Kemampuan Bakteri Tanah Dalam Menghambat Pertumbuhan Ganoderma boninense Dan Fusarium oxysporum Secara In Vitro Dan Uji Penghambatan Penyakit Layu Fusarium Pada Benih Cabai Merah

(1)

KEMAMPUAN BAKTERI TANAH DALAM MENGHAMBAT

PERTUMBUHAN Ganoderma boninense DAN Fusarium oxysporum

SECARA In Vitro DAN UJI PENGHAMBATAN PENYAKIT LAYU

Fusarium PADA BENIH CABAI MERAH

SKRIPSI

MUHAMMAD ASRIL

070805006

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

KEMAMPUAN BAKTERI TANAH DALAM MENGHAMBAT

PERTUMBUHAN Ganoderma boninense DAN Fusarium oxysporum SECARA In Vitro DAN UJI PENGHAMBATAN PENYAKIT LAYU Fusarium PADA

BENIH CABAI MERAH

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelas Sarjana Sains

MUHAMMAD ASRIL 070805006

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

PERSETUJUAN

Judul : KEMAMPUAN BAKTERI TANAH DALAM

MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Ganoderma

boninense DAN Fusarium oxysporum SECARA In Vitro

DAN UJI PENGHAMBATAN PENYAKIT LAYU

Fusarium PADA BENIH CABAI MERAH

Kategori : SKRIPSI

Nama : MUHAMMAD ASRIL

Nomor Induk Mahasiswa : 070805006

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Desember 2011 Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP. 1965110 199103 1 002 NIP. 19640409 199403 1 003

Diketahui / Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

KEMAMPUAN BAKTERI TANAH DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN

Ganoderma boninense DAN Fusarium oxysporum SECARA In Vitro DAN UJI PENGHAMBATAN PENYAKIT LAYU Fusarium PADA BENIH CABAI MERAH

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2011

MUHAMMAD ASRIL 070805006


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia-Nya serta shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian yang berjudul “Kemampuan Bakteri Tanah dalam Menghambat Pertumbuhan Ganoderma boninense dan Fusarium oxysporum Secara In Vitro dan Uji Penghambatan Penyakit Layu Fusarium Pada Benih Cabai Merah” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai Dosen pembimbing 1, dan Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku Dosen pembimbing 2. Bapak Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc dan Dra. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc selaku Dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan arahan dalam penulisan hasil penelitian ini. Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc, selaku Dosen Penasehat Akademik. Ketua Departemen Biologi, Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc dan seluruh staff pengajar dan pegawai di jurusan Biologi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nurhasni Muluk selaku Laboran di Laboratorium Biologi FMIPA USU dan kepada Ibu Roslina Ginting dan Bang Endra Raswin selaku Pegawai Administrasi Program Studi Biologi FMIPA USU.

Ungkapan terima kasih yang tak ternilai harganya penulis ucapkan kepada kepada Ayahanda tercinta Azis Amril serta Ibunda tercinta Yasmarli, terima kasih atas kasih sayang yang tulus yang telah diberikan selama ini. Skripsi ini akan menjadi skripsi pertama yang menghiasi rak buku di rumah kita. Kepada Nenek tersayang Nyak Aloih, juga saudara-saudariku tersayang Kak Zuriana dan adikku Zulham terima kasih untuk doa dukungan dan semangat yang telah kalian berikan. Dan kepada seluruh keluarga besar yang selalu memberikan motivasi dan dukungan tiada henti penulis ucapan terima kasih sebesar-besarnya.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman stambuk 2007 Dwi, Maika, Aini, Riwil, Anti, Desy, Ncay, Ayu, Nia, Irma, Eva, Rysa, Putri, Maria, Tika, Farid, Anggun, Katrina, Ibeth, Sari, Nisa, Eka, Reymond, Natalia, Else, Siti, dan teman yang lain terima kasih untuk pertemanan yang indah sejak awal perkuliahan. Kepada teman seperjuangan Mirza dan Affan terima kasih untuk semangat dan motivasi yang telah diberikan. Kepada rekan-rekan di Laboratorium Mikrobiologi Nila, Resti, Ria, Misfalla, Yanti, Laura, Helmi dan Alex , kakak-kakak stambuk 2006 Kak Ami, kak Nikmah, Kak Ika, Kak Yayan dan Kak Siti dan adik-adik stambuk 2008 Frans, Nina dan Ayu terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan selama ini. Kepada adik-adik stambuk 2009 Bobby, Imam, Siska, Ulan dan Zulfan terima kasih telah memberi kebahagian di saat-saat penulis merasa jenuh dengan berbagai hal. Kakak dan abang S2 Buk Siti, Buk Sari, Buk Mar, Buk Rita, Kak Yuni dan Bang Risky kehadiran kalian memberi warna tersendiri di hati penulis.


(6)

Terima kasih kepada teman-teman kost di Asrama Putra Nanda, Billy, Reyhan, Franheit dan Putra yang begitu banyak membantu dalam penulisan skripsi ini dan atas suka, duka, dan tawa yang telah kita lewati bersama. Semoga semuanya tidak akan lekang oleh waktu. Terima kasih untuk sebuah momen indah kepada rekan-rekan Asisten Laboratorium Biologi Dasar dan Struktur Perkembangan Tumbuhan Rini, Oppy, Pinta, Intan, Eka, Mela dan Ahri terima kasih untuk kebersamaan yang telah diberikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan OSNPTI 2010 Irfan, Gatot, dan Bang Udin terima kasih untuk pertemanan singkat yang indah. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua pihak dan semoga Allah SWT memberikan balasan atas apa yang telah diberikan. Amin ya Rabbal Alamin.

Medan, Desember 2011


(7)

KEMAMPUAN BAKTERI TANAH DALAM MENGHAMBAT

PERTUMBUHAN Ganoderma boninense DAN Fusarium oxysporum SECARA In Vitro DAN UJI PENGHAMBATAN PENYAKIT LAYU Fusarium PADA

BENIH CABAI MERAH

ABSTRAK

Penelitian tentang Kemampuan Bakteri Tanah dalam Menghambat Pertumbuhan

Ganoderma boninense dan Fusarium oxysporum Secara In Vitro dan Uji Penghambatan Penyakit Layu Fusarium Pada Benih Cabai Merah telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi FMIPA USU, Medan dari bulan April 2011 sampai Juli 2011. Dua belas isolat bakteri hasil isolasi yang telah diujikan memiliki kemampuan bervariasi dalam menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum dan G. boninense. Efektivitas paling tinggi isolat kitinolitik dan antijamur dalam menghambat pertumbuhan F. oxysporum masing-masing adalah BK15 dan KM01 dan diameter zona hambat masing-masing 20,45 mm dan 10,2 mm sedangkan efektivitas terendah masing-masing ditunjukkan oleh BK14 dan KM02 dengan diameter zona hambat sebesar 3,98 mm dan 6,69 mm. Untuk penghambatan G. boninense, isolat yang menunjukkan efektivitas paling tinggi adalah BK17 dan KM04 dengan masing-masing diameter zona hambat sebesar 22,74 mm dan 14,19 mm, sedangkan efektivitas terendah ditunjukkan oleh isolat BK14 dan AW02 dengan diameter zona hambat masing-masing sebesar 11,08 mm dan 4,6 mm. Isolat bakteri kitinolitik dan isolat bakteri antijamur yang digunakan sebagai pelapis benih cabai merah melalui perendaman mampu mengurangi persentase rebah kecambah yang disebabkan oleh F. oxysporum. Kombinasi antara BK13 dan KM04 memiliki kemampuan penghambatan tertinggi yaitu 83,33% dan KM04 (33,33%) yang memiliki kemampuan terendah.

Kata kunci: Bakteri antijamur, bakteri kitinolitik, bakteri tanah G. boninense dan layu


(8)

In Vitro ABILITY OF SOIL BACTERIA TO INHIBIT THE GROWTH OF Ganoderma boninense AND Fusarium oxysporum AND INHIBITION ASSAY OF

Fusarium WILT DISEASE OF CHILI SEEDS

ABSTRACT

A study on the in vitro ability of soil bacteria to inhibit the growth of Fusarium oxysporum and Ganoderma boninense and inhibition assay of Fusarium wilt disease of chili seeds has been done in the Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Sumatera Utara, Medan, started from April 2011 to July 2011. Twelve bacterial isolates showed ability to inhibit the growth of F. oxysporum and G. boninense to some extents. The most effective chitinolytic bacteria and antifungal bacteria to inhibit the growth of F. oxysporum was BK15 and KM01 with diameter of inhibition zone by 20.45 mm and 10.2 mm, respectively. Whereas, BK14 and KM04 showed relatively smaller diameter of inhibition by 3.98 mm and 6.69 mm, respectively. The growth of G. boninense was inhibited most effectively by BK17 and KM04 with diameter of inhibition of 22.74 mm and 14.19 mm, while the less effectiveness of the inhibition was showed by BK14 and AW02 with diameter of inhibition of 11.08 mm and 4.6 mm respectively. Chitinolytic bacterial isolates and antifungal bacterial isolates used to cover red pepper seed through soaking enabled to reduce seeds dumping off. The combination of BK13 and KM04 had the highest inhibition to reduce the dumping off by 83,33% and isolates KM04 (33,33%) had the lowest ability.

Keywords: Antifungal bacterial, chitinolytic bacteria, soil bacteria G. boninense and


(9)

DAFTAR ISI Halaman PERSETUJUAN PERNYATAAN PENGHARGAAN ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI i ii iii v vi vii DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN ix x xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 4

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat Penelitian 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Bakteri Penghasil Antijamur 6

2.2 Bakteri Penghasil Enzim Kitinase 7

2.3 Ganoderma boninense

2.4 Fusarium oxysporum

2.6 Pengendalian Hayati Fungi Patogen Tanaman

8 9 12

BAB 3 BAHAN DAN METODE 13

3.1 Waktu dan Tempat 13

3.2 Alat dan Bahan 13

3.3 Sumber Isolat dan Benih Cabai 14

3.4 Isolasi Bakteri Penghasil Antijamur dari Sampel Tanah 14 3.5 Karakterisasi Morfologi dan Identifikasi Bakteri Penghasil

Antijamur

3.6 Penentuan Bakteri Penghasil Enzim Kitinase

14 15 3.7 Uji Antagonis Isolat Bakteri Kitinolitik Terhadap Fusarium

oxysporum dan Ganoderma boninense

3.8 Uji Antagonis Isolat Bakteri Antijamur Terhadap F. oxysporum dan G. boninense

3.9 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal

15 16 16 3.10 Pengujian Isolat Bakteri Antijamur Potensial Terhadap Isolat

Bakteri Kitinolitik Potensial 3.11 Uji Patogenitas F. oxysporum

3.12 Penghambatan Serangan F. oxysporum Pada Benih Cabai

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Isolasi dan Karakterisasi Bakteri penghasil Antijamur 4.2 Hasil Pengujian Bakteri Penghasil Enzim Kitinase

4.3 Uji Antagonisme Isolat Bakteri Kitinolitik Terhadap Fungi

17 17 18 19 19 23


(10)

Patogen

4.4 Uji Antagonisme Isolat Antijamur Terhadap Fungi patogen

4.5 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal Jamur Patogen Setelah Uji Antagonis

4.6 Pengujian Isolat Bakteri Antijamur Potensial Terhadap Isolat Bakteri Kitinolitik Potensial

4.7 Uji Patogenitas F. oxysporum

4.8 Penghambatan Serangan F. oxysporum pada Benih Cabai Merah

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

24 26 29 32 32 34 40 40 40 41 47


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.3.1 Koloni G. boninense pada media PDA umur 5 hari 9 Gambar 2.4.1

Gambar 3.7.1

Koloni F. oxysporum pada media PDA umur 4 hari

Metode pengukuran zona hambat bakteri kitinolitik terhadap koloni jamur

10 15 Gambar 4.1.1 Gambar 4.2.1 Gambar 4.3.1 Gambar 4.4.1

Hasil pewarnaan Gram isolat Isolat bakteri penghasil kitinase Uji antagonisme bakteri kitinolitik

Uji antagonisme bakteri antijamur

22 23 24 26 Gambar 4.5.1 Gambar 4.5.2

Bentuk hifa abnormal setelah uji antagonis dengan bakteri kitinolitik

Bentuk hifa abnormal setelah uji antagonis dengan bakteri antijamur

30

31 Gambar 4.6.1 Uji antagonisme antar bakteri kitinolitik potensial dan

bakteri antijamur potensial 32

Gambar 4.7.1 Perbandingan kecambah sehat umur sehat dengan

kecambah terserang layu Fusarium 33

Gambar 4.8.1 Persentase rebah kecambah yang diinokulasikan

Fusarium dengan perlakuan bakteri antijamur dan

bakteri kitinolitik 34

Gambar 4.8.2 Persentase pengurangan rebah kecambah yang diinokulasikan Fusarium dengan perlakuan bakteri

kitinolitik dan bakteri antijamur 35

Gambar 4.8.3 Gambar 4.8.4

Perbedaan tinggi kecambah yang diinokulai Fusarium

dengan perlakuan uji

Perbedaan berat kering kecambah yang diinokulasi

Fusarium dengan perlakuan bakteri kitinolitik dan antijamur

37


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1.1 Karakter morfologi koloni dan sel, dan sifat biokimia

bakteri yang diisolasi dari tanah Bangka 21 Tabel 4.3.1

Tabel 4.4.1

Uji antagonisme antara bakteri kitinolitik dengan

G. boninense dan F. oxysporum

Uji antagonisme antara bakteri antijamur dengan

G. boninense dan F. oxysporum

25 27


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A Komposisi Medium MGMK Padat Dan Cara

Pembuatannya 47

Lampiran B Pembuatan Koloidal Kitin dengan Cara Hidrolisis

Parsial 48

Lampiran C Penyiapan Media Tanam 48

Lampiran D Data Rata-rata Tinggi Kecambah dari Minggu ke-1

sampai Minggu ke-4 49

Lampiran E Data Berat Kering Kecambah yang diiinokulasi

Fusarium dengan perlakuan bakteri antijamur dan

kitinolitik 49

Lampiran F Hasil Isolasi Bakteri Dari Sampel Tanah Pada Media

PDA-YT Umur 5 Hari. 50

Lampiran G Hasil Uji Biokimia 50

Lampiran H Isolat F. oxysporum 51


(14)

KEMAMPUAN BAKTERI TANAH DALAM MENGHAMBAT

PERTUMBUHAN Ganoderma boninense DAN Fusarium oxysporum SECARA In Vitro DAN UJI PENGHAMBATAN PENYAKIT LAYU Fusarium PADA

BENIH CABAI MERAH

ABSTRAK

Penelitian tentang Kemampuan Bakteri Tanah dalam Menghambat Pertumbuhan

Ganoderma boninense dan Fusarium oxysporum Secara In Vitro dan Uji Penghambatan Penyakit Layu Fusarium Pada Benih Cabai Merah telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi FMIPA USU, Medan dari bulan April 2011 sampai Juli 2011. Dua belas isolat bakteri hasil isolasi yang telah diujikan memiliki kemampuan bervariasi dalam menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum dan G. boninense. Efektivitas paling tinggi isolat kitinolitik dan antijamur dalam menghambat pertumbuhan F. oxysporum masing-masing adalah BK15 dan KM01 dan diameter zona hambat masing-masing 20,45 mm dan 10,2 mm sedangkan efektivitas terendah masing-masing ditunjukkan oleh BK14 dan KM02 dengan diameter zona hambat sebesar 3,98 mm dan 6,69 mm. Untuk penghambatan G. boninense, isolat yang menunjukkan efektivitas paling tinggi adalah BK17 dan KM04 dengan masing-masing diameter zona hambat sebesar 22,74 mm dan 14,19 mm, sedangkan efektivitas terendah ditunjukkan oleh isolat BK14 dan AW02 dengan diameter zona hambat masing-masing sebesar 11,08 mm dan 4,6 mm. Isolat bakteri kitinolitik dan isolat bakteri antijamur yang digunakan sebagai pelapis benih cabai merah melalui perendaman mampu mengurangi persentase rebah kecambah yang disebabkan oleh F. oxysporum. Kombinasi antara BK13 dan KM04 memiliki kemampuan penghambatan tertinggi yaitu 83,33% dan KM04 (33,33%) yang memiliki kemampuan terendah.

Kata kunci: Bakteri antijamur, bakteri kitinolitik, bakteri tanah G. boninense dan layu


(15)

In Vitro ABILITY OF SOIL BACTERIA TO INHIBIT THE GROWTH OF Ganoderma boninense AND Fusarium oxysporum AND INHIBITION ASSAY OF

Fusarium WILT DISEASE OF CHILI SEEDS

ABSTRACT

A study on the in vitro ability of soil bacteria to inhibit the growth of Fusarium oxysporum and Ganoderma boninense and inhibition assay of Fusarium wilt disease of chili seeds has been done in the Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Sumatera Utara, Medan, started from April 2011 to July 2011. Twelve bacterial isolates showed ability to inhibit the growth of F. oxysporum and G. boninense to some extents. The most effective chitinolytic bacteria and antifungal bacteria to inhibit the growth of F. oxysporum was BK15 and KM01 with diameter of inhibition zone by 20.45 mm and 10.2 mm, respectively. Whereas, BK14 and KM04 showed relatively smaller diameter of inhibition by 3.98 mm and 6.69 mm, respectively. The growth of G. boninense was inhibited most effectively by BK17 and KM04 with diameter of inhibition of 22.74 mm and 14.19 mm, while the less effectiveness of the inhibition was showed by BK14 and AW02 with diameter of inhibition of 11.08 mm and 4.6 mm respectively. Chitinolytic bacterial isolates and antifungal bacterial isolates used to cover red pepper seed through soaking enabled to reduce seeds dumping off. The combination of BK13 and KM04 had the highest inhibition to reduce the dumping off by 83,33% and isolates KM04 (33,33%) had the lowest ability.

Keywords: Antifungal bacterial, chitinolytic bacteria, soil bacteria G. boninense and


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sebagai salah satu negara yang memiliki biodiversitas sangat besar, Indonesia menyediakan banyak sumberdaya alam hayati yang tak ternilai harganya, dari bakteri hingga jamur, tumbuhan, dan hewan. Pencarian isolat dan jenis organisme yang potensial untuk digunakan dalam bidang industri, pertanian, dan kesehatan merupakan pekerjaan yang harus terus dilakukan (Suryanto 2009).

Adanya mikroorganisme yang unggul merupakan salah satu faktor penting dalam usaha produksi enzim. Oleh karena itu, penggalian mikroorganisme indigenous penghasil kitinase perlu dilakukan di Indonesia. Keragaman hayati yang tinggi memberikan peluang yang besar untuk mendapatkan mikroorganisme yang potensial untuk dikembangkan sebagai penghasil enzim (Akhdiya 2003). Salah satu enzimnya adalah kitinase. Kitinase adalah enzim yang mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin, degradasi kitin dapat dilakukan oleh organisme kitinolitik dengan melibatkan enzim kitinase (Muharni 2009). Kitinase ini dapat ditemukan dalam berbagai organisme, kitinase dapat dihasilkan oleh bakteri dan jamur yang diperoleh dari berbagai sumber seperti tanah atau perairan dengan cara menumbuhkannya di media yang mengandung kitin koloidal. Aktivitas kitinase secara kualitatif dapat diuji dengan penentuan zona bening disekitar pertumbuhan koloni pada media agar yang mengandung kitin (Herdiyastuti et al. 2009). Organisme pendegradasi kitin umumnya berasal dari kelompok mikroorganisme diantaranya adalah dari kelompok bakteri. Bakteri yang dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik seperti, Vibrio furnissi, Serratia marcescens, Bacillus circulans dan Pseudomonas aeruginosa (Muharni 2009).


(17)

Selain menghasilkan enzim, mikroorganisme juga dapat menghasilkan antijamur seperti antibiotik. Kata antibiotik diberikan pada produk metabolik yang dihasilkan suatu organisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain (Pelczar & Chan 2005). Sampai saat ini telah ditemukan lebih dari 3000 antibiotik, namun hanya sedikit saja yang diproduksi secara komersil. Beberapa antibiotik telah dapat diproduksi dengan kombinasi sintesis mikroorganisme dan modifikasi kimia, antara lain: golongan penisilin, sefalosporin, dihidrostreptomisin klindamisin, tetrasiklin dan rifamisin. Bahkan ada yang telah dibuat secara kimia penuh misalnya: kloramfenikol dan pirolnitrin (Suwandi 1989).

Mikroorganisme penghasil antibiotik dapat diisolasi dari tanah, air laut, lumpur, kompos, limbah domestik, bahan makanan busuk dan lain-lain (Suwandi 1989). Namun kebanyakan mikroba penghasil antibiotik diperoleh dari mikroba tanah terutama streptomises, bakteri dan jamur Tanah merupakan tempat interaksi biologis yang paling dinamis dan mempunyai lima komponen utama yaitu mineral, air, udara, zat organik dan organisme hidup dalam tanah antara lain: bakteri, aktinomisetes, fungi, algae, dan protozoa (Setiadi 1989).

Bakteri- bakteri tanah yang dapat menghasilkan antibiotik diantaranya Serratia plymuthica yang diisolasi dari tanah yang berpotensi sebagai agensia biokontrol yang mampu menekan pertumbuhan jamur Verticillium dahlia (Herdyastuti et al. 2009), selain itu bakteri seperti Pseudomonas (Burkholder et al. 1996; Schnider et al. 1995; Thomashow et al. 1990), Kibdelosporangium aridum, Actinoplanes friuliensis (Müller

et al. 2007), dan Roseobacter clade-affiliated species ( Brinkhoff et al. 2004) dapat menghasilkan antibiotik, namun kebanyakan antibiotik yang dihasilkan bakteri adalah polipeptid yang terbukti kurang stabil, toksik dan sukar dimurnikan (Suwandi 1989).

Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang mikroorganisme penghasil antibiotik. Diantaranya adalah studi biosintesis antibiotik dan aktivitas antibiotik dari jamur Penicillium chrysogenum (Sri et al. 2000), isolasi Actinomycetes dari tanah sawah sebagai penghasil antibiotik (Ambarwati & Gama 2009), fungi penghasil antibiotik dari fungi dermatofita (Kheira et al. 2007), aktivitas antibakteri ekstrak metanol dan fraksi metanol jamur Termitomyces eurrhizus (Milanda et al. 2000).


(18)

Penelitian tentang mikroorganisme kitinolitik juga telah banyak dilakukan diantaranya, keragaman genetik gen penyandi kitinase pada berbagai jenis bakteri dan pemanfaatannya (Suryanto et al. 2006), potensi pemanfaatan isolat kitinolitik lokal untuk pengendalian jamur ( Suryanto & Munir 2006), isolasi bakteri kitinolitik dan uji aktivitas kitinase kasar (Ginting 2006) dan kajian pembiakan bakteri kitinolitik

Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. Pada limbah organik dan formulasinya sebagai pestisida hayati (Giyanto & Rustam 2009). Dengan semakin banyaknya penelitian mengenai mikroorganisme penghasil antibiotik dan enzim kitinase maka ketertarikan di bidang ini semakin meningkat.

Dalam beberapa kasus, mikroba digunakan dalam pengendalian fungi yang mengganggu pertumbuhan berbagai jenis tanaman (Irawati 2008). Beberapa diantaranya adalah Phytium sp. yang menyebabkan busuk benih, busuk akar dan busuk pada tanaman, Ganoderma boninense yang menyebabkan busuk pangkal batang yang sering ditemukan pada tanaman kelapa sawit dan Fusarium oxysporum yang merupakan salah satu fungi patogen penyebab penyakit layu dan rebah kecambah pada cabai (Semangun 2000).

Menurut mempunyai pH rata-rata di bawah 5. Dewanta (2006) dan Irawati (2008) telah meneliti bakteri penghasil enzim kitinase dari tanah Bangka yang berpotensi

menghambat pertumbuhan fungi patogen tanaman yaitu G. boninense dan F. oxysporum. Hasil penelitian menunjukkan adanya kemampuan menghambat jamur.

Pada penelitian ini dilakukan isolasi bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur dari tanah Bangka dan menguji kemampuan hambatan terhadap G. boninense dan F. oxysporum.

Berdasarkan pemaparan di atas, pencarian bakteri penghasil antijamur dan bakteri penghasil enzim kitinase baru dengan kemampuan yang lebih baik harus dilakukan. Salah satunya adalah dengan upaya penelitian dan pengujian lebih lanjut bakteri penghasil antijamur dan penghasil enzim kitinase dari tanah Bangka.


(19)

1.2Permasalahan

Bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur diketahui memberikan manfaat sebagai pengendali penyakit tanaman, tetapi informasi tentang kedua bakteri ini yang berasal dari tanah Bangka masih perlu dikembangkan. Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian dan pengujian terhadap jamur patogen tanaman F. oxysporum dan

G. boninense secara in vitro dan pengujian kombinasi antara bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur untuk menghambat penyakit layu Fusarium

1.3Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui potensi isolat bakteri tanah dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen tanaman F. oxysporum dan G. boninense secara

in vitro.

b. Untuk mengetahui kemampuan kombinasi antara bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur sebagai agen biokontrol F. oxysporum pada benih cabai merah.

1.4Hipotesis

a. Isolat bakteri tanah mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen tanaman

F. oxysporum dan G. boninense secara in vitro.

b. Isolat bakteri tanah mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum


(20)

1.5Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan tentang potensi

isolat bakteri asal tanah Bangka dalam menghambat jamur patogen tanaman

F. oxysporum dan G. boninense.

b. Dapat meningkatkan kualitas benih cabai merah terhadap serangan jamur patogen tanaman khususnya jamur F. oxysporum.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri Penghasil Antijamur

Banyak dari kita menyangka bahwa semua bakteri menyebabkan penyakit. Sesungguhnya hanya sebagian kecil saja yang memiliki potensi patogen, selebihnya dapat dimanfaatkan untuk tujuan kesejahteraan manusia (Suryanto 2008). Padahal tanpa disadari mikroorganisme melakukan banyak hal berguna bagi hidup seperti keterlibatannya dalam siklus biogeokimia, penyedia senyawa tertentu di atmosfer dan tanah. Salah satu nilai penting dari mikroorganisme adalah kemampuannya menghasilkan metabolit sekunder seperti antibiotik. Mikroba di lingkungan sangat beragam dan memiliki banyak aktivitas metabolisme dan produk-produk yang dapat diaplikasikan dibidang industri. Namun, >99% mikroba di lingkungan tersebut tidak dapat dikulturkan di bawah kondisi laboratorium, sehingga banyak potensi-potensi yang belum dapat dimanfaatkan (Singh 2009).

Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah mesofauna tanah (Rao 1994). Organisme hidup dalam tanah antara lain bakteri, fungi, algae, dan protozoa (Suwandi 1989). Selain jamur maupun bakteri ada juga mikroorganisme lain yang dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati, yaitu Actinomycetes yang termasuk dalam dunia bakteri yang dapat memproduksi antibiotik (Sektiono et al. 2010).

Antibiotik merupakan substansi kimia alamiah hasil metabolisme sekunder mikroorganisme, dalam konsentrasi yang rendah mempunyai kemampuan baik menghambat pertumbuhan maupun membunuh mikroorganisme lain (Lay 1994). Antibiotik juga dimanfaatkan untuk bertahan hidup dan menghadapi organisme lain


(22)

yang mengancam keberadaannya. Substansi antibiotik ini menunjukkan aktivitas toksisitas selektif dan mungkin berbeda pada tipa organisme. Antibiotik yang diharapkan ke depan adalah antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan patogen tapi tidak mempengaruhi inangnya (Gale 1960).

Berdasarkan toksisitasnya, antibiotik dibagi dalam 2 kelompok, yaitu antibiotik dengan aktivitas bakteriostatik bersifat menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas bakterisida bersifat membinasakan mikroba lain. Antibiotik tertentu aktivitasnya dapat ditingkatkan dari bakteriostatik menjadi bakterisida bila konsentrasinya ditingkatkan (Suwandi 1989). Diantara semua mikroorganisme penghasil antibiotik ini, bakteri aktinomisetes merupakan mikroorganisme penting karena menghasilkan banyak sekali jenis antibiotik. Trimujoko (2005) telah berhasil mengkoleksi beberapa jenis Actinomycetes yang mampu menghambat patogen tanaman yang bersifat tular tanah (soil born). Hal ini tidak mengherankan karena hampir 2/3 anggotanya diketahui memproduksi antibiotika di dalam tanah dan dapat hidup secara saprofitik di dalam tanah. Meski demikian diperkirakan hanya 1-3% dari semua jenis antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme baru ditemukan (Baltz 2005).

2.2 Bakteri Penghasil Enzim Kitinase

Mikroorganisme kitinolitik adalah mikroorganisme yang dapat mendegradasi kitin dengan menggunakan enzim kitinase. Mikroorganisme ini dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti rizosphere, phyllosphere, tanah atau lingkungan air seperti laut, danau atau limbah udang dan sebagainya. Selain lingkungan mesofil, mikroorganisme kitinolitik juga dapat diisolasi dari lingkungan termofilik seperti sumber air panas, daerah geotermal dan lain-lain (Herdyastuti et al. 2009).

Mikroba kitinolitik dapat ditapis dengan menggunakan medium mengandung kitin. Mikroba diisolasi dari contoh dengan menggunakan medium garam koloidal kitin disesuaikan dengan kondisi lingkungan darimana isolat berasal. Pembentukan halo di sekitar koloni sebagai hasil degradasi kitin (Suryanto & Munir 2006).


(23)

Selain bakteri penghasil antibiotik, bakteri kitinolitik juga berperan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman (Suryanto & Munir 2006). Pada bidang pertanian berfungsi sebagai agen biokontrol terhadap fungsi patogen maupun serangga hama yang umumnya memiliki komponen kitin pada dinding selnya (Muharni 2009). Seperti hasil pengujian daya hambat pertumbuhan beberapa jamur patogen tanaman yang dilakukan oleh Suryanto & Munir (2006) mengindikasikan kemampuan menghambat pertumbuhan jamur F. semitectum. Selain itu, enzim kitinase yang dihasilkan oleh mikroorganisme kitinolitik mempunyai potensi tinggi untuk mendegradasi limbah yang mengandung kitin, karena dengan adanya enzim kitinase memungkinkan konversi kitin yang melimpah menjadi produk yang berguna (Akhdiya 2003).

Mengingat pentingnya peranan kitinase dalam industri, maka berbagai usaha akan dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan aktivitasnya antara lain, mencari dan mengembangkan mikroorganisme baru yang memiliki kemampuan memproduksi kitinase serta menseleksi strain mikroorganisme penghasil kitinase yang tinggi (Muharni 2009). Adanya mikroorganisme yang unggul merupakan salah satu faktor penting dalam usaha produksi enzim. Oleh karena itu, penggalian mikroorganisme indigenous penghasil kitinase perlu dilakukan di Indonesia. Keragaman hayati yang tinggi memberikan peluang yang besar untuk mendapatkan mikroorganisme yang potensial untuk dikembangkan sebagai penghasil enzim (Akhdiya 2003).

2.3 Ganoderma boninense

Busuk pangkal batang kelapa sawit disebabkan oleh G. boninense, yang dulu disebut sebagai Fomes lucidus (W. Curt) Fr., Forma boninense Sacc., dan Ganoderma miniatocinctum stey. Busuk pangkal batang (basal stem rot) adalah penyakit terpenting pada perkebunan kelapa sawit dewasa ini termasuk indonesia (Semangun 2000). Penelitian tentang penyakit busuk pangkal batang ini sudah banyak dilakukan salah satunya yaitu Efektivitas introduksi fungi endofit pada bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap pengendalian penyakit G. boninense Pat.


(24)

(Irfan 2009). Cendawan G. boninense merupakan patogen tular tanah yang merupakan parasitik fakultatif dengan kisaran inang yang luas dan mempunyai kemampuan saprofitik yang tinggi (Risanda 2008). Fungi patogen ini biasanya dapat masuk ke dalam badan tumbuhan melalui luka, lubang alami seperti hidatoda atau dengan menembus permukaan tumbuhan yang utuh (Pelczar & Chan 2005).

Gejala yang ditimbulkan karena penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit yaitu pelepah daun tampak layu dan bewarna pucat, selanjutnya daun akan mengalami nekrosis yang dimulai dari bagian daun paling tua hingga menyebar ke bagian daun yang lebih muda. Selanjutnya pelepah daun akan patah dan menggantung. Daun tombak (pupus) yang baru muncul tidak membuka dan berkumpul lebih dari tiga helai. Dalam kondisi serangan yang berat, setelah 6-12 bulan muncul gejala serangan pada daun, pangkal batang menghitam dan keluar getah pada bagian yang terinfeksi sehingga tanaman akan tumbang dan mati (Fauzi et al. 2008).

Miselium G.boninense berwarna putih seperti kapas. Warna koloni permukaan atas putih dan warna koloni permukaan bawah krem hingga kekuningan (Gambar 2.3.1)

Gambar 2.3.1 Koloni G. boninense pada media PDA umur 5 hari

2.4 Fusarium oxysporum

Fusarium oxysporum adalah jamur patogen yang dapat menginfeksi tanaman dengan kisaran inang sangat luas (Mess et al. 1999). Jamur ini menyerang jaringan bagian vaskuler dan mengakibatkan kelayuan pada tanaman inangnya dengan menghambat


(25)

aliran air pada jaringan xylem (De Cal et al. 2000). Cendawan membentuk konidium yang disebut sporodokium yang dibentuk pada permukaan tangkai atau daun sakit pada tingkat yang telah lanjut. Konidiofor bercabang dan rata-rata mempunyai panjang 70 μm. Cabang cabang samping biasanya bersel satu, panjang sampai 14 μm, konidium terbentuk pada ujung cabang utama dan pada cabang samping. Mikrokonidium bersel satu atau dua, hialin, jorong atau agak memanjang, berukuran 5–7 x 2,5-3 μm. Mikronodium berbentuk sabit, bertangkai kecil, kebanyakan bersel 4, berukuran 22–6 x 4–5 μm. klamidospora bersel satu, jorong atau bulat, berukuran 7– 13 x 7–8 μm, terbentuk di tengah hifa atau pada makrokonidium, sering kali berpasangan (Semangun 2000). Pada keadaan yang tidak menguntungkan untuk kelangsungan hidupnya, cendawan ini dapat membentuk klamidospora yang dapat bertahan lama di dalam tanah (Alexopoulus & Mims 1979).

Koloni F. oxysporum pada media Potato Dextrosa Agar yang ditumbuhkan pada suhu 25º C mencapai diameter 3,5-5,0 cm dalam waktu 3 hari. Miselia tampak jarang atau banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat dekat permukaan medium (Gambar 2.4.2). Permukaan bawah berwarna kekuningan hingga keunguan (Gandjar et al. 1999).

Gambar 2.4.1 Koloni F. oxysporum pada media PDA umur 4 hari

Cendawan penyebab penyakit ini hidup di dalam tanah, masuk ke dalam akar melalui lubang-lubang alami atau luka, lambat laun masuk ke bonggol. Dari sini pathogen berkembang sangat cepat menuju batang sampai ke jaringan pembuluh


(26)

sebelum masuk ke batang semu/palsu. Pada tingkat infeksi lanjut miselium akan meluas dari jaringan pembuluh ke parenkhim, selanjutnya patogen membentuk konidia dalam jaringan tanaman dan mikrokonidia dapat terangkut melalui xilem dalam arus transpirasi (Sulyo 1992). Konidia ini dapat berkembang menjadi klamidospora yang dapat kembali masuk ke dalam tanah ketika jaringan yang terinfeksi mati dan membusuk. Klamidospora ini tetap hidup dan bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama di dalam tanah . siklus penyakit akan berulang bila klamidospora ini berkecambah dan tumbuh kembali baik sebagai saprofit atau menyerang tanaman inang (Winarsih 2007), sehingga tanaman inang menjadi layu.

Di Indonesia penyakit layu sudah lama dikenal, tetapi pada umumnya orang menduga bahwa penyakit ini hanya satu macam yaitu yang disebabkan oleh bakteri (Pseudomonas solanacearum). Di negara-negara lain sudah lama dikenal bahwa sebagian dari penyakit layu pada tanaman Solanaceae disebabkan oleh Fusarium

(Semangun 2000). Famili Solanaceae (tomat, kentang, cabai dan tanaman lainnya) diinfeksi oleh jamur yang dapat menyebabkan layu Fusarium dan layu Verticillium.

Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk dalam s Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Penggunaan benih yang unggul dan bermutu tinggi merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan produksi tanaman yang menguntungkan secara ekonomis (Syamsuddin 2003), akan tetapi, bertanam cabai dihadapkan dengan berbagai masalah (resiko), salah satu penyakit yang sering menyerang cabai adalah layu Fusarium. Penyakit ini menghambat pertumbuhan cabai bahkan menyebabkan kematian. Sehingga diperlukan suatu cara untuk mengatasinya. Upaya pengendalian penyakit layu fusarium telah dilakukan namun petani belum menemukan cara pengendalian yang benar-benar efektif dan ramah lingkungan. Peyebaran penyakit layu fusarium yang cepat semakin memperparah keadaan, sehingga penggunaan pestisida sintetis (fungisida) menjadi alternatif terakhir untuk mengendalikan patogen

Fusarium sp. di pertanaman cabai merah. Penggunaan fungisida mengakibatkan patogen menjadi tahan terhadap fungisida, menimbulkan ras Fusarium baru, serta dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Pengendalian patogen Fusarium sp. sebenarnya dapat dilakukan secara alami tanpa harus menimbulkan residu negatif bagi


(27)

lingkungan, yaitu dengan menerapkan metode ketahanan terimbas dan virokontrol dengan mikovirus (Nugraheni 2010).

Menurut Prajnanta (1999), layu Fusarium biasa menyerang pada area penanaman cabai. Gejala awal dari penyakit layu Fusarium adalah pucat tulang-tulang daun, terutama daun-daun atas , kemudian diikuti dengan menggulungnya daun yang lebih tua (epinasti) karena merunduknya tangkai daun, dan akhirnya tanaman menjadi layu keseluruhan (Agrios 1988). Kadang-kadang kelayuan didahului dengan menguningnya daun, terutama daun-daun bawah. Kelayuan dapat terjadi sepihak. Pada tanaman yang masih sangat muda penyakit dapat menyebabkan tanaman mati secara mendadak, karena pada pangkal batang terjadi kerusakan, sedangkan tanaaman dewasa yanag terinfeksi sering dapat bertahan terus dan membentuk buah tetapi hasilnya sanagat sedikit dan kecil-kecil (Semangun 2000).

2.6 Pengendalian Hayati Fungi Patogen Tanaman

Pengendalian jamur patogen tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan agen pengendali hayati. Agen pengendali hayati mikroba lebih aman digunakan karena sedikit kemungkinan merugikan lingkungan dan mempunyai prospek yang baik, sehingga menjadi pilihan alternatif dari penggunaan pestisida (Kobayashi et al. 2002). Kesempatan untuk menemukan agen biokontrol untuk jamur patogen sangat besar, mengingat Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas yang tinggi. Mekanisme penghambatan pertumbuhan oleh agen biokontrol terhadap jamur patogen tanaman dapat melalui antibiotik yang dihasilkannya (Yuliar 2008).

Pengendalian hayati terhadap fungi patogen tanaman telah banyak dilakukan, diantaranya F. oxysporum penyebab penyakit rebah kecambah, layu fusarium pada cabai (Soesanto et al. 2008 ; Suryanto et al. 2010), penghambatan pertumbuhan jamur dari tiga tanaman ekonomi Sumatera Utara oleh bakteri kitinolitik (Suryanto et al.

2010) G. boninense (Wibowo 2008) penyebab penyakit busuk pangkal batang. Masih banyak lagi fungi patogen tanaman yang saat ini belum diketahui jenisnya dan penanggulangannya secara biologis serta ramah lingkungan.


(28)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2011 sampai Juli 2011, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: cawan petri (petridish), nampan plastik ukuran 30 cm x 22 cm x 10 cm, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas beaker, gelas ukur, pipet serologi, karet penghisap, spatula, hockey stick, jarum ose, autoklaf, oven, mikroskop, jangka sorong.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: sampel tanah dari Bangka yang diambil dari 19 titik pengambilan sampel, media Nutrien Agar (NA), Potato Dextrose Agar (PDA), yeast extract, tripton, blank disc (Oxoid) dan ketokonazol, medium garam minimum kitin (MGMK) dengan pH 6,8, aquadest, alkohol 70%, Zat warna pewarnaan Gram, media-media uji Biokimia (Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Simon’s Citrat Agar (SCA), Sulfid Indol Motility (SIM), Glukosa, H2O2 3%, gelatin), aluminium foil, isolat jamur, Fusariumoxysporum dan Ganoderma boninense, yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara. Isolat ditumbuhkan dalam media PDA dan diinkubasi pada suhu 25-30°C selanjutnya disimpan di dalam kulkas hingga saatnya digunakan.


(29)

Sampel tanah diperoleh dari tanah Bangka. Sampel diambil sebanyak 100 g dengan menggunakan sendok steril dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah disterilkan. Sampel dibawa ke laboratorium untuk diisolasi. Sedangkan benih yang digunakan adalah benih cabai merah komersial yang diperoleh dari pasar tradisional di kota Medan.

3.4 Isolasi Bakteri Penghasil Antijamur dari Sampel Tanah

Sampel tanah ditimbang sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dicukupkan volumenya menjadi 10 ml dengan menambahkan akuades steril. Lalu dihomogenkan dengan vortex. Selanjutnya sebanyak 0,1 ml suspensi tanah diinokulasikan pada media PDA + 0,5% yeast extract + 0,5% tripton (PDA-YT) dalam cawan Petri, kemudian diratakan dengan menggunakan hockey stick. Kultur diinkubasi dalam inkubator suhu 30º C selama 4 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari selama masa inkubasi. Isolat bakteri yang memiliki kemampuan menghambat jamur ditunjukkan dengan zona bening di sekitar koloninya. Isolat ini kemudian ditumbuhkan kembali pada media yang sama hingga nanti diperoleh isolat murni.

3.5 Karakterisasi Morfologi dan Identifikasi Bakteri Penghasil Antijamur

Identifikasi bakteri dilakukan berdasarkan ciri-ciri dan karakter morfologis, secara makroskopis (visual) maupun mikroskopis. Karakterisasi dan identifikasi secara visual berdasarkan bentuk, tepi, elevasi dan warna koloni. Isolat-isolat yang diperoleh dilakukan karakterisasi sifat morfologi mencakup pewarnaan Gram, bentuk sel, tepi, elevasi dan warna koloni. Pengamatan sifat biokimia mencakup uji sitrat (SCA), uji katabolisme gula (TSIA), uji hidrolisis pati, uji motilitas (SIM), uji gelatin (nutrien gelatin), dan uji katalase (larutan H2O2 3%).


(30)

Isolat bakteri yang telah diperoleh ditumbuhkan di Medium Garam Mineral Kitin (MGMK) (Suryanto 2001). Isolat bakteri kitinolitik dapat diseleksi dengan kemampuan mendegradasi media agar kitin yang dapat dilihat dengan adanya zona bening di sekitar koloni bakteri (Muharni 2009). Bakteri yang memiliki zona bening dikelompokkan ke dalam bakteri kitinolitik sedangkan yang tidak memiliki zona bening dikelompokkan ke dalam bakteri antijamur.

3.7 Uji Antagonisme Isolat Bakteri Kitinolitik Terhadap F. oxysporum dan G. boninense.

Bakteri kitinolitik diremajakan di media koloidal kitin selama 72 jam pada suhu 30oC. Kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan fungi diuji dengan uji antagonisme in vitro dalam cawan Petri. Biakan fungi ditumbuhkan di tengah media MGMK dengan jarak 3,5 cm dari cakram tempat inokulum bakteri. Biakan tersebut diinkubasi selama 72 jam pada suhu ruang. Selanjutnya suspensi bakteri kitinolitik yang telah dibuat dengan konsentrasi ≈ 10 8 sel/ml (standart McFarland) diinokulasikan pada cakram dengan diameter 0,6 cm di bagian tepi media kitin

sebanyak 10 μl, dibuat 2 kali pengulangan. Biakan diinokulasi pada suhu 30oC.

Akitivitas penghambatan ditentukan berdasarkan zona hambat yang terbentuk di sekitar koloni. Pengamatan dimulai dari hari ke-2 sampai hari ke-7 (Irawati 2008).

Gambar 3.7.1. Metode pengukuran zona hambat bakteri kitinolitik terhadap koloni jamur; A. Koloni jamur; B. Zona hambat bakteri kitinolitik terhadap koloni jamur; C. Titik tengah jamur diletakkan; D. Koloni bakteri kitinolitik; x. Diameter koloni jamur yang terhambat pertumbuhannya; y. Diameter koloni jamur normal (Suryanto 2001)

Pengukuran pertumbuhan fungi patogen dilakukan dengan cara mengukur batas akhir pertumbuhan dari fungi patogen pada sumbu X dan batas akhir


(31)

pertumbuhan fungi patogen pada sumbu Y (lihat skema di atas), dilakukan setelah terjadi penghambatan bakteri kitinase terhadap fungi patogen dengan rumus uji

antagonis antagonis X-Y = hasil (Martorejo, 2001). 2

3.8 Uji Antagonisme Isolat Bakteri Penghasil Antijamur Terhadap F. oxysporum dan G. boninense

Bakteri antijamur diremajakan di media PDA-YT selama 72 jam pada suhu 30oC. Kemampuan bakteri antijamur dalam menghambat pertumbuhan fungi diuji dengan uji antagonisme in vitro dalam cawan Petri. Biakan fungi ditumbuhkan di tengah media PDA-YT dengan jarak 3,5 cm dari cakram tempat inokulum bakteri. Biakan tersebut diinkubasi selama 72 jam pada suhu ruang. Selanjutnya suspensi bakteri penghasil antijamur yang telah dibuat dengan konsentrasi ≈ 10 8 sel/ml (standart McFarland) diinokulasikan pada cakram dengan diameter 0,6 cm di bagian tepi media PDA-YT sebanyak 10 μl. Perlakuan diulangi sebanyak 2 kali. Kemudian diinokulasi pada suhu 30oC. Aktivitas penghambatan ditentukan berdasarkan zona hambat yang terbentuk di sekitar koloni. Pengamatan dimulai dari hari ke-2 sampai hari ke-7.

3.9 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal

Pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengamati ujung miselium pada daerah zona hambat fungi patogen (Wibowo 2008). Ujung miselium fungi patogen yang tumbuh pada permukaan media PDA dipotong berbentuk block square,

kemudian diletakkan pada objek glass. Selanjutnya diamati adanya abnormalitas pertumbuhan miselium fungi patogen, berupa pembengkokan ujung miselium, miselium pecah, miselium berbelah, miselium bercabang, miselium lisis dan miselium tumbuh kerdil (Lorito et al. 1992).

3.10 Pengujian Isolat Bakteri Antijamur Potensial Terhadap Isolat Bakteri Kitinolitik Potensial


(32)

Pengujian isolat bakteri antijamur potensial dengan metode difusi cakram. Dua isolat bakteri kitinolitik yang memiliki diameter zona hambat tertinggi diuji dengan 2 isolat bakteri yang memiliki zona hambat tertinggi pada uji antagonisme diuji kembali. Cakram yang telah diberikan dengan 10 μl suspensi isolat bakteri penghasil antibiotik dengan konsentrasi 108 sel/ml diletakkan di atas sebaran isolat bakteri kitinolitik pada cawan petri, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C. Pengamatan dilakukan dengan pengukuran zona hambat yang terbentuk di sekitar kertas cakram hingga hari keempat inkubasi. Diulangi perlakuan dengan cara bakteri antijamur disebar pada media dan bakteri kitinolitik diteteskan pada cakram uji.

3.11 Uji Patogenitas F. oxysporum

Biakan F. oxysporum yang telah diremajakan di cawan Petri selama 7 hari diinokulasikan pada 100 ml media PDB di dalam labu Erlenmeyer 250 ml dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 10 hari. Sebanyak 100 ml suspensi biakan

F. oxysporum dicampur dengan 500 g campuran tanah dan kompos steril (nisbah 3:1) di dalam nampan plastik berukuran 30 cm x 22 cm x 10 cm. Ke dalam tiap nampan ditanam 30 benih cabai lalu ditutup dengan plastik. Benih yang ditanam pada media yang tidak diinokulasi F. oxysporum digunakan sebagai kontrol. Peubah yang diamati adalah tanaman yang terserang rebah kecambah selama masa persemaian 30 hari. Persentase rebah kecambah dihitung dari jumlah kecambah yang rebah dibagi jumlah seluruh kecambah yang tumbuh (Suryanto et al. 2010).

Reisolasi dilakukan terhadap F. oxysporum dengan memotong jaringan pada pangkal batang kecambah yang menunjukkan gejala rebah kecambah. Jaringan tersebut didesinfeksi dengan larutan 2% NaClO, dicuci dengan air steril sebanyak tiga kali dan ditanam pada media PDA. Isolat yang diperoleh diuji kembali patogenitasnya sesuai dengan postulat Koch (Pelczar & Chan 2005).


(33)

Sebanyak 100 ml suspensi biakan F. oxysporum dicampur dengan 500 g campuran tanah dan kompos steril (nisbah 3:1) dalam nampan plastik berukuran 30 cm x 22 cm x 10 cm. Ke dalam tiap nampan ditanam 30 benih cabai yang telah direndam dengan campuran suspensi bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur selama 30 menit lalu ditutup dengan plastik. Benih yang ditanam pada media yang tidak diinokulasi F. oxysporum digunakan sebagai kontrol. Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali untuk masing-masing perlakuan. Peubah yang diamati adalah tanaman yang terserang rebah kecambah, tinggi tanaman, jumlah daun, dan berat kering kecambah selama persemaian 30 hari. Pengurangan persentase rebah kecambah dihitung dari rumus :

Pengurangan rebah kecambah =

Pengukuran tinggi kecambah dilakukan dengan batas terbawah bagian batang yang tepat pada permukaan tanah, sedangkan batas teratas dihitung hingga ujung daun yang diluruskan ke atas sejajar batang (Sitompul & Guritno 1995). Pengukuran berat kering kecambah dilakukan pada akhir pengamatan melalui penimbangan kecambah yang sudah dikeringkan pada suhu 80oC selama jangka waktu tertentu sampai diperoleh berat kering yang konstan (Sitompul & Guritno 1995).

[{∑ (Kontrol(-)-∑(Kontrol(+)} - ∑ kecambah rebah]


(34)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Isolasi dan Karakter Bakteri Penghasil Antijamur

Hasil isolasi dari 19 titik pengambilan sampel tanah Bangka diperoleh 12 isolat bakteri penghasil antijamur. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap 12 isolat bakteri antijamur tersebut diperoleh karakter yang bervariasi seperti pada Tabel 4.1.1. Dari Tabel 4.1.1 diketahui bahwa 9 isolat yaitu BK 13, BK14, BK 15, BK 17, KM01, KM02, KM04, AW02 dan AW10, berbentuk bulat, sedangkan 3 isolat lainnya yaitu BK16, AW08 dan BS02 berbentuk tak beraturan. Warna koloni juga bervariasi, 1 isolat yaitu BK 17 berwarna putih kekuningan, 3 isolat yaitu BK 13, KM01 dan AW08 berwarna putih bening, dan 8 isolat lainnya yaitu BK 14, BK15, BK 16, KM02, KM04, AW02, AW10 dan BS02 berwarna putih. Beberapa isolat yang merupakan hasil isolasi dapat dilihat pada Gambar 4.1.1. Bentuk sel masing-masing isolat berbentuk kokus kecuali BK13, BK17 dan KM02 berbentuk basil dan BK15 berbentuk basil pendek. Berdasarkan pewarnaan gram, isolat BK 13, BK 14, BK 16, BK 17, dan BS02 termasuk ke dalam Gram positif, sedangkan isolat lainnya yaitu BK 15, KM01, KM02, KM04, AW02, AW08, dan AW10 termasuk ke dalam Gram negatif.

Menurut Lay (1994), pewarnaan Gram merupakan tahap penting dalam pencirian dan identifikasi bakteri. Menurut Hadiotomo (1990), ciri-ciri bakteri gram positif adalah struktur dinding selnya tebal, sekitar 15-80 nm, berlapis tunggal atau monolayer. Dinding selnya mengandung lipid yang lebih normal (1-4%), peptidoglikan ada yang sebagai lapisan tunggal. Komponen utama merupakan lebih dari 50% berat ringan. Mengandung asam tekoat. Bersifat lebih rentan terhadap penisilin. Pertumbuhan dihambat secara nyata oleh zat-zat warna seperti ungu kristal. Komposisi nutrisi yang dibutuhkan lebih rumit. Lebih resisten terhadap gangguan


(35)

fisik., bakteri Gram positif juga dapat menghasilkan bahan-bahan yang menguntungkan. Contohnya, antibiotik yang dihasilkan oleh bakteri dari kelompok Actinomycetes. Antibiotik membunuh bakteri-bakteri Gram positif lainnya dengan cara mencegah bakteri tersebut membentuk protein. Sedangkan Gram negatif berwarna merah karena kompleks tersebut larut sewaktu pemberian larutan pemucat dan kemudian mengambil zat warna kedua yang berwarna merah. Ciri-ciri bakteri gram negatif yaitu Struktur dinding selnya tipis, sekitar 10 – 15 mm, berlapis tiga atau multilayer. Dinding selnya mengandung lemak lebih banyak (11-22%), peptidoglikan terdapat didalam lapisan kaku, sebelah dalam dengan jumlah sedikit ± 10% dari berat kering, tidak mengandung asam tekoat. Kurang rentan terhadap senyawa penisilin. Komposisi nutrisi yang dibutuhkan relatif sederhana. Tidak resisten terhadap gangguan fisik.

Uji biokimia sederhana yang dilakukan meliputi uji motilitas, uji gelatin, uji sitrat, uji katalase, uji hidrogen sulfida dan uji pati. Uji motilitas yang dilakukan menunjukkan bahwa 7 isolat yaitu BK13, BK14, BK15, BK17, AW02, AW10 dan BS02 bersifat motil, sedangkan 5 isolat lainnya yaitu BK16, KM01, KM02, KM04 dan AW08 tidak bersifat motil. Hasil uji sitrat yang ditandai dengan perubahan media dari hijau menjadi biru, mengindikasikan bahwa semua isolat mampu menggunakan mampu menggunakan Na-sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Dari uji katalase dengan penambahan larutan H2O2 3% mengindikasikan bahwa semua isolat tidak memiliki enzim katalase yang ditandai dengan tidak terbentuknya gelembung udara disekitar koloni bakteri. Pada uji gelatinase semua isolat menunjukkan hasil yang negatif yaitu tidak mencairnya media gelatin yang ditumbuhi oleh bakteri setelah dimasukkan ke dalam freezer salama 30 menit. Sedangakan pada uji hidrolisis pati 4 isolat yaitu BK13, KM02, KM04 dan BS02 menunjukkan hasil positif dengan adanya zona bening disekitar koloni yang telah diinkubasi selama 24 jam ketika ditetesi dengan beberapa tetes iodine pada permukaan koloni bakteri. Hal ini menandakan bahwa isolat tersebut mampu menghidrolisis pati dengan menghasilkan enzim amilase.


(36)

Tabel 4.1.1.Karakter morfologi koloni dan sel, dan sifat biokimia bakteri yang diisolasi dari tanah Bangka

Kode Bakteri Bentuk koloni Warna koloni Bentuk Sel Gra

m M o tilit a s Ge la tin S it ra t K at al as

e TS

IA P at i Glu k o sa Sukr o sa L ak tos a K eret a k a E nda pa n h it am

BK13 Bulat Putih

bening Basil + + - + + + - - - - + BK14 Bulat Putih Kokus + + - + + + - - - - - BK15 Bulat Putih Basil

pendek - + - + + + - - - - - BK16 Tak

beraturan Putih Kokus + - - + + + - - - + - BK17 Bulat

Putih kekuninga

n

Basil + + - + + + - - - + - KM01 Bulat Putih

bening Kokus - - - + + + - - - + - KM02 Bulat Putih Basil - - - + + + - - - - + KM04 Bulat Putih Kokus - - - + + + - - - + + AW02 Bulat Putih Kokus - + - + + + - - + + -

AW08 Tak

beraturan

Putih

bening Kokus - - - + + + - - - + - AW10 Bulat Putih Kokus - + - + + - + + + - -

BS02 Tak

beraturan Putih Kokus + + - + + + - - + - + Keterangan: + : positif

- : negatif

TSIA : Triple Sugar Iron Agar

Menurut Lay (1994), katalase adalah enzim yang mengkatalisasikan penguraian hidrogen peroksida menjadi air dan O2. Hidrogen peroksida bersifat toksik terhadap sel karena bahan ini menginaktivasikan enzim dalam sel. Hidrogen peroksida terbentuk sewaktu metabolism aerob, sehingga mikroorganisme yang tumbuh dalam lingkungan aerob harus menguraikan bahan toksik tersebut. Konsentrasi dalam medium pembiakan Triple Sugar Iron Agar adalah 1/10 dari konsentrasi laktosa dan sukrosa. Konsentrasi yang kecil ini dimaksudkan untuk mengetahui bila hanya glukosa saja yang difermentasi, maka hasil fermentasi bagian “slant” karena sedikit, segera teroksidasi sehingga warna indikator tidak berubah. Di bagian “butt” tegangan


(37)

oksigen lebih rendah, sehingga reaksi asam tetap dipertahankan. Pada uji gelatinase dapat diketahui kemampuan mikroorganisme dalam menghidrolisis gelatin dan sifat patogen galur mikroorganisme. Gelatin adalah protein yang diperoleh sewaktu merebus tulang, tulang rawan atau jaringan ikat hewani lainnya. Protein ini bila didinginkan membentuk “gel”. Beberapa mikroorganisme tertentu mampu menguraikan molekul sehingga asam amino yang dihasilkan dapat digunakan sebagai zat hara. Uji positif gelatinase ditandai dengan medium gelatin tetap cair setelah dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama 30 menit.

Gambar 4.1.1. Hasil pewarnaan Gram isolat (a) AW02, (b) BK15, (c) AW10, (d) KM02, (e) BK14, (f) BK13, (g) BK16, (h) AW08, (i) BS02, (j) KM01, (k) BK17 dan (l) KM04 (Perbesaran 100 x 10)

Sedangkan uji positif sitrat ditandai dengan berubahnya medium dari warna hijau menjadi biru karena terjadi penghilangan asam dan peningkatan pH dalam media yang menunjukkan bahwa mikroorganisme mampu menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Sedangkan pada uji hidrolisis pati menunjukkan kemampuan mikroorganisme menghasilkan enzim amilase, Kemampuan mikroorganisme menghasilkan enzim amilase ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni setelah ditambahkan dengan iodine. Zat pati bereaksi secara kimiawi dengan iodine, reaksi ini terlihat sebagai warna biru-kehitaman. Warna biru kehitaman ini terjadi bila molekul yodium masuk ke dalam bagian kosong pada molekul pati yang berbentuk spiral. Proses ini menghasilkan molekul yang dapat mengabsorpsi semua

a b c d

e f

i j

g

k

h


(38)

cahaya, terkecuali warna biru. Bila zat pati telah diuraikan menjadi maltosa dan glukosa, warna biru ini tidak terjadi karena tidak adanya bentuk spiral. Tidak terbentuknya warna menunjukkan adanya hidrolisis pati (Lay 1994).

4.2 Hasil Pengujian Bakteri Penghasil Enzim Kitinase

Kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim kitinase dapat dilihat pada pertumbuhan koloni bakteri yang ditanam pada media yang mengandung kitin. Bakteri yang dapat menghasilkan enzim kitinase dibuktikan dengan adanya zona bening di sekitar koloni bakteri. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, dari 12 isolat yang ditumbuhkan pada media MGMK 5 isolat yaitu BK13, BK14, BK15, BK16 dan BK17 menunjukkan hasil yang positif yaitu adanya zona bening disekitar koloni, yang mengindikasikan bahwa kelima isolat tersebut menghasilkan enzim kitinase (Gambar 4.2.1).

Gambar 4.2.1. Isolat bakteri penghasil kitinase (a) BK13, (b) BK14, (c) BK15, (d) BK16 dan (e) BK17 pada media MGMK selama 3 hari

Menurut Suryanto & Munir (2006), mikroba kitinolitik dapat ditapis dengan menggunakan medium yang mengandung kitin. Koloidal kitin merupakan salah satu substrat yang dapat digunakan untuk menginduksi produksi enzim hidrolitik pada fungi, bakteri dan aktinomisetes.

Menurut Muharni (2009), zona bening terbentuk karena terjadinya pemutusan ikatan β−1, 4 homopolimer N-asetilglukosamin pada kitin oleh kitinase menjadi monomer N-asetilglukosamin. Susi (2002) menyatakan bahwa, besarnya zona bening yang dihasilkan tergantung pada jumlah monomer N-asetilglukosamin yang dihasilkan dari proses hidrolisis kitin dengan memutus ikatan β− 1, 4 homopolimer N-asetilglukosamin. Semakin besar jumlah monomer N-asetilglukosamin yang dihasilkan maka akan semakin besar zona bening yang terbentuk di sekitar koloni.


(39)

4.3 Uji Antagonisme Isolat Bakteri Kitinolitik Terhadap Fungi Patogen

Hasil uji antagonisme 5 isolat bakteri kitinolitik terhadap fungi G. boninense dan F. oxysporum menunjukkan bahwa kelima isolat bakteri kitinolitik mampu menghambat pertumbuhan G. boninense dan F. oxysporum dengan kemampuan yang bervariasi. Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme dapat diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai zona penghambatan pertumbuhan bagi isolat bakteri kitinolitik (Gambar 4.3.1)

Gambar 4.3.1. Uji antagonisme bakteri kitinolitik (a). terhadap G. boninense, (b) terhadap F. oxysporum pada media MGMK umur 4 hari

Zona hambat umumnya mulai teramati pada hari keempat dan jarak zona hambat terus bertambah, sampai hari kedelapan. Bentuk zona hambat tersebut berupa cerukan penipisan elevasi yang dapat dilihat pada Tabel 4.3.1. Efek penghambatan masing-masing isolat bakteri kitinolitik tersebut terhadap fungi G. boninense dan F. oxysporum dipengaruhi oleh keberadaan kitin pada media, sehingga kitinase pada kelima isolat lebih cepat disekresikan. Adanya kitin pada media uji menyebabkan produksi kitinase isolat bakteri tersebut terpacu untuk mendegradasi dinding sel fungi. Ketika kitin yang ada di sekitar koloni sudah terurai maka bakteri kitinase akan mengkolonisasi miselium fungi untuk menguraikan kitin yang ada pada dinding sel fungi. Penguraian kitin pada dinding sel fungi menyebabkan penghambatan bagi pertumbuhan fungi G. boninense dan F. oxysporum. Menurut Muharni (2009) kitin sebagai substrat akan menginduksi aktivitas enzim kitinase. Kitinase merupakan


(40)

enzim yang mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin, degradasi kitin dapat dilakukan oleh organisme kitinolitik dengan melibatkan enzim kitinase.

Tabel 4.3.1. Uji antagonisme antara lima isolat bakteri kitinolitik dengan G. boninense dan F. oxysporum

Isolat

Bakteri Jamur

Zona Hambatan (mm) hari ke-

4 5 6 7 8

BK13 G. boninense 1,24 5,48 9,87 12,56 21,75

F. oxysporum 3,60 5,90 8,20 11,6 18,59

BK14 G. boninense 1,25 2,02 5,34 9,62 11,08

F. oxysporum 0,97 1,50 2,39 2,97 3,98

BK15 G. boninense 0,81 2,27 3,98 7,26 19,06

F. oxysporum 5,13 7,60 8,06 13,21 20,45

BK16 G. boninense 1,56 2,34 5,60 10,83 19,36

F. oxysporum 1,09 2,45 5,03 8,66 11,01

BK17 G. boninense 2,09 4,18 8,53 12,14 22,74

F. oxysporum 4,05 5,18 6,55 9,76 13,27

Pada pengamatan hari kedelapan dari kelima isolat bakteri kitinolitik tersebut, isolat yang menunjukkan efektivitas paling tinggi dalam menghambat pertumbuhan jamur G. boninense adalah isolat BK17 dengan diameter 22,74 mm dan dan isolat dengan efektivitas penghambatan terendah yaitu BK14 dengan zona hambat sebesar 11,08 mm. Untuk penghambatan F. oxysporum, isolat yang menunjukkan efektivitas tertinggi adalah BK15 dengan diameter zona hambat sebesar 20,45 mm, dan isolat dengan efektivitas penghambatan terendah yaitu BK14 dengan zona hambat sebesar 3,98 mm.

Selain kandungan kitin pada media uji, kandungan kitin pada dinding sel fungi juga berpengaruh terhadap besarnya zona hambat isolat pada masing- masing fungi. Menurut Rajaratham et al. (1998) semakin besar kandungan kitin pada dinding sel maka semakin besar zona hambat yang terbentuk. Kitin pada jamur berbentuk mikrofibril yang memiliki panjang yang berbeda tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikrofibril merupakan struktur utama dari dinding sel jamur dan terdiri atas jalinan rantai-rantai polisakarida yang saling bersilangan membentuk anyaman. Jalinan ini kuat berikatan pada matriks. Kandungan kitin pada jamur bervariasi dari 4-9% berat kering sel, tergantung spesies atau strain jamurnya.


(41)

Pada mekanisme pertahanan tanaman terhadap fungi patogen, enzim kitinase tidak hanya mendegradasi dinding sel fungi tetapi juga menghasilkan enzim kitinase. Menurut Oku (1994), peranan kitinase dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen terjadi melalui dua cara, yaitu: (1) menghambat pertumbuhan fungi dengan secara langsung menghidrolisis dinding miselia dan (2) melalui pelepasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi ketahanan sistemik pada inang.

4.4 Uji Antagonisme Isolat Antijamur Terhadap Fungi Patogen

Hasil uji antagonisme 7 isolat bakteri antijamur terhadap fungi G. boninense dan F. oxysporum menunjukkan bahwa ketujuh isolat bakteri antijamur mampu menghambat pertumbuhan G. boninense dan F. oxysporum dengan kemampuan yang bervariasi.. Bentuk zona hambat tersebut berupa cerukan penipisan elevasi yang dapat dilihat pada Gambar 4.4.1 berikut ini:

Gambar 4.4.1. Uji antagonis bakteri antijamur (a). terhadap F. oxysporum, (b). terhadap G. boninense pada media PDA-YT umur 4 hari

Zona hambat umumnya mulai teramati pada hari keempat dan jarak zona hambat ada yang terus bertambah, sampai hari ketujuh dan ada juga yang semakin berkurang. Hasil dari uji antagonisme ketujuh isolat bakteri antijamur tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.4.1:


(42)

Tabel 4.4.1. Uji antagonisme antara bakteri antijamur dengan G. boninense dan F. oxysporum

Isolat

Bakteri Jamur

Zona Hambatan (mm) hari ke-

4 5 6 7

KM01 G. boninense 5,68 6,97 2,35 0,00

F. oxysporum 3,68 4,42 7,31 10,20

KM02 G. boninense 1,04 1,19 1,23 0,00

F. oxysporum 3,06 4,58 5,67 6,69

KM04 G. boninense 0,51 5,78 10,92 14,19

F. oxysporum 1,33 3,19 6,89 9,71

AW02 G. boninense 3,95 4,40 4,45 4,60

F. oxysporum 0,00 0,00 0,00 0,00

AW08 G. boninense 0,17 0,00 0,00 0,00

F. oxysporum 0,77 0,58 0,00 0,00

AW10 G. boninense 2,87 1,87 0,00 0,00

F. oxysporum 3,45 3,10 0,67 0,00

BS02 G. boninense 0,00 0,27 0,83 0,00

F. oxysporum 0,00 0,00 0,00 0,00

Pada pengamatan hari ketujuh, ketujuh isolat bakteri antijamur tersebut, isolat yang menunjukkan efektivitas paling tinggi dalam menghambat pertumbuhan jamur

G. boninense adalah isolat KM04 yaitu sebesar 14,19 mm dan isolat AW02 memiliki efektifitas terendah yaitu sebesar 4,6 mm. Sedangkan kelima isolat lainnya pada pengamatan hari ketujuh tidak lagi menunjukkan zona hambat. Akan tetapi pada pengamatan hari keenam, KM02 dan BS02 masih menujukkan zona hambat yaitu masing-masing sebesar 1,235 mm dan 0,83 mm. Sedangkan isolat lainnya yaitu KM01 dan AW10 memiliki zona hambat yang semakin berkurang setiap hari pengamatan yaitu masing-masing hanya sebesar 2,35 mm dan 1,87 mm. Isolat AW08 tidak memiliki zona hambat setelah hari keempat. Untuk penghambatan F. oxysporum, isolat yang menunjukkan efektifitas paling tinggi adalah isolat KM01 yaitu sebesar 10,2 mm, dan isolat KM02 dengan efektivitas penghambatan terendah dengan zona hambat sebesar 6,695 mm, dan 4 isolat lainnya tidak menunjukkan zona hambat kecuali AW08 pada hari kelima yaitu sebesar 0,58 mm.

Variasi besarnya zona hambat pada masing-masing isolat menunjukkan tingkat kemampuan yang berbeda-beda dari masing-masing isolat dalam menghasilkan bahan antimikroba. Ukuran zona hambat kemungkinan dipengaruhi oleh sensivitas organisme yang diuji, suspensi biakan dan jumlah bahan antimikroba yang dihasilkan


(43)

oleh organisme. Menurut Cappucino & Sherman (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya zona hambat berupa kemampuan difusi bahan antimikroba ke dalam media dan interaksinya dengan mikroba yang diuji, jumlah mikroba yang diujikan, kecepatan tumbuh mikroba uji, dan tingkat sensitifitas mikroba terhadap bahan antimikroba.

Beberapa isolat seperti KM01 dan AW10 cenderung tidak memiliki penghambatan lagi pada hari ketujuh, ini mungkin disebabkan karena konsentrasi antimikroba yang dihasilkan tidak lagi mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen pada hari ketujuh. Kemampuan masing-masing isolat bakteri dalam menghambat pertumbuhan jamur G. boninense dan F. oxysporum kemungkinan disebabkan adanya senyawa antimikrobial yang dihasilkan oleh masing-masing bakteri tersebut. Menurut Indratmi (2008), konsentrasi senyawa antimikrobia mempunyai peranan yang penting. Umumnya mikroorganisme target akan mengalami penghambatan pertumbuhan pada konsentrasi senyawa antimikrobia tertentu. Dibawah konsentrasi tertentu senyawa antimikrobia menjadi tidak efektif lagi. Berarti terdapat konsentrasi minimum yang efektif menghambat pertumbuhan suatu organisme. Belum tampaknya efek antagonisme pada pengujian ini diduga senyawa antimikrobia yang dihasilkan konsentrasinya masih terlalu rendah yaitu dibawah konsentrasi minimum yang diperlukan untuk dapat menghambat pertumbuhan miselium jamur.

Menurut Irawati (2008), kemampuan masing-masing isolat dalam menghambat pertumbuhan fungi G. boninense, F. oxysporum dan P. citrinum belum tentu merupakan peranan enzim kitinase semata, mungkin ada senyawa antimikrobial lainnya yang dihasilkan oleh isolat yang mampu membantu enzim kitinase dalam mendegradasi dinding sel fungi. Sedangkan menurut Weller et al. (1990), senyawa metabolit yang dihasilkan suatu organisme meliputi antibiotik, enzim litik, senyawa volatile dan zat lainnya yang bersifat toksik. Selain itu menurut Khalimi et al. (2010), Kemampuan suatu agen hayati dalam menekan patogen biasanya melibatkan satu atau beberapa cara mekanisme penghambatan. Mekanisme penghambatan bakteri terhadap patogen adalah antibiotik, toksin, kompetisi ruang dan nutrisi. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya penekanan pada pertumbuhan jamur yang diuji tersebut.


(44)

4.5 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal Jamur Patogen Setelah Uji Antagonis.

Pengamatan mikroskopis untuk melihat hifa abnormal Ganoderma boninense

dan F. oxysporum dilakukan pada hari kedelapan. Mekanisme antagonis yang terjadi antara bakteri kitinolitik dan antijamur dengan G. boninense dan F. oxysporum

memiliki penghambatan hampir sama untuk semua isolat memiliki aktivitas antagonis seperti menghambat pertumbuhan miselium dan penipisan dinding hifa G. boninense dan F. oxysporum. Akibat aktivitas antagonis bakteri kitinolitik menyebabkan hifa G. boninense dan F. oxysporum mengalami pertumbuhan yang abnormal yaitu berupa hifa mengalami lisis, hifa mengalami pembengkokan, hifa menggulung, hifa kerdil, hifa bercabang, hifa melilit dan hifa lisis. Akan tetapi akibat aktivitas antagonis bakteri antijamur terhadap hifa G. boninense dan F. oxysporum mengalami pertumbuhan yang abnormal tidak sebanyak pada aktivitas bakteri kitinolitik, pertumbuhan yang abnormal hanya berupa hifa lisis, hifa membengkak dan hifa keriting.

Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa beberapa isolat bakteri kitinolitik dan antijamur berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen pengendali hayati fungi patogen tanaman. Uji pendahuluan yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri kitinolitik menunjukkan bahwa terdapat isolat bakteri kitinolitik yang mampu menghambat pertumbuhan fungi uji. Meski demikian, kemampuan menghambat pertumbuhan fungi uji bervariasi (Suryanto et al. 2010). Hal ini menunjukkan bahwa spesifisitas masing-masing bakteri berbeda.

Pada Gambar 4.5.1 dapat dilihat perubahan hifa G. boninense dan F. oxysporum yang terjadi akibat interaksi antara isolat bakteri kitinolitik dengan G. boninense dan F. oxysporum. Adanya aktivitas antagonisme yang kuat dari isolat bakteri kitinolitik terhadap G. boninense dan F. oxysporum dengan mekanisme hiperparasitisme dan enzimatik sehingga efektif menghambat pertumbuhan jamur patogen tanaman dengan mendegradasi dinding selnya. Hifa fungi patogen mengalami lisis, pembengkakan, melilit, membengkok dan menggulung. Lisis pada hifa menunjukkan bahwa isolat bakteri kitinolitik mampu menghidrolisis dinding sel G. boninense dan F. oxysporum.


(45)

Gambar 4.5.1. Bentuk hifa abnormal setelah uji antagonis dengan bakteri kitinolitik (a) hifa normal G. boninense, (b) hifa kerdil, (c)hifa bercabang, (d) hifa membengkok, (e) hifa melilit, (f) hifa normal F. oxysporum, (g) hifa melilit dan menggulung, (h) hifa lisis, (i) hifa melilit, (j) hifa menggulung (perbesaran 10x40)

Hifa fungi patogen yang mengalami pembengkakan dan menggulung diduga sebagai mekanisme pertahanan dari patogen terhadap serangan isolat. Menurut Indratmi (2008) hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan hifa jamur pada daerah di mana jamur patogen ini saling berinteraksi dengan isolat. Kerusakan hifa yang teramati berupa perubahan bentuk / malformasi hifa patogen. Hifa patogen menjadi berbentuk spiral dan melengkung-lengkung tidak beraturan dan mengalami pemendekan. Sebagian hifa mengalami kekusutan dan pembengkakan dinding sel. Hifa patogen yang mengalami kerusakan tersebut tidak ditemukan konidia jamur. Isolat antagonis ini mampu menempel kuat pada hifa jamur dan penempelan ini berhubungan dengan produksi β1-3 glucanase yang menyebabkan degradasi sebagian dinding sel hifa. Studi ini juga mendukung bahwa kompetisi nutrisi berperan utama dalam aktifitas biokontrol berbagai isolat antagonis yang lain.

Sedangkan pada Gambar 4.5.2 dapat dilihat perubahan hifa G. boninense dan

F. oxysporum yang terjadi akibat interaksi antara isolat bakteri antijamur dengan G. boninense dan F. oxysporum. Adanya aktivitas antagonisme yang kuat dari isolat bakteri antijamur terhadap G. boninense dan F. oxysporum dengan mekanisme hiperparasitisme dan antibiotik sehingga efektif menghambat pertumbuhan jamur


(46)

patogen tanaman dengan mendegradasi dinding selnya. Hifa fungi patogen hanya mengalami lisis, pembengkakan dan keriting. Lisis pada hifa menunjukkan bahwa isolat bakteri antijamur mampu menghidrolisis dan merusak dinding sel G. boninense

dan F. oxysporum.

Gambar 4.5.2. Bentuk hifa abnormal setelah uji antagonis dengan bakteri antijamur (a) hifa lisis, (b) hifa membengkak, (c)hifa membengkak dan lisis, (d) hifa lisis, (e) hifa membengkak, (f)hifa lisis, (g) hifa normal F. oxysporum, (h) hifa normal F. oxysporum, (i) hifa keriting (perbesaran 10x40)

Perbedaan bentuk hifa abnormal pada uji antagonis bakteri antijamur dengan bakteri kitinolitik kemungkinan karena mekanisme penghambatan isolat bakteri. Bakteri antijamur melakukan penghambatan secara antibiotis sedangkan bakteri kitinolitik secara enzimatis. Menurut Indratmi (2008), kejadian antagonisme dapat terjadi karena adanya interaksi antara struktur luar atau kontak langsung agensia pengendali hayati dengan patogen, maupun antara zat-zat/ senyawasenyawa yang dihasilkan agensia pengendali hayati berupa metabolit sekunder antimikrobia dengan patogen. Menurut ElGhaouth et al. (2003), penghambatan hifa melalui mekanisme antibiotis menyebabkan kekusutan dan pembengkakan dinding sel hifa hingga sel mengalami kerusakan struktur hifa.


(47)

4.6 Pengujian Isolat Bakteri Antijamur Potensial Terhadap Isolat Bakteri Kitinolitik Potensial.

Dua isolat bakteri antijamur yang memiliki daya hambat paling tinggi terhadap F. oxysporum pada uji antagonis sebelumnya diuji kembali dengan dua isolat bakteri kitinolitik yang memiliki daya hambat paling tinggi terhadap F. oxysporum dengan menggunakan metode difusi cakram. Hasil pengujian ini diperoleh bahwa diantara 2 isolat bakteri antijamur dan 2 isolat bakteri kitinolitik tidak memiliki daya hambat keduanya (Gambar 4.6.1). Hal ini kemungkinan ini disebabkan bakteri kitinolitik tidak menggunakan enzim kitinase untuk mendegradasi senyawa kitin dalam memperoleh karbon, nitrogen dan energi karena pada bakteri antijamur tidak ada komponen kitin didalamnya. Menurut Giyanto et al. (2009), bakteri kitinolitik merupakan bakteri yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim kitinase yang digunakan untuk mendegradasi senyawa kitin dalam memperoleh karbon, nitrogen dan energi. Kemampuan itu menyebabkan kelompok bakteri kitinolitik berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai agen pengendali hayati terhadap cendawan patogen, nematoda, atau serangga hama karena kitin merupakan komponen struktural dari sebagian besar dinding sel organisme tersebut.

a b c d

Gambar 4.6.1. Uji antagonisme antar bakteri kitinolitik potensial dan bakteri antijamur potensial. (a). KM01, (b) KM04, (c) BK13, (d) BK15 (1)BK13, (2) BK15, (3) KM01 dan (4) KM04

4.7 Uji PatogenitasF. oxysporum

Dari hasil uji patogenitas F. oxysporum terhadap benih cabai merah diperoleh bahwa

F. oxysporum yang diujikan cukup patogen. Persentase rebah kecambahnya mencapai 58,62%. Hal ini menunjukkan bahwa F. oxysporum ini bersifat patogen jika berada pada areal penanaman cabai. Menurut Nugraheni (2010), penyakit layu Fusarium


(48)

yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. Adanya serangan cendawan ini menjadikan salah satu faktor pembatas yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi cabai merah.

Gejala yang terjadi pada tanaman cabai merah yang terserang penyakit layu

Fusarium adalah menguningnya daun dari tepi daun selanjutnya menjadi coklat dan mati secara perlahan hingga tulang daun. Menguning dan matinya daun-daun dimulai dari daun yang lebih tua. Hal ini disebabkan patogen menginfeksi tanaman melalui luka pada akar dan masuk kedalam jaringan xylem melalui aktivitas air sehingga merusak dan menghambat proses menyebarnya air dan unsur hara keseluruh bagian tanaman terutama pada bagian daun yang tua. Tanaman menjadi terhambat pertumbuhannya, bergerak menjadi layu permanen dan mati dengan daun berwarna coklat melekat pada pangkal/ batang pohon (Semangun 2000). Pada Gambar 4.7.1 di bawah ini dapat dilihat perbedaan kecambah yang sehat dengan kecambah yang terserang layu Fusarium.

Gambar 4.7.1. Perbandingan antara kecambah sehat dan kecambah terserang layu Fusarium, (1) kecambah sehat umur 30 hari, (2) kecambah yang terserang layu Fusarium (a). daun yang berwarna hijau segar yang masih sehat, (b). daun yang telah layu dan (c). pangkal batang yang mengecil dan kering terserang layu Fusarium

a

b

c 2

1


(49)

4.8 Penghambatan Serangan F. oxysporum Pada Benih Cabai Merah

Benih cabai yang masing-masing telah direndam ke dalam 2 isolat bakteri kitinolitik, 2 isolat bakteri anti jamur, dan campuran antara masing-masing bakteri kitinolitik dengan bakteri antijamur ditumbuhkan pada medium tanah yang telah diberikan suspensi Fusarium. Persentase rebah kecambah, tinggi kecambah, jumlah daun dan berat kering diamati dari minggu ke-0 sampai minggu ke-4.

Kecambah yang ditumbuhkan pada tanah yang mengandung Fusarium cukup rentan terhadap layu Fusarium. Hal ini terlihat dari perlakuan kontrol (+) yang lebih dari setengahnya mengalami layu Fusarium. Untuk lebih jelasnya terlihat pada Gambar 4.8.1 di bawah ini

Gambar 4.8.1. Persentase rebah kecambah yang diinokulasikan Fusarium dengan perlakuan bakteri antijamur dan bakteri kitinolitik

Kontrol (+) = dengan pemberian suspensi F. oxysporum dan tanpa bakteri uji Kontrol (-) = tanpa pemberian suspensi F. oxysporum dan bakteri uji

0 10 20 30 40 50 60 70

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

R

eb

a

h

K

ec

a

m

b

a

h

(

%

)

Hari Setelah Tanam

Kontrol (-) kontrol (+) BK13 BK15

KM01 KM04 BK13+KM01 BK13+KM04


(50)

Dari Gambar 4.8.1 terlihat bahwa benih mulai mengalami layu setelah memasuki minggu 2 pengamatan dan terus meningkat jumlahnya sampai hari ke-30. Persentase rebah kecambah tertinggi yaitu pada kontrol (+) mencapai 58,62% dari total kecambah yang tumbuh, sedangkan pada kontrol (-) tidak terjadi rebah kecambah. Ini menegaskan bahwa F. oxysporum sangat patogen terhadap kecambah cabai merah. Penyakit ini dapat menghancurkan persemaian dalam waktu singkat (Agrios 1988). Untuk perlakuan menggunakan bakteri, persentase rebah kecambah cenderung menurun dibandingkan kontrol (+). Persentase rebah kecambah terendah yaitu pada BK13 + KM04 hanya 10%, diikuti BK15 dengan nilai 20%, BK13, BK13 + KM01 dan BK15 + KM01 sebesar 23,33%, BK15 + KM04 dengan nilai 26,66%, KM01 dengan nilai 36,66% dan KM04 dengan nilai 40%. Sedangkan penurunan rebah kecambah dengan perlakuan bakteri tertinggi dicapai oleh isolat BK13 + KM04 yang memiliki kemampuan menurunkan rebah kecambah sampai 83,33%, diikuti BK15 yaitu 66,66%, BK13, BK13+KM01 dan BK15+KM01 yaitu 61,11%, BK15 + KM04 yaitu 55,55%, diikuti KM01 yaitu 38,89% dan dan isolat KM04 yang memiliki kemampuan terendah dalam menurunkan rebah kecambah yaitu hanya 33,33% (Gambar 4.8.2).

Gambar 4.8.2 Persentase pengurangan rebah kecambah yang diinokulasi Fusarium dengan perlakuan bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur 61,11 66,66 38,89 33,33 61,11 83,33 61,11 55,55 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

BK 13 BK 15 KM01 KM04 BK 13 + KM01

BK 13 + KM04 BK15 + KM01 BK15 + KM04 P engu ra nga n re b a h ke ca m b a h (% ) Perlakuan


(1)

& Munir E. 2006. Potensi pemanfaatan isolat kitinolitik lokal untuk pengendalian hayati jamur. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Medan: FMIPA USU.

. 2001. Selection and characterization of bacterial isolates for monocyclic aromatic degradation. Disertasi. Bogor: IPB.

Susi. 2002. Isolasi Kitinase dari Scleroderma columnae dan Trichoderma harzianum. Jurnal Ilmu Dasar 3(1) : 30 – 35.

Suwandi U. 1989. Mikroorganisme penghasil antibiotik. Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 58.

Syamsuddin. 2003. Pengendalian penyakit terbawa benih (seedborne disease) pada tanaman cabai (Capsicum annuum L) menggunakan agen biokontrol dan ekstrak botani. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana/S3. Bogor: IPB.

Thomashow LS, Weller DM, Bonsall RF & Pierson III LS. 1990. Production of the antibiotic Phenazine-1-carboxylic acid by fluorescent Pseudomonas species in the rhizosphere of wheat. Appl Environ Micorbiol 56: 908-912.

Trimujoko. 2005. Pemanfaatan actinomycetes antagonis sebagai pengendali hayati Fusarium oxysporum f.sp.lycopersici pada tanaman tomat. Tesis. Malang: Universitas Brawijaya.

Wheeler KA, Hocking AD, Pitt JI & Anggawati A. 1990. Fungi associated with Indonesian Dried Fish. Food Microbiol 3: 351-317.

Winarsih S. 2007. Pengaruh bahan organik pada pertumbuhan Gliocladium virens dan daya antagonisnya terhadap Fusarium oxysporum secara in vitro. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Edisi Khusus. 3: 386-390.

Wibowo RH. 2008. Isolasi dan uji Antagonis fungi endofit akar kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap Ganoderma boninense Pat. Skripsi. Medan: Departemen Biologi FMIPA USU.


(2)

Lampiran A. Komposisi Medium MGMK Padat dan Cara Pembuatannya

• K2HPO4 0,7 g

• KH2PO4 0,3 g

• MgSO4.7H2O 0,5 g

• FeSO4.7H2O 0,01 g

• ZnSO4 0,001 g

• MnCl2 0,001 g

• Koloidal kitin 12,5% (b/v) 72,7 ml

• Agar 20 g

• pH 6,8

Cara Pembuatan

Semua bahan dicampur dan ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi satu liter. Diatur pH sampai 6.8 dengan penambahan NaOH 0,1 N. Setelah dicapai pH yang diinginkan, medium disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC dan tekanan 2 bar selama 15 menit.


(3)

Lampiran B. Pembuatan Koloidal Kitin dengan Cara Hidrolisis Parsial (Rodriquez-Kabana et al. 1983).

Dihaluskan

Dilarutkan dalam 180 ml 10 N HCl sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama 1,5- 2 jam.

Dituang ke dalam erlenmeyer yang berisi 2 liter air Dibiarkan semalam kemudian bagian yang bening dipisahkan dari endapannya.

Dicuci sampai pH suspensi kitin antara 5,5 – 6

Diambil 10 ml kemudian dikeringkan pada suhu 80o C Dihitung berat keringnya

Lampiran C. Penyiapan Media Tanam

Disaring

Dimasukkan kedalam plastik tahan panas Disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

20 g serbuk kitin

Suspensi kitin

Endapan Bagian bening

Hasil

Tanah + Kompos (3:1)

Media tanam steril


(4)

Lampiran D. Data Rata-rata Tinggi Kecambah dari minggu ke-1 sampai minggu ke-4.

Perlakuan

Tinggi Kecambah (cm) Minggu ke-

1 2 3 4

BK13 2,53 4,73 5,71 6,82

BK15 2,82 4,21 5,33 6,56

KM01 2,08 4,13 5,47 6,29

KM04 1,43 3,57 5,01 6,21

BK13 + KM01 2,19 3,86 5,29 7,03

BK13 + KM04 2,14 4,66 6,21 7,57

BK15 + KM01 1,89 3,44 4,25 5,56

BK15 + KM04 1,97 2,81 4,89 6,17

Kontrol (+) 2,45 3,58 4,72 6,08

Kontrol (-) 2,34 4,69 6,78 8,71

Lampiran E. Data berat kering kecambah yang diinokulasi Fusarium dengan perlakuan bakteri antijamur dan kitinolitik.

Perlakuan Berat Kering Kecambah (mg)

BK 13 4,32

BK 15 3,44

KM01 2,57

KM04 2,53

BK 13 + KM01 3,61

BK 13 + KM04 4,18

BK15 + KM01 2,68

BK15 + KM04 2,89

Kontrol (-) 3,77


(5)

Lampiran F. Hasil isolasi bakteri dari sampel tanah pada media PDA-YT umur 5 hari. (a) bakteri penghambat jamur, (b) jamur yang dihambat oleh bakteri antijamur

Lampiran G. Hasil Uji Biokimia. (a). Uji motilitas, (b) Uji gelatin, (c) Uji Sitrat, (d) Uji Hidrogen Sulfida, (e) Uji Hidrolisis pati.

a b c

d e

b a


(6)

Lampiran H. Isolat F. oxysporum (a). ditumbuhkan pada media PDB, (b). PDA, (c) spora bulan sabit (perbesaran 40x10), setelah 7 hari masa inkubasi

Lampiran I. Kecambah Cabai Umur 4 minggu. (a) BK13, (b) BK15, (c) KM01, (d) KM01 + BK13, (e) KM01 + BK15, (f) KM04, (g) BK13 + KM04, (h) BK15 + KM04, (i) Kontrol (-), (j) Kontrol (+)

a b c d e


Dokumen yang terkait

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

9 157 125

Uji Efektifitas Jamur Antagonis Trichoderma sp. Dan Gliocladium sp. Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium

23 267 52

Pengelompokan Isolat Fusarium oxysporum f.sp.cubense Dari Beberapa Jenis Pisang (Musa spp.) Serta Uji Antagonisme Fusarium oxyspomm Non Patogenik Dan Trichoderma koningii Di Laboratorium

0 30 85

Potensi Cendawan Endofit Dalam Mengendalikan Fusarium Oxysporum F.SP. Cubense Dan Nematoda Radopholus Similis COBB. Pada Tanaman Pisang Barangan (Musa Paradisiaca) Di Rumah Kaca

0 42 58

Teknik PHT Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum f. sp capsici Schlecht) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum armuum L.) di Dataran Rendah.

0 27 138

Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Layu (Fusarium oxysforum f.sp.capsici) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L) Di Lapangan

3 52 84

Uji Sinergisme F.oxysporum f.sp cubense Dan Nematoda Parasit Tumbuhan Meioidogyne spp. Terhadap Tingkat Keparahan Penyakit Layu Panama Pada Pisang Barangan (Musa sp.) di Rumah Kassa

0 39 72

Uji Efektivitas Pestisida Nabati Terhadap Perkembangan Penyakit Layu Fusarium ( Fusarium oxysporum f.sp cúbense ) Pada Beberapa Varietas Tanaman Pisang ( Musa paradisiaca L. )

2 30 74

Uji Efektifitas Beberapa Fungisida Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum (schlecht.) f.sp lycopersici (sacc.) Synd.ei Hans Pada Tanaman Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill)

4 63 70

Sinergi Antara Nematoda Radopholus similis Dengan Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense Terhadap Laju Serangan Layu Fusarium Pada Beberapa Kultivar Pisang (Musa sp ) Di Lapangan

3 31 95