Uji Antagonisme Isolat Antijamur Terhadap Fungi Patogen Pengujian Isolat Bakteri Antijamur Potensial Terhadap Isolat Bakteri Kitinolitik Potensial. Uji Patogenitas F. oxysporum

Pada mekanisme pertahanan tanaman terhadap fungi patogen, enzim kitinase tidak hanya mendegradasi dinding sel fungi tetapi juga menghasilkan enzim kitinase. Menurut Oku 1994, peranan kitinase dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen terjadi melalui dua cara, yaitu: 1 menghambat pertumbuhan fungi dengan secara langsung menghidrolisis dinding miselia dan 2 melalui pelepasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi ketahanan sistemik pada inang.

4.4 Uji Antagonisme Isolat Antijamur Terhadap Fungi Patogen

Hasil uji antagonisme 7 isolat bakteri antijamur terhadap fungi G. boninense dan F. oxysporum menunjukkan bahwa ketujuh isolat bakteri antijamur mampu menghambat pertumbuhan G. boninense dan F. oxysporum dengan kemampuan yang bervariasi.. Bentuk zona hambat tersebut berupa cerukan penipisan elevasi yang dapat dilihat pada Gambar 4.4.1 berikut ini: Gambar 4.4.1. Uji antagonis bakteri antijamur a. terhadap F. oxysporum,

b. terhadap G. boninense pada media PDA-YT umur 4 hari

Zona hambat umumnya mulai teramati pada hari keempat dan jarak zona hambat ada yang terus bertambah, sampai hari ketujuh dan ada juga yang semakin berkurang. Hasil dari uji antagonisme ketujuh isolat bakteri antijamur tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.4.1: a b Universitas Sumatera Utara Tabel 4.4.1. Uji antagonisme antara bakteri antijamur dengan G. boninense dan

F. oxysporum

Isolat Bakteri Jamur Zona Hambatan mm hari ke- 4 5 6 7 KM01 G. boninense 5,68 6,97 2,35 0,00 F. oxysporum 3,68 4,42 7,31 10,20 KM02 G. boninense 1,04 1,19 1,23 0,00 F. oxysporum 3,06 4,58 5,67 6,69 KM04 G. boninense 0,51 5,78 10,92 14,19 F. oxysporum 1,33 3,19 6,89 9,71 AW02 G. boninense 3,95 4,40 4,45 4,60 F. oxysporum 0,00 0,00 0,00 0,00 AW08 G. boninense 0,17 0,00 0,00 0,00 F. oxysporum 0,77 0,58 0,00 0,00 AW10 G. boninense 2,87 1,87 0,00 0,00 F. oxysporum 3,45 3,10 0,67 0,00 BS02 G. boninense 0,00 0,27 0,83 0,00 F. oxysporum 0,00 0,00 0,00 0,00 Pada pengamatan hari ketujuh, ketujuh isolat bakteri antijamur tersebut, isolat yang menunjukkan efektivitas paling tinggi dalam menghambat pertumbuhan jamur G. boninense adalah isolat KM04 yaitu sebesar 14,19 mm dan isolat AW02 memiliki efektifitas terendah yaitu sebesar 4,6 mm. Sedangkan kelima isolat lainnya pada pengamatan hari ketujuh tidak lagi menunjukkan zona hambat. Akan tetapi pada pengamatan hari keenam, KM02 dan BS02 masih menujukkan zona hambat yaitu masing-masing sebesar 1,235 mm dan 0,83 mm. Sedangkan isolat lainnya yaitu KM01 dan AW10 memiliki zona hambat yang semakin berkurang setiap hari pengamatan yaitu masing-masing hanya sebesar 2,35 mm dan 1,87 mm. Isolat AW08 tidak memiliki zona hambat setelah hari keempat. Untuk penghambatan F. oxysporum, isolat yang menunjukkan efektifitas paling tinggi adalah isolat KM01 yaitu sebesar 10,2 mm, dan isolat KM02 dengan efektivitas penghambatan terendah dengan zona hambat sebesar 6,695 mm, dan 4 isolat lainnya tidak menunjukkan zona hambat kecuali AW08 pada hari kelima yaitu sebesar 0,58 mm. Variasi besarnya zona hambat pada masing-masing isolat menunjukkan tingkat kemampuan yang berbeda-beda dari masing-masing isolat dalam menghasilkan bahan antimikroba. Ukuran zona hambat kemungkinan dipengaruhi oleh sensivitas organisme yang diuji, suspensi biakan dan jumlah bahan antimikroba yang dihasilkan Universitas Sumatera Utara oleh organisme. Menurut Cappucino Sherman 1996, faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya zona hambat berupa kemampuan difusi bahan antimikroba ke dalam media dan interaksinya dengan mikroba yang diuji, jumlah mikroba yang diujikan, kecepatan tumbuh mikroba uji, dan tingkat sensitifitas mikroba terhadap bahan antimikroba. Beberapa isolat seperti KM01 dan AW10 cenderung tidak memiliki penghambatan lagi pada hari ketujuh, ini mungkin disebabkan karena konsentrasi antimikroba yang dihasilkan tidak lagi mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen pada hari ketujuh. Kemampuan masing-masing isolat bakteri dalam menghambat pertumbuhan jamur G. boninense dan F. oxysporum kemungkinan disebabkan adanya senyawa antimikrobial yang dihasilkan oleh masing-masing bakteri tersebut. Menurut Indratmi 2008, konsentrasi senyawa antimikrobia mempunyai peranan yang penting. Umumnya mikroorganisme target akan mengalami penghambatan pertumbuhan pada konsentrasi senyawa antimikrobia tertentu. Dibawah konsentrasi tertentu senyawa antimikrobia menjadi tidak efektif lagi. Berarti terdapat konsentrasi minimum yang efektif menghambat pertumbuhan suatu organisme. Belum tampaknya efek antagonisme pada pengujian ini diduga senyawa antimikrobia yang dihasilkan konsentrasinya masih terlalu rendah yaitu dibawah konsentrasi minimum yang diperlukan untuk dapat menghambat pertumbuhan miselium jamur. Menurut Irawati 2008, kemampuan masing-masing isolat dalam menghambat pertumbuhan fungi G. boninense, F. oxysporum dan P. citrinum belum tentu merupakan peranan enzim kitinase semata, mungkin ada senyawa antimikrobial lainnya yang dihasilkan oleh isolat yang mampu membantu enzim kitinase dalam mendegradasi dinding sel fungi. Sedangkan menurut Weller et al. 1990, senyawa metabolit yang dihasilkan suatu organisme meliputi antibiotik, enzim litik, senyawa volatile dan zat lainnya yang bersifat toksik. Selain itu menurut Khalimi et al. 2010, Kemampuan suatu agen hayati dalam menekan patogen biasanya melibatkan satu atau beberapa cara mekanisme penghambatan. Mekanisme penghambatan bakteri terhadap patogen adalah antibiotik, toksin, kompetisi ruang dan nutrisi. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya penekanan pada pertumbuhan jamur yang diuji tersebut. Universitas Sumatera Utara

4.5 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal Jamur Patogen Setelah Uji Antagonis.

Pengamatan mikroskopis untuk melihat hifa abnormal Ganoderma boninense dan F. oxysporum dilakukan pada hari kedelapan. Mekanisme antagonis yang terjadi antara bakteri kitinolitik dan antijamur dengan G. boninense dan F. oxysporum memiliki penghambatan hampir sama untuk semua isolat memiliki aktivitas antagonis seperti menghambat pertumbuhan miselium dan penipisan dinding hifa G. boninense dan F. oxysporum. Akibat aktivitas antagonis bakteri kitinolitik menyebabkan hifa G. boninense dan F. oxysporum mengalami pertumbuhan yang abnormal yaitu berupa hifa mengalami lisis, hifa mengalami pembengkokan, hifa menggulung, hifa kerdil, hifa bercabang, hifa melilit dan hifa lisis. Akan tetapi akibat aktivitas antagonis bakteri antijamur terhadap hifa G. boninense dan F. oxysporum mengalami pertumbuhan yang abnormal tidak sebanyak pada aktivitas bakteri kitinolitik, pertumbuhan yang abnormal hanya berupa hifa lisis, hifa membengkak dan hifa keriting. Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa beberapa isolat bakteri kitinolitik dan antijamur berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen pengendali hayati fungi patogen tanaman. Uji pendahuluan yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri kitinolitik menunjukkan bahwa terdapat isolat bakteri kitinolitik yang mampu menghambat pertumbuhan fungi uji. Meski demikian, kemampuan menghambat pertumbuhan fungi uji bervariasi Suryanto et al. 2010. Hal ini menunjukkan bahwa spesifisitas masing-masing bakteri berbeda. Pada Gambar 4.5.1 dapat dilihat perubahan hifa G. boninense dan F. oxysporum yang terjadi akibat interaksi antara isolat bakteri kitinolitik dengan G. boninense dan F. oxysporum. Adanya aktivitas antagonisme yang kuat dari isolat bakteri kitinolitik terhadap G. boninense dan F. oxysporum dengan mekanisme hiperparasitisme dan enzimatik sehingga efektif menghambat pertumbuhan jamur patogen tanaman dengan mendegradasi dinding selnya. Hifa fungi patogen mengalami lisis, pembengkakan, melilit, membengkok dan menggulung. Lisis pada hifa menunjukkan bahwa isolat bakteri kitinolitik mampu menghidrolisis dinding sel G. boninense dan F. oxysporum. Universitas Sumatera Utara Gambar 4.5.1. Bentuk hifa abnormal setelah uji antagonis dengan bakteri kitinolitik a hifa normal

G. boninense, b hifa kerdil, chifa bercabang, d hifa membengkok, e hifa melilit, f hifa normal

F. oxysporum, g hifa melilit dan menggulung, h hifa lisis, i hifa melilit, j hifa menggulung perbesaran 10x40 Hifa fungi patogen yang mengalami pembengkakan dan menggulung diduga sebagai mekanisme pertahanan dari patogen terhadap serangan isolat. Menurut Indratmi 2008 hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan hifa jamur pada daerah di mana jamur patogen ini saling berinteraksi dengan isolat. Kerusakan hifa yang teramati berupa perubahan bentuk malformasi hifa patogen. Hifa patogen menjadi berbentuk spiral dan melengkung-lengkung tidak beraturan dan mengalami pemendekan. Sebagian hifa mengalami kekusutan dan pembengkakan dinding sel. Hifa patogen yang mengalami kerusakan tersebut tidak ditemukan konidia jamur. Isolat antagonis ini mampu menempel kuat pada hifa jamur dan penempelan ini berhubungan dengan produksi β1-3 glucanase yang menyebabkan degradasi sebagian dinding sel hifa. Studi ini juga mendukung bahwa kompetisi nutrisi berperan utama dalam aktifitas biokontrol berbagai isolat antagonis yang lain. Sedangkan pada Gambar 4.5.2 dapat dilihat perubahan hifa G. boninense dan F. oxysporum yang terjadi akibat interaksi antara isolat bakteri antijamur dengan G. boninense dan F. oxysporum. Adanya aktivitas antagonisme yang kuat dari isolat bakteri antijamur terhadap G. boninense dan F. oxysporum dengan mekanisme hiperparasitisme dan antibiotik sehingga efektif menghambat pertumbuhan jamur Universitas Sumatera Utara patogen tanaman dengan mendegradasi dinding selnya. Hifa fungi patogen hanya mengalami lisis, pembengkakan dan keriting. Lisis pada hifa menunjukkan bahwa isolat bakteri antijamur mampu menghidrolisis dan merusak dinding sel G. boninense dan F. oxysporum. Gambar 4.5.2. Bentuk hifa abnormal setelah uji antagonis dengan bakteri antijamur a hifa lisis, b hifa membengkak, chifa membengkak dan lisis, d hifa lisis, e hifa membengkak, fhifa lisis, g hifa normal F. oxysporum, h hifa normal F. oxysporum, i hifa keriting perbesaran 10x40 Perbedaan bentuk hifa abnormal pada uji antagonis bakteri antijamur dengan bakteri kitinolitik kemungkinan karena mekanisme penghambatan isolat bakteri. Bakteri antijamur melakukan penghambatan secara antibiotis sedangkan bakteri kitinolitik secara enzimatis. Menurut Indratmi 2008, kejadian antagonisme dapat terjadi karena adanya interaksi antara struktur luar atau kontak langsung agensia pengendali hayati dengan patogen, maupun antara zat-zat senyawasenyawa yang dihasilkan agensia pengendali hayati berupa metabolit sekunder antimikrobia dengan patogen. Menurut ElGhaouth et al. 2003, penghambatan hifa melalui mekanisme antibiotis menyebabkan kekusutan dan pembengkakan dinding sel hifa hingga sel mengalami kerusakan struktur hifa. Universitas Sumatera Utara

4.6 Pengujian Isolat Bakteri Antijamur Potensial Terhadap Isolat Bakteri Kitinolitik Potensial.

Dua isolat bakteri antijamur yang memiliki daya hambat paling tinggi terhadap F. oxysporum pada uji antagonis sebelumnya diuji kembali dengan dua isolat bakteri kitinolitik yang memiliki daya hambat paling tinggi terhadap F. oxysporum dengan menggunakan metode difusi cakram. Hasil pengujian ini diperoleh bahwa diantara 2 isolat bakteri antijamur dan 2 isolat bakteri kitinolitik tidak memiliki daya hambat keduanya Gambar 4.6.1. Hal ini kemungkinan ini disebabkan bakteri kitinolitik tidak menggunakan enzim kitinase untuk mendegradasi senyawa kitin dalam memperoleh karbon, nitrogen dan energi karena pada bakteri antijamur tidak ada komponen kitin didalamnya. Menurut Giyanto et al. 2009, bakteri kitinolitik merupakan bakteri yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim kitinase yang digunakan untuk mendegradasi senyawa kitin dalam memperoleh karbon, nitrogen dan energi. Kemampuan itu menyebabkan kelompok bakteri kitinolitik berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai agen pengendali hayati terhadap cendawan patogen, nematoda, atau serangga hama karena kitin merupakan komponen struktural dari sebagian besar dinding sel organisme tersebut. a b c d Gambar 4.6.1. Uji antagonisme antar bakteri kitinolitik potensial dan bakteri antijamur potensial. a. KM01, b KM04, c BK13, d BK15 1BK13, 2 BK15, 3 KM01 dan 4 KM04

4.7 Uji Patogenitas F. oxysporum

Dari hasil uji patogenitas F. oxysporum terhadap benih cabai merah diperoleh bahwa F. oxysporum yang diujikan cukup patogen. Persentase rebah kecambahnya mencapai 58,62. Hal ini menunjukkan bahwa F. oxysporum ini bersifat patogen jika berada pada areal penanaman cabai. Menurut Nugraheni 2010, penyakit layu Fusarium 1 3 4 2 Universitas Sumatera Utara yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. Adanya serangan cendawan ini menjadikan salah satu faktor pembatas yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi cabai merah. Gejala yang terjadi pada tanaman cabai merah yang terserang penyakit layu Fusarium adalah menguningnya daun dari tepi daun selanjutnya menjadi coklat dan mati secara perlahan hingga tulang daun. Menguning dan matinya daun-daun dimulai dari daun yang lebih tua. Hal ini disebabkan patogen menginfeksi tanaman melalui luka pada akar dan masuk kedalam jaringan xylem melalui aktivitas air sehingga merusak dan menghambat proses menyebarnya air dan unsur hara keseluruh bagian tanaman terutama pada bagian daun yang tua. Tanaman menjadi terhambat pertumbuhannya, bergerak menjadi layu permanen dan mati dengan daun berwarna coklat melekat pada pangkal batang pohon Semangun 2000. Pada Gambar 4.7.1 di bawah ini dapat dilihat perbedaan kecambah yang sehat dengan kecambah yang terserang layu Fusarium. Gambar 4.7.1. Perbandingan antara kecambah sehat dan kecambah terserang layu Fusarium, 1 kecambah sehat umur 30 hari, 2 kecambah yang terserang layu Fusarium a. daun yang berwarna hijau segar yang masih sehat, b. daun yang telah layu dan c. pangkal batang yang mengecil dan kering terserang layu Fusarium a b c 2 1 a Universitas Sumatera Utara

4.8 Penghambatan Serangan F. oxysporum Pada Benih Cabai Merah

Dokumen yang terkait

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

9 157 125

Uji Efektifitas Jamur Antagonis Trichoderma sp. Dan Gliocladium sp. Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium

23 267 52

Pengelompokan Isolat Fusarium oxysporum f.sp.cubense Dari Beberapa Jenis Pisang (Musa spp.) Serta Uji Antagonisme Fusarium oxyspomm Non Patogenik Dan Trichoderma koningii Di Laboratorium

0 30 85

Potensi Cendawan Endofit Dalam Mengendalikan Fusarium Oxysporum F.SP. Cubense Dan Nematoda Radopholus Similis COBB. Pada Tanaman Pisang Barangan (Musa Paradisiaca) Di Rumah Kaca

0 42 58

Teknik PHT Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum f. sp capsici Schlecht) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum armuum L.) di Dataran Rendah.

0 27 138

Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Layu (Fusarium oxysforum f.sp.capsici) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L) Di Lapangan

3 52 84

Uji Sinergisme F.oxysporum f.sp cubense Dan Nematoda Parasit Tumbuhan Meioidogyne spp. Terhadap Tingkat Keparahan Penyakit Layu Panama Pada Pisang Barangan (Musa sp.) di Rumah Kassa

0 39 72

Uji Efektivitas Pestisida Nabati Terhadap Perkembangan Penyakit Layu Fusarium ( Fusarium oxysporum f.sp cúbense ) Pada Beberapa Varietas Tanaman Pisang ( Musa paradisiaca L. )

2 30 74

Uji Efektifitas Beberapa Fungisida Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum (schlecht.) f.sp lycopersici (sacc.) Synd.ei Hans Pada Tanaman Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill)

4 63 70

Sinergi Antara Nematoda Radopholus similis Dengan Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense Terhadap Laju Serangan Layu Fusarium Pada Beberapa Kultivar Pisang (Musa sp ) Di Lapangan

3 31 95