ANALISIS PERPU NO 1 TAHUN 2014 TERKAIT DENGAN Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan, pembatasan

telah dilaksanakan. Dijelaskan juga tentang pertimbangan mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 138PUU-VII2009 yang intinya ada keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kemudian Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, serta kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan Perpu adalah hak konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945, Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang. Dalam ayat 2 dinyatakan bahwa perppu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Kemudian Mahkamah Konstitusi memperjelas frasa kegentingan yang memaksa bagi presiden untuk menerbitkan perpu. Dalam hal kondisi yang memaksa dan darurat pembuatan Perpu oleh presiden dapat dilakukan, menginggat Presiden sebagai kepala Pemerintahan sekaligus kepala negara merupakan pihak yang paling tahu tentang kondisi negara, meskipun alasan dalam keadaan yang memaksa tersebut dilandaskan pada pertimbangan subjektif dan prerogatif Presiden. 6 Terkait dengan hal di atas penulis tertarik untuk membahasnya dengan judul Syarat Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Dalam Pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Studi Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, maka permasalahan penelitian ini akan dibatasi. Pembuatan Perpu didasarkan oleh Asas Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa dan penilaian subjektifitas Presiden. Penelitian ini hanya membahas tolak ukur Asas Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa terhadap pembuatan Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. 6 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Cetakan kedua, Jogjakarta: FH UII Pres 1997, h.153 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran dan batasan masalah tersebut diatas maka penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana kedudukan Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa dalam pembuatan Perpu No.1 Tahun 2014 ? b. Apa tolak ukur Presiden dalam pembuatan Perpu ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui kedudukan Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa dalam pembuatan Perpu No.1 Tahun 2014. b. Untuk mengetahui tolak ukur Presiden dalam pembuatan Perpu. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat secara teoritis, praktis, dan akademis yakni: a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan tentang tolak ukur subjektif Presiden dan asas Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa dalam pembuatan Perpu No.1 Tahun 2014. b. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada para peminat hukum tata negara, dan praktisi ketatanegaraan dalam melihat produk Perpu yang berkualitas atas dasar kepentingan rakyat. c. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis a. Kewenangan Presiden Menurut UUD 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 22 ayat 1 menyatakan bahwa : “Dalam hal ihkwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang”. Di dalam penjelasan Pasal 22 sebelum perubahan amandemen UUD 1945 dijelaskan bahwa, pasal ini mengenai Noodverordeningsrecht Presiden. b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu adalah suatu peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, yang berarti pembentukannya memerlukan alasan-alasan tertentu, yaitu adanya keadaan mendesak, memaksa atau darurat. Dikatakan juga bahwa dapat dirumuskan sebagai keadaan yang sukar, penting dan terkadang krusial sifatnya yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera pembentukan peraturan perundang- undangan yang setingkat dengan undang-undang. Diterbitkanya Perpu oleh Presiden adalah suatu hal yang tidak melanggar konstitusional atau mengakibatkan inkonstitusional, karena secara jelas termaktub di dalam UUD 1945. 7 Permasalahan yang mungkin terjadi ketika Presiden mengeluarkan Perpu tidak mengacu pada asas “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. c. Pendapat Pakar Hukum Tentang Asas Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Menurut Jimlly Ashidiqie terdapat 3 tiga unsur penting yang dapat menimbulkan suatu kegentingan yang memaksa yakni, unsur ancaman yang membahayakan, unsur yang mengharuskan, dan unsur keterbatasan waktu. 8 Menurut Profesor Lauddin Marsuni dapat dirumuskan kegentingan yang memaksa adanya situasi bahaya atau situasi genting, kedua adanya situasi bahaya atau genting mengancam keselamatan negara jika pemerintah tidak cepat mengambil tindakan hukum konkrit, ketiga adanya situasi yang sangat mendesak sehingga 7 Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “Dalam hal ihkwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang”. 8 Jimly Asshidiqie, “Hukum Tata Negara Darurat”, h.207-208 diperlukan tindakan pembentukan hukum pemenrintah tanpa menunggu mekanisme DPR RI. 9 Bagir Manan mengemukakan pendapatnya tentang unsur kegentingan memaksa yang harus menunjukan dua ciri umum 10 , yaitu adanya keadaan krisis dan mendesak. Keadaan krisis yang dimaksud adalah dimana suatu keadaan dapat dikatakan sebagai krisis apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentinganya. Kemudian adanya sifat mendesak, artinya adalah suatu keadaan dapat dikatakan kegentingan memaksa apabila suatu tindakan atau pengaturan dengan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu. 2. Kerangka Konseptual a. Kewenangan Secara bahasa, kata kewenanangan berasal dari kata wewenang yang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak atau juga berarti kekuasaan membuat keputusan yang memiliki akibat hukum setelah dikeluarkannya keputusan tersebut. 11 Philipus M . Hadjon membagi 9 http:sumbar.antaranews.comberita117575perppu-untuk-negara-dalam-keadaan- genting diunduh pada tanggal 20 Juni 2015 10 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, h.157 11 Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988, h. 1011 wewenang atas dua cara yaitu atribusi dan delegasi 12 . Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan besluit yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi delegasi delegans kepada yang menerima delegasi delegetaris. b. Demokrasi Langsung Demokrasi langsung diselenggarakan atas kedaulatan rakyat democratie melalui sistem secara langsung. Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung direct democracy dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Dapat juga disalurkan melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, berorganisasi, berserikat, dan pers, serta hak-hak yang dijamin lainya oleh konstitusi. 13 12 Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan Bestuurbevoegdheid, Pro Justitia Tahun XVI Nomor I Januari 1998, h. 90 13 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h.59 c. Demokrasi Perwakilan Demokrasi perwakilan diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat DPR dan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Dalam menjalankan kebijakan pokok Pemerintahan dan mengatur ketentuan hukum berupa UUD dan Undang-Undang pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui sistem perwakilan. Di daerah provinsi dan kabupatenkota, pelembagaan demokrasi perwakilan disalurkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. d. Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Segala sesuatu yang membahayakan negara dan kedaulatan rakyat tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan “kegentingan yang memaksa ”, tetapi kegentingan yang memaksa tidak selalu membahayakan. Terkait dengan penafsiran mengenai kegentingan yang memaksa oleh Presiden, memang belum ada literatur yang dapat menjelaskan tentang ukuran secara jelas ataupun patokan perihal klasifikasi khusus tentang keadaan memaksa. Semua pertimbangan tersebut diserahkan sepenuhnya oleh Presiden secara subjektif, artinya penentuan adanya “kegentingan yang memaksa” tersebut baru bersifat objektif setelah hal itu dinilai dan dibenarkan oleh DPR berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat 2 UUD 1945. 14

E. Tinjauan Review Studi Terdahulu

1. Skripsi Membahas tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang ditulis oleh Rizki Masapan Sarjana Strata 1 S1 Program Studi Ilmu Hukum UI. Penelitian ini dilakukan bertujuan mengetahui pelaksanaan pengujian terhadap sebuah peraturan perundang- undangan dalam hal ini pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. 2. Jurnal Hukum Membahas tentang Multitafsir Pengertian Tentang “Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa” Dalam Penerbitan Perpu yang di tulis oleh Janpantar Simamora. Jurnal ini menjelaskan bagaimana sebenarnya batasan asas tentang “Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa” menurut UUDNRI 1945 dan pakar-pakar hukum seperti Jimly Asshiddiqie dan Vernon Bogdanor. Ketika sebuah perpu diterbitkan oleh Presiden maka 14 Jimly Asshidiqie, “Hukum Tata Negara Darurat”, h.13 logika penerbitan Perpu dikarenakan yang pertama adanya situasi bahaya dan genting. Kedua situasi bahaya ini dapat mengancam keamanan negara jika pemerintah tidak secepatnya mengambil tindakan yang konkret. Ketiga karena situasinya amat mendesak dibutuhkan tindakan pemerintah secepatnya sebab jika peraturan yang diperlukan untuk menangani situasi genting itu menunggu mekanisme DPR menunggu waktu yang cukup lama. 15 3. Buku Buku “Hukum Tata Negara Darurat” yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Buku ini membahas tentang pandangan teoritis dan praktik keadaan darurat, hal ihwal kegentingan yang memaksa, dan hukum tata negara darurat. Dalam buku ini banyak dimuat hal penting yang jarang dibahas dalam studi hukum ataupun dalam praktik penyelenggaraan hukum di Indonesia, yaitu hukum tata negara darurat. Dalam praktik, disamping kondisi negara dalam keadaan biasa ordinary condition atau normal normal condition kadang-kadang timbul keadaan yang tidak normal. Suatu negara yang tertimpa keadaan bersifat tidak biasa atau tidak normal itu memerlukan pengaturan yang bersifat tersendiri sehingga fungsi-fungsi negara dapat terus bekerja secara efektif 15 Mimbar.hukum.ugm.ac.id , diakses pada tanggal 16 Februari 2015 dalam keadaan yang tidak normal itu. 16 Dalam hal ini adalah pembuatan perpu oleh Presiden yang dilandaskan oleh asas hal ihwal kegentingan yang memaksa. Sehubungan dengan itu penelitian diatas memiliki hubungan dengan penelitian penulis tentang asas hal ikhwal kegentingan yang memaksa studi analisis pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No. 1 Tahun 2014 terkait dengan pembahasan dalam skripsi ini. Yang membedakan penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya adalah, penelitian sebelumnya lebih bersifat umum multitafsir asas Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa dan pengujianya, sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih mengerucut kepada tolak ukur Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa dalam pembuatan Perpu No.1 Tahun 2014 oleh Presiden.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang 16 Jimly Asshidiqie, “Hukum Tata Negara Darurat”, h.v dianggap pantas. 17 Penelitian ini berlandaskan norma-norma hukum yang berlaku yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2. Pendekatan Masalah Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan ini, Penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu: 18 pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Dalam penelitian ini pendekatan yang Penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan statue approach, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual conceptual approach.

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat otoritatif, artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang- 17 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h.118. 18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI, Jakarta: Kencana,2010, h.93. undangan. 19 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 138PUU-VII2009 Tentang Pertimbangan Mengenai Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. 20 Terdiri dari buku-buku, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan asas hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam Perpu No.1 Tahun 2014. 4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan hukum 19 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV, Malang: Bayumedia Publishing, 2008, h.141. 20 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, h.119. bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian penulis menganalisisnya melakukan penelitian ilmiah secara maksimal untuk menjawab isu hukum dan permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah yang telah dibuat. 5. Metode Penulisan Skripsi Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”

G. Sistematika Penulisan

Pada bagian ini, penulis akan mensistematiskan persoalan-persoalan yang akan dibahas dengan membagi ke dalam beberapa bab sebagai langkah sistematisasi agar penulisan ini mengahsilkan kesimpulan yang baik dan berkualitas. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab akan membuat tulisan lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan, pembatasan

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan studi terdahulu, kerangka konseptual, dan metode penelitian.

BAB II Tentang peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan

hal ihwal kegentingan yang memaksa. Bab ini membahas secara menyeluruh tentang pengertian, sejarah, dan kedudukan perpu dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian membahas tentang sejarah dan penafsiran Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa.

BAB III Landasan teori umum tentang kewenangan dan kewenangan

presiden. Bab ini membahas secara umum tentang pengertian dan jenis-jenis kewenangan. Kemudian membahas tentang kewenangan Presiden secara umum dan kewenanganya terhadap pembuatan perpu secara khusus.

BAB IV Tentang analisis perpu no 1 tahun 2014 terkait dengan asas hal

ihwal kegentingan yang memaksa. Bab ini membahas secara kritis kewenangan Presiden dalam pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Perpu No 1 Tahun 2014 dikaitkan dengan asas “hal ihwal kegentingan yang memaksa”

BAB V Penutup, bab ini dikemukakan rangkuman hasil penelitian dan

analisis bab-bab terdahulu sehingga dapat ditarik kesimpulannya serta ditambahkan dengan saran yang terkait dengan pokok bahasan.

BAB II TEORI KEWENANGAN DAN KEWENANGAN PRESIDEN

A. Pengertian Kewenangan dan Jenis-Jenis Kewenangan

1. Pengertian Kewenangan Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” Yang berarti wewenang atau berkuasa. Dalam kamus besar bahasa indonesia KBBI sebagaimana dikutip oleh Kamal Hidjaz, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orangbadan lain. 21 Kewenangan yang diberikan langsung oleh peraturan perundang-undangan, contohnya Presiden berwenang membuat Undang-Undang, Perpu, PP adalah kewenangan Atributif . Kewenangan dalam bahasa Inggris disebut dengan Authority, di dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai “Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties”. 22 21 Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia Makasar: Pustaka Refleksi, 2010, h. 35. 22 Henry Campbell Black, Black’S Law Dictionary West Publishing, 1990, h. 133. 20 Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik. Dalam Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara juga dikenal istilah kewenangan, istilah kewenangan diberikan kepada suatu organ Negara. Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan: “Het begrip bevoegdheid is dan ook een kembegrip in het staats- en administratief recht”. 23 Dari pernyataan tersebut diartikan bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi. Ada beberapa definisi kewenangan yang diartikan oleh para pakar hukum, yaitu sebagai berikut: a. Menurut Ferrazi kewenangan yaitu sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan regulasi 23 E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985, h. 26. dan standarisasi, pengurusan administrasi dan pengawasan supervisi atau suatu urusan tertentu. 24 b. Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. 25 Atas hal tersebut harus dibedakan antara kewenangan authority, gezag dengan wewenang competence, bevoegheid. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang- undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” bagian tertentu saja dari kewenangan. c. Bagir Manan menyatakan wewenang mengandung arti hak dan kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam hukum administrasi negara wewenang pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui cara-cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. 24 Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, h. 93. 25 Ateng Syafrudin, “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab ”, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung, Universitas Parahyangan, 2000, h. 22.