Davidson et al., 1993. Pengawasan terhadap penggunaan benzoat pada cabe giling perlu dilakukan secara terpadu antara pedagang, pengelola
pasar, dan Dinas Kesehatan kota Bogor agar tidak merugikan konsumen. Nilai standar deviasi yang tinggi 5 pada hasil analisis juga
menunjukkan penambahan benzoat cukup variatif pada beberapa sampel pada pedagang yang sama, terutama pada pedagang A dan E Tabel 8.
Hal ini dapat disebabkan karena pedagang menambahkan benzoat dengan takaran yang tidak baku melainkan dengan perkiraan seperti halnya yang
mereka lakukan ketika menambahkan garam dapur terhadap cabe giling. Penggunaan natrium benzoat sebagai pengawet akan berkorelasi
terhadap umur simpan cabe giling. Hal ini dapat terlihat pada Lampiran 4, cabe giling A dan D yang memiliki daya tahan paling lama dibandingkan
dengan cabe giling lainnya lebih dari 8 hari dikarenakan penambahan natrium benzoat yang tinggi pula. Sebaliknya, pada cabe giling yang
berumur simpan lebih pendek dikarenakan kandungan natrium benzoat yang lebih rendah dibandingkan sampel A dan D. Untuk cabe giling I
meski kadar natrium benzoat terukur cukup tinggi, namun menurut pengakuan pedagangnya daya tahannya hanya 2 hari dapat disebabkan
faktor lain kondisi pengolahan dan penyimpanan yang kurang baik yang mempengaruhi daya tahan cabe giling lebih singkat sehingga peran
natrium benzoat sebagai pengawet tidak efektif. Kasus penggunaan benzoat yang melebihi batas juga masih
ditemukan pada 7.93 pangan yang diuji Badan Pengawasan Obat dan Makanan Badan POM, 2007. Hal ini menunjukkan perlu diberikan
penyuluhan tentang pengetahuan tentang batas penggunaan bahan tambahan pengawet dan pengawasan terhadap produsen pangan agar
tidak merugikan konsumen.
e. Rhodamin B
Rhodamin merupakan pewarna non pangan yang masih sering disalahgunakan oleh masyarakat. Analisis Rhodamin B pada penelitian ini
dilakukan secara kualitatif dengan metode ekstraksi dan dilanjutkan
dengan pengamatan secara spektrofotometri. Rhodamin B merupakan zat pewarna yang dapat larut dalam asam. Sampel diekstrak dengan eter
dalam keadaan basa agar Rhodamin B dalam sampel larut dalam fase eter. Rhodamin B yang terlarut dalam fase eter ditambahkan HCI sehingga
Rhodamin B akan larut dalam HCl. Lapisan asam yang mengandung Rhodamin B akan berwarna merah muda-agak violet. Kemudian
dilakukan pengamatan daerah serapan maksimum panjang gelombang melalui scanning panjang gelombang pada interval 400-600 nm, dan
dibandingkan dengan profil larutan baku Rhodamin B. Hasil positif ditunjukkan dengan tampilan profil yang mirip antara sampel dan larutan
standar. Hasil uji kualitatif Rhodamin B pada cabe giling dapat dilihat pada Tabel 9, dan profil hasil scanning panjang gelombang serapan
maksimum sampel secara spektrofotometri selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
Tabel 9. Hasil uji kualitatif Rhodamin B cabe giling
Ket: + = Mengandung Rhodamin B - = Tidak mengandung Rhodamin B
Hasil uji Sampel
Ulangan I Ulangan II
Ulangan III Peluang
penggunaan Rhodamin B
A -
- -
B +
+ +
100 C
+ -
- 33.3
D +
+ +
100 E
+ -
- 33.3
F -
- -
G -
- -
H +
+ +
100 I
+ -
- 33.3
J +
- -
33.3 K
- -
- L
- -
- sebaran
persentase 58
25 25
36
Berdasarkan hasil analisis kualitatif, 36 sampel cabe giling positif mengandung pewarna Rhodamin B. Penggunaan zat pewarna ini
diduga digunakan pedagang untuk meningkatkan warna merah pada cabe giling agar terlihat lebih menarik karena memudarnya warna cabe giling
yang dapat disebabkan karena penggunaan bahan baku cabe merah yang kurang baik tidak segar atau dikarenakan penambahan air yang
berlebihan sehingga warna merah memudar. Pada ulangan I menunjukkan 58 sampel positif mengandung
pewarna Rhodamin B, sedangkan pada ulangan II dan III sampel yang positif menggunakan Rhodamin B adalah sebesar 25 Tabel 9. Hal ini
mengindikasikan penambahan Rhodamin B tidak dilakukan kontinu oleh sebagian pedagang. Dari Tabel 9 diketahui sampel B, D, H selalu
menggunakan Rhodamin B pada cabe gilingnya. Sampel C, E, I, dan J menambahkan Rhodamin B pada cabe gilingnya dengan frekuensi 33.3.
Pedagang C, E, I, dan J diperkirakan tidak menambahkan Rhodamin B pada cabe giling secara kontinu jarang. Sedangkan sampel A, F, G, K,
dan L tidak pernah menggunakan Rhodamin B dalam cabe gilingnya. Alasan tingginya jumlah sampel positif Rhodamin B pada ulangan I dapat
dipicu oleh harga cabe yang lebih tinggi pada saat pengambilan sampel ulangan I ± Rp 20.000kg dibandingkan dengan ulangan II
± Rp 8000kg dan ulangan III ± Rp 10.000kg. Harga cabe yang tinggi diduga mendorong pemilihan penggunaan bahan baku yang tidak segar
karena harga bahan baku dapat lebih rendah sehingga menimbulkan warna yang kurang menarik pada cabe giling sehingga pedagang
menambahkan pewarna pada cabe giling mereka. Alasan lain penambahan pewarna pada cabe giling diduga karena penambahan air
yang berlebihan sehingga mengurangi intensitas warna merah cabe giling dan untuk mengembalikan warna, ditambahkan zat pewarna. Warna cabe
giling yang ditambahkan Rhodamin B ini secara visual terlihat merah agak keungu-unguan sedikit.
Cabe giling yang menggunakan Rhodamin B dinyatakan tidak aman secara kimiawi karena penggunaan Rhodamin B telah terbukti
membahayakan kesehatan. Hasil penelitian Siswati dan Slamet 2000 menunjukkan pemberian Rhodamin B dengan konsentrasi 150, 300, dan
600 ppm berakibat terjadinya kerusakan pada jaringan hati. Kerusakan ditandai dengan terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus,
degenerasi lemak, dan sitolisis hingga terjadi perubahan bentuk sel hati menjadi nekrosis, dan disintegrasi jaringan disekitarnya. Selain itu
melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 239MenkesPerIX85 pemerintah melarang penggunaan Rhodamin B dalam pangan.
Penyalahgunaan Rhodamin B pada cabe giling di Bogor diperkirakan karena pedagang tidak mengetahui pewarna yang dipakai
adalah Rhodamin B. Menurut Hasanah 2005, pewarna yang beredar di masyarakat umumnya tidak berlabel, dan beberapa diantaranya ada yang
mengandung Rhodamin B. Rhodamin B pada cabe giling juga ditemukan di pasar tradisional
di DKI Jakarta sebesar 63 Djarisnawati et al., 2004. Djarisnawati et al.
2004 menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan pedagang dengan penggunaan Rhodamin B, tetapi ada hubungan antara
pengetahuan pedagang cabe merah giling tentang bahaya Rhodamin B dengan pemberian zat pewarna. Tingkat pendidikan pedagang baik yang
lulusan Sekolah Dasar maupun Perguruan Tinggi tidak mempengaruhi prilaku pedagang dalam menggunakan pewarna pada cabe gilingnya.
Sedangkan pengetahuan tentang bahaya Rhodamin B mempengaruhi prilaku pedagang, pedagang yang mengetahui bahaya penambahan
Rhodamin B tidak menambahkan Rhodamin B pada cabe gilingnya. Jika dibandingkan dengan prilaku pedagang cabe giling di DKI, maka
penyalahgunaan Rhodamin B pada cabe giling di Bogor dapat diperkirakan juga karena pedagang tidak mengetahui bahaya penambahan
Rhodamin B pada cabe gilingnya terhadap kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya.
Penggunaan Rhodamin
B dalam
pangan tidak
hanya disalahgunakan pada cabe giling, beberapa pangan lain yang mengandung
Rhodamin B, misalnya kandungan Rhodamin B pada sosis dan makaroni
di Bogor yaitu masing-masing 1.56 mg100g dan 33.39 mg100g Hasanah, 2005, 60 makanan jajanan anak SD di Jakarta Triana,
2003, 70 terasi di Bogor Hastuti, 2005, serta sirup, limun, es mambo, bakpao, es cendol, es kelapa, serta beberapa kue basah Effendy, 2006
menunjukkan belum ada perbaikan yang berarti dalam hal keamanan pangan karena masih saja ditemukan pangan mengandung Rhodamin B.
Hal ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih giat lagi oleh pemerintah terhadap keamanan pangan karena bahan kimia berbahaya
sehingga dapat menjamin keamanan pangan pada masyarakat.
2. Keamanan Mikrobiologi Cabe Giling