Perbedaan Pendapat Dalam Memahami Perpu No 1 Tahun 2014 Terkait
pada peningkatan dan perluasan partisipasi politik rakyat, pembentukan kultur politik yang lebih matang, pembelajaran kompetisi politik yang
sehat, fair, dan terbuka serta memberikan peluang yang lebih besar bagi individu-individu berkualitas untuk naik ke tangga puncak kepemimpinan
daerah.
Secara historis harus diingat bahwa pemilukada secara langsung pada mulanya muncul sebagai antitesa atas pemilihan kepala daerah yang
sebelumnya berlangsung tertutup, terbatas, elitis dan sarat dengan kolusi. Ketika jarum sejarah yang sudah bergerak maju itu hendak diputar
kembali ke belakang melalui UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pemilukada dikembalikan lagi lewat DPRD, maka wajar jika kemudian
muncul penolakan dan protes meluas di masyarakat. Pemilukada oleh DPRD dianggap sebagai keputusan anti demokrasi, maka Perpu No. 1
Tahun 2014 adalah pilihan yang terbaik bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
72
Pernyataan tersebut memberikan pandangan bahwa Perpu No. 1 Tahun 2014 sebagai langkah tepat untuk mempertahankan kedaulatan rakyat dalam
memilih pemimpinnya. Maka ketika banyak penolakan dan desakan dari rakyat atas pemilihan secara tidak langsung dianggap menjadi suatu alasan
sebagai keadaan yang mendesak dan kegentingan yang harus diselesaikan
72
www.fpkb-dpr.or.id diakses pada tanggal 22 Mei 2015
dengan cepat. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau dengan perwakilan DPRD dinilai sebagai langkah mundur dari apa yang sudah
dilakukan bangsa ini yang sudah menjadikan demokrasi langsung sebagai suatu langkah maju. Kesimpulanya Perpu lebih banyak ditentukan oleh
“komunikasi” presiden dan kekuatan politik di DPR dilihat dari pengalaman beberapa Perpu yang disahkan oleh DPR. Hukum dipandang sebagai
dependent variable Variabel terpengaruh, sedangkan politik diletakan sebagai independent variable Variabel berpengaruh
73
.
Pernyataan kontra terhadap dikeluarkanya Perpu No. 1 Tahun 2014 membuat para pakar hukum tata negara memberikan argumentasinya, yakni
sebagai berikut:
1. Menurut Irman Putra Sidin sebaik apapun materi sebuah Perpu,
perdebatan pertama dan utamanya adalah apakah Perpu tersebut telah memenuhi syarat hal ihwal kegentingan memaksa menurut Pasal 22 ayat
1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak. Hal ini yang menjadi acuan pertama dan utama baik DPR dan Mahkamah Konstitusi guna
menilai Perpu tersebut. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota inkonstitusional, bahkan bisa
dikategorikan penyalahgunaan kewenangan. Hal tersebut karena perpu tidak memenuhi syarat formil yang menjadi syarat mutlak pembentukan
73
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, h. 10
Perpu, yakni hal ihwal kegentingan memaksa. Jika Perpu tidak memenuhi syarat tersebut, maka semulia apapun materinya, Perpu itu tidak dapat
disetujui menjadi undang-undang oleh DPR dan harus dinyatakan inkonstitusional oleh MK. MK sudah memiliki kerangka konstitusional
tentang syarat formil perpu, yaitu pada putusan MK Perkara Nomor 03PUU-III2005 hingga Perkara Nomor 1 dan 2PUU-XII2014.
Berdasarkan syarat formil tersebut, Perpu sesungguhnya memiliki syarat umum dan syarat khusus yang harus terpenuhi oleh Presiden untuk dapat
mengeluarkan Perpu.
74
2. Menurut Andi Muhammad Asrun mengatakan sejumlah norma dalam
Perpu Pilkada tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa. Sebagai contoh Pasal 167 atau bab 23 pengisian wakil gubernur, wakil bupati, dan
wakil walikota, ini tidak ada kegentingan memaksa untuk mengatur hal ini, hal ini bisa diatur dengan sebuah undang-undang yang biasa. Selain
itu, dengan tidak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 digantikan dengan UU No. 22 Tahun 2014. Kemudian datang Perpu menyatakan UU No. 22
Tahun 2014 tidak berlaku. Maka akan dipakai yang mana? Ini tidak ada rujukannya dan tidak jelas. Dengan demikian, Perpu Pilkada telah
menimbulkan ketidakpastian dan tidak mengandung unsur kegentingan yang memaksa.
75
74
http:www.mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada tanggal 22 Mei 2015
3. Menurut Prof Moh. Mahfud MD mengatakan yang harus wajib diingat
adalah syarat disahkannya suatu Undang-Undang adalah dengan persetujuan bersama dari DPR dan Presiden dalam suatu rapat paripurna
yang dijelaskan dalam Pasal 69 UU No. 12 Tahun 2011. Ini berarti bahwa segala hak veto Presiden sudah diatur pada saat rapat paripurna yang
menyetujui Undang-Undang tersebut. Pasal 69 Ayat 3 UU No. 12 Tahun 2011 bahkan sudah jelas menegaskan bahwa apabila RUU tidak disetujui
bersama antara Presiden dan DPR, maka RUU tersebut tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan DPR pada masa itu. Dengan kata lain,
satu-satunya alasan mengapa Undang-Undang Pilkada bisa lolos di pertengahan tahun 2014 adalah karena Undang-Undang tersebut sudah
disetujui secara bersama-sama oleh DPR dan Presiden. Maka jangan dilupakan, Undang-Undang tersebut tidak bisa dikeluarkan jika Presiden
dan DPR tidak menyepakati isinya. Dengan demikian menjadi tidak masuk akal ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
kemudian seenaknya tanpa ada kegentingan yang memaksa mengeluarkan Perpu Pilkada yang mencabut Undang-Undang yang sudah disetujuinya
sendiri.
76
Pernyataan tersebut memberikan pandangan bahwa Perpu No. 1 Tahun 2014
inkonstitusional, bahkan
bisa dikategorikan
penyalahgunaan
76
https:www.selasar.com politik perpu pilkada diakses pada tanggal 22 Mei 2015
kewenangan. Hal tersebut karena Perpu tidak memenuhi syarat formil yang menjadi syarat mutlak pembentukan Perpu, yakni hal ihwal kegentingan
memaksa. Sebagai contoh Pasal 167 atau bab 23 pengisian wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota, ini tidak ada kegentingan memaksa untuk
mengatur hal ini, hal ini bisa diatur dengan sebuah undang-undang yang biasa.