BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negeri yang banyak mengalami perubahan budaya dunia. Dalam rentang sejarahnya, Indonesia mendapat pengaruh budaya India, Cina, Arab, dan
Eropa. Bahkan hingga kini, di awal abad XXI, proses tersebut masih berlangsung, termasuk pengaruh budaya lokal dari daerah lain. Jika melihat lanskap saling serbuk antar budaya lokal
sangat adaptif terhadap budaya non lokal yang memproduksi fertilisasi silang antarbudaya. Penyesuaian atau adaptasi antara budaya lokal dengan budaya non lokal ini memperlihatkan
budaya bangsa ini sangat lentur berhadapan dengan tradisi besar manapun. Sikap lentur dan saling serbuk antarbudaya ini bukannya melemahkan budaya lokal, tetapi justru menjadi
modal penguatan budaya bangsa yang plural ini.
1
Budaya atau kebudayaan manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari jiwa manusia itu sendiri. Manusia dan kebudayaan manusia merupakan satu kesatuan yang erat,
ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya yaitu manusia
2
Masing-masing etnis dan sub etnis memiliki ciri khas budaya masing-masing. Suatu kelompok etnis yang datang ke suatu daerah yang memiliki penduduk dengan budaya yang
. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku dengan budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Namun, perbedaan itulah yang menjadi identitas bangsa Indonesia, bukanlah
suatu perbedaan yang menyebabkan perselisihan.
1
Budi, Agustono. Fertilisasi Silang antar Budaya. Nabil Forum Edisi V, Juli-Desember 2012, hlm 9.
2
Untuk lebih jelas lihat buku Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan 2004
Universitas Sumatera Utara
berbeda akan menimbulkan pembauran atau saling mempengaruhi. Akan tetapi proses pembauran dapat terjadi jika masing-masing etnis saling terbuka satu dengan yang lainnya.
Sikap tertutup memungkinkan untuk tidak terjadinya perubahan bagi setiap kebudayaan masing-masing etnis. Hal inilah yang secara garis besar disebut sebagai perubahan budaya.
Kota Sibolga merupakan salah satu kota dari 33 kotakabupaten provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini terletak di pantai Barat pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari
Utara ke Selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli, sekitar ± 350 km dari kota Medan. Dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada kabupaten
Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Samudera Hindia. Letak wilayah yang strategis menjadikan Kota Sibolga sangat cepat berkembang terutama sebagai tempat persinggahan
para pelaut. Kota ini juga dikenal sebagai kota Pelabuhan. Pulau-pulau yang terhampar didepannya menjadi penyangga ombak dan gelombang dari Lautan lepas Samudera Hindia,
sehinga membuat pelabuhan Sibolga lebih aman untuk bebagai aktifitas, khususnya aktifitas ekspor-impor.
Struktur masyarakat Sibolga dikenal horizontal. Hal ini ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-bangsa, perbedaan agama, adat serta
perbedaan-perbedaan kedaerahan. Struktur Sibolga ini dipengaruhi oleh letaknya yaitu berada didaratan pantai Barat dan berdekatan dengan pegunungan pedalaman.
3
3
. S. Budhisantoso, Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Barus dan Sibolga,
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, hlm.33
Kondisi Sibolga yang berada pada daerah Pesisir pantai Sibolga telah menyebabkan terjadinya interaksi antara
masyarakat di pesisir pantai dengan orang-orang yang tinggal dipedalaman. Orang-orang pedalaman adalah orang-orang Tapanuli pegunungan suku Batak Toba, Mandailing,
Universitas Sumatera Utara
Angkola, yang sangat membutuhkan garam dan bahan-bahan lainnya yang hanya bisa diperoleh dari pesisir pantai. Disebut sebagai orang pedalaman karena letak daerah mereka
yang jauh dari pantai. Mereka melakukan barter dengan hasil hutan yang mereka peroleh dengan garam dan lain-lain. Banyak dari mereka khususnya etnis Batak Toba yang hilir
mudik dan menetap ditepi pantai.
4
Islam semakin berkembang di Sibolga sejak terjadinya peperangan antara Aceh dengan kelompok masyarakat Batak 1820-1837. Oleh karena peperangan ini banyak penduduk
yang berpindah untuk membuka pemukiman baru di wilayah Barat. Pada saat Perang Paderi daerah Batak bagian Selatan dan Barat menjadi Islam. Perkampungan orang Batak bagian
Selatan dan Barat dikuasai oleh kaum Paderi
5
. Selama menduduki tanah Batak, kaum Paderi ini menyebarkan agama Islam terutama dibagian Selatan dan Barat Mandailing dan
Angkola. Namun pada saat memasuki wilayah danau Toba mendapat perlawanan dari Belanda, sehingga Islam tidak berkembang secara luas didaerah danau Toba khususnya bagi
Batak Toba
6
4
. Tengku Luckman Sinar, Lintasan Sejarah Sibolga dan Pantai Barat Sumatera Utara, Waspada 23
Juni 1981
. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya banyak dari orang Minangkabau dan Aceh masuk kedaerah Sibolga melalui Sidempuan. Orang Batak Toba dari Silindung,
berangsur angsur menyebar ke arah pantai Barat Sumatera Utara, salah satunya yang melakukan perpindahan kewilayah pesisir pantai Barat adalah keturunan dari marga
Hutagalung. Mereka kemudian membuka perkampungan di sekitar aliran sungai Aek Doras, dalam perkembanganya kemudian masyarakat dari Silindung tersebut berkembang dan
5
Elisa Tinambunan, Masuknya Zending Protestan di Tapanuli Utara, Medan: Tanpa Penerbit, 2011, hlm. 27
6
Dieter Valon, Napak Tilas Ingwer Ludwig Nommensen, Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2006, hlm. 33
Universitas Sumatera Utara
membentuk kelompok masyarakat yang terstruktur yang dipimpin oleh seorang kepala KuriaRaja, bersama-sama kelompok masyarakat
7
Sibolga mulai dikenal sebagai kota pelabuhan sejak ditetapkannya kota ini menjadi sebuah ibukota keresidenan Tapanuli pada tanggal 7 Desember 1842
. Oleh karena pada saat itu banyak dari masyarakat Toba yang berpindah belum menganut suatu kepercayaan masyarakat Toba
dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kepercayan terhadap roh-roh nenek moyang maka pembauran dengan masyarakat dari Aceh, Angkola dan Mandailing yang menganut
agama Islam membawa dampak. Banyak dari masyarakat batak Toba mulai menganut agama Islam.
8
oleh pemerintah Hindia Belanda. Rawa-rawa yang terdapat di daerah Sibolga dikeringkan dan diatasnya dibangun
pelabuhan. Oleh karena itu maka penduduk Pulau Poncan
9
beserta dengan tokoh
masyarakatnya pindah ke wilayah Sibolga. Penduduk yang berada di Sibolga sebelum kedatangan penduduk dari Pulau Poncan disebut sebagai orang “daratan”
10
7
U. T Sipahutar ‘Perhitungan Jadinya Kota Sibolga’ , Hari Jadi Sibolga , Pemko Sibolga, 1998. hlm : 111
. Sampai pada abad ke-19 suku Batak pada umumnya dikenal sebagai penganut kepercayaan Palbegu.
Kepercayaan Palbegu yaitu suatu kepercayaan yang banyak mengandung unsur-unsur animisme ataupun dinamisme. Penganut kepercayaan ini menyembah semua benda yang
8
Sultan Parhimpunan, Kerajaan Sibolga 1700-1842, Depok: Tanpa Penerbit, 2008, Hlm.63
9
Pulau Poncan merupakan pulau yang terletak 3 mil dari kota Sibolga. Poncan dikenal sebagai daerah
kaya penghasil garam. Ditahun 1700an pulau ini pernah menjadi semacam pusat kendali kekuasaan tempur kolonial dipantai Barat Sumatera. Poncan pada masa jayanya sudah menjadi tujuan terpenting dari para
pedagang sehingga pulau ini dikenal sebagai pulau pelabuhan dan persinggahan para pedagang. Banyaknya saudagar dari Arab, Aceh dan Minangkabau yang datang untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam di
pulau Poncan mengakibatkan masyarakat pulau Poncan mengenal dan menganut agama Islam. Pada tahun 1829 pulau Poncan diberikan kepada Belanda oleh Inggris dalam traktat London. Oleh karena luas pulau Poncan yang
tidak begitu besar, maka pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan ke Sibolga. Pemindahan ini juga dikarenakan Sibolga letak yang strategis sebagai tempat perlindungan dari serangan musuh.
10
Lukman Ahmadi dkk, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Medan: Diklat Propsu,1991, hlm. 256
Universitas Sumatera Utara
dianggap punya begu atau roh. Mereka percaya terhadap roh nenek moyang dan benda-benda besar
11
Pada awal kedatangan masyarakat Pulau Poncan sebagai pendatang dan masyarakat Sibolga sebagai yang lebih dahulu menetap, mengalami berbagai masalah dalam adat istiadat
yang menimbulkan perbedaan-perbedaan. Selain dari perbedaan agama yang dianut oleh kedua masyarakat tersebut, terdapat perbedaan dalam pemakaian atribut-atribut kebesaran
adat. Dalam hal ini hanya penduduk penetap yang dibenarkan memakai atribut kebesaran adat.
. Begitu juga pada masyarakat Batak Toba Sibolga pada saat itu masih banyak yang menganut kepercayaan ini. Sebaliknya masyarakat yang datang dari Pulau Poncan telah
cukup lama menganut agama Islam. Demikian pula masyarakat pendatang ke wilayah Sibolga dari kawasan Minangkabau dan pesisir Pantai Barat Sumatera lainnya atau daerah
Batak bagian Selatan dan Barat yaitu Mandailing dan Angkola. Masyarakat Poncan lebih dulu mengenal Islam karena merupakan pusat pelabuhan pantai Barat Sumatera. Banyak dari
saudagar Arab, Aceh, Minangkabau datang dan menyebarkan agama Islam.
12
Pada perkembangan selanjutnya antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang ini kemudian telah menyatu dalam adat istiadat yang mempunyai ciri tersendiri yaitu adat
pesisir. Penyatuan adat pesisir ini selanjutnya lebih ditopang setelah masyarakat lokal yang
berasal dari pedalaman Tapanuli menganut agama yang sama dengan masyarakat pendatang, yaitu agama Islam. Kemudian antara masyarakat pendatang dan penetap terjalin perkawinan,
Apabila seorang masyarakat dari Pulau Poncan ingin memakai atribut kebesaran adat tersebut harus terlebih dahulu meminta izin kepada para tokoh-tokoh adat setempat.
11
Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2007, hlm.41
12
Sultan Parhimpunan, Kerajaan Sibolga 1700-1842, Depok: Tanpa Penerbit, 2008, Hlm.63
Universitas Sumatera Utara
di mana pemuda pendatang mengawini perempuan lokal, atau sebaliknya yang senantiasa memakai adat istiadat pesisir atau yang lebih dikenal dengan nama “Adat Sumando”
13
Sumando Pesisir sebagai kesatuan adalah suatu pertambahan dan pencampuran satu keluarga dengan keluarga lain yang seiman. Adat Sumando ini berasal dari Poncan. Dengan
perpindahan penduduk Poncan ke Sibolga adat Sumando dibawa serta dan kemudian berkembang keseluruh daerah Tapanuli. Adat Sumando ini merupakan pencampuran adat
Minangkabau dan budaya Batak yang bernafaskan agama Islam. .
14
Menurut tradisi lokal adat Sumando ini lahir ketika seorang pemuda Minangkabau yang tinggal di Sibolga hendak
meminang gadis Batak Toba. Kedua belah pihak menganut keyakinan yang sama yaitu Islam. Karena keduanya memiliki hakekat budaya yang berbeda maka diadakanlah musyawarah
yang menghasilkan toleransi dengan mengendurkan beberapa teknis adat dari kedua belah pihak. Hingga akhirnya terlahirlah adat Sumando. Maka masyarakat Pesisir Sibolga banyak
yang mengikuti adat Sumando ini sebagai adat mereka. Secara keseluruhan adat ini bernafaskan agama Islam.
15
Etnis Batak Toba yang berasal dari pedalaman berusaha untuk tinggal menetap di Sibolga dengan mempertahankan budayanya. Selaku golongan minoritas dan sebagai pendatang maka
untuk mengembangkan proses interaksi serta sosialisasi dengan masyarakat Sibolga yang dikenal sebagai masyarakat Pesisir, maka muncul keinginan untuk menyesuaikan diri dengan
masyarakat dan budaya setempat
16
13
Hamid Panggabean, Bunga Rampai Tapian-Nauli, Jakarta: Tapian-Nauli-Tujuh Sekawan. 1995, hlm. 192
. Dalam interaksinya, secara tidak langsung etnis Batak
14
Sultan Parhimpunan, op.cit, hlm. 258
15
Hamid Panggabean, op.cit, hlm.94
16
Jefri Jonathan, Migrasi orang Batak Toba ke Sibolga Sampai Benturan Budaya Di Tempat Pemukiman, Medan: Tanpa Penerbit,2011, hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
Toba telah melakukan pembauran dengan budaya Sumando. Hal ini dilakukan agar masyarakat dari etnis Batak Toba dapat diterima oleh masyarakat Pesisir Sibolga. Salah satu
carayang dilakuakan adalah menjadi seorang Muslim. Sehingga mereka disebut sebagai Batak Toba Muslim Pesisir. Sebagai masyarakat etnis Batak Toba yang telah menganut
agama Islam adat Sumando merupakan adat yang tidak melanggar hukum syariat Islam. Sementara itu pada adat Batak Toba sendiri sebagaian adat menyajikan babi yang tidak dapat
dimakan oleh Muslim. Hal inilah yang membuat etnis Batak Toba menerima pembauran dengan adat Sumando.
Penelitian ini membahas tentang Perubahan Budaya Etnis Batak Toba pada Masyarakat Pesisir di Sibolga 1970-2000. Tahun 1970 adalah sebagai tahun awal penelitian merupakan
periode perubahan budaya etnis Batak Toba terlihat. Perubahan budaya dilihat pada unsur kebudayaan yaitu pada sistem kemasyarakatan yakni perubahan bahasa dan tata cara upacara
pernikahan. Masyarakat etnis Batak Toba menerapkan pembauran dan perubahan pada bahasa mereka serta tata cara pernikahan dengan budaya masyarakat pesisir di Sibolga.
Perubahan yang terjadi pada upacara pernikahan yaitu masyarakat Batak Toba mulai menggabungkan dan menggunakan adat masyarakat pesisir setempat yaitu adat Sumando
dengan adat Batak Toba. Pada bab selanjutnya akan dijelaskan lebih dalam lagi tentang latar belakang terjadinya perubahan budaya di Sibolga. Kemudian tahun 2000 sebagai akhir dari
penelitian ini adalah bahwa selama tiga puluh tahun terdapat perubahan budaya etnis Batak Toba dengan budaya lokal serta membawa dampak yang mempengaruhi kebudayaan Batak
itu sendiri dan masyarakat etnis Batak Toba sudah menyadari adanya perubahan pada kebudayaannya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul Batak Toba Muslim : Studi Perubahan Budaya Pada Masyarakat Pesisir di Sibolga 1970-2000
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, untuk mempermudah penulis dalam penulisan dan menghasilkan penelitian yang objektif, maka penulis perlu membatasi masalah yang akan
dibahas. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana keadaan Sibolga sebelum tahun 1970? 2.
Bagaimana proses migrasi orang Batak Toba ke Sibolga dan perubahan agama menjadi Muslim?
3. Bagaimana latar belakang budaya masyarakat Pesisir Sibolga?
4. Apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan budaya pada orang Batak Toba
Muslim di Sibolga?
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Setelah diketahui apa rumusan masalah dalam penelitian, maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan dan manfaat dari penelitian
tersebut. Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki tujuan dan manfaat yang dicapai. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui keadaan Sibolga sebelum tahun 1970 2.
Menganalisi proses perubahan budaya etnis Batak Toba di masyarakat Pesisir kota Sibolga
3. Menganalisis pengaruh budaya masyarakat Pesisir terhadap budaya etnis
Batak Toba. 4.
Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan budaya pada etnis Batak Toba.
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat : 1.
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang proses perubahan budaya etnis Batak Toba pada masyarakat Pesisir Sibolga
2. Menambah informasi tentang histori kota Sibolga sebelum tahun 1970
3. Memberikan informasi pada masyarakat tentang adanya perubahan budaya,
faktor yang mempengaruhi perubahan budaya serta bentuk dari perubahan budaya etnis Batak Toba pada masyarakat Pesisir di Sibolga.
4. Menambah literatur bacaan dalam ilmu sejarah dan menjadi acuan bagi
penulis lain manakala penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan
1.4. Tinjauan Pustaka
Buku yang mengulas tentang kehidupan masyarakat Pesisir sibolga telah banyak ditulis oleh para sarjana diantaranya adalah buku Budhisantoso yang berjudul Studi Pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara
dan Pemudaran Kota Pelabuhan : Kasus Barus dan Sibolga yang menjelaskan tentang perkembangan penduduk Sibolga, gambaran umum kota, adaptasi penduduk, dan sosial
budaya masyarakat Sibolga. Perubahan kota Sibolga sebagai kota Pelabuhan menjadi pusat pemerintahan serta menjelaskan pemudaran kota Barus sebagai kota Pelabuhan.
Perkembangan sosial budaya yang dikota ini. Pengaruh-pengaruh yang didapat dari luar sebagai kota pelabuhan dan persinggahan para pedagang.
17
Selanjutnya karya Suwardi Lubis yang berjudul Komunikasi antar Budaya, Studi Kasus Etnis Batak Toba dan Etnis Cina yang menjelaskan bahwa kekayaan, kehormatan dan
kebahagiaan hamoraon, hasangapon, hagabeon yang lebih dikenal dengan konsep 3H adalah tujuan hidup masyarakat etnis Batak Toba. Konsep itu merupakan wujud dari
kebudayaan sebagai ide dan gagasan yang terus terwarisi dan mendarah daging bagi masyarakat etnis Batak Toba. Dan juga bagaimana Etnis Cina berinteraksi dengna budaya
diluar budaya nya sendiri. komunikasi yang terjalin antara budaya yang berbeda.
18
Kajian lain adalah buku Sjawal Pasaribu dalam bukunya yang berjudul Masyarakat Budaya dan Pariwisata Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga menjelaskan tentang masuknya
suku bangsa lain untuk melakukan perdagangan di daerah Pinggiran Pantai Barat, bertambahnya keanekaragaman suku yang ada di pinggiran Pantai Barat Sumatera,
perkawinan campur yang dilakukan pendatang kepada masyarakat setempat yang merupakan
17
S. Budhisantoso, Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Barus dan Sibolga, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995
18
Suwardi Lubis, Komunikasi studi Kasus Etnis Batak Toba dan etnis Cina, Medan: USU Press,1990
Universitas Sumatera Utara
cikal bakal lahirnya etnis pesisir. Buku ini juga menjelaskan budaya masyarakat Pesisir yang berkembang yang disebut sebagai adat Sumando.
19
Kemudian kajian Antonius Simanjuntak yang berjudul Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan Orientasi Nilai Budaya tentang budaya masyarakat Pesisir Pantai dan budaya
batak dari pegunungan. Buku ini membahas tentang orientasi nilai budaya pada melayu pesisir dan batak pegunungan serta perubahan-perubahan budaya yang terjadi serta 14 unsur-
unsur nilai budaya yang harus dimiliki setiap yang mengaku dirinya sebagai orang modern. Buku ini mengulas bagaimana masyarakat pesisir dan batak pegunungan yang menjadi objek
penelitian berupaya menjadi orang yang dianggap modern dengan mengikuti 14 unsur nilai budaya.
20
Selajutnya Kajian Hamid Panggabean yang berjudul Bunga Rampai Tapian-Nauli. Buku ini membahas tentang sejarah masyarakat Sibolga, kemudian Sibolga dalam masa pejajahan
dan perjuangan melawan penjajah dan menyambut kemerdekaan. Buku ini mengulas tentang budaya masyarakat Pesisir yaitu adat Sumando yang sudah banyak diterapkan dalam upacara-
upacara adat di Sibolga. Adat Sumando ini hanya terfokus pada masyarakat Sibolga yang beragama muslim. Hal ini dikarenkan adat ini merupakan adat yang bernafaskan agama
Islam.
21
19
Sjawal Pasaribu, Masyarakat Budaya dan Pariwisata Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, Medan: Depdikbud Sibolga, 2008.
20
Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan Orientasi Nilai Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010.
21
Hamid Panggabean, Bunga Rampai Tapian Nauli, Jakarta: PT. Nadhilah Ceria Indonesia, 1995.
Universitas Sumatera Utara
Karya lain yang masih relevan dengan penelitian ini adalah Togar Nainggolan yang berjudul Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan Identitas. Dalam buku ini
dijelaskan bagaimana masyarakat yang memiliki suku Batak Toba menyerap budaya baru dari daerah baru dan menjadikan mereka mennghilangkan identitas asli dan mengalami
perubahan identitas etnik. suku batak Toba selaku golongan Batak Toba mencoba mengubah identitas diri mereka mengikuti daerah tempat tinggal mereka. Hal ini diperlukan dari buku
ini untuk penelitian adalah bagaimana proses penyerapan budaya baru pada budaya asli mereka dan mengalami perubahan idnetitas budaya.
22
1.5. Metode Penelitian
Dalam penulisan sejarah ilmiah, pemakaian metode sejarah ilmiah sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazimnya disebut sebagai metode sejarah. Metode penelitian ini
dimaksudkan untuk merekontruksi masa lampau manusia sehingga menghasilkan suatu karya ilmiah yang bernilai. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu proses menguji
danmenganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa lampau
23
. Ada beberapa tahap yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tahap heuristik, kritik sumber, interpretasi dan
histiografi
24
Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah heuristik atau pengumpulan data atau bahan-bahan sebanyak mungkin yang memberi penjelasan tentang
.
22
Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta Koninuitas dan Perubahan Identitas, Medan: Bina Media, 2006.
23
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah Jakarta: UI Press,1971, hlm. 18.
24
Dudung Abdurahman, Metode Sejarah, Yogyakarta: Logos, 1999, hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
masalah dalam penelitian ini. Pengumpulan data ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan yaitu mencari sumber
tertulis yang berasal dari buku seperti dari perpustakaan, perpustakaan daerah maupun dari toko-toko buku lainnya, majalah, surat kabar, hasil laporan penelitian, dan data yang
diperoleh dari internet. Studi lapangan bisa dilakukan dengan cara wawancara.adapun wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas, dan melakukan pengamatan langsung
ke lapangan. Langkah berikutnya, melakukan kritik terhadap sumber. Untuk memeriksa
keabsahan sumber melalui kritik intern yang bertujuan untuk memperoleh fakta yang kredibel dengan cara menganalisis isi ataupun penjelasan dalam sumber tertulis dan kritik
ekstern dalam memperoleh fakta yang otentik dengan cara meneliti asli atau tidaknya sumber tersebut. Sesudah melakukan langkah pertama dan langkah kedua berupa heuristik dan kritik
sumber, langkah selanjutnya dilakukan interpretasi. Langkah ini merupakan metode yang dilakukan untuk menafsirkan fakta-fakta yang sudah diseleksi dan menghasilkan data yang
valid. Langkah terakhir yang dilakukan dalam metode penelitian ini adalah metode
penulisan sejarah atau histiografi. Langkah ini penulis akan menjabarkan data hasil penelitian sekaligus rangkaian secara kronologis dan sistematis dalam bahasa tulisan dapat berbentuk
deskriptif naratif sehingga menghasilkan sebuah karya ilmiah sejarah.
Universitas Sumatera Utara
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA SIBOLGA