedang buruk Pengetahuan Total Total kasus kontrol Filariasis Total Chi-Square Tests
1.364a 2 .045
1.751 2 .417
.814 1 .367
70 Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .50.
(3)
70 100.0% 0 .0% 70 100.0% Sikap Total * Filariasis
N Percent N Percent N Percent
Sikap Total * Filariasis Crosstabulation
0 6 6
.0% 100.0% 100.0%
.0% 17.1% 8.6%
.0% 8.6% 8.6%
28 20 48
58.3% 41.7% 100.0% 80.0% 57.1% 68.6% 40.0% 28.6% 68.6%
7 9 16
43.8% 56.3% 100.0% 20.0% 25.7% 22.9% 10.0% 12.9% 22.9%
35 35 70
50.0% 50.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 50.0% 50.0% 100.0% Count
% within Sikap Total % within Filariasis % of Total Count
% within Sikap Total % within Filariasis % of Total Count
% within Sikap Total % within Filariasis % of Total Count
% within Sikap Total % within Filariasis % of Total baik
sedang
buruk Sikap
Total
Total
kasus kontrol Filariasis
Total
Chi-Square Tests
7.583a 2 .023
9.908 2 .007
.767 1 .381
70 Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.00.
(4)
Crosstabs
Case Processing Summary
70 100.0% 0 .0% 70 100.0%
Tindakan Total * Filariasis
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Tindakan Total * Filariasis Crosstabulation
4 12 16
25.0% 75.0% 100.0% 11.4% 34.3% 22.9%
5.7% 17.1% 22.9%
18 23 41
43.9% 56.1% 100.0% 51.4% 65.7% 58.6% 25.7% 32.9% 58.6%
13 0 13
100.0% .0% 100.0%
37.1% .0% 18.6%
18.6% .0% 18.6%
35 35 70
50.0% 50.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 50.0% 50.0% 100.0% Count
% within Tindakan Total % within Filariasis % of Total Count
% within Tindakan Total % within Filariasis % of Total Count
% within Tindakan Total % within Filariasis % of Total Count
% within Tindakan Total % within Filariasis % of Total baik sedang buruk Tindakan Total Total kasus kontrol Filariasis Total Chi-Square Tests
17.610a 2 .000
22.819 2 .000
15.056 1 .000
70 Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.50.
(5)
(6)