21
memiliki kemampuan
al-bayan
berbicara. Semua itu mengandung resiko dengan adanya ujian-ujian yang akan menimpanya, baik posotif atau negatif.
Yang dimaksud dengan kemampuan berbicara
al-bayan
adalah pembicaraan yang memggugah hati dan perasaan, sehingga manusia dalam arti
basyar
berubah menjadi manusia yang berarti
insan
yang sanggup menerima Al- Qur‟an sebagai petunjuk.
Para filsuf telah berusaha memberikan kriteria yang membedakan manusia dengan hewan lainnya. Mereka mengatakan bahwa berpikir adalah sesuatu yang
membedakan manusia dari makhluk lainnya, hingga memunculkan definisi mereka terhadap manusia sebagai “hewan yang berpikir” pandai berbicara bukan
hanya sekedar mengucapkan kata-kata, karena menurut para ahli sebagian hewan juga saling berbicara dengan bahasa mereka dan memiliki akal dalam kadar yang
sangat rendah. Bicaranya manusia telah diolah oleh pikiran yang jernih. Inilah yang merupakan keistimewaan manusia tersebut disbandingkan makhluk
lainnya.
19
B. Unsur-unsur yang ada pada manusia
1. Jasad
Dalam bahasa Arab dijelaskan bahwa
jasad
adalah jisim manusia, tubuh, dan badan. Abu ishak menjelaskan bahwa
jasad
adalah sesuatu yang tidak bisa berpikir dan tidak dapat dilepaskan dengan pengertian bangkai. Sedangkan
menurut al-Lais, makhluk yang berjasad adalah makhluk yang makan dan minum.
19
Ibid., hlm. 162
22
Dalam
Tafsir al-Fakhr ar-Razi
dikatakan bahwa
jasad
ialah tubuh manusia yang berupa darah dan daging. Demikian pendapat-pendapat mengenai jasad yang
dikutip oleh Musa Asy‟arie. Dengan demikian jasad manusia tidak lain adalah badan kasar manusia, yang nampak pada luarnya yang dapat dilihat, diraba dan
difoto serta menempati ruang dan waktu tertentu. Jasad ini mengalami perubahan dan pertambahan dalam usianya, sehingga jasad manusia mengalami ketuaan dan
kerusakan. Dimana jasad pada awalnya lemah, kemudian menjadi kuat, dan pada usianya yang tua ia menjadi lemah dan tidak berdaya; yang mana ketika datang
kematian jasad manusia itu akan kembali ke asalnya, alam semesta ini.
20
Dalam kehidupan sehari-hari, jsad manusia ini dipandang sebagai sesuatu yang tidak dapat dipandang sebagai suatu yang tidak dapat menentukan mana
yang baik dan mana yang buruk, dan juga merupakan sesuatu yang tidak menentukan baik atau buruknya manusia. Bagaimanapun bagus atau cantiknya
jasad manusia itu, tetapi bila perilakunya jelek, maka kebagusan atau kecantikan jasad itu akan kehilangan nilainya. Kerena penilaian terhadap manusia baik
buruknya itu bukan karena bertumpu pada kebagusan atau kecantikan bentuk tubuhnya, tetapi pada perilakunya. All h berfirman dalam al-
Qur‟an:
20
Kuthbudian Aibak, Teologi Pembacaan Dari Tradsiai P embacaac Paganis Menuju Rabbani, Yogjakarta: Teras, cet. 1, 2009, hlm. 118
23
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki
-laki dan seorang perempuan danmenjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” QS.
al-Hujarat 49: 13 Dari ayat diatas dinyatakan bahwa penilaian manusia itu bukan karena
bangsanya ataupun sukunya, dan juga bukan warna kulitnya, tetapi penilaian itu karena ketaqwaannya.
21
Namun demikian realitas jasad adalah realitas pokok, dimana tanpa adanya jasad ini tidak akan dapat dipahami manusia. Karena keseluruhan aktifitasnya itu
akan bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari bila adanya jasad. Dalam Al-
Qur‟an dijelaskan bahwa jasad manusia itu memerlukan makanan dan tidak kekal. Sebagaimana firman All h Swt:
“Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh
-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak pula mereka itu orang-
orang yang kekal.” Ayat ini menetapkan adanya ketentuan bagi jasad manusia, yaitu makan
dan terbatas tidak kekal. Dengan demikian jasad manusia mengalami perubahan, akan tetapi pertumbuhan itu pun tidak selmanya berlangsung karea dibatasi oleh
pertambahan usianya; dimana semakin .tua usianya maka akan semakin lemah dan pada akhinya akan mati dan hancur
22
.
21
Ibid., hlm. 119
22
Ibid., hlm. 120
24
2. Ruh