BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi dan memiliki daya ekspresi dan informatif yang besar. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia karena dengan
bahasa, manusia dapat berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Salah satu fungsi bahasa adalah untuk mengekspresikan emosi. Untuk
memahami emosi dapat dilakukan dengan menganalisis kata emosi yang didapatkan dari masyarakat pemakai bahasa tersebut. Suzuki 2006 : 6
menyebutkan bahwa dalam bahasa Jepang, emosi disampaikan secara eksplisit dimana setiap kalimat ditandai dengan emosi atau informasi personal. Pemarkah
emosi yang kerap muncul dalam ujaran bahasa Jepang berupa partikel atau joshi. Hal senada disampaikan Ochs dan Schieffelin dalam Suzuki 2006 : 3 bahwa
terdapat berbagai cara dalam mengekspresikan emosi pada berbagai bahasa dan salah satu cara tersebut adalah melalui penggunaan partikel.
Kawashima 1992 : 1 mengungkapkan bahwa dalam bahasa Jepang, partikel mengikuti sebuah kata untuk menunjukkan hubungannya dengan kata lain dalam
sebuah kalimat atau memberikan arti dan nuansa tertentu bagi kata tersebut. Dengan menggunakan partikel dalam percakapan, penutur mengekspesikan emosi
atau tindakannya kepada lawan tutur, sama halnya dengan mengekspresikan maskulinitas atau feminitasnya. Partikel bahasa Jepang antara lain ne, yo, ka, kara,
datte, kana, shi, sa, noni, kara, kashira, no, tara, to, mo, na, wa, tomo, tte, ze, zo,
Universitas Sumatera Utara
dan sebagainya yang menunjukkan makna emotif seperti kemarahan, keraguan, kesenangan, keterkejutan, ketidakpuasan, dan sebagainya.
Bahasa yang muncul pada komik atau manga umumnya merupakan bahasa lisan yang dituliskan, sehingga muncul partikel-partikel pemarkah emotif tertentu
yang dapat dipahami apabila disertai dengan konteks ujaran. Partikel dalam bahasa Jepang yang mengacu pada emosi dapat diketahui melalui konteks
pembicaraan yang muncul pada komik “Gals” karya Mihona Fujii jilid 1 seperti contoh berikut :
Contoh 1 : Ran
: Atashi ga Kotobuki Ran to shittete batoru S PS N PKa V V
Saya Kotobuki Ran dan mengetahui berkelahi
tte n nara, uketetatsu ze PKa Konj V PAK
yg disebut kalau, merespon „Kalau ingin berkelahi dengan Kotobuki Ran ini, ayo maju‟
Ganguro I : Kotobuki Ran? N
„Kotobuki Ran?‟
Universitas Sumatera Utara
Ganguro II : Ge‟ Saikin Shibuya arashiteru yatsu
KS Ket. Wkt Ket. Temp V N E‟ Belakangan ini Shibuya membuat kacau orang
da yo Kop PAK
„E‟ Dia orang yang membuat onar di Shibuya akhir-akhir ini‟
Yabai yo KSf PAK
Bahaya „Bahaya‟
Nige yo- yo V PAK
Kabur ayo „Ayo pergi‟
Ganguro I : U .. urareta kenka wa kau no ga kogyaru
V N PS V PKa PKl N Ditawarkan perkelahian PS membeli PKa PKl kogal
no tessoku PKa N
jalan hidup „Me .. menghadapi perkelahian adalah prinsip kogal‟
Universitas Sumatera Utara
Ganguro II : Uso Sonna tessoku nai tte
V Konj N KK PAK Bohong yang seperti itu jalan hidup tidak ada
„Bohong Peinsip seperti itu tidak ada‟ “Gals” Jilid 1, hlm. 9
Ran merupakan seorang siswa SMA yang tomboy dan suka berkelahi. Di jalanan Shibuya, seorang pria bernama Satoru menggodanya. Karena tidak
menyukai hal tersebut, Ran memukul Satoru dengan sangat keras hingga pria itu terjatuh. Kemudian datang wanita ganguro
1
yang salah satu diantara mereka adalah pacar Satoru, yakni ganguro I. Ia melihat Satoru dipukul oleh Ran dan
membentak Ran. Ran menantang mereka untuk berkelahi, akan tetapi ganguro I dan II terkejut saat Ran menyebut bahwa ia adalah Kotobuki Ran yang ternyata
terkenal sebagai pembuat onar di Shibuya. Ganguro II merasa ketakutan dan mengajak kabur, akan tetapi ganguro I bersikeras untuk meladeni tantangan Ran
karena menurutnya, menghadapi perkelahian adalah prinsip kogal. Ganguro II
terkejut dan tidak setuju dengan pernyataan ganguro I. Emosi kekesalan ganguro
II terlihat dari adanya penggunaan partikel –tte pada kalimat „Uso Sonna tessoku
naitte
‟. Partikel –tte termasuk dalam setsuzokujoshi. Kawashima 1999 : 226
1
Ganguro merupakan salah satu aliran fashion di kalangan remaja Jepang yang muncul di awal tahun 1990an. Kata ganguro berasal dari gangankuroi ガンガン黒い
yang berarti „sangat hitam‟. Aliran ini menentang konsep wanita Jepang tradisional, yakni berkulit pucat, rambut
hitam, dan menggunakan make up dengan warna netral sehingga ganguro tampil dengan kulit coklat cenderung hitam, rambut yang diputihkan di-bleach, dan menggunakan make up dalam
banyak warna. Sumber : http:en.wikipedia.orgwikiGanguro
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan bahwa partikel –tte yang berada di akhir kalimat menunjukkan
kalimat seru yang mengekspresikan perasaan terkejut, marah, dan bermacam
emosi lainnya. Apabila partikel -tte disubstitusikan dengan partikel noni seperti pada kalimat „Uso Sonna tessoku nai noni‟, maka makna emotif yang muncul
berubah menjadi kekecewaan. Kemudian, apabila partikel –tte dilesapkan, maka
makna emotif terkejut juga menjadi hilang. Dengan demikian, maka pada contoh 1 di atas, partikel
–tte membawa makna emotif kekesalan.
Contoh 2 : Yamato
: Hai soko made N Konj PP
Ya Disitu sampai
Kimi chotto kouban made kinasai S N PP V
Kamu sebentar kantor polisi sampai tolong datang „Ya, cukup sampai disitu. Silahkan kamu datang ke kantor polisi‟
Ran : Na
nan da yo Ima omoshiroku naru PN Kop PAK Ket. Wkt KSf V
Apa sekarang menyenangkan menjadi
toko datta noni
Kop PAK baru saja
„A.. apa sih Padahal sekarang sedang seru-serunya‟ “Gals” Jilid 1, hlm. 9-10
Universitas Sumatera Utara
Pada contoh 2, Ran bertengkar dengan tiga gadis ganguro dan menimbulkan kericuhan di pinggir jalan. Di saat ketiga ganguro ketakutan dan Ran sedang di
atas angin, Yamato yang merupakan seorang polisi dan juga kakak Ran, menangkap dan meminta Ran untuk datang ke kantor polisi. Hal ini menyebabkan
Ran kecewa dan tidak puas, karena baginya, situasi tersebut sedang seru. Ketidakpuasan
Ran tergambar dari penggunaan partikel noni pada kalimat „na,
nandayo Ima omoshirokunaru toko datta noni
‟. Noni termasuk dalam setsuzokujoshi. Chino 2008 : 84 menyebutkan bahwa noni pada akhir sebuah
kalimat menunjukkan perasaan tidak puas yang tergolong dalam emosi kekecewaan
. Apabila noni disubstitusikan dengan -tte seperti pada kalimat „na,
nanda yo Ima omoshirokunaru toko datta tte ‟, maka emosi yang muncul adalah
kemarahan. Apabila noni dilesapkan menjadi seperti pada kalimat „na, nanda yo
Ima omoshirokunaru toko datta ‟, maka menjadi kalimat pernyataan dan makna
emotif menjadi hilang. Dengan demikian, noni pada contoh 2 di atas
menunjukkan ketidakpuasan yang tergolong dalam emosi kekecewaan.
Pada cuplikan percakapan contoh 1, terdapat partikel –tte dan pada contoh 2
terdapat partikel noni yang membawa makna emotif masing-masing, yakni
kekesalan pada contoh 1 dan kekecewaan pada contoh 2.
Partikel pemarkah emotif dalam bahasa Jepang sering digunakan dalam percakapan, dimana lawan tutur akan lebih memahami maksud kalimat yang
dituturkan apabila disertai dengan emosi yang muncul. Akan tetapi, partikel dalam bahasa Jepang memiliki jumlah yang cukup banyak dan masing-masing memiliki
makna emotif yang berbeda-beda, bahkan suatu partikel dapat memiliki beberapa makna emotif yang berbeda, sehingga sebagai akibatnya, penutur sebuah bahasa
Universitas Sumatera Utara
sering mengalami kesalahpahaman dalam suasana dan konteks tuturannya, termasuk dalam memahami makna yang terkandung dalam sebuah kata yang
mengacu pada emosi. Dengan adanya perbedaan konteks ujaran, makna emotif yang dihasilkan juga berbeda sehingga diperlukan adanya pemahaman konteks
ujaran. Oleh karena itu, dalam menganalisis partikel pemarkah emotif dalam bahasa Jepang hendaknya menggunakan pendekatan pragmatik, yaitu dengan
mempertimbangkan konteks situasi ujaran dan makna emotif yang dimaksud penutur.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul
“Analisis Partikel Pemarkah Emotif Bahasa Jepang : Satu Kajian Pragmatik
”.
1.2 Batasan Masalah