Pengaruh Karakteristik Dan Motivasi Bidan Praktek Terhadap Pemberian Susu Formula Pada Bayi Baru Lahir Di Klinik Bersalin Kota Medan Tahun 2007

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK

TERHADAP PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI BARU

LAHIR DI KLINIK BERSALIN KOTA MEDAN

TAHUN 2007

T E S I S

Oleh

KASMINAH

057012018/AKK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

Kasminah : Pengaruh Karakteristik Dan Motivasi Bidan Praktek Terhadap Pemberian Susu Formula Pada Bayi Baru Lahir Di Klinik Bersalin Kota Medan Tahun 2007, 2008


(2)

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK

TERHADAP PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI BARU

LAHIR DI KLINIK BERSALIN KOTA MEDAN

TAHUN 2007

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

KASMINAH

057012018/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK TERHADAP PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI BARU LAHIR DI KLINIK BERSALIN DI KOTA MEDAN TAHUN 2007

Nama Mahasiswa : Kasminah Nomor Pokok : 057012018

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) (dr. Heldy BZ, MPH) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 29 Mei 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM Anggota : 1. dr. Heldy BZ, MPH

2. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si 3. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK

TERHADAP PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI BARU

LAHIR DI KLINIK BERSALIN KOTA MEDAN

TAHUN 2007

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Mei 2008


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

ASI eksklusif adalah suatu keadaan pemberian ASI (Air Susu Ibu) sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain, walaupun hanya air putih, sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan, bayi mulai dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai bayi berumur 2 tahun (Rachmawati, 2006).

ASI eksklusif merupakan pemberian ASI saja termasuk kolostrum tanpa tambahan apapun sejak dari lahir, dengan perkataan lain pemberian susu formula, air matang, air gula, air madu untuk bayi baru lahir tidak dibenarkan, para pakar sepakat bahwa ASI eksklusif lebih unggul dari pada susu sapi atau bahan pengganti lainnya (Krisnatuti, 2003).

Sayangnya perilaku yang baik memberikan ASI eksklusif kepada bayi sendiri dianggap sebagian orang suatu tingkah laku yang tradisional, sehingga sedikit demi sedikit ditinggalkan, hal tersebut dipengaruhi oleh kemajuan di negara industri yang memperkenalkan susu buatan untuk bayi dan mempunyai manfaat yang sama dengan ASI eksklusif, pemakaian lebih praktis, dengan promosi pemasaran susu buatan atau makanan pengganti ASI secara gencar (Depkes RI, 2000).


(7)

Program ASI eksklusif di pelayanan masyarakat merupakan salah satu pelaksanaan program pembangunan kesehatan yang bertujuan menurunkan angka kematian bayi dan anak Indonesia. Oleh sebab itu pada tanggal 22 Desember 1990 Presiden mengajak bangsa Indonesia melaksanakan Gerakan Nasional Peningkatan Penggunaan ASI (Depkes RI, 2000).

Dalam pelaksanaan program ASI eksklusif di rumah sakit, puskesmas dan praktek klinik selalu berpedoman pada pelaksanaan Permenkes RI No. 240/Men.Kes/Per/V/1995 tentang Pengganti Air Susu Ibu, di mana tertuang di dalamnya pokok-pokok kebijaksanaan peningkatan ASI eksklusif (Krisnatuti, 2003).

ASI eksklusif sebagai makanan terbaik untuk bayi dan mudah dicerna oleh sistem pencernaan bayi, mengandung zat gizi berkualitas tinggi berguna untuk kecerdasan dan pertumbuhan, mengandung asam amino essensial yang sangat penting untuk meningkatkan jumlah sel otak bayi terutama sampai usia bayi 6 bulan. ASI eksklusif memiliki berbagai kelebihan seperti mengandung zat kekebalan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi, selalu aman dan bersih, tidak pernah basi, dan mempunyai suhu yang tepat sehingga dapat langsung diberikan kepada bayi setiap saat (Depkes RI, 2003).

Dalam proses pemberian ASI eksklusif terjadi interaksi antara ibu dan bayi, hal tersebut penting untuk perkembangan kejiwaan/mental anak. Pemberian ASI eksklusif selain mempererat hubungan kasih sayang ibu dan anak adalah dapat menjarangkan kehamilan, menghindarkan ibu dari kemungkinan timbulnya kanker


(8)

payudara, uterus cepat pulih, ibu lebih sehat dan bayi tidak kegemukan, mencegah timbulnya diabetes mellitus pada masa bayi/anak-anak (Kristanto, 2000).

Menurut WHO (2000), upaya pencegahan diare dan ISPA dapat dicegah dengan pemberian ASI eksklusif, dan menganjurkan agar bayi diberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama, sebab terbukti bahwa menyusu ASI eksklusif selama enam bulan menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi (http ://www. kompas.com.documen/eksklusif%.htm).

Pelaksanaan memberikan ASI eksklusif di Indonesia tidak seperti yang diharapkan. Cakupan ASI eksklusif yang ditargetkan dalam Propenas dan Strategi PP-ASI adalah sebesar 80%. Sementara cakupan eksklusif untuk Indonesia tahun 2003 hanya 47,5%. Ada kecenderungan penurunan dibandingkan tahun 1997 sebesar 52% (Depkes RI, 2004).

Untuk data di Provinsi Sumatera Utara, kecenderungan pemberian ASI eksklusif pada bayi mengalami penurunan, pada tahun 2005 cakupan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebesar 35,25% dan untuk target 5 tahun ke depan yang akan dicapai pada tahun 2010 sebesar 80%. Demikian juga di Kota Medan jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif mengalami penurunan dari jumlah bayi 44.592 hanya sebesar 1.301 bayi atau sekitar 2.92% yang diberi ASI eksklusif (Profil Kesehatan Prop. Sumut, 2005).

Melihat data cakupan ASI eksklusif rendah, hal ini sangat berdampak pada jangka panjang, berpengaruh terhadap sumber daya manusia (SDM) dan dikhawatirkan akan terjadi lost generation terjadi pada masa-masa mendatang, jika


(9)

keadaan memberikan ASI eksklusif terus bergeser kepada penggunaan susu formula, keadaan ini harus segera diatasi dan diwaspadai dengan serius karena didukung lagi semakin banyaknya kasus-kasus gizi buruk di hampir semua wilayah Indonesia (Soekirman, 2000).

Berg (1986) mengemukakan bahwa para ibu di negara berkembang tampaknya telah banyak yang tidak memberikan ASI eksklusif dan menghentikan kegiatan menyusui anaknya, kebiasaan ini merupakan gejala yang mencolok di dalam kehidupan perkotaan, selain ibu sibuk bekerja, kegiatan minum susu botol merupakan salah satu kemajuan dalam kehidupan perkotaan yang diikuti oleh penduduk yang pindah ke kota, penyebab utama penurunan memberikan susu eksklusif adalah masalah modernisasi dan urbanisasi. Semakin tinggi nilai keduniaan, semakin merosot pula kegiatan menyusui, minum susu botol telah dijadikan lambang status.

Lebih dari 80% ibu di perkotaan dari golongan kaya dan berpendidikan tinggi tidak sanggup memberikan ASI sampai 6 bulan, hal ini karena masalah yang bersifat psiko-fisiologis, sosial dan budaya, emosional dan psikologis di dukung lagi semakin efektifnya teknik komunikasi yang benar-benar berkembang dan penilaian mereka yang tinggi kemajuan duniawi (Berg, 1986).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), kenyataan rendahnya ibu tidak memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan disebabkan banyak faktor, seperti faktor dari ibu sendiri, keluarga, masyarakat dan dari pelayanan kesehatan yang ada, semua faktor ini dapat saling berkaitan dan saling mendukung menyebabkan rendahnya ASI eksklusif. Faktor dari bidan dapat dikatakan mempunyai peranan yang


(10)

besar, karena persiapan menyusui dari masa kehamilan sudah dapat dibentuk, ibu-ibu yang memeriksakan kehamilannya ke bidan sudah dapat diberikan informasi mengenai ASI eksklusif. Program-program yang mendukung pelaksanaan ASI eksklusif sudah digalakkan melalui pusat-pusat pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, klinik-klinik bersalin, praktek dokter dan bidan serta rumah sakit.

Bidan banyak mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Pada kebanyakan kasus, pemberian ASI eksklusif segera setelah lahir tergantung pada pengetahuan dan komitmen bidan yang membantu persalinan ibu tersebut, penyusuan dini setelah melahirkan yang dianjurkan tidak dilakukan karena menganggap ibu dan bayi masih dalam keadaan kotor, dan kecenderungan pelayanan bidan belum mengupayakan agar si ibu memberikan ASI eksklusif pada bayi, melainkan langsung memberikan susu botol pada bayi (Penny, 1990).

Hasil penelitian (Depkes RI, 2003) di Bogor menunjukkan bahwa anak yang diberi ASI eksklusif tidak ada yang menderita gizi buruk. Data untuk penelitian yang sama menunjukkan bahwa 57% ibu-ibu dianjurkan oleh bidan untuk memberikan susu formula pada minggu pertama setelah kelahiran, dan ibu yang memberikan susu formula dari iklan promosi sebesar 8.7%. Sedangkan lebih dari 25% ibu-ibu menyatakan menerima susu formula melalui rumah sakit atau rumah bersalin, sekitar 9.5% ibu yang menerima hadiah dari perusahaan susu formula. Temuan penting lainnya dari studi tersebut adalah 14,8% bidan menyatakan setuju untuk memberi susu formula kepada bayi baru lahir di Bogor.


(11)

Selain melalui iklan di media dan promosi di pertokoan, para produsen susu formula juga aktif berpromosi di rumah sakit dan klinik bersalin melalui bidan. Sampel susu kaleng secara gratis diberikan kepada pasien. Ibu yang baru pulang dari RS banyak yang diberi oleh-oleh susu kaleng gratis. Kini semakin banyak ibu-ibu yang tidak percaya diri dengan manfaat dari kandungan ASI akibat pengaruh iklan yang mengidealkan kandungan zat gizi terdapat dalam susu formula "(http://ms. Wikipedia.org/wiki/Bidan).

Gencarnya promosi susu formula ditengarai menjadi penyebab menurunnya jumlah bayi yang mendapat Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Dalam praktek pelayanan yang dilakukan oleh bidan dan sarana pelayanan kesehatan lainnya banyak mempengaruhi perilaku pemberian ASI eksklusif. Pada kebanyakan kasus, pemberian ASI eksklusif segera setelah melahirkan juga tergantung pada pengetahuan dan komitmen bidan yang membantu persalinan ibu tersebut (Depkes RI, 2002).

Berbagai alasan yang mengatakan pemberian ASI eksklusif di tempat pelayanan klinik/rumah bersalin sangat tergantung bidan. Hal ini disebabkan bidan adalah orang pertama yang membantu dan memotivasi ibu bersalin melakukan pemberian ASI eksklusif tersebut. Pentingnya, klinik/rumah bersalin dalam pengambilan keputusan tentang pemberian ASI eksklusif kepada bayi baru lahir tergantung pada kelahiran yang memberikan ASI eksklusif menurun dari 8% menjadi 3,7%. Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan menurun dari 42,2% menjadi 39,5%, sedangkan penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat dari 10,8%


(12)

menjadi 32,5%. Penelitian Hasibuan (2004), dapat diasumsikan bahwa bidan mempunyai peranan dalam upaya pemberian susu formula.

Mengingat klinik/rumah bersalin merupakan sarana dan bidan sebagai motivator dalam pemberi informasi kepada ibu yang baru melahirkan, maka diharapkan bidan meningkatkan pengetahuan dan berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran ibu melakukan penggunaan ASI eksklusif pada bayinya.

Melihat kenyataan tersebut di atas, penulis bermaksud mengadakan penelitian lebih jauh, sehingga dapat diketahui permasalahan yang berkaitan dengan pengaruh karakteristik dan motivasi bidan terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir di klinik bersalin Kota Medan tahun 2007.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, dapat dirumuskan permasalahan peneliti adalah bagaimana pengaruh karakteristik dan motivasi bidan terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir di klinik bersalin di Kota Medan tahun 2007.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh karakteristik dan motivasi bidan terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir pada klinik bersalin di Kota Medan tahun 2007.


(13)

1.4. Hipotesis

1. Ada pengaruh karakteristik bidan (umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, tingkat pendapatan, dan lama kerja) terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

2. Ada pengaruh motivasi bidan (insentif, kebutuhan dan berhasilan) terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi:

1. Dinas Kesehatan Kota Medan khusus klinik/rumah bersalin. 2. Peningkatan pengetahuan bidan dalam memberikan ASI eksklusif. 3. Sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya.


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bidan Suatu Profesi

Bidan merupakan profesi yang diakui secara Nasional maupun Internasional dengan sejumlah praktisi di seluruh dunia. Pengertian bidan dan bidang prakteknya secara internasional telah diakui oleh International Confederation of Midwives (ICM) tahun 1972 dan Federation of International Gynaecologist and Obstetrician (FIGO) tahun 1973, WHO dan badan lainnya. Pada tahun 1990 pada pertemuan dewan di Kobe, ICM menyempurnakan definisi tersebut yang kemudian disahkan oleh FIGO (1991) dan WHO (1992).

Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan Program Pendidikan Bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan. Seorang bidan harus mampu memberikan supervise, asuhan, dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita selama masa hamil, persalinan dan masa pasca persalinan (post partum period), memimpin persalinan atas tanggung jawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak (Christine, 2006).

Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan tindakan pertolongan gawat darurat pada saat tidak hadirnya tenaga medik lainnya. Bidan


(15)

mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita tersebut, tetapi juga termasuk keluarga dan komunitasnya.

Pekerjaan ini termasuk pendidikan antenatal, dan persiapan untuk menjadi orang tua dan meluas ke daerah tertentu dari ginekologi, keluarga berencana dan asuhan anak, bidan biasa berpraktek di rumah sakit, klinik, unit kesehatan, rumah perawatan atau tempat-tempat pelayanan lainnya (Christine, 2006).

Demikian luas dan dalamnya profesi bidan, maka dapat dikatakan bahwa bidan Indonesia adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian dengan persyaratan yang berlaku. Jika melakukan praktek, yang bersangkutan harus mempunyai kualifikasi agar mendapatkan lisensi untuk praktek.

Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinnya. Pelayanan kebidanan berada di mana-mana dan kapan saja selama ada reproduksi manusia. Dan bidan adalah profesi yang khusus, dinyatakan suatu pengertian bahwa bidan adalah orang pertama yang melakukan penyelamat kelahiran sehingga ibu dan bayinya lahir dengan selamat. Tugas yang diemban oleh bidan, berguna untuk kesejahteraan manusia. Dengan demikian pengertian masyarakat, ada kelahiran pasti ada bidan (Christine, 2006).

Pada saat ini, pengertian bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan kebidanan yang diakui dan mendapatkan lisensi untuk melaksanakan praktek kebidanan.


(16)

Pelayanan kebidanan adalah pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang diberikan kepada ibu dalam kurun waktu masa reproduksi dan bayi baru lahir.

2.2. Bidan adalah Jabatan Profesional

Sesuai dengan uraian tersebut di atas, sudah jelas bahwa bidan adalah jabatan profesional. Persyaratan dari bidan sebagai jabatan profesional telah dimiliki oleh bidan tersebut. Persyaratan tersebut adalah:

1. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau

spesialis.

2. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga

profesional.

3. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat.

4. Mempunyai kewenangan yang disahkan atau diberikan oleh pemerintah. 5. Mempunyai peran dan fungsi yang jelas.

6. Mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur. 7. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah. 8. Memiliki kode etik bidan.

9. Memiliki etika kebidanan. 10.Memiliki standar pelayanan. 11.Memiliki standar praktek.


(17)

12.Memiliki standar pendidikan yang mendasari dan mengembangkan profesi sesuai dengan kebutuhan pelayanan.

13.Memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahana pengembangan kompetensi.

14.Keselamatan dan kesejahteraan ibu secara menyeluruh merupakan perhatian yang paling utama bagi bidan. Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan prakteknya. Dalam melaksanakan praktek, bidan sering dihadapkan dalam pertanyaan, apa yang dikerjakan bidan dan bagaimana ia berkarya, maka sangat ditegaskan kompetensi pendukung yang harus dimiliki bidan (Wastidar, 2001).

2.3. Dasar-Dasar Susu Formula 2.3.1. Pengertian Susu Formula

Susu formula bayi adalah cairan atau bubuk dengan formula tertentu yang diberikan pada bayi dan anak-anak. Susu formula berfungsi sebagai pengganti ASI. Susu formula memiliki peranan yang penting dalam makanan bayi karena seringkali bertindak sebagai pengganti ASI. Susu formula memiliki peranan yang penting dalam makanan bayi karena seringkali bertindak sebagai satu-satunya sumber gizi bagi bayi, karenanya komposisi susu formula yang diperdagangkan dikontrol dengan hati-hati

dari FDA (Food and Drugs Association) Badan Pengawas Obat dan Makanan

Amerika mensaratkan produk ini harus memenuhi standar ketat tertentu (Ruslina, 2004).


(18)

2.3.2. Kandungan dalam Susu Formula

Asam Arakhidonat (AA) dan Asam Dokoheksaenoat (DHA) merupakan asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang (LCPUFA), dibentuk dari prekursor yaitu Asam Linoleat (Omega-3). Asam Linoleat merupakan asam lemak tidak essensial yang tidak dapat dibuat oleh tubuh sendiri, harus didapat makanan. Tetapi menurut penelitian terakhir ternyata pada periode emas perkembangan otak, AA dan DHA merupakan kebutuhan essensial yang juga harus disuplai dari luar tubuh. (Rachmawati, 2006).

AA dan DHA adalah komponen struktural dan fungsional otak dan retina yang penting. Terdapat cukup bukti bahwa AA dan DHA mempunyai potensi memperbaiki perkembangan dan fungsi otak serta ketajaman penglihatan. AA dan DHA dalam jumlah yang cukup sangat dibutuhkan pada periode Pacu Tumbuh Kembang Otak (Brain Growth Support), yaitu terjadi pada usia 2 bulan sebelum lahir sampai 4 tahun. Pada masa itu dibutuhkan AA dan DHA dalam bentuk siap pakai dan dalam jumlah yang lebih banyak sesuai dengan perbandingan seperti dalam ASI (Rachmawati, 2006).

Sumber terbaik AA dan DHA adalah ASI, selain itu AA dan DHA juga dapat diperoleh dari minyak ikan, kuning telur, dan sel tunggal dari lemak nabati. Kelemahan dari AA dan DHA yang berasal dari minyak ikan adalah berbau amis, mengandung DHA terlalu tinggi dan mengandung EPA (Asam Eksosa Pentanoat) yang dapat menekan sintesa AA. Sumber minyak ikan ini kemungkinan juga mengandung polusi industri dan endapan logam berat. Sumber dari kuning telur


(19)

mengandung kolesterol yang tinggi dan lemak berbentuk fosfolipid. Sumber AA dan DHA lainnya adalah lemak nabati yang merupakan sel tunggal yang bebas kolesterol dan dalam bentuk trigliserida seperti yang terdapat pada ASI (Muchtadi, 1986).

Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh para ahli, ditemukan bahwa bayi yang memperoleh ASI, mengalami perkembangan psikomotorik yang lebih baik dibandingkan bayi yang tidak memperoleh ASI. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang mengkonsumsi AA dan DHA memiliki kemampuan kognitif, ketajaman penglihatan, perkembangan mental dan psikomotor yang lebih baik dari bayi yang hanya mengkonsumsi DHA saja atau tanpa keduanya. Hal ini dimungkinkan karena AA dan DHA adalah komponen yang penting dari membrane sel, dan secara khusus terdapat dalam jumlah lebih banyak pada jaringan otak dan retina. Karena itu pemberian AA dan DHA dalam bentuk siap pakai sangat dianjurkan oleh para ahli nutrisi untuk anak terutama pada periode emas pertumbuhan otak (Kalangi, 1994).

AA dan DHA adalah bentuk lemak siap pakai yang merupakan hasil dari asam linoleat (omega - 6) dan asam linolenat (omega - 3). Pada periode emas pertumbuhan otak, anak lebih membutuhkan AA dan DHA dalam bentuk siap pakai. Karena jaringan lemak yang banyak terdapat di dalam membrane sel otak adalah AA dan DHA, sintesa AA dan DHA sangat dipengaruhi oleh system enzimatis dalam tubuh, oleh karena itu untuk hasil optimal lebih baik diberikan AA dan DHA dalam bentuk siap pakai (Hamid, 1996).


(20)

2.4. Perilaku

2.4.1. Definisi dan Determinan Perilaku

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain, berbicara, berjalan, menangis, tertawa, membaca, dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Skiner merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya.

Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) faktor-faktor yang


(21)

a. Faktor-faktor predisposisi

Faktor-faktor ini mencakup; pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya, ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, untuk berperilaku kesehatan, misalnya pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat pemeriksaan hamil, baik bagi kesehatan ibu sendirinya dan janinnya, di samping itu kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa hamil, faktor-faktor yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.

b. Faktor-faktor pemungkin

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya, air bersih, tempat pembuangan sampah, ketersediaan makanan yang bergizi, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas), rumah sakit, poliklinik, Pelayanan Terpadu (posyandu), Poliklinik Desa (polindes), dokter dan bidan praktek swasta, untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.


(22)

c. Faktor-faktor penguat

Faktor-faktor ini meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh dari para tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan undang-undang diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut.

2.5. Karakteristik Bidan terhadap Pemberian Susu Formula

Sutrisna (1994) menyatakan bahwa karakteristik individu merupakan suatu proses psikologis yang mempengaruhi individu dalam memperoleh, mengkonsumsi serta menerima barang dan jasa serta pengalaman. Karakteristik individu merupakan faktor internal (interpersonal) yang menggerakkan dan mempengaruhi perilaku.

Adapun yang termasuk karakteristik individu yaitu Bidan dalam mempengaruhi pemberian susu formula antara lain umur, pendidikan, pengetahuan, sikap dan lama kerja.

2.5.1. Umur

Umur adalah lamanya hidup dihitung sejak dilahirkan hingga saat ini. Umur merupakan periode penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan baru. Pada masa ini merupakan usia produktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosi, masa keterasingan sosial, masa komitmen, masa ketergantungan, masa perubahan


(23)

nilai, masa penyesuaian dengan cara hidup baru, masa kreatif. Pada masa dewasa ditandai oleh adanya perubahan jasmani dan mental, kemahiran dan keterampilan profesional yang dapat menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian (Soekanto, 1990).

2.5.2. Pendidikan

Pendidikan dalam arti formal adalah suatu proses penyampaian materi guna mencapai perubahan dan tingkah laku (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yakni:

a. Input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan

pendidikan (pelaku pendidikan).

b. Procses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain).

c. Output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2003) konsep dasar dari pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, perubahan kearah yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang sehingga dapat menghasilkan perubahan perilaku pada diri individu, kelompok atau masyarakat.

Koentjoroningrat (1997) mengatakan pendidikan adalah kemahiran menyerap pengetahuan akan meningkat sesuai dengan pendidikan seseorang dan kemampuan


(24)

ini berhubungan erat dengan sikap seseorang terhadap pengetahuan yang diserapnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah untuk dapat menyerap pengetahuan.

2.5.3. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Bloom, dalam Notoatmodjo, 2003).

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Rogers dalam Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:

a. Awarenes (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Interest, di mana orang mulai tertarik kepada stimulus.

c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya.

d. Trial, di mana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, di mana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,


(25)

2.5.4. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan

tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Bloom (1908) dalam

Notoatmodjo (2003)).

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Menurut Newcomb, menyatakan sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu, sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang ada dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat emosional terhadap stimulus sosial.


(26)

2.6. Motivasi

2.6.1. Definisi Motivasi

Robert C. Beck dalam Uno (2007) menyatakan bahwa motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai tenaga penggerak yang mempengaruhi kesiapan untuk memulai melakukan rangkaian kegiatan dalam suatu perilaku. Motivasi tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dari tingkah lakunya.

Menurut Purwanto (1999) motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.

Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berperilaku (Sbortell & Kaluzny) dalam Soekanto (1990). Dalam suatu organisasi motivasi mempersoalkan cara mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuannya dan keterampilannya untuk menwujudkan tujuan. Sehubungan dengan definisi di atas, Malone membedakan dua bentuk motivasi yang meliputi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul tidak memerlukan rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri, yaitu sesuai atau sejalan dengan kebutuhan. Sedangkan motivasi ekstrinsik timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya insentif.

Dari berbagai macam definisi motivasi, Scanford (1970), terdapat tiga point penting dalam pengertian motivasi yaitu hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan


(27)

tujuan. Kebutuhan muncul karena adanya sesuatu yang kurang dirasakan oleh seseorang, baik fisiologis maupun psikologis. Dorongan merupakan arahan untuk memenuhi kebutuhan tadi (Tahir, 1984).

2.6.2. Teori Motivasi

1. Teori Kebutuhan Maslow

Teori Maslow sering disebut disebut dengan hirarki kebutuhan, karena menyangkut kehidupan manusia. Maka teori ini dapat digunakan untuk menunjukkan kebutuhan seseorang yang harus dipenuhi untuk termotivasi bekerja. Lima hirakhi kebutuhan manusia menurut Maslow: 1) kebutuhan fisologis (physiological needs) yaitu kebutuhan yang paling mendasar termasuk kebutuhan makan, minum, tempat tinggal, 2) rasa aman (safety needs), 3) kebutuhan sosial (social needs) di mana adanya rasa keterlibatan emosional yang mengikat persamaan dan persahabatan 4) penghargaan dan 5) aktualisasi diri yakni senantiasa percaya pada diri sendiri menjadi seseorang hidup berarti (Purwanto, 1999).

2. Teori Motivasi Hyginis

Frederick Herberg mengusulkan teori Hyginis yang juga dikenal dengan teori motivasi dua faktor. Dalam teori ini dijelaskan beberapa karakteristik mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja dan karakteristik lainnya dengan ketidakpuasan kerja. Faktor intrinsik seperti keberhasilan, pengakuan, sering dihubungkan dengan kepuasan kerja. Sebaliknya apabila menemukan ketidakpuasan kerja maka cenderung untuk mengatakan termasuk dalam faktor ekstrinsik seperti kondisi kerja, supervisi


(28)

dan hubungan kerja. Kemudian Herberg menyimpulkan kepuasan kerja dan ketidakpuasan dalam bekerja muncul dari dua faktor yang terpisah (Purwanto, 1999).

3. Teori Mc. Clelland

Memiliki tiga jenis kebutuhan, yaitu: 1) kebutuhan untuk mencapai prestasi

(needs for achievement) yaitu dorongan untuk menjadi baik sesuai standar yang telah

ditetapkan, 2) kebutuhan untuk kekuatan (needs of power) kebutuhan membuat orang lain dapat berperilaku sesuai dengan cara-cara yang dikehendaki, 3) kebutuhan untuk berafiliasi atau berhubungan dekat dengan orang lain (Purwanto, 1999).

2.7. Landasan Teori

Agar penelitian ini relevan dengan topiknya, perlu digali beberapa pendapat para ahli terdahulu yang ada kaitannya dengan faktor internal dan eksternal yang diperkirakan ada pengaruhnya terhadap perilaku bidan dalam pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

Blum dalam Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan individu/masyarakat yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan, di mana perilaku memberi pengaruh terbesar kedua setelah faktor lingkungan.

Untuk menganalisis determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan erat kaitannya dengan faktor internal dan eksternal dapat ditelusuri melalui salah satu konsep teori yang dikemukan oleh Lawrence Green (Notoatmodjo, 2005) yang menyebutkan bahwa perilaku ini ditentukan oleh tiga


(29)

faktor utama yakni; faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin

(enabling factors), dan faktor penguat (reinforcing factors).

Faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Faktor pemungkin

(enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya

fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya. Faktor penguat (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Dengan demikian Notoatmodjo (2007) menyimpulkan bahwa faktor determinan perilaku itu dibedakan menjadi dua yaitu; faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal adalah merupakan karakteristik orang yang bersangkutan,

yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya. Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berperilaku (Sbortell & Kaluzny) dalam Soekanto (1990). Dalam suatu organisasi motivasi mempersoalkan cara mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuannya dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan. Sehubungan dengan definisi di atas, Malone membedakan dua bentuk motivasi yang


(30)

meliputi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul tidak memerlukan rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri, yaitu sesuai atau sejalan dengan kebutuhan. Sedangkan motivasi ekstrinsik timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya insentif, kebutuhan dan keberhasilan.

2.8. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini secara skematis dapat digambarkan pada bagan berikut ini:

Karakteristik Bidan

- Umur

- Pendidikan

- Pengetahuan

- Sikap

- Lama Kerja

- Penghasilan

Tindakan Bidan Dalam pemberian

Susu Formula

Motivasi Bidan

- Insentif

- Kebutuhan

- Keberhasilan

Variabel Dependen Variabel Independen


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah merupakan survey deskriptif dengan rancangan penelitian menggunakan pendekatan sekat lintang (cross sectional study). Metode ini digunakan sebagai suatu bentuk penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh atau menganalisis kecenderungan antara variabel-variabel penelitian karakteristik dan motivasi bidan praktek terhadap pemberian susu formula.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bidan yang memiliki klinik/rumah bersalin di 5 (lima) kecamatan di bawah wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan yaitu sebanyak 403 bidan, dengan alasan klinik/rumah bersalin tersebut memiliki persentase tingkat kelahiran yang tinggi dalam satu bulan rata-rata terdapat 15 sampai 25 kelahiran bayi, dan dikaitkan dengan laporan situs http://ms.wikipedia.org/wiki/ Bidan tanggal 25 Oktober 2006 yang menyatakan bahwa banyak klinik yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif, maka penulis berasumsi bahwa ada kemungkinan klinik tersebut juga lebih banyak memberikan susu formula.


(32)

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai dengan melakukan penelusuran pustaka, konsultasi, penyusunan proporsal, kolokium dan dilanjutkan dengan penelitian lapangan, pengumpulan data, analisa data serta penyusunan laporan atau seminar hasil. penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2007.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh bidan di Kota Medan yang memiliki klinik/rumah bersalin sebanyak 403 bidan.

3.3.2. Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dari populasi unit analisis dilakukan secara sampel acak sederhana (simple random sampling), yaitu setiap anggota dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Lemeshow, 1997). Tehnik pengambilan sampel acak sederhana dalam penelitian ini dengan mengundi anggota populasi (lottery technique) atau tehnik undian.

Langkah-langkah dalam pengambilan sampel dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menyiapkan daftar subjek yaitu daftar nama bidan yang memiliki praktek klinik/rumah bersalin.


(33)

2. Memberi nomor urut subjek anggota populasi, penomoran dilakukan sesuai alphabet nama.

3. Menyiapkan potongan kertas.

4. Menulis nama dan nomor dari masing-masing anggota populasi.

5. Randominasi dengan mengocok undian, proses ini dilakukan sampai besar sampel tercapai. Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus uji hipotesis satu sampel (Lemeshow, 1997).

{

z

1-α √ Po (1 – Po) + Z1 – β √ Pa (1 – Pa)

}

²

n = —————————————————————

(Pa – Po) ² Keterangan:

n = besar sampel

α = 5 % = 0,05 maka Z1 - α = 1,645 Po = pemberian ASI eksklusif 35,25 % Pa = 45.25 %

Power (kekuatan uji) = 90% (β = 10%), maka Z1 – β = 1,282.

Berdasarkan perhitungan didapatkan jumlah sampel yang diteliti sebesar 120 bidan responden.


(34)

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Alat Pengumpul Data

Metode pengumpulan data adalah dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang telah dipersiapkan. Kuesioner yang digunakan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, di mana hasil uji menyimpulkan bahwa kuesioner valid dan reliabel untuk digunakan dalam penelitian ini.

3.4.2. Uji Validitas dan Realibilitas

Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Variabel Item

Pertanyaan

r-hitung Status Alpa Cronbach

Status

Pengetahuan 1 0,7145 valid 0,9633 reliabel

2 0,9670 valid 0,9481 reliabel

3 0,8840 valid 0,9538 reliabel

4 0,8317 valid 0,9568 reliabel

5 0,7959 valid 0,9586 reliabel

6 0,7587 valid 0,9613 Reliabel

7 0,9629 valid 0,9480 Reliabel

8 0,9187 valid 0,9508 Reliabel

Sikap 1 0,6508 valid 0,9490 Reliabel

2 0,7427 valid 0,9321 Reliabel

3 0,9238 valid 0,8878 Reliabel

4 0,8825 valid 0,9061 Reliabel

5 0,9238 valid 0,8978 Reliabel

Insentif 1 0,8944 valid 0,8000 Reliabel

2 0,7789 valid 0,8989 Reliabel

3 0,7789 valid 0,8989 Reliabel

Kebutuhan 1 0,7633 valid 0,8989 Reliabel

2 0,7778 valid 0,8889 Reliabel

3 0,8898 valid 0,7895 Reliabel

Nilai r dari masing-masing item instrumen mempunyai nilai r lebih besar dari 0,632 (r tabel) sehingga instrumen pertanyaan tersebut dapat dikatakan valid.


(35)

Nilai koefisien Alpa Cronbach dari semua variabel lebih besar dari 0,632 sehingga dapat dikatakan instrumen dari semua item pertanyaan sudah reliabel.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Jenis Variabel

1. Variabel Dependen (variabel terikat): Pemberian susu formula.

2. Variabel Independen (variabel bebas): Karakteristik (umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, tingkat penghasilan dan lama kerja) dan motivasi (insentif, kebutuhan dan keberhasilan) bidan praktek.

3.5.2. Definisi Operasional a. Karakteristik Bidan

1. Umur adalah jumlah tahun yang dimiliki bidan sejak ia dilahirkan sampai saat dikumpulkan data penelitian.

2. Tingkat pendidikan adalah derajat tertinggi dari sekolah yang telah

diselesaikan oleh bidan.

3. Pengetahuan, adalah sesuatu yang perlu diketahui bidan tentang manajemen laktasi, ASI eksklusif, kolostrum, menyusui dengan baik dan benar, mengatasi masalah menyusui, waktu penyusuan, serta menjaga kualitas dan kuantitas ASI.

4. Sikap adalah bentuk perilaku yang masih tersembunyi dan belum merupakan suatu tindakan dari pengetahuan tentang ASI.


(36)

5. Tingkat penghasilan adalah jumlah penghasilan perbulan yang didapat seorang bidan, yang berasal dari pekerjaan bidan praktek sendiri dan dari pekerjaan suami.

6. Lama kerja adalah rentang waktu yang dihitung mulai saat buka praktek klinik sampai saat penelitian dilakukan.

b. Motivasi Bidan

1. Insentif yaitu penghargaan dari produsen susu formula kepada bidan yang dinyatakan dalam satuan uang yang tergantung jumlah susu yang dapat dijual sehingga diharapkan bisa mendorong bidan untuk meningkatkan pemakaian susu formula pada pasien.

2. Kebutuhan adalah pendapat bidan tentang perlu tidaknya susu formula

diberikan kepada bayi baru lahir dan untuk promosi klinik.

3. Keberhasilan adalah segala hal yang telah diperoleh bidan setelah bekerja dengan produsen susu.


(37)

Metode Pengukuran

Tabel 3.2. Metode Pengukuran Variabel-variabel Penelitian N0 Jenis

Variabel Nama Variabel Cara Ukur Skala Ukur Hasil Ukur

1. 2. 3. 4. 5. 6.

1. Dependen Pemberian

Susu Formula

Wawancara Nominal 0.Ya

1.Tidak

2. Independent Umur Wawancara Interval 1. 26-31 tahun

2. 32-37 tahun 3. 38-43 tahun

3. Independent Pendidikan Wawancara Ordinal 1. D-I Kebidanan

2. DIII/D-IV Kebidanan

4. Independent Pengetahuan Wawancara Ordinal 1. Buruk (0-7)

2. Baik (8-16)

5. Independent Sikap Wawancara Ordinal 1. Tidak setuju (0-4)

2. Setuju (5-10)

6. Independent Penghasilan Wawancara Nominal 1. Rendah (< nilai

UMR)

2. Tinggi (≥ UMR).

7. Independent Lama kerja Wawancara Interval 1. 4-8 tahun

2. 9-13 tahun 3. 14-18 tahun

8. Independent Insentif Wawancara Ordinal 1. Tidak Cukup (0-1)

2. Cukup (2-3)

9. Independent Kebutuhan Wawancara Ordinal 1. Tidak Ada (0-1)

2. Ada (2-3)

10. Independent Keberhasilan Wawancara Ordinal 1. Tidak Ada (0-1)


(38)

Metode Analisis Data

Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer. Analisa univariat digunakan untuk mendiskripsikan faktor karakteristik (umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, tingkat penghasilan dan lama kerja) dan motivasi (insentif, kebutuhan dan keberhasilan) bidan praktek dan faktor pemberian susu formula.

Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen yang sama-sama variabel katagorik digunakan Chi–Square Test (Sutanto, 2001). Analisa bivariat digunakan untuk mendapatkan informasi adanya hubungan antara variabel independen karakteristik (umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, tingkat penghasilan dan lama kerja) dan motivasi (insentif, kebutuhan dan keberhasilan) bidan praktek dengan variabel dependen (pemberian susu formula). Hubungan ini diidentifikasi dengan melihat p-value, bila p-value < 0,05 maka disimpulkan ada hubungan variabel independen dengan variabel dependen. Analisis bivariat juga dimaksudkan untuk melihat variabel-variabel yang potensial dimasukkan kedalam analisa multivariat (uji regresi logistik), yaitu variabel-variabel yang mempunyai p value < 0,25. Analisa multivariat untuk mengetahui pengaruh variabel independen yang mempunyai hubungan signifikan pada analisa bivariat (Chi

Square Test) secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Dan untuk

mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap pemberian susu formula digunakan uji regresi logistik.


(39)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bidan yang memiliki klinik/rumah bersalin di 5 (lima) kecamatan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan yaitu Kecamatan Johor, Medan Denai, Medan Amplas, Medan Tembung, dan Medan Polonia.

Secara keseluruhan Dinas Kesehatan Kota Medan memiliki 403 klinik /rumah bersalin. Penelitian ini dilakukan di 45 klinik/rumah bersalin yang ada di Kota Medan dengan jumlah sampel sebanyak 120 responden.

4.2. Analisis Univariat

4.2.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi karakteristik responden dan motivasi bidan terhadap pemberian susu formula, dapat diuraikan sebagai berikut

Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah bidan yang memiliki praktek klinik atau rumah bersalin di lima kecamatan wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan, jumlah responden sebanyak 120 orang. Untuk memperoleh gambaran karakteristik


(40)

responden yang meliputi umur, pendidikan, penghasilan, lama karja, pengetahuan dan sikap.

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Bidan di Klinik Bersalin Kota Medan Tahun 2007

No Variabel Jumlah

Frekuensi Persen

1. Umur

26 – 31 tahun 14 11,7

32 – 37 tahun 49 40,8

38 – 43 tahun 57 47,5

Total 120 100%

2. Pendidikan

D - III / D-IV Kebidanan 74 61,7

D - I Kebidanan 46 38,3

Total 120 100%

3. Penghasilan

Rendah 41 34,2

Tinggi 79 65,8

Total 120 100%

4. Lama Kerja

4 - 8 tahun 73 60,8

9 - 13 tahun 36 30,0

14 - 18 tahun 11 9,2

Total 120 100%

5. Pengetahuan

Tidak baik 17 14,2

Baik 103 85,8

Total 120 100%

6. Sikap

Tidak setuju 38 31,7

Setuju 82 68,3


(41)

Distribusi responden berdasarkan umur dibagi dalam 3 kelompok umur yaitu kelompok umur 26 – 31 tahun, kelompok umur 32 – 37 tahun dan kelompok umur 38 – 43 tahun. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas responden yaitu 57 orang (47,5%) berusia antara 38 – 43 tahun (Tabel 4.1).

Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dikategorikan pada 2 tingkatan yaitu pendidikan D-I Kebidanan dan D-III Kebidanan/D-IV Kebidanan. Dari tabel di atas diketahui bahwa mayoritas responden mempunyai tingkat pendidikan D-III Kebidanan yaitu 74 orang (61,7%).

Distribusi responden berdasarkan penghasilan dibagi dalam 2 kategori, dari tabel di atas diperoleh data bahwa mayoritas responden mempunyai tingkat penghasilan tinggi yaitu 79 orang (65,8%).

Distribusi responden berdasarkan lama kerja dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu dengan lama kerja 4 – 8 tahun, 9 – 13 tahun dan 14 – 18 tahun. Dari tabel di atas diketahui bahwa mayoritas responden sudah bekerja antara 4 – 8 tahun yaitu 73 orang (60,8%).

Distribusi responden berdasarkan pengetahuan dibagi menjadi 2 kategori yaitu buruk dan baik, dari tabel di atas diperoleh data bahwa mayoritas pengetahuan responden tentang ASI eksklusif dan susu formula dapat dikatakan sudah baik yaitu 103 responden (85,8%).

Distribusi responden berdasarkan sikap dibedakan dalam 2 kategori yaitu tidak setuju dan setuju, berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dari 120 responden


(42)

terdapat 82 orang (68,3%) yang memiliki sikap setuju terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

4.2.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Untuk melihat distribusi motivasi yang meliputi antara lain: insentif, kebutuhan dan keberhasilan terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini:

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Bidan di Klinik Bersalin Kota Medan Tahun 2007

No Variabel Jumlah

Frekuensi Persen

1. Insentif

Tidak cukup 64 53,3

Cukup 56 46,7

Total 120 100%

2. Kebutuhan

Tidak ada 72 60,0

Ada 48 40,0

Total 120 100%

3. Keberhasilan

Tidak ada 35 29,2

Ada 85 70,8

Total 120 100%

Distribusi responden berdasarkan faktor insentif diperoleh data bahwa responden yang berpendapat tidak cukup menerima insentif menjawab cukup terdapat 64 orang (53,3%) dan 56 (46,7%) responden menyatakan cukup.


(43)

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pemberian susu formula bukan merupakan kebutuhan yaitu 72 orang (60,0%) dan yang berpendapat bahwa pemberian susu formula merupakan kebutuhan ada 48 orang (40,0%).

Untuk faktor keberhasilan dalam pemberian susu formula yang menyatakan

tidak ada keberhasilan 35 orang (29,2%) dan yang menyatakan bahwa ada keberhasilan dalam pemberian susu formula terdapat 85 orang (70,8%).

4.3. Analisis Bivariat

4.3.1. Pengaruh Karakteristik Bidan terhadap Tindakan Bidan dalam Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Tabel 4.3. Pengaruh Umur Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Pemberian Susu Formula

Ya Tidak Total

No. Umur

n % n % n %

p value

1. 26 – 31 tahun 7 50,0 7 50,0 14 100

2. 32 – 37 tahun 25 51,0 24 49,0 49 100

3. 38 – 43 tahun 30 50,9 27 49,1 58 100

0,978

Jumlah 62 51,7 58 48,3 120 100

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa 50,9% (30 orang), responden yang berumur 38 – 43 tahun memberikan susu formula pada bayi baru lahir, umur 32 – 37 tahun sebanyak 25 orang (51,0%) dan dari kelompok umur 26 – 31 tahun terdapat 7 orang (50,0%).


(44)

Dari hasil chi square, p value = 0,978, hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur bidan dengan pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

Tabel 4.4. Pengaruh Pendidikan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Pemberian Susu Formula

Ya Tidak Total

No. Tingkat

pendidikan n % n % n %

p value

1. DI 39 52,7 35 47,3 74 100

2. DIII / DIV 23 50,0 23 50,0 46 100

0,920

Jumlah 62 51,7 58 51,7 120 100

Dalam Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa 52,7% (29 orang) responden dengan tingkat pendidikan D-1 Kebidanan memberikan susu formula pada bayi baru lahir, untuk tingkat pendidikan D-III/ D-IV kebidanan sebanyak 23 orang (50,0%).

Dari hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa nilai value 0,920, hal ini berarti, namun tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan bidan dengan pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

Tabel 4.5. Pengaruh Lama Kerja Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Pemberian Susu Formula

Ya Tidak Total

No. Lama Kerja

n % n % n %

p value

1. 4 - 8 tahun 37 50,7 36 49,3 73 100

2. 9 - 13 tahun 20 55,5 16 44,4 36 100

3. 14 - 18 tahun 5 45,5 6 54,5 11 100

0,812


(45)

Faktor lama kerja responden dalam Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa 50,7% (37 orang) dengan lama kerja 4 – 8 tahun, memberikan susu formula pada bayi baru lahir, lama kerja 9 – 13 tahun sebanyak 20 orang (55,5%) dan dari rentang waktu lama kerja 14 – 18 tahun terdapat 5 orang (45,5%).

Dari analisa dengan hasil uji chi square, p value = 0,812, hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama karja dengan pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

Tabel 4.6. Pengaruh Penghasilan Bidan terhadap Pemberian Formula pada Bayi Baru Lahir

Pemberian Susu Formula

Ya Tidak Total

No. Penghasilan

n % n % n %

p value

1. Rendah 22 53,7 19 46,3 41 100

2. Tinggi 40 50,6 39 49,4 79 100

0,903

Jumlah 62 51,7 58 48,3 120 100

Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa 53,7% (22 orang) yang berpenghasilan rendah memberikan susu formula pada bayi baru lahir, untuk responden dengan penghasilan tinggi terdapat 40 orang (50,6%).

Pengaruh penghasilan bidan dari hasil uji chi square dengan p value 0,903. Angka ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur bidan dengan memberikan susu formula pada bayi baru lahir.


(46)

Tabel 4.7. Pengaruh Pengetahuan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Pemberian Susu Formula Ya Tidak Total No. Pengetahuan

n % n % n %

p value

1. Buruk 14 82,4 3 17,6 17 100

2. Baik 48 46,6 55 53,4 103 100 0,013

Jumlah 62 51,7 58 48,3 120 100

Pengaruh pengetahuan bidan dengan pemberian susu formula menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan buruk sebanyak 14 orang (82,4%) dalam pemberian susu formula pada bayi baru lahir dan responden dengan pengetahuan baik terdapat 48 orang (46,6%)

Dari hasil uji chi square, p value = 0,013, hal ini bermakna bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan bidan dengan pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

Tabel 4.8. Pengaruh Sikap Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Pemberian Susu Formula Ya Tidak Total No. Sikap

n % n % n %

p value

1. Tidak setuju 32 84,2 6 15,8 38 100

2. Setuju 30 36,6 52 63,4 82 100

0,000

Jumlah 62 51,7 58 48,3 120 100

Tabel 4.8 menggambarkan bahwa responden 32 orang (84,2%) yang memiliki sikap tidak setuju dengan pemberian susu formula untuk bayi baru lahir, sedangkan responden dengan sikap setuju sebanyak 30 orang (36,6%)


(47)

Hasil uji dengan chi square menunjukkan bahwa nilai p value 0,000 hal ini berarti ada hubungan yang sangat signifikan antara sikap bidan dengan pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

4.3.2. Pengaruh Motivasi Bidan terhadap Tindakan Bidan dalam Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Tabel 4.9. Pengaruh Insentif Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Pemberian Susu Formula Ya Tidak Total No. Insentif

n % n % n %

p value

1. Tidak Cukup 15 23,4 49 76,6 64 100

2. Cukup 47 83,9 9 16,1 56 100

0,000

Jumlah 62 51,7 58 48,3 120 100

Dari Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa 23,4% (15 orang), responden yang menerima insentif tidak cukup terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir, sedangkan responden yang cukup menerima insentif sebanyak 47 orang (83,9%).

Dari hasil analisa dengan hasil uji chi square p value = 0,000 hal ini berarti ada hubungan yang sangat signifikan antara insentif dengan pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

Tabel 4.10. Pengaruh Kebutuhan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Pemberian Susu Formula Ya Tidak Total No. Kebutuhan

n % n % n %

p value

1. Tidak ada 45 62,5 27 37,5 72 100

2. Ada 17 35,4 31 64,6 48 100

0,006


(48)

Untuk faktor kebutuhan dari Tabel 4.10 dapat dilihat bahwa 62,5% (45 orang) dengan responden tidak ada kebutuhan dalam pemberian susu formula terhadap bayi baru lahir, dan 17 orang (35,4%) berpendapat ada kebutuhan terhadap pemberian susu formula.

Hasil uji dari chi square p value = 0,006 hal ini bermakna, bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebutuhan bidan dengan pemberian susu formula pada bayi baru lahir.

Tabel 4.11. Pengaruh Keberhasilan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Pemberian Susu Formula Ya Tidak Total No. Keberhasilan

n % n % n %

p value

1. Tidak ada 12 34,3 23 65,7 35 100

2. Ada 50 58,8 35 41,2 85 100 0,025

Jumlah 62 51,7 58 48,3 120 100

Untuk keberhasilan dari Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa 34,3% (12 orang) dengan responden tidak ada keberhasilan dalam pemberian susu formula terhadap bayi baru lahir, sedangkan 50 orang (58,8%) berpendapat ada keberhasilan terhadap pemberian susu formula.

Hasil uji dari chi square p value = 0,025 hal ini berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kebutuhan bidan dengan pemberian susu formula pada bayi baru lahir.


(49)

4.4. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berpengaruh terhadap pemberian susu formula oleh bidan. Karena variabel dependen dikotom (ya dan tidak), maka uji statistik yang digunakan adalah

Regresi Logistik.

Tabel 4.12. Hasil Analisis Multivariat Pengaruh Karakteristik dan Motivasi Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir No Variabel B p value Adjusted

OR

95% CL

1. Pengetahuan 2,017 0,011 7,515 1,597-35,369

2. Sikap 1,866 0,002 6,463 2,036-20,515

3. Insentif -2,600 0,000 0,074 0,027-0,204

Constant -3,297 0,093 0,037

Dari hasil uji Regresi Logistik di atas dapat dilihat bahwa ada 3 variabel independen yang paling berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu variabel pengetahuan (0,011) sikap (0,002) dan variabel insentif (0,000). Hal ini berarti nilai p variabel-variabel tersebut tersebut lebih kecil dari 0,05 yang berarti variabel pengetahuan sikap dan insentif paling mempengaruhi dan yang paling dominan diantara ketiga variabel adalah variabel insentif (Tabel 4.12).


(50)

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Bidan

Karakteristik bidan dinilai berdasarkan pengumpulan data terhadap bidan yang membuka lahan praktek di bawah wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan. Variabel karakteristik bidan dalam penelitian ini dijabarkan berdasarkan sub variabel sebagai berikut: umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, penghasilan, dan lama kerja.

Data yang dikumpulkan dari hasil wawancara untuk karakteristik bidan dilihat dari distribusi umur, dapat dikatakan bahwa persentase usia responden tertinggi berada usia 38 – 43 tahun sekitar 47,5%, usia ini merupakan usia yang sangat produktif dan berpotensi dalam mengembangkan klinik yang dikelolanya.

Untuk pendidikan responden rata-rata menamatkan sekolah D-I Kebidanan yaitu 74 responden sekitar 61,7%. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pemahaman tentang pemberian ASI eksklusif sudah cukup baik karena sudah termasuk dalam kurikulum materi perkuliahan.

Untuk penghasilan dari responden secara umum menunjukkan bahwa tingkat penghasilan dikatakan sudah cukup mapan yaitu 79 responden dengan persentase 60,8%, variabel ini tidak berpengaruh terhadap tindakan bidan dalam memberikan susu formula kepada bayi baru lahir. Ini menunjukkan bahwa tingkat penghasilan


(51)

yang tinggi responden tidak memiliki kecenderungan dalam tindakan pemberian susu formula.

Lama kerja responden 4 – 8 tahun sekitar 60,8% dalam menolong persalinan, dengan rentang waktu tersebut, responden dalam perawatan bayi diharapkan dapat menginformasikan tentang ASI eksklusif yang baik, dan idealnya responden harus selalu memberikan arti dan pentingnya pemberian ASI eksklusif tersebut kepada bayi baru lahir, sehingga ibu dapat mengerti dengan baik tentang manajemen laktasi seperti masa segera setelah lahir, masa neonatal dan masa post neonatal.

Untuk pengetahuan responden dapat dikatakan sangat baik yaitu 85,8% dalam pemberian ASI eksklusif, hal ini terkait dengan pendidikan dan lama kerja, melihat keterkaitan ini sudah selayaknya sebenarnya seorang bidan lebih mengutamakan ASI eksklusif dari pada pemberian susu formula pada bayi baru lahir tersebut. Pandangan ini sesuai yang diungkapkan oleh Notoatmodjo (1993) bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya sikap dan tindakan seseorang. Tindakan yang didasari dengan pengetahuan, sifatnya lebih lestari dan tertanam baik pada diri seseorang. Begitu pula dalam pemilihan memberikan ASI eksklusif atau pemberian susu formula tersebut.

Sikap dari responden dapat dikatakan buruk karena dari hasil distribusi dilihat 68,3% menyatakan setuju memberikan susu fomula dari pada ASI eksklusif dengan berbagai alasan seperti pelayanan/service, sudah langganan dengan produsen susu, air susu ibu belum keluar, supaya ibu lebih tenang setelah melahirkan dan dari ibunya sendiri yang tidak mau menyusukan anaknya. Sikap responden ini sangat berbeda


(52)

jauh dengan pengetahuan responden, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang baik tidak menjamin sikap yang baik pula.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Warnen dan Fleur dalam Azwar (2005) menyatakan bahwa sikap verbal merupakan petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksi apa yang akan dilakukan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu objek sikap.

Dari hasil pengamatan penulis, diketahui bahwa hampir rata-rata bidan menunjukkan sikap yang positif terhadap pemberian susu formula, hal ini penulis amati pada saat bayi baru lahir, bayi langsung dipisahkan dari ibunya dan ditempatkan diruangan bayi khusus, saat bayi menangis si bidan langsung membuatkan dan memberikan susu formula dan berlangsung 1 sampai 3 hari dan ketika si ibu hendak pulangpun dibawakan sampel susu kaleng atau oleh-oleh susu formula secara gratis.

Kenyataan ini sangat bertentangan dengan pendapat Roesli (2000) yang menyatakan bahwa bayi normal langsung diletakkan di dada ibunya minimal 30 menit, pada usia 20 menit dia akan merangkak sendiri ke payudara ibunya. Pada usia 50 menit, dengan susah payah merangkak, dia akan menemukan puting susu ibunya dan menyusu, inilah yang disebut dengan inisiasi dini.


(53)

5.2. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Bidan

Untuk distribusi responden berdasarkan motivasi bidan, variabel motivasi diteliti berdasarkan variabel insentif, kebutuhan, keberhasilan.

Dalam variabel insentif distribusi responden diperoleh data bahwa bidan dalam menjawab cukup dalam menerima insentif terdapat 64 responden (53,3%) dan 56 (46,7%) responden menyatakan tidak cukup. Dengan demikian insentif yang diterima oleh bidan dari produsen susu formula memberikan dampak yang negatif dalam pemberian ASI eksklusif.

Mayoritas responden menjawab tidak ada kebutuhan dalam pemberian susu formula sebanyak 72 responden (60,0%), dan responden menjawab ada sebesar 48 orang (40,0%). Pemberian susu formula ini dapat dikatakan sebagai kebutuhan oleh bidan, apabila ASI eksklusif tidak keluar atau tidak cukup, maka solusinya bayi diberikan susu formula. Jadi hal yang wajar bila si bidan selalu menyediakan susu formula di kliniknya.

Untuk variabel keberhasilan dari 120 responden, maka dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 35 responden (29,2%) menyatakan tidak ada keberhasilan, sedangkan responden yang menjawab ada keberhasilan terhadap pemberian susu formula hanya 85 responden (70,8%). Untuk variabel keberhasilan ini dapat dikatakan bahwa setelah bidan memberikan susu formula gratis, berdampak pada perkembangan kliniknya, walaupun tidak sepenuhnya keberhasilan ini karena hal tersebut.


(54)

5.3. Pengaruh Karakteristik Bidan dengan Tindakan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Untuk karakteristik bidan dari seluruh variabel umur, pendidikan, pengetahuan sikap, lama kerja dan pendapatan, maka variabel sikap mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir, yang berdampak pada rendahnya tingkat persentase pemberian ASI eksklusif (0 – 6 bulan) dengan hasil uji Regresi Logistik nilai p 0,002.

Menurut penulis, dalam hal ini terjadi pergeseran pola perilaku bidan dari pemberian ASI eksklusif ke susu formula, kenyataan ini tidak terlepas dari tanggung jawab petugas kesehatan, orang tua dan masyarakat, dan kini ditambah lagi semakin gencarnya promosi yang dilakukan produsen susu formula, apalagi promosi ini tidak hanya melalui iklan di media cetak maupun elektronik tetapi juga secara langsung melalui bidan.

Di lokasi penelitian penulis melihat selain bidan tidak mendorong si ibu memberikan ASI eksklusif, terkadang banyak orang tua merasa ASInya masih sedikit, sehingga banyak yang segera memberikan susu formula, padahal pemberian susu formula itu justru akan menyebabkan ASI semakin tidak lancar, anak relatif malas menyusu atau malah bingung puting terutama pemberian susu formula dengan dot. Begitu bayi diberikan susu formula, maka saat ia menyusu pada ibunya akan kekenyangan, sehingga volume ASI makin berkurang, makin sering susu formula diberikan makin sedikit ASI yang diproduksi.


(55)

Ibu yang melahirkan normal di klinik bersalin menjadi pasar utama dalam pemberian susu formula, selain biayanya lebih murah dibandingkan rumah sakit atau puskesmas juga si pasien merasa pelayanan di klinik lebih maksimal, sehingga hal ini juga yang mendorong para produsen susu mempromosikan susu formula untuk bayi baru lahir.

5.4. Pengaruh Motivasi Bidan dengan Tindakan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir

Untuk pengaruh motivasi bidan, maka variabel yang berhubungan signifikan ada yaitu variabel insentif terhadap pemberian susu formula kepada bayi baru lahir dengan hasil uji Regresi Logistik dengan nilai p0,000.

Insentif yang diterima bidan dalam pemberian susu formula kepada pasien mendapatkan bonus dari produsen susu dalam berbagai bentuk, hal ini sangat mendorong bidan untuk melakukan tindakan pemberian susu formula, ini sesuai dengan pandangan dari Wexley (1998) yang menyatakan bahwa program insentif yang menggunakan bonus dapat mengkokohkan ketergantungan yang lebih kuat dan adanya keterkaitan yang erat antara pelaksanaan individu dengan insentif tersebut.

Pengamatan penulis di lapangan menunjukkan bahwa pemberian insentif oleh produsen susu formula kepada bidan memberikan dampak yang negatif dalam pemberian ASI eksklusif, produsen susu formula setiap kali datang ke klinik bukan hanya membawa susu formula saja, tetapi ada hal lain yang menarik diberikan kepada bidan seperti souvernir cantik, memasang poster dan kalender, hal ini jelas melanggar


(56)

Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu (PASI) maupun peraturan pemerintah yang berlaku, masalahnya hingga kini hampir tidak ada tindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Ikatan Bidan Indonesia yang memiliki Kode Etik Bidan Indonesia disusun atas dasar penekanan keselamatan di atas kepentingan lainnya. Terwujudnya kode etik ini merupakan bentuk kesadaran dan kesungguhan hati setiap bidan untuk memberi pelayanan kesehatan secara profesional dan sebagai anggota tim kesehatan demi tercapainya cita-cita pembangunan nasional di bidang kesehatan umumnya, KIA/KB, dan kesehatan keluarga pada khususnya.


(57)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Tindakan bidan dalam pemberian susu formula kepada bayi baru lahir,

sebanyak 51,7% menyatakan setuju, dan 48,3% menyatakan tidak setuju. 2. Variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan bidan dalam

pemberian susu formula pada bayi baru lahir adalah variabel pengetahuan dengan nilai p = 0,011 sikap dengan nilai p= 0,002. Sedangkan variabel insentif dengan nilai p = 0,000 artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara pengetahuan, sikap dan insentif terhadap pemberian susu formula.

3. Variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan

pemberian susu formula pada bayi baru lahir yaitu umur, pendidikan, pendapatan, lama kerja, kebutuhan, keberhasilan.

6.2. Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat disarankan:

6.2.1. Seorang bidan sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan program ASI

eksklusif diharapkan dapat meningkatkan dalam memberikan informasi yang jelas tentang ASI eksklusif, dan jika terpaksa memberikan susu formula


(58)

kepada bayi baru lahir, maka sebaiknya kapan dan bagaimana pemberian susu formula tersebut, dan seorang bidan harus berani mengatakan tidak memberikan susu formula dan tidak menerima dalam bentuk apapun yang ditawarkan produsen susu.

6.2.2. Petugas kesehatan diharapkan lebih meningkatkan perannya dalam

memprioritaskan pemberian ASI eksklusif dari pada kebutuhan ekonomi, dan dilarang mencantumkan/menempelkan iklan produk susu formula di praktek klinik/klinik bersalin tersebut.

6.2.3. Dinas Kesehatan Kota Medan, diharapkan lebih berpartisipasi dalam menggalakkan program ASI eksklusif dan memberikan sanksi kepada petugas kesehatan yang lebih mengutamakan pemberian susu formula dari pada ASI eksklusif.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Berg, Alam dan Sayogyo, 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional, Edisi I CV Rajawali, Jakarta.

Catharina Maria Sri Saltati, 1994. Perilaku, Akademi Kebidanan Sint Carolus, Jakarta.

Christine Henderson dan Kathleen Jones, 2006. Konsep Kebidanan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2001. Manajemen Laktasi. Buku Panduan Bagi Bidan dan Petugas Kesehatan di Puskemas, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2002. Progam Save Motherhood di Indonesia. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

_________, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator

Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Depkes RI. Jakarta.

Diah Krisnatuti, Rina Yenrina, 2001. Menyiapkan MakananPendamping ASI, Puspa Swara, Anggota IKAPI, Jakarta.

Hamid, D.E, 1996. Intoleran Susu pada Bayi dan Anak,Majalah Kesehatan Nasional

Medan, Volume 26 No. 4, Desember 1996.

Hasibuan Masrah, 2004. Hubungan Faktor Komitmen Rumah Sakit dan Karakteristik Ibu Bersalin dengan Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan Program ASI Eksklusif, Tesis, Program Pasca Sarjana USU, Medan.

http : / / www . kompas . com . documen / eksklusif % htm. 05 September 2006 Profesi Bidan.com, Jakarta.

http: //www. kompas. com.documen/eksklusif%.htm 25 Oktober 2005. Kalangi, NS, 1994. Kebudayaan dan Kesehatan, Penerbit Meapoint, Jakarta.

Kenneth N. Wexley, 1998. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia, PT. Bina Aksara, Jakarta.


(60)

Koentjoroningrat, 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta. Kristanto, Tri Agung, 2000. ASI Tak Tergantikan Susu Formula. Harian Kompas.

Sabtu 12 Agustus.

Lawrence W. Green dan Marshall W. Kreuter, 2005. Health Program Planning an

Educational and Ecological Approach, Rolling School of Public Health of

Emory University.

Lemeshow, S, Hosmer Jr, D.W, Lwanga, S.K, 1997. Besar Sampel dalam Penelitian

Kesehatan, UGM Press, Yogyakarta.

Mariani, S, 1998. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan, Kanisus, Yogyakarta.

Muchtadi, D, 1986. Gizi untuk Bayi, ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan, Sinar Harapan. Jakarta.

Notoatmodjo, S, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, PT. Rineke Cipta, Jakarta.

________, 2005. Promosi Kesehatan, PT. Rineke Cipta, Jakarta.

________, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, PT. Rineke Cipta, Jakarta.

Penny Van Esterik, 1990. Dibalik Kontroversi Air-Susu Formula, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2005. Pemerintah Propinsi Sumatera

Utara Dinas Kesehatan, Medan.

Purwanto, H, 1999. Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.

Rachmawati dan Rien, 2006. ASI Eksklusif Demi Sang Buah Hati. Harian Kompas,

Jumat 4 Agustus. Jakarta.

Ruslina, 2004. Peranan ASI dalam Upaya Peningkatan Status Gizi Bayi dan Anak

Balita. Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI, Jakarta.

Soekanto, S, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta.


(61)

Tahir, 1984. Lamanya Menyusui dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Analisa Data Moduler 1982-1983. Jakarta.

Utami, Roesli, 2000. Mengenal ASI Eksklusif, PT. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, Jakarta.

Wastidar Musbir, 2001. Bidan Menyongsong Masa Depan, Pengurus Ikatan Bidan Indonesia, Jakarta.


(1)

Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu (PASI) maupun peraturan pemerintah yang berlaku, masalahnya hingga kini hampir tidak ada tindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Ikatan Bidan Indonesia yang memiliki Kode Etik Bidan Indonesia disusun atas dasar penekanan keselamatan di atas kepentingan lainnya. Terwujudnya kode etik ini merupakan bentuk kesadaran dan kesungguhan hati setiap bidan untuk memberi pelayanan kesehatan secara profesional dan sebagai anggota tim kesehatan demi tercapainya cita-cita pembangunan nasional di bidang kesehatan umumnya, KIA/KB, dan kesehatan keluarga pada khususnya.


(2)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Tindakan bidan dalam pemberian susu formula kepada bayi baru lahir, sebanyak 51,7% menyatakan setuju, dan 48,3% menyatakan tidak setuju. 2. Variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan bidan dalam

pemberian susu formula pada bayi baru lahir adalah variabel pengetahuan dengan nilai p = 0,011 sikap dengan nilai p= 0,002. Sedangkan variabel insentif dengan nilai p = 0,000 artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara pengetahuan, sikap dan insentif terhadap pemberian susu formula. 3. Variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan

pemberian susu formula pada bayi baru lahir yaitu umur, pendidikan, pendapatan, lama kerja, kebutuhan, keberhasilan.

6.2. Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat disarankan:

6.2.1. Seorang bidan sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan program ASI eksklusif diharapkan dapat meningkatkan dalam memberikan informasi yang jelas tentang ASI eksklusif, dan jika terpaksa memberikan susu formula


(3)

kepada bayi baru lahir, maka sebaiknya kapan dan bagaimana pemberian susu formula tersebut, dan seorang bidan harus berani mengatakan tidak memberikan susu formula dan tidak menerima dalam bentuk apapun yang ditawarkan produsen susu.

6.2.2. Petugas kesehatan diharapkan lebih meningkatkan perannya dalam memprioritaskan pemberian ASI eksklusif dari pada kebutuhan ekonomi, dan dilarang mencantumkan/menempelkan iklan produk susu formula di praktek klinik/klinik bersalin tersebut.

6.2.3. Dinas Kesehatan Kota Medan, diharapkan lebih berpartisipasi dalam menggalakkan program ASI eksklusif dan memberikan sanksi kepada petugas kesehatan yang lebih mengutamakan pemberian susu formula dari pada ASI eksklusif.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Berg, Alam dan Sayogyo, 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional, Edisi I CV Rajawali, Jakarta.

Catharina Maria Sri Saltati, 1994. Perilaku, Akademi Kebidanan Sint Carolus, Jakarta.

Christine Henderson dan Kathleen Jones, 2006. Konsep Kebidanan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2001. Manajemen Laktasi. Buku Panduan Bagi Bidan dan Petugas Kesehatan di Puskemas, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2002. Progam Save Motherhood di Indonesia. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

_________, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Depkes RI. Jakarta.

Diah Krisnatuti, Rina Yenrina, 2001. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI, Puspa Swara, Anggota IKAPI, Jakarta.

Hamid, D.E, 1996. Intoleran Susu pada Bayi dan Anak, Majalah Kesehatan Nasional Medan, Volume 26 No. 4, Desember 1996.

Hasibuan Masrah, 2004. Hubungan Faktor Komitmen Rumah Sakit dan Karakteristik Ibu Bersalin dengan Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan Program ASI Eksklusif, Tesis, Program Pasca Sarjana USU, Medan.

http : / / www . kompas . com . documen / eksklusif % htm. 05 September 2006 Profesi Bidan.com, Jakarta.

http: //www. kompas. com.documen/eksklusif%.htm 25 Oktober 2005. Kalangi, NS, 1994. Kebudayaan dan Kesehatan, Penerbit Meapoint, Jakarta.

Kenneth N. Wexley, 1998. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia, PT. Bina Aksara, Jakarta.


(5)

Koentjoroningrat, 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta. Kristanto, Tri Agung, 2000. ASI Tak Tergantikan Susu Formula. Harian Kompas.

Sabtu 12 Agustus.

Lawrence W. Green dan Marshall W. Kreuter, 2005. Health Program Planning an Educational and Ecological Approach, Rolling School of Public Health of Emory University.

Lemeshow, S, Hosmer Jr, D.W, Lwanga, S.K, 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan, UGM Press, Yogyakarta.

Mariani, S, 1998. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan, Kanisus, Yogyakarta.

Muchtadi, D, 1986. Gizi untuk Bayi, ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan, Sinar Harapan. Jakarta.

Notoatmodjo, S, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, PT. Rineke Cipta, Jakarta.

________, 2005. Promosi Kesehatan, PT. Rineke Cipta, Jakarta.

________, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, PT. Rineke Cipta, Jakarta.

Penny Van Esterik, 1990. Dibalik Kontroversi Air-Susu Formula, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2005. Pemerintah Propinsi Sumatera Utara Dinas Kesehatan, Medan.

Purwanto, H, 1999. Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan, EGC, Jakarta. Rachmawati dan Rien, 2006. ASI Eksklusif Demi Sang Buah Hati. Harian Kompas,

Jumat 4 Agustus. Jakarta.

Ruslina, 2004. Peranan ASI dalam Upaya Peningkatan Status Gizi Bayi dan Anak Balita. Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI, Jakarta.

Soekanto, S, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta.


(6)

Tahir, 1984. Lamanya Menyusui dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Analisa Data Moduler 1982-1983. Jakarta.

Utami, Roesli, 2000. Mengenal ASI Eksklusif, PT. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, Jakarta.

Wastidar Musbir, 2001. Bidan Menyongsong Masa Depan, Pengurus Ikatan Bidan Indonesia, Jakarta.