Pengaruh Potensi Kebangkrutan Altman Terhadap Pergerakan Harga Saham Perusahaan Manufaktur Terbuka Di Bursa Efek Indonesia

(1)

PENGARUH POTENSI KEBANGKRUTAN ALTMAN

TERHADAP PERGERAKAN HARGA SAHAM

PERUSAHAAN MANUFAKTUR TERBUKA

DI BURSA EFEK INDONESIA

TESIS

Oleh

AILANDO SIREGAR

047019001/IM

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PENGARUH POTENSI KEBANGKRUTAN ALTMAN

TERHADAP PERGERAKAN HARGA SAHAM

PERUSAHAAN MANUFAKTUR TERBUKA

DI BURSA EFEK INDONESIA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Manajemen Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

AILANDO SIREGAR

047019001/IM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis :

Pengaruh Potensi Kebangkrutan Altman

Terhadap Pergerakan Harga Saham Perusahaan

Manufaktur Terbuka Di Bursa Efek Indonesia

Nama Mahasiswa : Ailando Siregar

Nomor Pokok : 047019001

Program Studi : Ilmu Manajemen

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA) (Drs. Amlys S. Silalahi, M.Si) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Rismayani, SE, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 30 Agustus 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA Anggota : 1. Drs. Amlys S. Silalahi, M.Si

2. Dr. Rismayani, SE, MS 3. Dr. Muslich Lufti, MBA


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul :

“PENGARUH POTENSI KEBANGKRUTAN ALTMAN TERHADAP PERGERAKAN HARGA SAHAM PERUSAHAAN MANUFAKTUR TERBUKA DI BURSA EFEK INDONESIA”.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya, kecuali yang secara tertulis diacu dalam tesis ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan benar dan jelas.

Medan, September 2008 Yang Membuat Pernyataan,


(6)

ABSTRAK

Peningkatan harga saham senantiasa menjadi perhatian utama setiap investor jika dibandingkan dengan pembayaran dividen yang dilakukan oleh emiten, karena tingkat return yang diperoleh dari perubahan harga saham, mampu memberikan hasil yang sangat tinggi, dan dapat berlangsung setiap saat. Meskipun secara nyata memungkinkan pula investor dapat mengalami risiko kerugian (capital loss) pada saat melakukan transaksi di pasar modal.

Jika diperhatikan naik turunnya harga saham dipengaruhi oleh faktor-faktor fundamental perusahaan dan fundamental ekonomi, serta secara langsung akan mempengaruhi naik turunnya nilai perusahaan, maka semakin tinggi nilai pasar saham akan menunjukkan secara nyata bahwa perusahaan (emiten) yang bersangkutan akan semakin sehat. Semakin sehat suatu perusahaan, nilai pasar saham perusahaan akan semakin tinggi di pasar.

Analisis potensi kebangkrutan Altman, merupakan salah satu alat analisis yang mendalam dan spesifik untuk mengukur tingkat kesehatan dan peluang kebangkrutan suatu perusahaan. Sesuai dengan pendekatan analisis fundamental, jika diketahui tingkat kesehatan dan peluang kebangkrutan suatu perusahaan, seharusnya akan memberikan pengaruh pada harga saham di pasar modal.

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh potensi kebangkrutan Altman terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia?

Hipotesis penelitian adalah potensi kebangkrutan Altman berpengaruh terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Manajemen Keuangan dan Investasi, khususnya yang berkaitan dengan Potensi Kebangkrutan Altman (Z-Score), dan Harga Saham.

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan studi kasus, jenis penelitian adalah deskriptif kuantitatif, dan sifat penelitiannya adalah penjelasan (explanatory). Metode pengumpulan data dilakukan studi dokumentasi. Jenis dan sumber data adalah data sekunder yang diperoleh melalui Indonesia Capital Directory. Model analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana. Populasi adalah seluruh perusahaan manufaktur terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia hingga tahun 2006 sejumlah 168 emiten.Teknik sampling yang digunakan purposive sampling dan sampel penelitian sejumlah 116 emiten.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1)  Potensi kebangkrutan Altman berpengaruh sangat signifikan terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia. Hal ini berarti bahwa potensi kebangkrutan Alman (Z-Score) sangat menentukan sekali terhadap pergerakan harga saham manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia, dan 2) Kemampuan variasi variabel bebas, yang dalam hal ini adalah potensi kebangkrutan Altman yang diukur


(7)

dengan Z-Score terhadap variasi variabel terikat, yaitu pergerakan harga saham adalah sebesar 11,2%. Ini berarti bahwa terdapat faktor lain (variabel lainnya) sebesar 88,8% yang mempengaruhi pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia.


(8)

ABSTRACT

Increasing of stock four p’s always become main attention every investor in comparison with dividend payment done by emiten, because level of return which obtained from stock price change, can give very high earnings yield, and can take place every moment. Though manifestly enable investor cupula can experience hit risk ( capital loss) at the (time) of doing transaction in stock market.

If pay attention to upside of lowering of stock four p’s influenced by economic fundamental and corporation fundamental factors, and also directly will influence upside of lowering of corporation worth, hence stock market value excelsior will show manifestly that corporation ( emiten) the would progressively healthy. Progressively healthy a[n corporation, excelsior corporation stock market value would in market.

Potency analysis of bankcruptcy of Altman, is one of specific and circumstantial analyzer for measuring level of bankcruptcy opportunity and health a[n corporation. As according to approach of fundamental analysis, if known level of bankcruptcy opportunity and health a[n corporation, ought to will give influence at stock four p’s in stock market.

formulation of This research internal issue is how potency influence of bankcruptcy of Altman to movement of open manufacturing business stock four p’s in Indonesia Stock Exchange?

Research hypothesis is potency of bankcruptcy of Altman have an effect on to movement of open manufacturing business stock four p’s in Indonesia Stock Exchange.

Theory which applied in this research is Monetary Management theory and Investment, specially related to Potency Bankcruptcy Of Altman ( Z-Score), and Stock four p’s.

Research method in this research is with approach of case study, research type is quantitative descriptive, and nature of the research is explanation ( explanatory). Data collecting method studied by documentation. Data source and type is secondary data which obtained through Indonesia Capital Directory. Data analysis model which applied is simple linear regression analysis. Population is all inscribed open manufacturing business in Indonesia Stock Exchange [so/till] year 2006 a number of 168 emiten.Teknik applied by samplings purposive researchs samples and samplings a number of 116 emiten.

Research earnings yield indicate that 1) Potency of bankcruptcy of Altman have an effect on hardly signifikan to movement of open manufacturing business stock four p’s in Indonesia Stock Exchange. This thing mean that potency of bankcruptcy of Alman ( Z-Score) hardly determine once to movement of open manufacture stock four p’s in Indonesia Stock Exchange, and 2) Ability of various independent variable, what in this case is potency of bankcruptcy of Altman which measured with Z-Score to various dependent variables, that is movement of stock


(9)

four p’s is equal to 11,2%. This means that there are other factor ( other variable) equal to 88,8% influencing movement of stock four p’s in Indonesia Stock Exchange. keyword : Potency of bankcruptcy of Altman, stock four p’s


(10)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Penelitian ini merupakan tugas akhir pada Program Studi Magister Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Judul penelitian yang dilakukan penulis adalah : ”Pengaruh Potensi Kebangkrutan Altman Terhadap Pergerakan Harga Saham Perusahaan Manufaktur Terbuka Di Bursa Efek Indonesia”.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan memberikan masukan hingga selesainya penulisan tesis ini.

4. Bapak Drs. Amlys S. Silalahi, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan memberikan masukan hingga selesainya penulisan tesis ini.


(11)

5. Ibu Dr. Rismayani, SE, MS selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Anggota Komisi Pembanding yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan untuk perbaikan hingga selesainya penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr. Muslich Lufti, MBA, dan Bapak Drs. Syahyunan, M.Si selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan untuk perbaikan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai di Program Studi Magister Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Kedua orang tua penulis, yaitu Bapak P. Siregar (alm) dan Ibunda R. Simbolon. 9. Istri tercinta Emelia Specht serta anakku yang tersayang Evan Jeremy Siregar atas

kesabaran, motivasi, dan do’a yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini.

10.Seluruh rekan-rekan mahasiswa Angkatan VII di Program Studi Magister Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh studi dan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan yang Maha Esa selalu memberikan taufik dan rahmatnya kepada kita semua. Amin.

Medan, September 2008 Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

Ailando Siregar, dilahirkan di Medan pada tanggal 11 Oktober 1965, anak kesebelas dari sebelas bersaudara dari Ayahanda P. Siregar (alm) dan Ibunda R. Simbolon. Telah menikah dengan Emelia Specht, dan dikaruniai satu orang anak, yaitu Evan Jeremy Siregar.

Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD St. Antonius Medan tamat dan lulus pada tahun 1977, pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri – 1 Medan tamat dan lulus pada tahun 1981, pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMA Negeri – 1 Medan tamat dan lulus pada tahun 1984, dan melanjutkan Studi di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Medan Jurusan Akuntansi tamat dan lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2004 melanjutkan studi di Program Studi Magister Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana USU.

Saat ini bekerja di Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan Medan sebagai Kepala Seksi Sumatera Utara IIB.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... ... v

RIWAYAT HIDUP ... ... vii

DAFTAR ISI... ... viii

DAFTAR TABEL ... ... x

DAFTAR GAMBAR... ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

I.1. Latar Belakang... 1

I.2. Perumusan Masalah. ... 7

I.3. Tujuan Penelitian. ... 7

I.4. Manfaat Penelitian. ... 7

I.5. Kerangka Berpikir. ... 8

I.6. Hipotesis. ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

II.1. Penelitian Terdahulu... 11

II.2. Analisis Fundamental. ... ... 14

II.3. Risiko Kebangkrutan. ... 15

II.4. Biaya Modal (Cost of Capital). ... 24

II.5. Harga Saham. ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 31

III.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

III.2. Metode Penelitian. ... 31

III.3. Populasi dan Sampel. ... 32

III.4. Jenis dan Sumber Data. ... 33

III.5. Indentifikasi dan Definisi Operasional Variabel. ... 34

III.5.1. Indentifikasi Variabel. ... 34

III.5.2. Definisi Operasional Variabel. ... 34


(14)

III.7. Pengujian Asumsi Klasik. ... 38

III.7.1. Uji Normalitas... 39

III.7.2. Uji Multikolonieritas... 40

III.7.3. Uji Heteroskedastisitas... 40

III.7.4. Uji Autokorelasi ... 41

III.8. Pengujian Hipotesis... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

IV.1. Deskripsi Data Penelitian. ... 44

IV.2. Hasil Uji Asumsi Klasik. ... 45

IV.2.1. Uji Normalitas ... 45

IV.2.2. Uji Multikolonieritas... 47

IV.2.3. Uji Heteroskedastisitas... 47

IV.2.4. Uji Autokorelasi... 49

IV.3. Pengujian Hipotesis. ... 50

IV.4. Pembahasan. ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

V.1. Kesimpulan. ... 58

V.2. Saran. ... 58


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

II.1 Kriteria Kebangkrutan Altman. ... 22

III.1 Jumlah Sampel Penelitian. ... 33

III.2 Definisi Operasional dan Indikator Variabel. ... 37

III.3 Pengambilan Keputusan Ada Tidaknya Autokorelasi. ... 42

IV.1 Statistif Deskriptif. ... 44

IV.2 One-Sample Kolmogorov - Smirnov Test. ... 47

IV.3 Hasil Uji Autokorelasi ... 49

IV.4 Hasil Uji Diterminasi (R2). ... 50

IV.5 Hasil Pengujian Hipotesis (Uji F). ... 51

IV.6 Uji Parsial. ... 52

IV.7 Emiten yang Memenuhi Kriteria Altman. ... 55


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

I.1 Kerangka Berpikir ... ... 10 IV.1 Hasil Uji Normalitas ... ... 46 IV.2 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... ... 48


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Descriptive Statistics... 63

2. Normal P-P Plot Of Regression Standardized Residual………… 63

3. One – Sample Kolmogorov- Smirnov Test... 64

4. Scatterplot ……….. 64

5. Koefisien Determinasi ……… 65

6. Penguji Hipotesis ( Uji F) ... 65


(18)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Perkembangan pasar modal Indonesia yang dilaksanakan Bursa Efek Indonesia (BEI) bergerak dengan cepat pada awal bulan Januari 2007 yang ditunjukkan oleh peningkatan indeks harga saham gabungan (IHSG) melewati level 2000, yaitu satu tingkat IHSG yang sangat sukar diperoleh sepanjang sejarah keberadaan pasar modal di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah prospek masa depan yang lebih baik dan pertumbuhan perusahaan setiap emiten yang terdaftar di BEI. Secara langsung perkembangan BEI akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat serta keyakinan investor menjadi lebih tinggi akan peluang investasi dari para pelaku pasar untuk memperoleh hasil yang lebih baik di masa yang akan datang.

Salah satu indikasi membaiknya kondisi pasar modal Indonesia dapat dilihat dari pulihnya kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia. Hal lain yang juga penting dan berpengaruh adalah faktor makro ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi serta kestabilan politik dan keamanan yang terkendali akan mampu memberikan dorongan yang lebih baik pada aktivitas BEI di masa depan.

Pasar modal adalah lembaga alternatif setiap perusahaan untuk memperoleh sumber dana yang dibutuhkan guna pengembangan dan perluasan usaha dengan biaya modal yang lebih murah dibandingkan dengan sumber dana dari lembaga keuangan


(19)

lainnya, serta tersedia dalam jumlah yang sangat besar. Perusahaan dapat menggunakan dana selama-lamanya tanpa ada keharusan untuk membayar biaya tetap (bunga pinjaman) setiap periode melalui penjualan sebagian saham perusahaan di pasar modal, bahkan tidak diharuskan membayar laba dalam bentuk dividen tunai pada para pemegang saham. Pada sisi lain, investor yang bertindak sebagai pihak penyedia dana melalui pembelian saham di pasar modal, dapat memilih saham dari perusahaan (emiten) yang terbaik menurut pertimbangan dan preferensi setiap investor.

Setiap investor, bertujuan untuk memperoleh return yang terbaik atas investasi yang dilakukan, meskipun terdapat pula sejumlah risiko yang harus ditanggung investor pada sisi lainnya. Semakin tinggi tingkat return yang diinginkan investor, maka risiko yang dihadapi juga akan bertambah besar. Namun demikian, sejumlah investor cenderung enggan pada risiko dan berkeinginan untuk berhadapan dengan tingkat risiko yang kecil. Oleh karena itu, analisis return dan risiko menjadi pertimbangan investor dalam setiap tindakan investasinya di pasar modal, karena investasi di pasar modal memiliki risiko yang tinggi.

Tingkat return yang terbaik dalam hal ini adalah tingkat laba di atas rata-rata laba pasar (abnormal return). Return diperoleh investor dari dua sumber, yaitu dalam bentuk dividen atau distribusi laba bersih emiten pada setiap lembar saham setelah dikurangi dengan laba ditahan untuk kepentingan perusahaan di masa yang akan datang. Sumber return lainnya, berasal dari perubahan harga saham yang semakin tinggi dari waktu ke waktu, yang disebut dengan capital gain. Dengan kata lain,


(20)

capital gain akan diperoleh investor atas kenaikan harga saham saat ini, dibandingkan dengan harga pembelian saham. Sehingga kekayaan investor dapat ditingkatkan sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan nilai perusahaan yang terproyeksi dari kenaikan indeks harga saham yang bersangkutan atau diwakili oleh peningkatan IHSG yang setiap hari diumumkan oleh BEI. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa total return atau sering disebut dengan return adalah pendapatan dividen ditambah dengan capital gain.

Peningkatan harga saham senantiasa menjadi perhatian utama setiap investor jika dibandingkan dengan pembayaran dividen yang dilakukan oleh emiten, karena tingkat return yang diperoleh dari perubahan harga saham, mampu memberikan hasil yang sangat tinggi, dan dapat berlangsung setiap saat (menit dan jam) atau pada beberapa hari ke depan. Meskipun secara nyata memungkinkan pula investor dapat mengalami risiko kerugian (capital loss) pada saat melakukan transaksi di pasar modal.

Pada sisi lain, nilai pembayaran dividen yang diperoleh pada dasarnya juga sangat kecil dibandingkan dengan harga saham, sehingga penerimaan dividen tidak menjadi perhatian utama bagi setiap investor. Pembayaran dividen yang dilakukan emiten hanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu, misalnya setiap pertengahan tahun atau pada setiap akhir tahun. Selanjutnya tidak ada jaminan bahwa emiten akan melakukan pembayaran dividen setiap waktu yang ada, meskipun emiten memperoleh laba. Hal ini terlihat secara nyata bahwa dari 348 emiten yang terdaftar


(21)

di BEI, maka emiten yang membayar dividen secara rutin hanya berjumlah 75 emiten (Indonesian Capital Directory, Monthly, 2007).

Berkaitan dengan naik turunnya harga saham di masa yang akan datang, maka investor cenderung melakukan analisis pergerakan harga saham. Naik turunnya harga saham berhubungan langsung dengan peningkatan dan penurunan nilai perusahaan. Sehingga emiten senantiasa berupaya untuk meningkatkan harga saham dari waktu ke waktu, karena semakin tinggi harga saham emiten, maka nilai perusahaan akan semakin tinggi. Jika nilai perusahaan semakin tinggi, maka kekayaan investor atau pemegang saham akan semakin meningkat.

Analisis harga saham dapat diterapkan oleh investor dengan pendekatan fundamental (analisis faktor fundamental) dan pendekatan teknikal (analisis faktor teknikal).

Kedua pendekatan ini memiliki keunggulan dan kelemahan satu sama lain, serta kontroversi. Menurut analisis fundamental, bahwa pergerakan harga saham dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersumber dari fundamental internal emiten, seperti kemampuan emiten menciptakan arus tunai perusahaan melalui peningkatan penjualan, penguasaan pasar sasaran, kapasitas produksi yang mampu memenuhi permintaan, merger dan akuisisi, dan faktor-faktor lainnya, seperti efisiensi dalam menghasilkan output yang akan ditawarkan ke pasar. Secara nyata fundamental perusahaan akan digambarkan oleh laporan keuangan perusahaan yang menunjukkan kinerja emiten secara menyeluruh.


(22)

Pada sisi lain, faktor fundamental ekonomi dari suatu negara atau fundamental ekonomi regional dan dunia turut serta mempengaruhi harga saham. Secara umum faktor-faktor fundamental ekonomi, adalah tingkat bunga, nilai tukar, keseimbangan neraca perdagangan, inflasi dan faktor fundamental ekonomi negara lain, memiliki pengaruh pada pergerakan harga saham dan menjadi faktor-faktor yang penting bagi analisis fundamental.

Jika diperhatikan naik turunnya harga saham dipengaruhi oleh faktor-faktor fundamental perusahaan dan fundamental ekonomi, serta secara langsung akan mempengaruhi naik turunnya nilai perusahaan, maka semakin tinggi nilai pasar saham akan menunjukkan secara nyata bahwa perusahaan atau emiten yang bersangkutan akan semakin sehat. Semakin sehat suatu perusahaan, nilai pasar saham perusahaan akan semakin tinggi di pasar.

Pada dasarnya terdapat sejumlah alat ukur yang dapat digunakan oleh analis dan investor untuk menilai kesehatan perusahaan, seperti analisis rasio, analisis struktur modal, penilaian modal kerja, dan analisis potensi kebangkrutan Altman.

Analisis potensi kebangkrutan Altman, merupakan salah satu alat analisis yang mendalam dan spesifik untuk mengukur tingkat kesehatan dan peluang kebangkrutan suatu perusahaan. Sesuai dengan pendekatan analisis fundamental, jika diketahui tingkat kesehatan dan peluang kebangkrutan suatu perusahaan, seharusnya akan memberikan pengaruh pada harga saham di pasar modal.

Secara nyata sejumlah emiten, khususnya sektor perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia juga harus dikeluarkan dari daftar perdagangan (delisting)


(23)

selama-lamanya akibat memiliki peluang kebangkrutan yang tinggi. Termasuk di antaranya bank-bank milik pemerintah yang harus digabung guna menghindari kebangkrutan yang dapat merugikan para investor, penabung dan masyarakat. Tindakan Bursa Efek Indonesia ini, didukung pula oleh sejumlah hasil penelitian empiris, yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari nilai Z-Score yang merupakan ukuran potensi kebangrutan Altman berpengaruh signifikan pada kinerja perbankan terbuka di Indonesia (Lufti, 2005), dan penelitian Keulana (2006) yang menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kesehatan kinerja perbankkan terhadap harga saham.

Fakta lain juga terlihat pada sejumlah emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, bahwa nilai pasar saham tidak mengalami pergerakan harga dalam jangka waktu yang cukup panjang, sehingga tidak jarang sejumlah saham harus dihentikan (suspend) perdagangannya.

Mengingat besarnya peranan dari pengaruh kesehatan emiten dan peluang kebangkrutan yang dapat diukur dengan pendekatan Altman, terhadap pergerakan harga saham, sebagai upaya untuk menghindari investor dari kerugian akibat pemilihan saham emiten, maka bertitik tolak dari hasil temuan dari penelitian terdahulu, yang dilakukan oleh Lufti (2005) dan Keulana (2006), penulis akan melakukan penelitian pada emiten perusahaan sektor manufakur di Bursa Efek Indonesia, dengan judul: “Pengaruh Potensi Kebangkrutan Altman Terhadap Pergerakan Harga Saham Perusahaan Manufaktur Terbuka Di Bursa Efek Indonesia”.


(24)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana pengaruh potensi kebangkrutan Altman terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia?

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh dari faktor-faktor fundamental dengan menggunakan model potensi kebangkrutan Altman terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia. Sehingga akan dapat diperoleh informasi yang menunjukkan besaran pengaruh potensi kebangkrutan Altman terhadap harga saham sebagai informasi yang dapat membantu keputusan investor untuk menentukan pilihan saham emiten di Bursa Efek Indonesia.

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi emiten yang terdaftar di BEI untuk menentukan faktor-faktor fundamental apa dari potensi kebangkrutan Altman yang dapat meningkatkan nilai perusahaan, melalui peningkatan harga saham, sehingga emiten dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham secara nyata.


(25)

b. Sebagai menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam bidang manajemen investasi, khususnya yang berhubungan dengan faktor-faktor fundamental yang dapat digunakan untuk memahami pergerakan harga saham di pasar modal.

c. Sebagai masukan yang bermanfaat bagi investor untuk menilai pergerakan harga saham yang dapat memberikan laba yang terbaik melalui pemahaman faktor-faktor fundamental, khususnya melalui indikator potensi kebangkrutan Altman yang berpengaruh dalam memilih saham-saham yang diniagakan dalam pasar modal.

d. Sebagai referensi dan perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti pengaruh faktor fundamental, khususnya tentang potensi kebangkrutan Altman terhadap harga saham di masa yang akan datang.

I.5. Kerangka Berpikir

Analisis fundamental menyatakan bahwa setiap saham memiliki nilai intrinsik (nilai teoritis) dan sering pula disebut sebagai nilai yang sebenarnya, atau dinyatakan sebagai nilai kelayakan dari suatu saham. Nilai kelayakan suatu saham dinyatakan sebagai nilai yang paling tepat, sebagaimana dengan kinerja perusahaan. Sehingga nilai intrinsik saham harus menggambarkan secara nyata kondisi internal perusahaan, khususnya yang terkait dengan kemampuan perusahaan menciptakan arus tunai (cash flow) dalam menjalankan operasional perusahaan secara efektif, efisien dan produktif. Dengan demikian nilai intrinsik saham secara langsung harus terproyeksi pada harga saham di pasar modal (Basu, 1983). Dengan tegas dapat dikatakan bahwa tingkat


(26)

kesehatan atau potensi kebangkrutan setiap emiten akan tergambar pada nilai intrisik sehingga nilai intrinsik akan ditunjukkan oleh harga saham di pasar.

Jika diperhatikan pergerakan harga saham yang terjadi di Bursa Efek Indonesia, secara langsung terlihat bergerak secara acak, meskipun sejumlah saham memiliki pergerakan yang lamban bahkan terdapat sejumlah harga saham yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Temuan yang diperoleh menunjukkan bahwa pergerakan harga saham di BEI dipengaruhi oleh nilai perusahaan. (Husnan dan Mamduh, 1991).

Selanjutnya, jika diperhatikan penelitian yang dilakukan oleh Lufti, tentang evaluasi kinerja perusahaan perbankan terbuka di Indonesia dengan menggunakan pendekatan potensi kebangkrutan Altman, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari nilai Z-Score yang merupakan ukuran potensi kebangkrutan Altman berpengaruh signifikan pada kinerja perbankan terbuka di Indonesia. Data penelitian tersebut menggunakan laporan keuangan sektor perbankan terbuka di Bursa Efek Jakarta sebanyak 15 bank sepanjang tahun 2000 hingga 2003 (Lufti, 2005).

Penelitian lain, tentang pengaruh kesehatan perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI terhadap pergerakan harga saham, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan tingkat kesehatan perbankan dengan menggunakan pendekatan CAMELS terhadap harga saham (Keulana, 2006).

Bertitik tolak dari penelitian yang dilakukan oleh Lufti dan Keulana, peneliti melakukan pengujian kembali hasil penelitian yang telah diperoleh, sekaligus


(27)

menggunakan kerangka pemikiran yang sama dengan melakukan beberapa perubahan.

Perubahan pertama yang dilakukan penulis adalah dengan menggunakan data penelitian yang berbeda, yaitu sektor manufaktur tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Kemudian peneliti tidak menggunakan variabel Loan to Deposit Ratio (LDR) sebagai variabel bebas dalam penelitian ini, mengingat perusahaan manufaktur tidak memiliki variabel LDR dalam kegiatan operasinya.

Kerangka berpikir dalam penelitian ini disajikan pada Gambar I.1 berikut ini.

Potensi Kebangkrutan Pergerakan Harga Altman (Z-Score) Saham

Gambar I.1 Kerangka Berpikir

I.6. Hipotesis

Berdasarkan kerangka berpikir, maka dihipotesiskan sebagai berikut: Potensi kebangkrutan Altman berpengaruh terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang spesifik dengan masalah potensi kebangkrutan Altman dengan menggunakan sejumlah rasio keuangan, dilakukan oleh Lufti (2005), pada evaluasi kinerja perbankan terbuka di Indonesia, dengan menggunakan laporan keuangan sektor perbankan di Bursa Efek Jakarta sebanyak 15 bank, menunjukkan bahwa potensi kebankrutan Altman berpengaruh secara nyata atas sejumlah kinerja perbankan yang mengalami kegagalan di pasar modal. Harga saham secara langsung dipengaruhi oleh tingkat kesehatan dan peluang kebangkrutan terhadap harga saham.

Penelitian lanjutan tentang kesehatan dan peluang kebangkrutan dilakukan oleh Keulana (2006) di sektor perbankan dengan menggunakan pendekatan CAMELS, yang merupakan model pengukuran tingkat kesehatan dan peluang kebangkrutan lainnya, menemukan bahwa pergerakan harga saham secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat kesehatan emiten perbankan.

Beberapa penelitian lain yang menggunakan rasio keuangan untuk memprediksi tingkat kegagalan bisnis dan kebangkrutan sudah dilakukan oleh Beaver (1966), Altman (1968), Houghton (1984), Payamta dan Mas’ud (1999) dan Aryati (1999). Secara menyeluruh penelitian ini menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari potensi kebangkrutan perusahaan terhadap kinerja perusahaan dan


(29)

harga saham di pasar. Dari penelitian yang dilakukan oleh Altman (1971) selanjutnya menemukan suatu formula potensi kebangkrutan yang dikenal dengan Z-Score.

Analis faktor fundamental menggunakan model diskonto dividen tunai di berbagai pasar modal Amerika dan Eropa guna memperoleh harga saham yang mispriced. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Reinganum (1988), terhadap New York Stock Exchange (NYSE) telah berhasil menemukan saham-saham yang underpriced. Dengan demikian investor atau analis yang mampu melakukan analisis diskonto dividen dengan baik akan mampu menciptakan keuntungan yang khas di pasar modal.

Bukti lain yang mendukung bahwa harga saham belum menyerap informasi relevan secara keseluruhan ditemukan oleh beberapa penelitian, dimana pergerakan harga saham menuju arah yang bertolak belakang atau memberikan reaksi terlalu lambat. Penelitian ini berlangsung di pasar modal Inggeris, Belanda dan Pasar Modal Amerika (Bernard: 1989, Thomas: 1990, Freeman dan Tse: 1989, Mendenhall: 1991, dan Ball: 1992).

Para analis akan menentukan kelompok/jenis saham yang akan dinilai, biasanya meliputi saham-saham yang termasuk pada kelompok growth stocks atau kelompok value stocks. Dengan demikian analisis faktor fundamental hanya tertuju pada suatu saham tertentu, bukan pada harga saham secara keseluruhan yang ada di bursa. Growth stocks biasanya memberikan tingkat laba yang tinggi sesuai dengan besaran risiko yang ditanggung investor. Selanjutnya dalam jangka waktu tertentu, karena pertumbuhan emiten yang tinggi dan informasi ini tidak diketahui oleh semua


(30)

investor, harga pasar sahamnya rendah (undervalued). Harga pasar saham ini akan segera berubah sesuai dengan nilai intrinsik yang diperoleh jika pasar menerima informasi yang relevan. Namun demikian analis faktor fundamental meyakini bahwa informasi tersebut tidak diserap seluruhnya, karena kedatangan informasi di pasar juga tidak sekaligus. Dalam kondisi seperti ini sering terjadi suatu saham salah dihargai oleh pasar (mispriced) sehingga saham seperti ini menjadi peluang bagi analis faktor fundamental atau investor untuk memperoleh laba abnormal (Reilly dan Brown, 2000).

Basu (1983) menemukan bahwa dengan ukuran rasio harga terhadap pendapatan saham (Price Earning Ratio), telah menunjukkan adanya perbedaan harga pasar saham dengan nilai intrinsik. Dalam hal ini harga pasar lebih tinggi dari pada nilai intrinsik. Akibat adanya tekanan jual dari investor, harga saham turun terlalu rendah di bawah nilai intrinsiknya. Bersamaan dengan adanya tekanan pembelian di pasar, harga saham kembali naik mendekati nilai intrinsik. Keadaan ini jelas memungkinkan bagi investor memperoleh laba abnormal jika memiliki kemampuan untuk melakukan analisis fundamental.


(31)

Setiap saham memiliki nilai tertentu sebagai suatu nilai kewajaran saham, yang dapat diperhitungkan dan diestimasi dengan menggunakan faktor-faktor fundamental. Analisis ini bertujuan untuk memperoleh besarnya nilai intrinsik (nilai sebenarnya atau nilai teoritis) setiap saham yang dimiliki atau diamati dan diminati.

Bodie, Kane dan Marcus (2005) menyatakan bahwa “Fundamental analysis use earning and dividend prospects of the firm, expectations of future interest rates, and risk evaluation of the firm to determine proper stock price. Ultimately, it represents an attempt to determine the present discounted value of all the payments a stockholder will receive from each share of stock. If that value exceeds the stock price, the fundamental analyst would recommend purchasing the stock”.

Jones (2002) menyatakan bahwa “Analisis fundamental adalah analisis yang didasarkan atas dasar pemikiran di mana setiap sekuritas mempunyai nilai intrinsik yang dapat diestimasi oleh investor”.

Analisis fundamental didasarkan pada faktor-faktor yang memberi pengaruh langsung terhadap harga saham, terutama yang berhubungan dengan aliran dana (cash flow) emiten, seperti laba operasi, volume penjualan, kapasitas produksi, peluang investasi, kedudukan pasar, kebijakan dividen, kondisi ekonomi dan faktor lain yang secara langsung menyebabkan terjadinya pergerakan harga saham, termasuk merger dan akuisisi. Kelompok ini dikenal sebagai fundamental analysts atau analis fundamental (Clark, 1993, dan Basu, 1983).

Menurut analisis fundamental bahwa saham memiliki nilai instrinsik (nilai yang seharusnya) tertentu. Analisis ini membandingkan antara nilai instrinsik suatu saham dengan harga pasarnya guna menentukan apakah harga pasar saham tersebut


(32)

sudah mencerminkan nilai instrinsiknya atau belum. Nilai instrinsik suatu saham ditentukan oleh faktor-faktor fundamental yang mempengaruhinya. Ide dasar pendekatan ini adalah bahwa harga saham akan dipengaruhi oleh kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan itu sendiri dipengaruhi oleh kondisi industri dan perekonomian secara makro (Halim, 2005).

Melalui analisis faktor fundamental yang lengkap tentang suatu saham, investor dapat menentukan nilai intrinsik saham yang menjadi dasar tindakan investor di pasar modal. Apabila nilai intrinsik yang diperoleh lebih besar dari harga saham di pasar, maka saham tersebut harus segera dibeli karena akan terjadi peningkatan harga saham menuju nilai intrinsik. Sebaliknya, jika nilai intrinsik lebih kecil dari harga saham, maka saham yang bersangkutan harus segera dijual, karena harga saham akan turun hingga mencapai nilai intrinsik. Dengan demikian, investor dapat menciptakan laba abnormal dari pasar. Jika harga saham sama besar dengan nilai intrinsik, pergerakan harga pasar telah searah/sama dengan nilai intrinsik. Investor tidak perlu melakukan tindakan apapun dan menahan saham yang dimiliki (Yong, 1993).

II.3.Risiko Kebangkrutan

Kebangkrutan ditinjau dari sudut pandang ilmu hukum disebut dengan istilah kepailitan. Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit.


(33)

Menurut Baros (1999) kepailitan adalah suatu keputusan pengadilan terhadap debitur yang telah berhenti membayar hutangnya yang telah jatuh tempo pada debitur atau pada kreditur-krediturnya”.

Ross.et.al dalam Lesmana dan Sarjanto (2003) menyatakan bahwa ”Pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (debitur) atas hutang-hutangnya yang telah jatuh tempo”.

Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan tindakan nyata untuk mengajukan baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintan pihak ketiga (di luar debitur), suatu permohonan pailit ke pengadilan. Pengajuan permohonan pailit ke pengadilan adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan azas “publisitas” dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari kreditur. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu keputusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan keputusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan pailit yang diajukan.

Menurut Adnan dan Kurniasih (2000) pengertian kebangkrutan dapat dibedakan atas:


(34)

Biasanya diartikan apabila perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi biayanya sendiri. Ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban.

b. Kegagalan Keuangan

Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk, yaitu:

1. Insolvensi teknis (technical insolvency), di mana terjadi apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo walaupun total aktivanya sudah melebihi total utangnya.

2. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan, di mana didefinisikan sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.

Perusahaan efek adalah pihak yang melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi perantara perdagangan efek dan atau manajer investasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Hal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Ketua Badan Pengawas Pasar Modal telah mengeluarkan Keputusan No.Kep.46/PM/1998 tanggal 14 Agustus 1998 tentang keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan


(35)

pernyataan pailit dapat diajukan, jika persyaratan kepailitan dibawah ini terpenuhi, yaitu:

a. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur.

b. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Menurut Shim dan Siegel (1994), jika ditinjau dari sisi keuangan, maka risiko kebangkrutan adalah sebagai pernyataan terakhir dari ketidakmampuan suatu perusahaan untuk melanjutkan kegiatan operasionalnya serta kewajiban membayar utang-utang yang ada.

Martin, et.al (1999) memberikan definisi tentang kebangkrutan sebagai: istilah kegagalan (failure) digunakan dalam berbagai macam konteks. Kegagalan ekonomii (economic failure) berarti biaya yang ditanggung suatu perusahaan melebihi pendapatannya. Definisi lainnya, tingkat hasil investasi (return of investment-ROI) internal lebih kecil dari biaya modal (cost of capital) perusahaan. Insolvabilitas (insolvency) merujuk pada masalah finansial serius tertentu.

Perusahaan mengalami insolvabilitas secara teknis (technically insolvent) bila perusahaan sudah terpaksa mengabaikan kewajiban-kewajiban finansialnya. Meskipun nilai pembukuan asetnya masih melebihi total utang, artinya masih ada saldo modal bersih positif, perusahaan itu tidak lagi memiliki likuiditas yang memadai untuk melunasi utang-utangnya. Kondisi ini sementara waktu, bisa juga permanen. Istilah lain yang sering digunakan adalah insolvabilitas dalam kebangkrutan (insolvency in bankruptcy), artinya pasiva perusahaan sebenarnya lebih


(36)

besar dari pada aset, jika aset itu dihitung dengan benar. Hal ini juga berarti bahwa saldo modal bersih perusahaan negatif. Tanpa melihat likuiditas asetnya, perusahaan dipastikan tidak mampu memenuhi kewajiban finansialnya yang telah jatuh tempo.

Weston dan Bringham (2000) rmenyatakan bahwa “Risiko keuangan merupakan bagian dari risiko yang dihadapi perusahaan yang melebihi risiko bisnis yang mendasar sebagai akibat dari penggunaan leverage keuangan. Risiko keuangan timbul karena penggunaan utang yang menyebabkan lebih besarnya variabilitas laba bersih.

Menghadapi kesulitan keuangan pada dasarnya tidak mudah, oleh karena itu manajemen harus senantiasa menyadari segenap implikasi dan konsekuensi ketidakberesan pembiayaan perusahaan. Sesuai dengan prinsip dasar analis fundamental yang terarah pada kemampuan perusahaan menciptakan aliran tunai, maka gangguan pembiayaan perusahaan dalam operasional dan investasi adalah bukti kegagalan perusahaan atau emiten menciptakan aliran tunai (cash flows). Sehingga perusahaan harus menjalani tindakan reorganisasi ataupun likuidasi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa manajer keuangan harus selalu berkecimpung dalam risiko setiap saat. Pada titik yang ekstrim, risiko pembiayaan ini dapat mengakibatkan disfungsi perusahaan secara keseluruhan sehingga tidak dapat menghasilkan laba atau tidak mampu memenuhi kewajiban keuangannya yang jatuh tempo. Meskipun perusahaan tidak dililit kesulitan keuangan, para manajer keuangan harus tetap menghadapi salah satu pelanggan yang tengah dibelit masalah keuangan. Implikasi keuangannya adalah kegagalan pelanggan menyelesaikan kewajibannya pada emiten karena terjadinya kegagalan dalam kegiatan bisnisnya.


(37)

Pada saat perusahaan memasuki tahap-tahap akhir menjelang kegagalan atau kebangkrutan, maka akan terjadi pola perubahan keuangan perusahaan. Meskipun kebangkrutan tidak dapat diramalkan secara pasti, ada beberapa rasio keuangan yang telah terbukti berhasil menjadi indikator segera terjadinya malapetaka kebangkrutan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Altman (1971), mengembangkan model statistik yang kemudian berhasil merumuskan rasio-rasio keuangan untuk memprediksi terjadinya kebangkrutan.

Berdasarkan sampel perusahaan bangkrut, Altman (1971) dalam penelitiannya menghasilkan suatu rumusan dengan menggunakan 5 (lima) rasio keuangan untuk memprediksikan kebangkrutan, yang disusun dengan menggunakan rumus seperti berikut:

Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 0,99 X5 di mana:

X1 = Modal kerja terhadap total aktiva X2 = Laba ditahan terhadap total aktiva

X3 = Earning before interest and taxes terhadap total aktiva X4 = Nilai saham terhadap nilai buku hutang

X5 = Penjualan terhadap total aktiva

Rasio X1 atau Modal Kerja/Total Aktiva, mengukur likuiditas dengan membandingkan aktiva likuid bersih dengan total aktiva. Aktiva likuid bersih didefinisikan sebagai total aktiva lancer dikurangi total kewajiban lancar. Umumnya,


(38)

bila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, modal kerja akan turun lebih cepat daripada total aktiva menyebabkan rasio ini turun.

Rasio X2 atau Laba Ditahan/Total Aktiva, mengukur kemampulabaan kumulatif dari perusahaan. Pada beberapa tingkat, rasio ini juga mencerminkan umur perusahaan, karena semakin muda perusahaan, semakin sedikit waktu yang dimilikinya untuk membangun laba kumulatif.

Rasio X3 atau EBIT/Total Aktiva, mengukur kemampulabaan dari aktiva, yang dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) tahunan perusahaan dengan total aktiva pada neraca akhir tahun. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa besar produktivitas penggunaan dana yang dipinjam. Bila rasio ini lebih besar dari rata-rata tingkat bunga yang dibayar, maka berarti perusahaan menghasilkan uang yang lebih banyak daripada bunga pinjaman.

Rasio X4 atau Modal Sendiri/Total Utang, merupakan kebalikan dari rasio utang per modal sendiri (Debt to Equity Ratio). Nilai modal sendiri yang dimaksud adalah nilai pasar modal sendiri, yaitu jumlah saham perusahaan dikalikan dengan harga pasar per lembar sahamnya. Umumnya perusahaan-perusahaan yang gagal mengakumulasi lebih banyak utang dibandingkan modal sendiri.

Rasio X5 atau Penjualan/Total Aktiva, merupakan rasio yang mencerminkan efektivitas manajemen perusahaan dalam menggunakan kekayaan (asset) perusahaan dalam menghasilkan penjualan. Semakin efektif manajemen perusahaan dalam mengelola asetnya, hal ini akan berdampak kepada pendapatan dan keuntungan yang akan diperoleh perusahaan.


(39)

Selanjutnya, berdasarkan perhitungan dari setiap rasio keuangan yang ada, akan dimasukkan ke dalam persamaan guna mengukur potensi kebangkrutan perusahaan. Kriteria kebangkrutan menurut Altman disajikan pada Tabel II.1. berikut ini.

Tabel II.1. Kriteria Kebangkrutan Altman

< 1,81 1,81 – 2,99 > 2,99

Kemungkinan gagal terbilang besar

Kemungkinan gagal sulit dipastikan

Kemungkinan gagal terbilang kecil Skor ini meramalkan

terjadinya kegagalan

< 2,675

Meramalkan kegagalan, lebih dari itu meramalkan keberhasilan

Skor ini meramalkan keberhasilan

Sumber: Saunders dan Cornett (2006)

Dapat disimpulkan bahwa suatu perusahaan yang berpotensi gagal jika mulai terlihat dari berkurangnya investasi pada aktiva lancar (X1). Variabel X2 adalah indikator profitabilitas kumulatif yang relatif terhadap panjangnya waktu beroperasi, kondisi ini mengisyaratkan bahwa semakin muda suatu perusahaan akan semakin besar kemungkinan untuk bangkrut.

Variabel X3 mencerminkan keseluruhan kekuatan perusahaan dalam menciptakan pendapatan. Menurunnya rasio ini merupakan indikator terbaik akan wujudnya suatu potensi kebangkrutan.

Variabel X4 melambangkan solvabilitas (leverage) atau kemantapan finansial jangka panjang dari suatu perusahaan. Variabel terakhir yaitu X5, menunjukkan rasio


(40)

asset turnover yang menunjukkan besar kecilnya kemampuan manajemen untuk memanfaatkan aktiva-aktiva perusahaan yang dimiliki dalam menciptakan penjualan.

Tujuan dari perhitungan Z-Score adalah untuk mengingatkan akan masalah keuangan yang mungkin membutuhkan perhatian serius dan menyediakan petunjuk untuk bertindak. Bila nilai Z-Score perusahaan lebih rendah daripada yang dikehendaki manajemen, maka harus diamati laporan keuangannya untuk mencari penyebab mengapa terjadi begitu.

Pengamatan dimulai dengan menghitung Z-Score dari periode-periode sebelumnya dan dibandingkan dengan nilai Z-Score sekarang. Bila kecenderungan-nya turun, cobalah pahami apakah yang telah berubah sehingga menghasilkan rasio-rasio yang menyebabkan skor perusahaan jatuh. Memantau kecenderungan Z-Score juga akan membantu mengevaluasi kekuatan perubahan (turnaround) perusahaan. Cara lain menganalisis Z-Score adalah membandingkan hasil suatu perusahaan dengan perusahaan lain atau dengan rata-rata industri dan temukan apakah ada penyimpangan.

Bila perusahaan menghadapi masalah, maka masalah-masalah itu harus segera diatasi. Jika tidak, perusahaan terpaksa dilikuidasi. Pada saat itu pertanyaan yang harus dijawab adalah: apakah perusahaan itu lebih layak mati atau bertahan hidup? Keputusan untuk meneruskan operasi suatu perusahaan harus didasarkan pada manfaat-manfaat tertentu yang diperoleh dari likuidasi perusahaan yang bersangkutan. Bila manfaat tersebut tidak mampu menutupi biaya modalnya maka keputusan untuk meneruskan operasi tidak akan ada artinya.


(41)

II.4. Biaya Modal (Cost of Capital)

Biaya modal suatu perusahan merupakan bagian yang harus dikeluarkan atas investasi-investasi perusahaan untuk menciptakan kepuasan pada para investor. Cara perusahaan melakukan kegiatan ini adalah dengan melihat bahwa para investor mengeluarkan tingkat hasil minimum.

Hal ini sesuai dengan pendapat Keown dan Petty (2005) yang menyatakan bahwa biaya modal suatu perusahaan adalah bagian yang harus dikeluarkan perusahaan untuk membeli kepuasan investor-investornya pada tingkat risiko tertentu. Jadi biaya modal merupakan bagian yang harus dikeluarkan perusahaan untuk para investornya sebagai tingkat hasil minimum mereka.

Jika perusahaan hanya memperoleh sebesar biaya modal atas suatu risiko investasi, maka dapat diduga bahwa harga saham perusahaan tersebut akan berubah setelah proyek disetujui. Akan tetapi bila bagian tersebut berbeda dengan biaya modal yang dicapai, maka harga sahamnya akan berubah setelah proyek disetujui. Bila IRR (internal rate of return) dari investasi suatu proyek melebihi biaya modal perusahaan maka persetujuan atas investasi proyek tersebut akan meningkatkan harga saham perusahaan dan bila sebaliknya, jika IRR lebih kecil dari cost of capital perusahaan maka harga saham perusahaan cenderung turun.

Berdasarkan uraian di atas dan untuk memperoleh pengertian mengenai makna dari cost of capital, perlu diperhatikan unsur-unsur dalam lingkungan bisnis yang menyebabkan tinggi atau rendahnya cost of capital perusahaan. Menurut Keown


(42)

dan Petty (2005), ada 4 (empat) faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya cost of capital suatu perusahaan, yaitu:

a) Keadaan Umum Perekonomian

Faktor ini menentukan permintaan dan penawaran modal dalam perekonomian seperti tingkat inflasi. Variabel perekonomian ini berhubungan erat dengan tingkat return bebas risiko. Bila permintaan uang dalam perekonomian berubah terhadap penawaran, maka investor akan mengubah tingkat return minimum yang diinginkan. Indikasi perubahan atas tingkat return minimum yang diinginkan investor akan mengakibatkan pada perubahan cost of capital perusahaan.

b) Kondisi Pasar

Jika investor membeli sekuritas yang memiliki tingkat risiko investasi yang signifikan, kesempatan untuk memperoleh return tambahan diperlukan investasi tersebut menarik bagi para investor. Intinya, bila risiko bertambah, investor memerlukan tingkat return yang lebih tinggi. Jika investor meningkatkan tingkat return minimum, maka cost of capital secara langsung akan meningkat. Pada pihak lain, jika sekuritas tersebut mudah untuk di pasarkan dan harganya cukup stabil, investor akan menghendaki tingkat return yang lebih rendah dan cost of capital juga akan rendah.

c) Keputusan-keputusan Operasi dan Pembiayaan Perusahaan

Jika manajemen menyetujui penanaman modal berisiko tinggi atau memanfaatkan hutang dan saham secara ekstensif, tingkat risiko perusahaan akan bertambah.


(43)

Para investor selanjutnya akan meminta tingkat return minimum yang lebih tinggi sehingga cost of capital perusahaan meningkat.

d) Besarnya Pembiayaan

Permintaan dana dalam jumlah besar akan meningkatkan biaya modal perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, upaya yang harus dilakukan perusahaan adalah mencapai IRR yang setinggi-tingginya di atas cost of capital. Hal ini perlu dilakukan karena semakin tinggi risiko yang ditanggung oleh investor maka akan semakin tinggi return minimum yang dikehendaki. Akibatnya cost of capital perusahaan akan menjadi semakin tinggi. Cost of capital yang tinggi tersebut harus diimbangi dengan tingkat IRR yang relatif lebih tinggi untuk menutupi cost of capital. Bila cost of capital relatif tinggi dibandingkan dengan IRR perusahaan maka perusahaan tidak akan mampu untuk menutup biaya-biaya modal juga biaya operasi. Sehingga perusahaan akan kesulitan keuangan terutama untuk membiayai operasional usaha. Bila kondisi ini berlanjut terus, maka kondisi perusahaan akan insolvency karena tidak mampu menutup biaya operasional dan seluruh Kewajiban yang ada. Kondisi insolvency yang tidak segera diatasi akan mengakibatkan perusahaan berada pada kondisi pailit atau bangkrut.

II.5. Harga Saham

Harga saham adalah nilai pasar dari setiap lembar saham yang ditawarkan oleh suatu bursa efek pada suatu waktu tertentu. Searah dengan perubahan waktu,


(44)

maka nilai pasar saham tersebut juga akan dapat berubah (naik atau turun nilai pasarnya) atau tidak berubah sama sekali (Yong, 2004).

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa harga saham adalah nilai perolehan setiap lembar saham yang ditawarkan oleh bursa saham kepada para investor.

Menurut Darsono (2007) bahwa saham memiliki 4 (empat) macam nilai, yaitu:

1. Nilai nominal, yaitu nilai yang tertera dalam surat saham, misalnya Rp 1.000,- atau Rp 500,- per lembar saham, nilai ini lazim disebut state value, face value atau par value.

2. Nilai buku (book value per share), yaitu jumlah nilai modal sendiri (ekuitas) dibagi jumlah saham yang beredar.

3. Nilai pasar (market value per share), yaitu harga yang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar bursa.

4. Nilai intrinsik (nilai fundamental), yaitu nilai sekarang (present value) dari dividen dan keuntungan atau kerugian modal (capital gain/loss).

Harga saham yang terbentuk di bursa, dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Namun demikian, secara teoritis dapat dinyatakan bahwa pembentukan harga saham di pasar adalah sama seperti pembentukan harga-harga pasar barang-barang lain, yaitu kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Sehingga jika permintaan saham (volume pembelian) meningkat, maka harga saham di pasar cenderung akan naik dari


(45)

harga yang ditawarkan sebelumnya. Demikian pula sebaliknya, jika penawaran saham (volume penjualan) meningkat, maka harga saham akan mengalami penurunan.

Naik dan turunnya harga saham, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dipengaruhi oleh faktor fundamental internal perusahaan, faktor fundamental ekonomi dan faktor teknikal. Sehingga perubahan faktor fundamental internal perusahaan dan fundamental ekonomi akan menyebabkan perubahan permintaan dan penawaran saham, yang secara langsung akan mengakibatkan pergerakan harga saham dari waktu ke waktu.

Pergerakan harga saham dalam jangka pendek tidak dapat diterka secara pasti. Harga saham ditentukan menurut hukum permintaan dan penawaran atau kekuatan tawar-menawar. Makin banyak investor yang ingin membeli saham, maka harga saham tersebut cenderung bergerak naik. Sebaliknya, makin banyak investor yang ingin menjual saham, maka saham tersebut akan bergerak turun. Namun dalam jangka panjang, kinerja perusahaan emiten dan pergerakan harga saham umumnya akan bergerak searah (Rusdin, 2006).

Pergerakan harga saham yang terjadi, merupakan indikator penting bagi investor untuk melakukan eksekusi atau sebagai alat pengambil keputusan guna melakukan interaksi dalam bursa saham. Peningkatan harga saham di pasar akan memberikan peluang bagi investor untuk memperoleh capital gain dan selanjutnya akan dapat direalisasikan dalam bentuk return, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan atau kekayaan investor. Sebaliknya, penurunan harga saham, memungkinkan investor mengalami risiko capital loss, yaitu menurunnya


(46)

nilai investasi investor, yang berpeluang menciptakan kerugian bagi investor, jika investor menjual saham yang bersangkutan.

Setiap saat, harga saham di bursa akan senantiasa dipublikasikan kepada para peserta pasar modal, melalui berbagai mass media elektronik, seperti internet dan televisi maupun mass media lainnya. Publikasi harga saham dan situasi pasar yang berlangsung merupakan kegiatan utama yang wajib disampaikan kepada seluruh peserta pasar modal. Sehingga investor akan dapat mengetahui kondisi aktual yang terjadi di pasar.

Selanjutnya bursa efek melalui mass media cetak, akan memberikan informasi pasar modal sehari sebelumnya, secara lengkap, yaitu informasi harga saham pada saat pembukaan perdagangan, harga saham pada saat penutupan perdagangan, capaian harga tertinggi dan terendah dari setiap saham yang terdaftar di bursa. Akhirnya investor juga akan diinformasikan tentang volume perdagangan setiap sekuritas dan total transaksi yang terjadi sehari sebelumnya, selain dari pada informasi perkembangan indeks individual, indeks sektoral dan indeks harga saham gabungan.


(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bursa Efek Indonesia melalui melalui situs resmi Bursa Efek Indonesia, yaitu pada situs www.bei.co.id. dan pada www.ebursa.co.id. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2008 sampai dengan September 2008.

III.2. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian adalah studi kasus dengan menggunakan sampel dari populasi. Menurut Nazir (2003), “Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas, dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status sehingga dapat dijadikan suatu hal yang bersifat umum”.

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Nazir (2003), “Deskriptif kuantitatif adalah suatu metode penelitian yang menerangkan hubungan, menguji hipotesis-hipotesis, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan”.


(48)

Adapun sifat penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory) yaitu suatu penelitian yang menjelaskan pengaruh dari faktor-faktor fundamental dengan menggunakan model potensi kebangkrutan Altman terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia.

III.3. Populasi dan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah sektor industri manufaktur yang terdiri dari perusahaan industri dasar dan kimia (basic industry and chemicals), perusahaan aneka industri (miscellaneous industry) dan perusahaan industri konsumen (consumers industry) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jumlah industri manufaktur yang terdaftar di BEI hingga tahun 2007, sebanyak 168 perusahaan (emiten).

Sampel penelitian diambil dari populasi yang ada dengan menggunakan teknik purposive sampling, dengan kriteria sampel seperti berikut:

1. Perusahaan atau emiten yang terdaftar di BEI, selambat-lambatnya pada awal bulan Januari 2001 atau sebelumnya hingga bulan Desember 2007.

2. Menyampaikan laporan keuangan secara berkala, sesuai dengan ketentuan BAPEPAM, sehingga emiten yang terlambat menyampaikan laporan keuangan, tidak dimasukkan sebagai sampel penelitian.

3. Emiten yang tidak pernah di suspend atau dihentikan perdagangannya oleh BAPEPAM oleh sebab-sebab tertentu, baik karena pelanggaran peraturan perdagangan ataupun tidak melanggar peraturan perdagangan.


(49)

4. Emiten yang sahamnya aktif diperdagangkan di lantai bursa, yaitu saham-saham emiten yang sekurang-kurangnya harus mengalami perubahan harga pada setiap minggu perdagangan.

Berdasarkan kriteria yang ditelah ditentukan di atas, maka jumlah sampel penelitian adalah sebanyak 116 emiten.

Tabel III.1. Jumlah Sampel Penelitian

Keterangan Jumlah Emiten

Jumlah perusahaan manufaktur Tidak memenuhi kriteria 1 Tidak memenuhi kriteria 2 Tidak memenuhi kriteria 3

168 30 20 2

Jumlah Sampel 116

III.4. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data diperoleh melalui Indonesia Capital Directory yang diterbitkan oleh Pusat Referensi Pasar Modal, yang merupakan lembaga internal BEI yang khusus untuk mengumpulkan dan menyusun data aktivitas pasar modal setiap saat sesuai dengan hari kerja bursa. Data yang digunakan merupakan gabungan antara data time series dan cross section (polling data).


(50)

III.5. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel III.5.1. Identifikasi Variabel

Sesuai dengan kerangka pemikiran dan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Potensi Kebangkrutan Altman adalah sebagai variabel bebas (X), dan Harga Saham sebagai variabel terikat (Y).

Adapun variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari: rasio modal kerja terhadap total aktiva (X1), rasio laba ditahan terhadap total aktiva (X2), rasio earning before interest and taxes terhadap total aktiva (X3), rasio nilai saham terhadap nilai buku hutang (X4), dan rasio penjualan terhadap total aktiva (X5).

Kelima variabel bebas di atas akan dinilai dengan persamaan Potensi Kebangkrutan Altman untuk memperoleh nilai Z-Score dari setiap emiten yang terpilih sebagai sampel yang selanjutnya akan diuji dengan harga saham (Y) yang merupakan variabel terikat. Sehingga dapat diperoleh besaran pengaruh variabel bebas secara serentak terhadap harga saham (Y).

III.5.2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional dari masing-masing variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel Bebas (X).

Definisi operasional dari masing-masing variabel bebas adalah sebagai berikut:


(51)

a. Rasio modal kerja terhadap total aktiva (X1) adalah menggambarkan kondisi likuiditas perusahaan (emiten) terhadap kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo dalam operasi perusahaan. Pada sisi lain rasio ini juga menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan hutang-hutang yang diciptakan perusahaan dalam upaya untuk memperoleh seluruh aktiva perusahaan yang dibutuhkan dalam operasi perusahaan.

b. Rasio laba ditahan terhadap total aktiva (X2) adalah gambaran nyata dari realisasi permintaan output perusahaan di pasar yang dapat menciptakan laba bersih perusahaan atas penggunaan aktiva-aktiva perusahaan. Pada sisi lain besaran rasio ini juga menggambarkan bahwa semakin lama suatu perusahaan telah beroperasi menunjukkan bahwa perusahaan telah mampu mengakumulasikan laba ditahan yang cukup besar, sehingga memiliki potensi kebangkrutan yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang baru beroperasi. Dengan demikian, semakin tinggi besaran rasio ini, menunjukkan bahwa kondisi perusahaan akan semakin baik.

c. Rasio earning before interest and taxes terhadap total aktiva (X3) mencerminkan keseluruhan kekuatan perusahaan dalam menciptakan pendapatan. Menurunnya rasio ini merupakan indikator terbaik akan wujudnya suatu potensi kebangkrutan. Dengan demikian, semakin tinggi besaran rasio ini akan menjauhkan perusahaan dari ancaman kebangkrutan.

d. Rasio modal sendiri terhadap total utang (X4) menggambarkan solvabilitas (leverage) atau kemantapan finansial jangka panjang dari suatu perusahaan.


(52)

Dengan kata lain rasio ini menggambarkan besarnya ketergantungan perusahaan terhadap sumber-sumber pembiayaan perusahaan yang berasal dari luar atau pihak ketiga.

e. Rasio penjualan terhadap total aktiva (X5) menunjukkan rasio asset turnover yang menggambarkan kemampuan manajemen untuk memanfaatkan aktiva-aktiva perusahaan yang dimiliki dalam menghasilkan penjualan.

Selanjutnya untuk menentukan besaran potensi kebangkrutan Altman, akan digunakan persamaan Z-Score sebagaimana yang dinyatakan oleh Altman, yaitu:

Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 0,99 X5

Dari persamaan di atas dapat diperoleh besaran potensi kebangkrutan setiap emiten, yang akan diuji pengaruhnya terhadap harga saham.

2. Variabel Terikat (Y)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah harga saham (Y), yang merupakan harga saham yang terbentuk di Bursa Efek Indonesia pada setiap hari kerja yang berlaku. Sehingga harga saham yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah harga saham harian yang di rata-ratakan untuk setiap bulan dan tahunan dari setiap emiten yang terpilih sebagai sampel.


(53)

Tabel III.2 Definisi Operasional dan Indikator Variabel

No. Variabel Definisi Indikator Pengukuran

1. Rasio modal kerja terhadap total aktiva (X1)

menggambarkan kondisi likuiditas perusahaan (emiten) terhadap

kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo dalam operasi perusahaan

Modal Kerja Total Aktiva

Skala Rasio

2. Rasio laba ditahan terhadap total aktiva (X2)

gambaran nyata dari realisasi permintaan output perusahaan di pasar yang dapat menciptakan laba bersih perusahaan atas penggunaan aktiva-aktiva perusahaan

Laba Ditahan Total Aktiva

Skala Rasio

3. Rasio earning

beforeinterest

and taxes

terhadap total aktiva (X3)

mencerminkan keseluruh-an kekuatkeseluruh-an perusahakeseluruh-an dalam menciptakan pendapatan

Laba Operasi Total Aktiva

Skala Rasio

4. Rasio modal sendiri terhadap total utang (X4)

menggambarkan solvabili-tas (leverage) atau

kemantapan finansial jangka panjang dari suatu perusahaan

Modal Sendiri Total Utang

Skala Rasio

5. Rasio penjualan terhadap total aktiva (X5)

menggambarkan kemam-puan manajemen untuk memanfaatkan aktiva-aktiva yang dimiliki perusahaan yang dimiliki dalam menghasilkan penjualan

Penjualan Total Aktiva

Skala Rasio

6. Harga Saham (Y) harga saham yang terbentuk di Bursa Efek Indonesia pada setiap hari kerja

harga saham hari-an yhari-ang di rata-ratakan untuk setiap bulan dan tahunan


(54)

III.6. Model Analisis Data

Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier sederhana (simple linier regression) dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS (Statistical Package for Social Sciences) versi 15 dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau alpha 5%. Model analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + e di mana:

Y = Harga Saham

a = Konstanta

b1 = Koefisien regresi variabel bebas X1 = Nilai Z-Score

e = error of term

III.7. Pengujian Asumsi Klasik

Untuk memperoleh hasil pengujian yang baik, maka semua data yang dibutuhkan dalam penelitian ini harus diuji terlebih dahulu agar tidak melanggar asumsi klasik yang ada. Sehingga hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran secara tegas dan nyata. Pengujian asumsi klasik yang dilakukan pada penelitian ini, meliputi:


(55)

III.7.1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Dalam uji t dan uji F diasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Menurut Ghozali (2005), ada 2 (dua) cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak, yaitu:

a. Analisis Grafik

Untuk melihat normalitas residual dilakukan dengan melihat normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan ploting data residual akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya. b. Analisis Statistik

Uji normalitas dapat juga dilakukan dengan menggunakan model pengujian Kolmogorov-Smirnov, yang merupakan bahagian yang integral dari program SPSS versi 15. Jika angka signifikansi yang ditunjukkan dalam tabel hasil pengujian, menunjukkan nilai yang lebih kecil dari alpha 5%, maka data yang digunakan dinyatakan sebagai data yang tidak memenuhi asumsi normalitas. Sebaliknya jika angka yang diperoleh dari hasil pengujian normalitas, maka data yang digunakan dinyatakan sebagai data yang telah memenuhi asumsi klasik.


(56)

III.7.2. Uji Multikolonieritas

Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah ditemukan atau tidak, korelasi di antara variabel independen. Jika terjadi korelasi antar variabel bebas, maka akan ditemukan adanya masalah multikolonieritas. Suatu model regressi yang baik, harus tidak menimbulkan masalah multikolonieritas. Untuk itu diperlukan uji multikolonieritas terhadap setiap data variabel bebas dapat dilakukan dengan:

a. Melihat angka Collinearity Statistics, yang ditunjukkan oleh nilai VIF (Variance Inflation Factor). Jika angka VIF lebih besar dari 5, maka variabel bebas yang ada memiliki masalah multikolonieritas, (Santoso, 2002).

b. Melihat nilai Tolerance pada output penilaian multikolinieritas yang tidak menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,1 akan memberikan kenyataan bahwa tidak terjadi masalah multikolonieritas.

III.7.3. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas adalah untuk menguji apakah dalam suatu model regressi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lainnya. Sehingga suatu model regresi yang baik harus bebas dari masalah heteroskedastisitas. Jika varians dari residual adalah tetap, maka dinyatakan sebagai pengamatan yang homoskedastisitas, sebaliknya jika varians residual berbeda-beda, maka terjadi heteroskedastisitas.


(57)

Menurut Ghozali (2005), untuk mendeteksi ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya) yang telah di-studentized. Dasar analisisnya adalah:

a. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

b. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

III.7.4. Uji Autokorelasi

Pengujian autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi.

Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya, dan hal ini sering ditemukan pada data runtut waktu (time series).

Untuk menguji autokorelasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW test). Hipotesis yang akan diuji adalah:


(58)

Ho : tidak ada autokorelasi (r = 0) Ha : ada autokorelasi (r ≠ 0)

Tabel III.3 Pengambilan Keputusan Ada Tidaknya Autokorelasi

Hipotesis Nol Keputusan Jika

Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada autokorelasi positif atau negatif

Tolak

No decision

Tolak

No decision

Tidak ditolak

0 < d < dl dl ≤ d ≤ du 4 – dl < d < 4 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl

du < d < 4 – du

III.8. Pengujian Hipotesis

Untuk menguji ada tidaknya pengaruh dari variabel bebas secara menyeluruh, terhadap variabel terikat dilakukan dengan menggunakan uji F. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : b1 = 0 (Potensi kebangkrutan Altman tidak berpengaruh terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia). Ha : b1 ≠ 0 (Potensi kebangkrutan Altman berpengaruh terhadap pergerakan harga

saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia).

Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen diuji dengan tingkat kepercayaan (confidence interval) 95% atau α = 5%.


(59)

Untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak digunakan statistik F (F test). Jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima dan Ha ditolak,

dan jika Fhitung > Ftabel, maka H0 ditolak dan Ha diterima.

Untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak digunakan uji statistik F (F test). Rumus yang digunakan untuk statistik F (F test) adalah:

Error Square Mean

gression e

R Square Mean

F=

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan software pengolahan data Statistical Package for Social Sciences (SPSS) versi 15.


(60)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. Deskripsi Data Penelitian

Perusahaan manufaktur yang terpilih sebagai sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar pada tahun 2001 sampai 2006 dan sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan sebelumnya adalah sebanyak 116 emiten.

Dari data yang diperoleh sejak tahun 2001 sampai 2006 yang meliputi nilai tertinggi (maximum), nilai terendah (minimum) dan rata-rata (mean) dari variabel yang diteliti, baik itu variabel bebas yang dalam hal ini adalah nilai Z-Score Altman dan variabel terikat, yaitu harga saham, dapat dilihat pada Tabel IV.1 berikut ini.

Tabel IV.1. Statistik Deskriptif

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Z-Score

116 .0621588 7.1500157 2.3693549

64 1.6241731775 Loghs

116 1.6989700 4.9037680 2.8708287

68 .6452141593

Harga Saham 116 50 80.125 3145.37 9.319.196

Valid N

(listwise) 116

Sumber: Hasil Penelitian, 2008 (Data diolah)

Berdasarkan Tabel IV.1. di atas menunjukkan bahwa nilai terendah (minimum) dari Z-Score dari perusahaan manufaktur terbuka (emiten) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia adalah sebesar 0,0621588 yang bermakna bahwa sesungguhnya, terdapat sejumlah perusahaan manufaktur (emiten) yang seharusnya


(61)

telah dinyatakan bangkrut, namun masih tetap terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan nilai Z-Score yang tertinggi (maximum) sebesar 7,1500157 yang

menunjukkan kekuatan emiten untuk tumbuh berkembang di masa yang akan datang. Meskipun demikian, secara rata-rata perusahaan manufaktur terbuka (emiten) di Bursa Efek Indonesia memiliki nilai Z-Score sebesar 2,369355 yang lebih kecil dari nilai batas yang ditentukan oleh Altman sebesar 2,675, maka kondisi ini menunjukkan bahwa secara rata-rata perusahaan manufaktur (emiten) di Bursa Efek Indonesia yang digunakan sebagai data penelitian ini dapat diramalkan akan mengalami kegagalan.

Selanjutnya, jika diperhatikan harga saham rata-rata sebesar Rp. 3.145,37,- sedangkan nilai maksimum harga saham sebesar Rp. 80.125,- dan nilai minimum sebesar Rp. 50,-. Hal ini berarti bahwa secara rata-rata harga saham perusahaan manufaktur (emiten) di Bursa Efek Indonesia berada di atas harga perdana saham untuk keseluruhan data emiten yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini.

IV.2. Hasil Uji Asumsi Klasik IV.2.1. Uji Normalitas

Pengujian normalitas data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis grafik dan analisis statistik dengan uji Kolmogorov-Smirnov, dimana dengan pengujian secara statistik terhadap normalitas data akan memberikan hasil yang lebih akurat dan untuk menghindari kemungkinan kesalahan dalam membaca grafik. Hasil pengujian normalitas ditunjukkan pada Gambar IV.1 berikut ini


(62)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ex

pe

ct

ed C

u

m

Pr

ob

Dependent Variable: LOGHS

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Gambar IV.1 Hasil Uji Normalitas

Di samping uji normalitas dengan menggunakan analisis grafik, maka selanjutkan juga dilakukan uji normalitas dengan menggunakan analisis statistik.

Uji ini dilakukan dengan melihat angka signifikan dari Kolmogorov-Smirnov test, bila angka yang dihasilkan lebih kecil dari alpha 5% berarti data tidak

berdistribusi normal. Dari hasil pengujian normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa seluruh data yang digunakan berada di atas 5% atau tidak signifikan, yaitu sebesar 0.081 (8,1%) untuk Z-Score dan 0,162 (16,2%) untuk


(63)

yang bermakna bahwa data yang digunakan untuk pengujian hipotesis adalah normal.

Hasil pengujian normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov dapat dilihat pada Tabel IV.2 di bawah ini.

Tabel IV.2. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Z-Score Harga Saham

N 116 116

Normal

Parameters(a,b)

Mean

2.369354964 2.870828768

Std. Deviation 1.6241731775 .6452141593

Most Extreme Differences

Absolute

.117 .104

Positive .117 .104

Negative -.078 -.058

Kolmogorov-Smirnov 1.265 1.120

Asymp. Sig. (2-tailed) .081 .162

Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data diolah)

IV.2.2. Uji Multikolonieritas

Pengujian multikolonieritas pada penelitian ini dilakukan dengan melihat nilai collinearity statistics dan nilai koefisien korelasi di antara variabel bebas. Oleh karena variabel bebas yang digunakan hanya satu, yaitu nilai Z-Score yang merupakan hasil perhitungan rumusan yang diajukan oleh Altman, maka pengujian multikolonieritas tidak dilakukan pada penelitian ini.

IV.2.3. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang


(64)

lain. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas pada penelitian ini dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya, dengan dasar analisis sebagai berikut :

a. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

b. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

-4 -2 0 2 4

Regression Studentized Residual

-2 -1 0 1 2 3

Regr

ession Standardized Pr

edicted Value

Dependent Variable: LOGHS Scatterplot

Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data diolah)


(65)

Dari Gambar IV.2 di atas menunjukkan bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini tidak mengandung adanya heteroskedastisitas.

IV.2.4. Uji Autokorelasi

Pada penelitian ini, uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW test). Uji ini hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi. Dari Tabel IV.3 dapat diketahui bahwa nilai Durbin-Watson adalah sebesar 1,787. Nilai ini akan dibandingkan dengan nilai tabel Durbin-Watson dengan menggunakan nilai signifikansi 5%, jumlah sampel 116 (n), dan jumlah variabel bebas 1 (k = 1). Oleh karena nilai DW 1,787 > nilai batas atas (du) 1,746, dan kurang dari 4 – 1,746 (4 – du), maka dapat disimpulkan H0 diterima atau tidak ada terjadi gejala autokorelasi.

Tabel IV.3 Hasil Uji Autokorelasi

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 .335(a) .112 .104 .6106207184 1.787

a Predictors: (Constant), Z-Score b Dependent Variable: Harga Saham


(66)

IV.3. Pengujian Hipotesis

Sebelum melakukan uji hipotesis, pertama sekali dilakukan uji determinasi untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model, yaitu variasi variabel bebas dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai koefisien determinasi (R2) dapat dilihat pada Tabel IV.4 berikut ini.

Tabel IV.4. Hasil Uji Determinasi (R2)

Model R R Square Adjusted

R Square

Std. Error of the Estimate

1 .335(a) .112 .104 .6106207184

a Predictors: (Constant), Z-Score b Dependent Variable: Harga Saham

Sumber: Hasil Penelitian, 2008 (Data diolah)

Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan sebesar 0,112 atau 11,2% menunjukkan kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel terikat yaitu harga saham relatif kecil atau rendah, mengingat besarnya faktor lain yang mempengaruhi pergerakan atau perubahan harga saham, yaitu sebesar 88,8% (1 – R2) dimana faktor-faktor tersebut tidak diteliti dalam penelitian ini.

Selanjutnya, dilakukan uji hipotesis yang bertujuan untuk menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : b1 = 0 (Potensi kebangkrutan Altman tidak berpengaruh terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia).


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Potensi kebangkrutan Altman berpengaruh sangat signifikan terhadap pergerakan harga saham perusahaan manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia. Hal ini berarti bahwa potensi kebangkrutan Altman (Z-Score) sangat menentukan sekali terhadap pergerakan harga saham manufaktur terbuka di Bursa Efek Indonesia. 2. Kemampuan variasi variabel bebas, yang dalam hal ini adalah potensi

kebangkrutan Altman yang diukur dengan Z-Score terhadap variasi variabel terikat, yaitu pergerakan harga saham adalah sebesar 0,112 (11,2%). Ini berarti bahwa terdapat faktor lain (variabel lainnya) sebesar 88,8% yang mempengaruhi pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia.

V.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan sebagai berikut:

1. Mengingat banyaknya emiten yang terdapat pada sektor manufaktur tidak memenuhi kriteria minimum dari Z-Score, yang memungkinkan terjadinya potensi kebangkrutan perusahaan, serta ditandainya dengan pergerakan saham yang agak rendah, maka seharusnya manajemen dapat mengelola modal kerja emiten, yang merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada hasil penilaian Z-Score.


(2)

2. Bagi peneliti lain yang tertarik menguji potensi kebangkrutan Altman pada sektor manufaktur, sebaiknya melakukan tambahan variabel fundamental lainnya, agar hasil yang diperoleh dapat lebih baik guna pengembangan ilmu pengetahuan dan penerapan dalam aktivitas investasi di Bursa Efek Indonesia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Bodie, Zvi, Alex Kane, and Alan J. Marcus, 2005. Investment, Sixth Edition, McGraw-Hill Companies, Inc., New York.

Darsono, 2007. Manajemen Keuangan: Pendekatan Praktis Kajian Pengambilan Keputusan Bisnis Berbasis Analisis Keuangan, Cetakan Kedua, Penerbit Diadit Media, Jakarta.

Francis, J. Clark, 1993. Management of Investments, Third Edition, McGraw-Hill Companies, Inc., New York.

Fred, J. Weston, and Thomas E. Copeland, 1992. Managerial Finance, Ninth Edition, Dryden Press.

Ghozali, Imam, 2005. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS, Edisi Ketiga, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Gujarati, Damodar, 2003., Basic Econometric, McGraw Hill Companies, Inc., New York.

Halim, Abdul, 2005. Analisis Investasi, Edisi Kedua, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Jones, Charles P., 2002. Investment: Analysis and Management, Eight Edition, John Willey & Son, New York.

Kuncoro, Mudrajad, 2003. Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Lorie, J., Hamilton, M., T., 1973. The Stock Market: Theories and Evidence, Richard D. Irwin, Inc., Homewood, Illinois.

Manurung, Adler Haymans, 2004. Strategi Memenangkan Transaksi Saham Di Bursa, Cetakan Pertama, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta.

Nazir, Moh., 2003. Metode Penelitian, Cetakan Kelima, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.


(4)

Reilly, K., Frank., and Brown, C. Keith., 2000, Investment Analysis and Portfolio Management, Sixth Edition, Dryden Press, Orlando, USA.

Ross, A., S., Westerfield, R., W., Jaffy, J., 2006. Corporate Finance, Eighth Edition, Richard D. Irwin, Time Mirror Higher Education Group, Inc. Co.

Rusdin, 2006. Pasar Modal: Teori, Masalah, dan Kebijakan dalam Praktik, Penerbit Alfabeta, Bandung.

Sawir, Agnes. 2001. Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sharpe, F., William, Alexander, J., Gordon, and Bailey, V., Jeffrey, 1995. Investments, Fifth Edition, Simon and Schuster Co. Prentice Hall, New Jersey.

Santoso, Singgih, 2002. Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta.

W. Smith, Jr., Clifford., 1990. The Modern Theory of Corporate Finance, Second Edition, McGraw Hill, International Edition.

Jurnal :

Adnan, M. Akhyar dan Eka Kurniasih, 2000. Analisis Tingkat Kesehatan Perusahaan Untuk Memprediksi Potensi Kebangkrutan Dengan Pendekatan ALTMAN, JAAI, Vol. 4, No.2, Desember.

Ball, R., and Brown, P. 1968. An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers. Journal of Accounting Research : 159-178.

Barker, C., 1956. Effective Stock Splits. Harvard Business Review, 99-114.

Basu, S., 1977. Investment Performance of Common Stocks in Relation Their Price Earnings Ratios: A Test of the Efficient Market Hypothesis, Journal of Finance: June, 663-683.

_______, 1983. The Relationship between Earnings Yield, Market Value and Return for NYSE Common Stocks. Journal of Financial Economics, June, 215-233.


(5)

Beaver, W., 1968. The Information Content of Annual Earnings Announcements. Empirical Research on Accounting: Selected Studies. Journal of Accounting Research. 67-92.

Benesh A. Gary and Paterson P. Pamela, 1986. On the Relation Between Earnings Changes Analysts Forecasts and Stock Price Fluctuations, Financial Analysts Journal, 29-39.

Campbell, J. and Beranek, W., 1955. Stock Prices Behavior on Ex-Dividend Dates. Journal of Finance, 425-429.

Elton, E., Gruber, M., and Rentzler, O., 1984 The Ex-dividend Day Behavior of Stock Prices, A Reexamination of the Climate Effect: A Comment: Journal of Finance, 551-561.

Fama, E.F., 1965. The Behavior of Stocks Market Prices, Journal of Business, January, 34-105.

_________, 1970. Efficient Capital Markets: A Review of Theory and Empirical Work, Journal of Finance, 383-417.

Lakonishok, J., Lev, B., 1987. Stock Splits and Stock dividends: Why, Who, and When. Journal of Finance, September, 126-144.

Lufti, Muslich, 2005. Evaluasi Kinerja Perbankan Terbuka di Indonesia, Research Grant, TPSDP, DIKTI, Jakarta.

McQueen G., and V.V. Roley, 1993. Stock Prices, News and Business Condition. Review of Financial Studies, 683-707.

Solt, M. and Statman, M., 1988. How Useful is the Sentiment Index?, Financial Analysts Journal, September, 38-54.

_________, 1989, Good Company, Bad Stocks., Journal of Portfolio Management, Summer, 39-44.

Yong, Othman, 1985. Random Walk and The Stock Market of Malaysia, Jurnal Pengurusan, 37-48.

_________, 1995. Antara Kekalutan, Kerawakan dan Kecekapan Pasaran Saham: Mitos, Teori dan Realiti, Makalah Pengukuhan Guru Besar FPP, UKM, Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia Press, Bangi.


(6)