2.1.6.10. Siklus Hidup
Siklus hidup nyamuk anopheles mengalami metamorfosa sempurna dengan tahap telur, larva, pupa dan dewasa.
a. Telur
Nyamuk aedes betina suka bertelur di atas permukaan air pada dinding vartikel bagian dalam tempat-tempat yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya
matahari langsung. Tempat air yang dipilih adalah tempat air di dalam rumah dan yang bersih. Telur diletakkan satu persatu di tempat yang gelap, lembab dan
tersembunyi di dalam rumah dan bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil maupun dapur. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48 jam di
lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu proses embrionasi selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang lama. Telur akan menetas pada waktu yang sama
Suroso, 2003.
b. Larva
Telur yang tidak menetas karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai membentuk larva yang dilapisi kista dapat bertahan lebih dari setahun berbentuk oval
dan berwarna putih. Larva aedes menempel di permukaan dinding vartikel sampai pada waktu menetas Suroso, 2003.
c. Jentik
Lamanya perkembangan jentik tergantung pada suhu, ketersediaan makanan dan kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi yang optimum, waktu yang
dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari termasuk dua hari untuk masa menjadi pupa,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan pada suhu yang rendah membutuhkan beberapa minggu untuk kemunculan nyamuk dewasa. Habitat alami jentik jarang ditemukan, tetapi dapat ditemukan di
lubang pohon, pangkal daun dan tempurung kelapa. Suroso, 2003.
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa banyak ditemukan disepanjang tahun disemua kota di Indonesia sesaat setelah menjadi dewasa akan kawin dengan nyamuk betina yang
sudah dibuahi dan akan menghisap darah. Darah merupakan sumber protein yang sangat penting untuk mematangkan telur.
2.1.7. Hospes Filariasis A. Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif mengandung larva stadium 3. Nyamuk infektif mendapat
mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang
terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya
sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya. Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria. Akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat Marsaulina. I, 2009.
Universitas Sumatera Utara
B. Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis hewan reservoir. Dari semua spesies cacing filaria yang terinfeksi manusia di
Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung Presbytis cristatus, kera Macaca fascicularis dan kucing
felis catus. Pengendalian filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh
karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantsan filariasis pada manusia.
2.1.8. Lingkugan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distibusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan
hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan urban adalah
daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor nyamuk Culex quinquefasciatus. Sedangkan daerah
endemis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan rural secra umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis Brugia malayi.
Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya.
A. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan
vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan
Universitas Sumatera Utara
filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan,
masa hidup serta keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa- rawa dan adanya hospes reservoir kera, lutung dan kucing berpengaruh terhadap
penyebaran B.malayi sub periodik nokturna dan non periodik.
B. Lingkungan Biologik
Lingkungan biologik dapat menjadi rantai penularan filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk
Mansonia spp.
C. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku, adat istiadat,
budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan
karena berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor. Insiden filariasis pada laki- laki lebih tinggi daripada insidens filariasis perempuan karena umumnya laki-laki
lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya Depkes RI,2006.
2.1.9. Rantai Penularan Filariasis
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu : 1.
Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.
3. Manusia yang rentan terhadap filariasis.
Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif larva stadium 3-L3.
Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal dikulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk
menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan
demam berdarah, cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat
dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.
Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan
waktu kurang lebih 9 bulan. Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat
menghisap darah yang mengandung microfilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap microfilria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika
microfilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah microfilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.
Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk,
sehingga microfilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya
Universitas Sumatera Utara
untuk tumbuh menjadi larva L3 masa inkubasi ekstrinsik dari parasit. Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi
dan Brugia timori antara 8-10 hari. Perioriditas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh
terhadap resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam hari memiliki vektor yang
aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik,
penularan dapat terjadi siang dan malam hari. Disamping faktor-faktor tersebut diatas, mobilitas penduduk dari daerah
endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah Depkes RI, 2006.
2.1.10. Gejala Klinis Filariasis
Ada dua macam gejala klinis filariasis, yaitu gejala klinis akut dan gejala klinis kronis.
2.1.10.1. Gejala Klinis Akut
Keadaan terlihat pada kondisi gejala klinis akut adalah berupa pandangan
kelenjar limfe limfadenitis atau saluran limfe limfangitis sedangkan untuk
pandangan yang terjadi pada kelenjar dan saluran limfe sekaligus disebut adenomalimfangitis. Pada umumnya gejala klinis akut yang terjadi adalah disertai
dengan demam, sakit kepala, rasa lemah atau kelelahan dan dapat pula disertai abses bisul yang kemudian pecah dan sembuh. Biasanya abses yang sembuh akan
Universitas Sumatera Utara
meninggalkan bekas seperti parut. Bekas dalam bentuk parut sering kita lihat dan ditemukan di daerah lipatan paha dan ketiak. Keadaan ini banyak terdapat di daerah
penularan filariasis dengan golongan spesies cacing filaria Brugia malari dan Brugia timori.
Kemudian untuk gejala spesies filaria Wuchereria bancrofti biasanya akan ditemukan demam, namun demam ini terjadi apabila pada penderitaan terjadi orkitis,
epididimitis dasn funikulitis Depkes RI, 2006.
2.1.10.2. Gejala Klinis Kronis
Pembagian gejala kronis secara umum dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
a. Limfedemaelephantiasis
Gejala kronis yang dialami penderita mengenai seluruh kaki atau lengan skrotum, vagina dan payudara. Gajala ini biasanya terdapat pada penderita yang
terinfeksi cacing filaria dengan spesies Wuchereria bancofti. Sedangkan untuk penderita yang terinfeksi oleh jenis spesies Brugia malayi dan Brugia timori, bentuk
gejala klinisnya dapat mengenai kaki atau lengan di bawah lutut atau siku. b. Hidrokel
Gejala klinis pada penderita ini terjadi adanya pelebaran kantung buah skrotum yang berisi cairan limfe. Penderita yang mengalami gejala klinis tersebut
dapat dikatakan sebagai penentuan atau menjadi indikator penilaian terhadap endemisitas penularan penyakit filariasis yang disebabkan oleh cacing filaria dengan
spesies Wuchereria bancrofti.
Universitas Sumatera Utara
c. Kiluria Gejala klinis yang dialami oleh penderita ini adalah cairan air seni atau air
kencing seperti susu. Cairan seperti susu ini disebabkan oleh karena adanya kebocoran saluran limfe di daerah pelvic ginjal, sehingga cairan limfe tersebut masuk
ke dalam saluran kencing. Kasus kiluria ini ditemukan pada daerah penyebaran atau penularan penyakit kaki gajah oleh cacing filaria spesies Wuchereria bancrofti,
namun kasus kiluria ini jarang ditemukan Depkes RI, 2006.
2.1.11. Pencegahan dan Pengobatan Filariasis 2.1.11.1. Pencegahan Filariasis
Indonesia menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular dengan menerapkan dua strategi utama yaitu
memutuskan rantai penularan dengan pengobatan masssal di daerah endemis dan upaya pencegahan dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis
filariasis. Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan memutuskan mata rantai antara sumber penular dengan media tramsmisi. Contohnya dapat dilakukan dengan
membersihkan tempat-tempat perindukan nyamuk, menutup barang-barang bekas, menguras tempat-tempat penampungan air, penyemprotan massal agar dapat
mencegah penyebarluasan penyakit, menggunakan pelindung diri disaat bekerja dikebun misalnya menggunakan baju lengan panjang, menggunakan obat anti
nyamuk, menggunakan kelambu di saat tidur, tidak keluar di saat malam hari dan lain-lain Depkes RI, 2006.
Universitas Sumatera Utara
2.1.11.2. Pengobatan Filariasis
Pengobatan filariasis dilakukan dengan cara pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethylcarbamazine Citrate DEC 6 mgkgBB, Albendazol 400 mg dan
Parasetamol 500 mg. Pengobatan massal bertujuan untuk mematikan semua mikrofilaria yang ada di dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan,
sehingga memutuskan rantai penularannya. Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap semua penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi
pengobatan untuk sementara di tunda bagi anak berusia kurang dari 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit berat, penderita kasus kronis filariasis sedang dalam
serangan akut, anak berusia kurang dari 5 tahun dengan marasmus dan kwashiorkor. Pemberian obat menggunakan obat Diethylcarbamazine Citrate DEC, Albendazol
dan Paracetamol diberikan sekali setahun selama lima 5 tahun. Sebaiknya obat diberikan sesudah makan dan di depan petugas kesehatan Depkes RI, 2006.
2.2. Pengertian Perilaku
Menurut Notoatmodjo 2003, perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia
pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Perilaku dan gejala yang tampak pada kegiatan organisme tersebut
dipengaruhi baik oleh faktor genetik keturunan dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku
makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Hereditas atau faktor keturunan adalah merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup
Universitas Sumatera Utara
itu untuk selanjutnya. Sedangkan faktor lingkungan adalah merupakan kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut.
Menurut Sarwono 1997, perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia degan lingkungannya yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari
dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif tanpa tindakan maupun aktif disertai tindakan.
2.2.1. Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan stimulus dari luar subjek. Respon ini dibedakan
menjadi 2 dua : 1. Perilaku tertutup covert behavior
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup covert. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuankesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
Oleh sebab itu disebut covert behavior atau unobservable behavior. 2. Perilaku terbuka overt behavior
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktek practice, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktek practice misal,
Universitas Sumatera Utara
seorang ibu memeriksa kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi dan sebagainya.
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang organisme terhadap stimulus atau objek yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok: 1.
Perilaku pemeliharaan kesehatan health maintanance Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
a. Perilaku pencegah penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif,
maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi makanan dan miuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya
makanan dan minuaman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat
tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan,
atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan health seeking behavior.
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri,
keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah, dan
sebagainya.
2.2.2. Pengetahuan Knowledge
Putusan orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan tidak lain dari hasil tahu. Kalau orang, misalnya tahu bahwa pohon itu rendah, maka
ia mengakui hal ini terhadap pohon itu. Ia mengakui sesuatu terhadap sesuatu. Memang ia tahu yang menghasilkan pengetahuan. Pengakuan sesuatu terhadap
sesuatu itu disebut ‘putusan’, sehingga dalam dasarnya putusan dan pengetahuan itu sama Notoatmodjo, 2003.
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia, yakni dengan indera pengelihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang Overt Behavior Notoatmodjo,2003.
Ada enam tingkatan pengetahuan yaitu: 1.
Tahu Know Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali recall terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari dengan meyebutkan, merugikan,
mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya. 2.
Memahami Comprehansion Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi Aplication
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari pada situasi atau kondisi real sebenarnya.
4. Analisis Analysis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat
Universitas Sumatera Utara
dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan membuat bagan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesis Synthesis
Sintesis yaitu menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi Evaluation
Evaluasi yaitu berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilain itu berdasarkan
suatu kriteria yang di tentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya dapat menanggapi terjadinya diare disuatu tempat dan
sebagainya Notoatmodjo, 2003.
2.2.3. Sikap Attitude
Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespon secara positif atau negatif terhadap orang, obyek atau situasi tertentu. Sikap
mengandung suatu penelitian emosionalafektif senang, benci, sedih dsb, disamping itu komponen kognitif pengetahuan tentang obyek ituserta aspek konatif
kecenderungan bertindak. Dalam hal ini pengertian sikap adalah merupakan reaksi
Universitas Sumatera Utara
atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek Notoatmodjo, 2003.
Menurut Allport 1954 yang dikutip Notoatmodjo 2003, menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu:
1. Kepercayaan keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak trend to behave Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh total
attitude. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
2.2.4. Tindakan atau Praktek Practice
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam tindakan overt behavior. Untuk mewujudkannya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung
atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Tingkat-tingkat tindakanpraktek, yaitu:
1. Persepsi
perseption
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
2. Respons Terpimpin
guide respons
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
Universitas Sumatera Utara
3. Mekanisme
mechanism
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek
tingkat tiga. 4.
Adaptasi adaptation
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut
2.3 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dijelaskan bahwa pengetahuan,
sikap dan tindakan manusia dapat mempengaruhi kejadian filariasis.
Perilaku responden 1. Pengetahuan
2. Sikap 3. Tindakan
Angka Kejadian Filariasis
Karakteristik Responden 1. Pekerjaan
2. Lama bekerja 3. Penghasilan
4. Daerah asal
Universitas Sumatera Utara
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut :
Ha : Ada hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan kejadian filariasis.
Ho : Tidak ada hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan kejadian
filariasis. Ha
: Ada hubungan sikap masyarakat dengan kejadian filariasis. Ho
: Tidak ada hubungan sikap masyarakat dengan kejadian filariasis. Ha
: Ada hubungan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis. Ho
: Tidak ada hubungan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan case kontrol, yaitu untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan
tindakan faktor penelitian dan penyakit dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan
dari kedua kelompok tersebut. Dengan demikian dapat diketahui apakah ada hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di
Desa Pardamean di Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan. Alasan pemilihan lokasi ini karena Kabupaten Tapanuli
Selatan merupakan daerah endemis filariasis dimana mulai dari tahun 2000 diperoleh MF rate 1, tahun 20037, 20043, 20051 dan ditahun 2008 dengan
ditemukannya kasus klinis kronis 8 kasus di Muara Batang Toru, 5 diantara kasus tersebut terdapat di Desa Pardamean. Dengan jumlah penduduk yang relatif lebih
sedikit di bandingkan dengan desa lain di Kecamatan Muara Batang Toru.
Universitas Sumatera Utara