Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa

menerimanya, artinya ketika suatu Perpu itu dikeluarkan oleh Presiden maka penetapannya harus mengedepankan kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Allah Swt menyuruh untuk menetapkan hukum seadil-adilnya agar tidak ada yang dirugikan. Sesungguhnya penetapan hukum yang merugikan atas ketidakadilan pemimpin hukumnya haram dan dibenci Allah Swt. Kemudian menurut Hadits dari Ali radhiallahu „anhu, Ahmad Syakir di dalam Tahkik Musnad 1095 yakni: ها ةيصْعم ْيف قْولْخمل ةعاط ا Artinya: “Tidak ada taat pada makhluk dalam perbuatan yang maksiat pada Allah Ta’ala”. 60 Ali radhiallahu „anhu, Ahmad Syakir berpendapat bahwa hadits tersebut shahih. Apabila peraturan tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan untuk kaum Muslimin dan tidak terdapat madharat serta tidak bertentangan dengan syari‟at Allah Ta‟ala, maka peraturan itu harus ditaati dan tidak boleh dilangar. Tapi jika peraturan itu bertentangan dengan syari‟at Allah Ta‟ala dan mengandung unsur maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah di dengar dan ditaati. 60 Imam Ahmad di dkalam Musnadnya Juz I h. 131- 409 2. Urgensi Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Dalam Pembuatan Perpu. Polemik terus terjadi sampai saat ini mengenai urgensi tentang kegentingan yang memaksa sebagai dasar politis dan sosiologis bagi pembentukan Perpu. Seiring berlangsungnya zaman, seringkali muncul pameo di masyarakat bahwa Perpu umumnya dibentuk bukan karena adanya kegentingan yang memaksa, melainkan karena adanya kepentingan yang memaksa. Perpu hanya dapat ditetapkan oleh Presiden apabila persyaratan “kegentingan yang memaksa” terpenuhi sebagaimana mestinya. Keadaan “kegentingan yang memaksa” yang dimaksud disini berbeda dan tidak boleh dicampuradukan dengan pengertian “keadaan bahaya” 61 sebagaimana ditentukan oleh Pasal 12 UUD 1945. Pasal 12 menyatakan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang ”. Kedua ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 tersebut sama-sama berasal dari ketentuan asli UUD 1945, yang tidak mengalami perubahan dalam perubahan pertama sampai perubahan keempat. Artinya norma dasar yang terkandung didalamnya tetap tidak mengalami perubahan. 61 Jimly Asshidiqie, “Hukum Tata Negara Darurat”, h.207-208 Menurut I.C Van der Viles dalam bukunya yang berjudul Handboek wetgeving, asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan dalam hal ini termasuk Perpu, dibagi menjadi dua bagian, yaitu 62 : a. Asas Formil Asas Tujuan, yakni tujuan yang jelas beginsel van duidelijk perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan mafaat yang jelas untuk apa dibuat. Asas OrganLembaga beginsel van het juiste orgaan, yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan perundang- undangan yang berwenang. Asas Kedesakan Pembuatan Pengaturan het noodzakelijkheidsbeginsel. Asas Kedapatlaksanakan atau dapat dilaksanakan het beginsel van uitvoerbaarheid yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya akan berlaku secara efektif di masyarakat karena mendapat dukungan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Asas zkonsensus het beginsel van de consensus. 62 A. Hamid SA, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jakarta: Disertasi, 1990,h.321-331 b. Asas Materil Asas terminologi dan sistematika yang benar. Asas dapat dikenali. Asas perlakuan yang sama dalam hukum. Asas kepastian hukum. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual. Kriteria dikeluarkanya Perpu oleh Presiden yaitu dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, tidak mengatur mengenai hal-hal yang diatur dalam UUD 1945. Tidak mengatur mengenai keberadaan dan tugas wewenang lembaga negara, dan tidak boleh ada Perpu yang dapat menunda dan menghapuskan kewenangan lembaga negara, hanya boleh mengatur ketentuan Undang-Undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. 63 Urgensi hal ihwal kegentingan yang memaksa bukan hanya karena ada keadaan bahaya, ancaman, dan berbagai kegentingan lain yang langsung berkenaan dengan negara atau rakyat banyak. Dalam sejarahnya ada Perpu yang ditetapkan untuk menangguhkan berlakunya Undang- Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang- Undang No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Perpu yang dimaksud adalah Perpu No. 1 Tahun 1984 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Pajak Pertambahan 63 Bagir Manan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1997, h. 151 Nilai 1984. Menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 8 Tahun 1983, Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1984. Menjelang tanggal tersebut ternyata belum siap sehingga perlu ditangguhkan. Demikian juga Undang-Undang Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menurut ketentuan Pasal 74 Undang-Undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 September 1994. Namun menjelang tanggal te rsebut ternyata belum siap. Keadaan “Belum Siap” menjadi dasar membuat Perpu penangguhan. Maka dari itu, urgensi kegentingan yang memaksa tidak semata-mata dikarenakan adanya keadaan mendesak. 64 64 Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana, 2009 h. 102

BAB IV ANALISIS PERPU NO 1 TAHUN 2014 TERKAIT DENGAN HAL

IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA A. Proses Pembentukan Perpu No.1 Tahun 2014 Perjalanan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubenur, Bupati, dan Walikota tidak lepas dari permasalahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang membuat rakyat menjadi resah. Alasan ini secara logis dapat diterima rakyat karena regulasi yang diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota ini mengenai pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh rakyat, tetapi dipilih secara proses politik oleh anggota DPRD. Hal ini dianggap mencederai rasa demokrasi yang dijunjung bangsa Indonesia, meskipun banyak pakar hukum menganggap dengan pemilihan dilakukan oleh DPRD masuk kedalam demokrasi juga yakni demokrasi perwakilan, karena demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang dilaksanakan secara langsung maupun perwakilan. 55 Implikasi dari permasalahan tersebut menimbulkan banyak kelemahan dalam RUU Pilkada. Oleh karena itu Susilo Bambang Yudhoyono memberi opsi dengan 10 perbaikan yakni: 65 1. Ada uji publik calon kepala daerah. Dengan uji publik dapat mencegah calon dengan integritas buruk dan kemampuan rendah, karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup, atau hanya karena yang bersangkutan merupakan keluarga dekat dari incumbent. Uji publik semacam ini diperlukan, meskipun tidak menggugurkan hak seseorang untuk maju sebagai calon Gubernur, Bupati ataupun Walikota. 2. Penghematan atau pemotongan anggaran Pilkada secara signifikan, karena dirasakan selama ini biayanya terlalu besar. 3. Mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka, agar biaya bisa lebih dihemat dan untuk mencegah benturan antar massa. 4. Akuntabilitas penggunaan dana kampanye, termasuk dana sosial yang sering disalahgunakan. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya indikasi korupsi. 5. Melarang politik uang, termasuk serangan fajar dan membayar parpol yang mengusung. Banyak kepala daerah yang akhirnya melakukan korupsi, karena harus menutupi biaya pengeluaran seperti ini. 65 www.hukumonline.com diakses pada tanggal 30 Mei 2015 6. Melarang fitnah dan kampanye hitam, karena bisa menyesatkan publik dan juga sangat merugikan calon yang difitnah. Demi keadilan para pelaku fitnah perlu diberikan sanki hukum. 7. Melarang pelibatan aparat birokrasi. Ditengarai banyak calon yang menggunakan aparat birokrasi, sehingga sangat merusak netralitas dari pemilihan kepala daerah. 8. Melarang pencopotan aparat birokrasi pasca Pilkada, karena pada saat Pilkada calon yang terpilih atau menang merasa tidak didukung oleh aparat birokrasi tersebut. 9. Menyelesaikan sengketa hasil Pilkada secara akuntabel, pasti, dan tidak berlarut-larut. Perlu ditetapkan sistem pengawasan yang efektif agar tidak terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme serta penyuapan. 10. Mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan hukum pendukungnya. Tidak sedikit terjadinya kasus perusakan dan aksi- aksi destruktif karena tidak puas atas hasil Pilkada. Dengan usulan 10 perbaikan yang dijelaskan di atas maka, Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan dirinya dan Partai Demokrat mendukung RUU tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan 10 perbaikan, agar tidak dipaksakan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD atau pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Hal ini menimbulkan besarnya desakan dari berbagai kalangan rakyat Indonesia yang menginginkan Pilkada secara langsung. Pada tanggal 25 September 2014 DPR menggelar rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada yang berakhir dengan disahkannya RUU Pilkada dengan opsi pemilihan melalui DPRD berdasarkan suara 226 anggota. RUU Pilkada dimungkinkan tidak akan disahkan oleh DPR apabila Partai mayoritas di parlemen yakni Partai Demokrat tidak melakukan walkout. Keputusan walkout Partai Demokrat bukan tanpa alasan, melainkan tidak disetujuinya usulan 10 perbaikan untuk RUU Pilkada oleh Parlemen. Akibat dari keputusan walkout membuat tidak kuatnya suara di parlemen untuk mendukung RUU Pilkada secara langsung, dan secara langsung disahkan atas perolehan suara terbanyak. Kemudian pada tanggal 2 Oktober 2014 Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden menyerahkan dua Perpu kepada DPR atas pengesahan Undang-Undang Pilkada yang disahkan pada tanggal 26 September 2014. Salah satunya Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan GubenurBupatiWalikota sekaligus mencabut UU No 22 tahun 2014 yang mengatakan pemilihan GubernurBupatiWalikota yang mengacu pada pemilihan kepala daerah tak langsung oleh DPRD. Keputusan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan Perpu di sinyalir akan mendapat penolakan terutama dari Koalisi Merah Putih, yang untuk saat itu menguasai Parlemen. Masalah lain adalah Perpu harus mendapat persetujuan DPR. Jika dihitung-hitung secara matematika, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: 66 Dugaan ditolakanya Perpu No. 1 Tahun 2014 oleh DPR akhirnya terbantahkan. Babak baru perjalanan Perpu No.1 Tahun 2014 berakhir dengan disahkannya Perpu No.1 Tahun 2014 tentang Pilkada dan Perpu No. 2 Tahun 2014 tentang Pemda menjadi Undang-Undang. Dengan disahkanya oleh DPR maka rakyat kembali bisa memilih Gubernur-Wakil Gubernur, Wali Kota- Wakil Wali Kota, Bupati-Wakil Bupati secara langsung. Presiden Susilo 66 www.masshar2000.com diakses pada tanggal 28 Mei 2015 NO SETUJU PERPU TIDAK SETUJU 1 PDI-P 109 Kursi Golkar 91 kursi 2 Demokrat 61 kursi Gerindra 71 kursi 3 PKB 47 kursi PAN 49 Kursi 4 Nasdem 35 kursi PKS 40 kursi 5 Hanura 16 kursi PPP 39 kursi Total 268 kursi 290 kursi