Studi Keamanan Cabe Giling di kota Bogor

(1)

SKRIPSI

STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR

Oleh : ROSARIA F 24103043

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : ROSARIA F24103043

Dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1985 Di Serang Banten

Tanggal lulus: 12 Juli 2007

Bogor, 25 Juli 2007 Menyetujui,

Prof. Dr. Winiati P. Rahayu Dosen Pembimbing Akademik

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


(3)

STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : ROSARIA F 24103043

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(4)

Rosaria. F24103043. Studi Keamanan Cabe Giling di kota Bogor. Dibawah Bimbingan Prof. Dr. Winiati P. Rahayu.

RINGKASAN

Masalah keamanan pangan selalu menarik perhatian masyarakat dan orang-orang yang terkait dalam bidang pangan. Bahan baku dapat menjadi salah satu aspek yang dapat menimbulkan masalah keamanan pangan dan cabe merupakan bahan baku yang banyak digunakan untuk pengolahan pangan. Pada studi ini telah dilakukan survei lapang terhadap pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor untuk mengetahui kondisi umum proses pengolahan cabe giling sehingga dapat diketahui risiko keamanan pangannya.

Berdasarkan survei terhadap 20 orang pedagang, umumnya cabe giling yang beredar di kota Bogor berbahan baku utama cabe merah dan penambahan garam, dan air. Namun berdasarkan analisis keamanan cabe giling menunjukkan bahwa selain penambahan garam NaCl yang berkisar 4,7-6,9 (%b/b), seluruh sampel

cabe giling juga positif mengandung natrium benzoat yang berkisar 326-1284 ppm. Terdapat sekitar 33.3% pedagang yang menambahkan natrium

benzoat melebihi batas maksimum yang diizinkan. Selain penggunaan benzoat yang melebihi batas, 36% sampel cabe giling positif mengandung Rhodamin B yang merupakan pewarna yang dilarang digunakan untuk pangan.

Cabe giling memiliki kadar air 71,6–86,8% (b/b) dan pH 4,7-5.6 sehingga memungkinkan sejumlah mikroba dapat tumbuh pada medium tersebut. Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba pada cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor berkisar antara 7.9 x 104-1.9 x 107 koloni/g. Sedangkan untuk jumlah kapang dan kamir berkisar 9.5 x 103-3.8 x 105 koloni/g, bakteri pembentuk spora berkisar 1.2 x 103-5.6 x 104 koloni/g, jumlah S. aureus berkisar 5.2 x 102-1.2 x 104 koloni/g, koliform <3.0-210 MPN/g dan hasil kualitatif E. coli menunjukkan 62.5% sampel positif E. coli.

Cabe giling di pasar tradisional sering kali tidak habis terjual dalam satu hari karena hanya 25% pedagang yang mengaku cabe gilingnya habis terjual tiap hari. Cabe giling yang tersisa tersebut biasanya disimpan untuk dijual esok harinya. Sebanyak 85% pedagang menyimpan sisa cabe giling hanya dalam wadah tertutup tanpa diberi es, sedangkan 15% pedagang menyimpannya dalam lemari es dan 5% pedagang mengaku membiarkan menyimpannya dalam wadah yang digunakan sebagai tempat menyajikannya tanpa ditutup dan tanpa diberi es. Umumnya (70%) pedagang mengaku cabe giling yang mereka jual dapat bertahan 2 hari, dan 15% pedagang mengatakan cabe giling yang mereka jual dapat bertahan hingga >8 hari.

Pada studi penyimpanan, cabe giling dengan penambahan garam 6% hanya bertahan 1 hari, sedangkan dengan penambahan benzoat 500 ppm cabe giling masih bagus hingga 5 hari, dan penambahan benzoat 1000 ppm dapat memperpanjang daya tahan cabe giling hingga 12 hari.


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirromanirrohim,

Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, SAW, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir, yang berjudul: STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR.

Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. Pihak-pihak tersebut antara lain:

1. Ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mengarahkan penulis.

2. Bapak Dr. Sukarno, MS dan Ibu Ir. Elvira Syamsir, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Bapak H. Rusdi Sayuti dan Ibu Hj. Komala (Ayah-Bunda), Agus, Agung, yang selalu memberikan dukungan moril dan materil yang tak terhingga selama ini.

4. Saudara Azis Mustiko atas perhatian dan dorongan semangat kepada penulis. 5. Laboran dan Pusatakawan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas

Teknologi Pertanian, IPB.

6. KRUCIL: Rucit, Nisa, Epen, Irma, Abdy, Ika, Iin, Dini, Wati, Dian, Indach, dan teman-teman ITP 40, 41, 39. Terima kasih banyak atas kebersamaan dan kekompakannya selama ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dan telah banyak mendukung penulis selama ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2007


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ……….. ii

DAFTAR TABEL ………. iv

DAFTAR GAMBAR ………. v

DAFTAR LAMPIRAN ………. vi

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ………...

B. TUJUAN ………...

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. GAMBARAN UMUM CABE MERAH DAN CABE GILING (Capsicum annum L. ) ………... B. KOMPOSISI KIMIA DAN KONDISI MIKROBIOLOGI CABE MERAH ... C. BAHAN TAMBAHAN PANGAN ... 1. Bahan Pengawet ... 2. Bahan Pewarna ... III. METODOLOGI PENELITIAN

A. LOKASI DAN WAKTU ...………... B. BAHAN DAN ALAT ... C. METODE PENELITIAN ... 1. Kerangka Penelitian ... 2. Studi Pendahuluan ... 3. Survei Kondisi Pedagang Cabe Giling ... 4. Keamanan Pangan Cabe Giling Komersial ... 5. Studi Penyimpanan ... 6. Analisis ...

1 2

3

5 7 7 10

13 13 14 14 15 15 15 16 17


(7)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KONDISI UMUM PEDAGANG CABE GILING DI KOTA BOGOR ... 1. Profil dan Skala Usaha Pedagang Cabe Giling di Kota

Bogor ... 2. Produksi Cabe Giling ... 3. Upaya Pedagang Untuk Menjamin Keamanan Cabe Giling 4. Upaya Pengelola Pasar Dalam Memantau Keadaan Pasar .. B. KEAMANAN PANGAN CABE GILING KOMERSIAL

1. Keamanan Kimiawi Cabe Giling ... 2. Keamanan Mikrobiologi Cabe Giling... C. STUDI PENYIMPANAN...

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ………...

B. SARAN ………...

23

23 25 29 31 32 33 43 54

62 62

DAFTAR PUSTAKA ……… 65


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia cabe merah segar ... 5

Tabel 2. Zat warna yang diizinkan di Indonesia ... 11

Tabel 3. Zat warna sintetik yang dilarang di Indonesia ... 12

Tabel 4. Data sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor ... 16

Tabel 5. Uji IMViC terhadap koliform ... 22

Tabel 6. Uji jenis koliform ... 22

Tabel 7. Bahan baku yang digunakan pedagang cabe giling ... 25

Tabel 8. Mutu kimiawi cabe giling ... 33

Tabel 9. Hasil kualitatif Rhodamin B ... 40

Tabel 10. Mutu mikrobiologi cabe giling ... 43

Tabel 11. Pengamatan visual cabe giling hari ke-0... 55


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian... 14

Gambar 2. Diagram alir pembuatan cabe giling kontrol... 17

Gambar 3. Tingkat pendidikan pedagang cabe giling ... 23

Gambar 4. Jangka waktu menekuni usaha berjualan cabe giling ... 24

Gambar 5. Cara penyimpanan cabe giling yang tidak habis terjual .... 27

Gambar 6. Daya tahan cabe giling ... 29

Gambar 7. Waktu pedagang membersihkan alat dan bahan ... 30

Gambar 8. Perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar 32 Gambar 9. Jumlah total mikroba selama penyimpanan ... 56

Gambar 10. Pengamatan kerusakan cabe giling selama penyimpanan.. 59

Gambar 11. Jumlah kapang kamir selama penyimpanan ... 59

Gambar 12. Jumlah bakteri pembentuk spora (koloni/g) selama penyimpanan ... 60


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuisioner untuk pedagang cabe giling... 71

Lampiran 2. Identitas Pedagang cabe giling yang bersedia jadi responden ... 73

Lampiran 3. Data hasil kuisioner………... 73

Lampiran 4. Identitas cabe giling komersial yang menjadi sampel analisis keamanan ………... 75

Lampiran 5. Hasil uji one way cabe giling komersial ... 76

Lampiran 6a. Kurva serapan maksimum larutan standar Rhodamin B... 80

Lampiran 6b. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling A ... 80

Lampiran 6c. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling B ... ... 80

Lampiran 6d. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling C ... 81

Lampiran 6e. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling D... 81

Lampiran 6f. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling E... 81

Lampiran 6g. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling F... 81

Lampiran 6h. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling G... 81

Lampiran 6i. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling H... 82

Lampiran 6j. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling I... 82

Lampiran 6k. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling J... 82

Lampiran 6l. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling K... 82

Lampiran 6m. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling L... 82

Lampiran 7. Hasil pengamatan TPC (koloni/g) cabe giling…………... 83

Lampiran 8. Hasil pengamatan Kapang dan kamir (koloni/g) cabe giling ... 84

Lampiran 9. Hasil pengamatan S. aureus (koloni/g) cabe giling …... 85

Lampiran 10. Hasil pengamatan Koliform (MPN/g) dan E coli (kualitatif) cabe giling……… 86

Lampiran 11. Hasil pengamatan Bakteri pembentuk spora cabe giling..……….. 88


(11)

Lampiran 13 Hasil uji one way cabe giling selama penyimpanan ... 89 Lampiran 14. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling (tanpa penambahan

Na-benzoat) selama penyimpanan ………... 90

Lampiran 15 Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling (+ Na-benzoat 500

ppm) selama penyimpanan ………...… 90

Lampiran 16. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling (+ Na-benzoat 1000

ppm) selama penyimpanan ………. 91

Lampiran 17. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling G selama

penyimpanan ………... 92

Lampiran 18. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling K selama


(12)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini masalah keamanan pangan sangat menarik perhatian masyarakat dan orang-orang yang terkait dalam bidang pangan. Penyebab potensial utama masalah pangan terletak pada kenyataan bahwa sebelum mencapai konsumen, umumnya pangan terlebih dahulu melalui mata rantai produksi dan rantai pendistribusian yang kompleks serta panjang.

Berita media massa seringkali memuat terjadinya kasus keracunan pangan serta penggunaan bahan kimia berbahaya yang membahayakan kesehatan. Menurut Rahayu (2006), kasus keracunan pangan yang paling sering dilaporkan di Indonesia tahun 2004-2006 adalah keracunan akibat pangan rumah tangga, pangan jajanan, dan pangan olahan. Dari pengujian terhadap 13.536 sampel pangan yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) tahun 2006 diketahui bahwa 11.871 (87.69%) sampel memenuhi syarat (MS) dan 1.665 (12.31%) sampel tidak memenuhi syarat (TMS). Pangan yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena menggunakan: pemanis buatan (31%) dan benzoat (7.93%) melebihi batas yang dipersyaratkan; penyalahgunaan: formalin (8.88%), boraks (8.05%), dan pewarna bukan untuk makanan (12.67%); cemaran mikroba (19.10%); dan TMS lainnya (12.13%) (Badan POM, 2007).

Salah satu bahan pangan yang dapat menimbulkan masalah dalam hal keamanan pangan adalah bumbu. Salah satu jenis bumbu yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah cabe giling yang terbuat dari cabe merah.

Cabe giling merupakan salah satu bentuk olahan cabe merah yang banyak dijual di sejumlah pasar di kota Bogor. Cabe giling banyak digunakan para ibu rumah tangga maupun pedagang pangan olahan karena praktis. Cabe giling merupakan hasil olahan cabe yang digiling menggunakan mesin giling dengan penambahan bahan-bahan lain seperti garam, dan sedikit air (Setiadi, 1987). Beberapa pedagang cabe giling bahkan telah menambahkan zat


(13)

pewarna kedalam dagangannya. Berdasarkan penelitian Djarisnawati et al. (2004), 63% cabe giling yang dijual di pasar tradisional DKI Jakarta positif menggunakan Rhodamin B untuk memperoleh keseragaman warna produk.

Cabe giling yang beredar di kota Bogor biasanya dipasarkan dalam bentuk curah dan dijual secara eceran dalam wadah bak plastik yang terbuka atau dikemas dalam kantung plastik berbagai ukuran. Keadaaan seperti ini selain memungkinkan tumbuhnya mikroba penyebab kebusukan, juga memungkinkan tumbuhnya beberapa jenis mikroba yang dapat menimbulkan penyakit.

Berdasarkan risiko keamanan dari cabe giling yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, perlu dilakukan studi keamanan cabe giling yang beredar di masyarakat untuk mengetahui keamanan cabe giling komersil di kota Bogor. Pada studi ini telah dilakukan survei lapang terhadap pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor untuk mengetahui kondisi umum proses pengolahan cabe giling di kota Bogor, dengan demikian dapat diupayakan membuat cabe giling yang aman dan memiliki daya tahan yang lama.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan kimia dan mikrobiologi cabe giling yang dijual pedagang di kota Bogor. Selain itu dilakukan pula penelitian tentang penggunaan bahan pengawet yang aman untuk cabe giling. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi keamanan konsumen cabe giling dan memberikan rekomendasi bagi produsen cabe giling untuk meningkatkan mutu dan keamanan produk cabe giling di pasar.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. GAMBARAN UMUM CABE MERAH DAN CABE GILING (Capsicum annum L.)

Cabe merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran dan rempah-rempah yang banyak dikonsumsi masyarakat. Tanaman cabe merah diperkirakan memiliki ±20-30 spesies. Berdasarkan tingkat kematangannya cabe merah dibagi menjadi dua, yaitu buah muda atau cabe hijau dan buah tua atau cabe merah. Sedangkan berdasarkan morfologinya cabe dibedakan menjadi cabe besar panjang (C. annum var. longum), cabe keriting (C. annum sp.), cabe bulat pendek (C. annum var. abbreviate), paprika (C. annum var. grosum), cabe rawit (C. frutescens), C. baccatum, C. pubescens, dan C. chinese (Rukmana dan Yuniarsih, 2005).

Produksi cabe merah di Indonesia seluruhnya merupakan hasil usaha rakyat. Daerah yang banyak ditanami cabe adalah Yogyakarta, Wonosobo, Pekalongan, dan Cirebon. Komoditi cabe di kota Bogor menempati 13,26% luas tanam dari jumlah produksi tanaman hortikultura di kota Bogor. Luas areal tanaman cabe merah di kota Bogor pada tahun 2005 adalah 112.41 Ha dengan jumlah produksi sebanyak 297.13 ton (BPS, 2006). Selama sepuluh tahun terakhir peningkatan permintaan cabe oleh konsumen rumah tangga mencapai 6.2% per tahun dan permintaan diperkirakan akan semakin meningkat ditahun-tahun mendatang untuk memenuhi kebutuhan bahan baku berbagai industri pengolahan pangan dan sasaran ekspor (Rukmana dan Yuniarsih, 2005).

Dalam dunia perdagangan, cabe merah dipasarkan dalam bentuk seperti cabe merah segar, cabe giling, cabe kering, oleoresin, saus cabe, macam-macam sambal dan acar dalam botol. Pada industri obat-obatan, cabe merah terutama digunakan untuk campuran dalam pembuatan obat gosok untuk menghilangkan rasa gatal dan pegal, dan menghilangkan rasa lesu (Rukmana dan Yuniarsih, 2005).


(15)

Pengolahan pangan dapat menghasilkan produk yang lebih praktis digunakan, mudah dalam pengangkutan dan penyimpanan (Syarief dan Halid, 1993). Salah satu contoh produk olahan cabe adalah cabe giling. Ditinjau dari kepraktisannya, cabe giling relatif lebih praktis digunakan dibanding cabe segar. Selain itu dengan mengolah cabe segar tersebut menjadi cabe giling akan lebih mudah dalam hal pengangkutan dan penyimpanan (Hardiansyah, 2003).

Cabe giling yang dijual dipasar ada dua jenis, yaitu cabe giling halus dan cabe giling kasar. Cabe giling halus diperoleh dari penggilingan cabe hingga semua komponen cabe halus dan tidak tampak sedikitpun sisa hancuran biji cabe tersebut, sedangkan cabe giling kasar masih mengandung biji cabe utuh. Cabe giling kasar biasanya dibuat tanpa penambahan air. Pembuatan cabe giling halus dan kasar hanya berbeda pada pengaturan jari-jari mesin penggiling cabe yang digunakan (Lubis, 2000).

Penentuan mutu cabe giling masih merujuk pada syarat mutu cabe segar dan saus cabe karena hingga saat ini belum ada syarat mutu produk cabe giling menurut Standar Nasional Indonesia. Syarat mutu saus cabe yang baik menurut SNI 01-2976-1992 adalah mengandung jumlah padatan sebesar 20-40%, tidak mengandung logam berbahaya (Pb, Hg, Cu, dan Zn), kadar kotoran maksimum 1%, bau dan rasa normal dan khas cabe, secara mikroskopis tidak mengandung kapang, dan apabila menggunakan pengawet dan pewarna sesuai dengan yang diizinkan.

Berdasarkan penelitian Lubis (2000), cabe giling halus yang diberi perlakuan panas oven microwave (selama dua menit) dan autoklaf (121 0C, tekanan 15 psi selama 15 menit) serta penambahan natrium benzoat 0.05, 0.75, dan 0.1% masih menunjukkan mutu mikrobiologis yang lebih baik dibandingkan dengan cabe giling kasar dengan perlakuan penambahan natrium benzoat yang sama selama penyimpanan 35 hari. Sedangkan hasil penelitian Sayekti (1998), cabe giling yang dibuat dengan penambahan 0.05% natrium benzoat, 0.8% asam asetat, 0.15% asam askorbat, dan 0.15% natrium bisulfit dapat bertahan hingga 56 hari.


(16)

B. KOMPOSISI KIMIA DAN KONDISI MIKROBIOLOGI CABE MERAH

Komposisi buah cabe segar yang baru dipetik ditentukan oleh spesies, cara perawatan tanaman, kondisi lingkungan tempat tumbuh dan tingkat kematangan saat dipanen. Selanjutnya perubahan kimia relatif terjadi setelah pemanenan selama pematangan, pengeringan, pengolahan dan penyimpanan (Setiadi, 1987). Kondisi ini terefleksi dalam unsur penyusun pokok (komposisi kimia) yang relatif beragam. Komposisi kimia cabe merah segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Komposisi kimia cabe merah segar*

Komponen Komposisi (% bb)

Kadar Air 87-90

Kadar Karbohidrat 54-58

Kadar Pati 0.5-1.5

Kadar Protein 11-14

Kadar Total Abu 5-6

Kadar Komponen volatil 0.7-2.6

Kadar Komponen nonvolatil 15-22

Kadar Asam Askorbat 0.029-0.063

*

(Setiadi, 1987)

Warna merah pada cabe disebabkan adanya pigmen karotenoid yaitu capsanthin, capsorubin, lutein, zeaxanthin, caroten, dan kriptoxantin (Prabaningrum et al., 1996). Menurut Reeves (1987), sekitar 60% dari total karotenoid pada cabe merah tersusun atas capsanthin. Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang larut dalam lemak dan dapat mengabsorpsi cahaya tampak pada panjang gelombang 400-500 nm. Pigmen karotenoid mudah teroksodasi oleh cahaya, udara, dan panas sehingga menyebabkan memudarnya warna pada buah dan sayur (Kanner et al., 1977). Jumlah dan perbandingan komponen karotenoid pada cabe bervariasi, tergantung kematangan, varietas, agroteknik, dan klimatologi (Purseglove et al., 1981).

Komponen rasa pedas cabe yang utama adalah capsaicin dan dihidrocapsaicin (1.5% b/b), dan beberapa komponen lain yaitu homocapsaicin, nordihidrocapsaicin, dan homodihidrocapsaicin dalam konsentrasi sangat kecil. Capsaicin pada cabe juga dapat berfungsi sebagai


(17)

antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Purseglove et al., 1981). Menurut penelitian Dewanti (1984), bubuk cabe merah tanpa biji dapat menghambat pertumbuhan L. fermentum pada konsentrasi 1 mg/L dan pada konsentrasi 3 mg/L dapat menghambat B. subtilis, tetapi bubuk cabe merah tanpa biji tidak dapat menghambat pertumbuhan E. coli dan S. aureus.

Sayuran merupakan bahan pangan yang sering terkontaminasi oleh tanah dan kotoran. Kontaminasi dapat terjadi selama pemanenan, pengangkutan maupun pemasaran. Penanganan pascapanen cabe merah di Indonesia masih tergolong sederhana. Selama pemanenan, cabe sering ditempatkan di tanah sehingga cabe menjadi kotor akibat tanah yang melekat. Kontaminasi dapat pula berasal dari tempat yang digunakan selama pengangkutan dan tempat-tempat penjualan cabe.

Menurut Feng (1997), sayuran segar umumnya mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi yaitu sekitar 102-106 koloni/g termasuk koliform fekal 104 koloni/g dan koliform non-fekal sebanyak 102-103 koloni/g. Sedangkan jumlah kapang dan kamir pada sayuran segar adalah 105 koloni/g (Lund, 2000). Sedangkan menurut penelitian Isyanti (2001), jumlah mikroba pada sayuran segar di Bogor Barat adalah 106-108 koloni/g. Ruslan (2003) melaporkan jumlah mikroba pada sayur olahan pada gado-gado di Bogor Barat menunjukkan angka 104-107 koloni/g.

Syarat mutu cabe yang baik tidak mengandung jumlah mikroba lebih dari 105 koloni/g dan tidak mengandung mikroba patogen seperti Salmonella, Shigella, dan Streptococcus (Prajnanta,1995). Mikroba yang banyak ditemukan pada cabe adalah Bacillus subtilis, koliform, dan Clostridium perfringens. Sedangkan kapang yang banyak terdapat pada cabe adalah Aspergillus sp., Rhizopus, Penicillium, dan Absidia (Feng, 1997). Salah satu syarat mutu produk olahan cabe antara lain SNI 01-2976-1992, menyebutkan syarat mutu untuk saus cabe adalah maksimal total mikroba 105 kol/g, koliform102 MPN/g, S. aureus 10 MPN/g, serta tidak mengandung E. coli dan Salmonella. Sedangkan untuk bubuk cabe kering, pikel cabe, cabe giling, oleoresin dan lainnya belum memiliki standar mutu nasional.


(18)

Beberapa saus cabe yang beredar di masyarakat masih belum memenuhi standar. Menurut penelitian Wati (1997), sebanyak 60% saus cabe di supermarket di Bogor ternyata belum memenuhi standar SNI 01-2976-1992 (tentang saus cabe) karena mengandung total mikroba lebih dari 105 koloni/g dan mengandung S. aureus lebih dari 10 MPN/g.Agustina (2002) melaporkan saus cabe di beberapa kantin sekolah di Bogor tidak memenuhi standar karena masih mengandung E. coli 1.3 x 101 koloni/g dan berpeluang 50% mengandung Salmonella.

C. BAHAN TAMBAHAN PANGAN

Bahan Tambahan Pangan (BTP) menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai pangan dan bukan merupakan ingredien khas pangan, memiliki atau tidak nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam proses pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas pangan tersebut. Tujuan penggunaan BTP dalam pangan diantaranya adalah untuk mengawetkan pangan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan, meningkatkan palatabilitas pangan, memberikan warna dan aroma yang lebih menarik, serta menghemat biaya. Berdasarkan fungsinya, bahan tambahan pangan dapat dikelompokkan menjadi antioksidan, antikempal, asidulan, enzim, pemanis buatan, pemutih dan pematang, penambah gizi, pengawet, pengemulsi dan pemantap, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, sekuestran, serta BTP lain.

1. Bahan Pengawet

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mudah rusak. Bahan ini berfungsi menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Bahan pengawet yang digunakan untuk pangan sangat beragam jenisnya dan dipengaruhi keadaan produk atau bahan yang akan diawetkan.


(19)

Umumnya, bahan pengawet yang sering digunakan sebagai pengawet pangan adalah garam dapur, asam dan garam benzoat, sorbat, propionat, asetat, etilen oksida (Winarno, 1990).

Berdasarkan batasan konsentrasi penggunaannya, bahan pengawet terbagi menjadi golongan GRAS (Generally Recognize As Safe) dan mempunyai nilai ADI (Acceptable Daily Intake). Golongan GRAS merupakan zat yang relatif aman dan tidak berefek toksik misalnya garam, gula, dan asam cuka, sedangkan golongan lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake) memiliki ketetapan batas penggunaan harian demi menjaga dan melindungi kesehatan konsumen (Winarno, 1990). Bahan pengawet yang sering digunakan untuk mencegah kerusakan oleh mikroba dan memperpanjang umur simpan produk cabe giling adalah garam dapur (NaCl) dan benzoat (Lubis, 2000).

a. Garam Dapur (NaCl)

Garam dapur selain bertujuan memberi rasa asin pada pangan, mampu mengurangi kelarutan oksigen dan mempengaruhi Aw suatu substrat dengan mekanisme penyerapan air dari media sehingga mengontrol pertumbuhan mikroba. Sifat antimikroba garam dapur dikontribusikan oleh ion klorida. Menurut Soekarto (1985), penggunaan garam untuk memberi rasa asin pada pangan biasanya digunakan 1-2% (b/v), sedangkan untuk pengawetan digunakan garam dapur sebanyak 5-15% (b/v).

Ketahanan mikroba terhadap garam NaCl sangat bervariasi. Konsentrasi NaCl yang relatif rendah akan memacu pertumbuhan mikroba sedangkan konsentrasi yang tinggi akan menghambat pertumbuhannya. Menurut Fardiaz (1992), penggunaan garam dapur sebanyak 10% dapat menghambat semua galur Clostridium botulinum. Kadar garam 10% setara dengan Aw 0.94. Bakteri koliform tidak tumbuh pada kadar garam yang cukup tinggi. Nilai Aw minimum untuk beberapa galur koliform adalah 0.96. Berdasarkan penelitian Lubis (2000), penambahan garam dapur pada konsentrasi 6% pada cabe giling sudah


(20)

mampu memenuhi fungsi garam sebagai pengawet dengan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri pembentuk spora. Rasa asin pada kadar tersebut pun dapat diterima panelis.

b. Asam Benzoat

Asam benzoat (C6H5COOH) merupakan bahan pengawet yang luas penggunaannya dan sering digunakan pada bahan pangan yang asam. Bahan ini efektif digunakan untuk mencegah pertumbuhan kamir dan bakteri. Benzoat efektif pada pH 2.5-4.0 dan menjadi kurang efektif pada pH >4.5 (Winarno, 1997).

Menurut Lewis (1989), mekanisme aktivitas benzoat sebagai pengawet adalah kemampuan asam benzoat melisis membran sel mikroba sehingga menghambat aktivitas metabolisme sel, mengganggu penggunaan asetat sehingga tidak terbentuk energi untuk metabolisme, serta kemampuan asam benzoat melepaskan koenzim dengan enzim sehingga enzim menjadi inaktif.

Benzoat lebih sering digunakan dalam bentuk garamnya karena kelarutan benzoat lebih besar dalam bentuk garamnya. Menurut Lewis (1989), kelarutan garam Na-benzoat pada suhu 25 0C dalam air sebesar 50 g/100ml, sedangkan kelarutan asam benzoat dalam air hanya 0.34 g/100ml. Garam benzoat dalam bahan pangan akan terurai menjadi bentuk efektif, yaitu bentuk asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Natrium benzoat lebih efektif membunuh kamir dibandingkan dengan bakteri. Kebutuhan Na-benzoat pada pH 2.3-3.4 agar efektif adalah sebesar 0.02-0.03%, sedangkan pada pH 3.5-4.0 sebesar 0.06-0.1% (Lewis, 1989).

Asam benzoat memiliki toksisitas yang rendah bagi hewan dan manusia karena asam benzoat dalam tubuh mengalami mekanisme detoksifikasi, sehingga tidak terjadi pemupukan di dalam tubuh. Asam benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh (Winarno, 1997). Batas maksimum penggunaan natrium benzoat dalam bentuk tunggal (penggunaan tidak


(21)

dikombinasikan dengan jenis bahan pengawet lain) untuk produk saus, sirup, acar timun, keju, dan pangan lain kecuali daging, ikan, dan unggas diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.722/Menkes/Per/IX/1988 adalah 1000 ppm. Pemakaian natrium benzoat yang berlebihan selain dapat mengakibatkan bau menyengat yang tidak enak dan rasa pahit juga dapat menimbulkan keracunan yang ditandai gejala pusing, mual dan muntah (Davidson et al.,1993).

2. Bahan Pewarna

Zat warna yang terdapat pada pangan dapat berasal dari: (a) pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan, sebagai

contoh klorofil yang memberi warna hijau, karoten yang memberi warna jingga sampai merah, dan mioglobin yang memberi warna merah pada daging, (b) reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan sehingga akan memberikan warna cokelat sampai kehitaman, contohnya pada kembang gula karamel, atau pada roti bakar, (c) reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi, reaksi ini memberikan warna gelap misalnya pada susu bubuk yang disimpan lama, (d) reaksi senyawa organik dengan udara (oksidasi) yang menghasilkan warna hitam, misalnya warna gelap atau hitam pada permukaan buah-buahan yang telah dipotong dan dibiarkan di udara terbuka beberapa waktu, dan (e) penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik (Winarno, 1997).

Penggunaan zat pewarna dalam pangan umumnya ditambahkan untuk menyeragamkan warna dan menambah daya tarik dan penerimaan suatu bahan pangan. Penggunaan zat pewarna dalam pangan perlu diwaspadai karena hanya zat pewarna yang diizinkan saja yang boleh digunakan. Peraturan mengenai bahan pewarna sintetis yang diizinkan untuk pangan dan minuman di Indonesia diatur dalam Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88 dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan bahan pewarna yang dilarang digunakan di Indonesia diatur dalam Peraturan Menkes RI No. 239/Menkes/Per/V/85 dapat dilihat pada Tabel 3.


(22)

Menurut Winarno (1993), lebih dari 90% zat pewarna yang digunakan untuk pangan adalah zat pewarna sintetik dan ironisnya sering kali masih ditemukan produk pangan dan minuman yang mengandung zat pewarna nonpangan. Pemakaian zat pewarna yang tidak diizinkan ini akan membahayakan kesehatan. Bahan pewarna yang demikian disebut bahan kimia berbahaya (Winarno, 1990).

Tabel 2.Zat warna yang diizinkan di Indonesia

Warna Nama Batas pemakaian (ppm)

Merah Oranye Hijau Biru Kuning Kuning Ungu Hijau Coklat

Erythrosin

Sunset yellow FCF Fast green FCF Brilliant Blue FCF Tartrazine

Quineline FCF Violet GB Food green S Chocolate Brown Hr

15-300 12-300 100-300 100-300 secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya

Rhodamin B adalah salah satu zat pewarna sintetik non pangan berwarna merah yang banyak disalahgunakan dalam pengolahan bahan pangan. Hasil penelitian Djarisnawati et al. (2004) menunjukkan 63% cabe giling yang dijual di pasar tradisional di DKI Jakarta positif menggunakan Rhodamin B. Hastuti (2005) melaporkan 70% terasi yang digunakan pedagang di lingkar kampus IPB Darmaga Bogor positif mengandung Rhodamin B. Penelitian yang dilakukan Hasanah (2005) menunjukkan kandungan Rhodamin B sebesar 33.39 mg/100g dan 1.56 mg/100g pada makanan jajanan makaroni dan sosis di Sekolah Dasar di Bogor Tengah.

Rhodamin B memiliki rumus molekul C28H31N2O3Cl dan berat molekul 479. Rhodamin B berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu-kemerahan, dapat larut dalam air, alkohol, HCl, dan NaOH dan menghasilkan warna merah kebiruan dan berflouresensi kuat (Sihombing, 1987). Zat warna ini memiliki banyak sinonim nama antara lain: D & C Red no.19, Food Red 15, Briliant Pink B, ADC Rhodamin B, dan Rheonine B (Anonim, 2006).


(23)

Tabel 3. Zat warna sintetik yang dilarang di Indonesia

Nama pewarna Nama pewarna

Ammaranth Auramin Black 7984 Butter Yellow Chocolate Brown FB Metanil Yellow Oil Orange SS Fast Yellow AB

Oil Yellow OB Orchil & Oreein Orange G Orange GGN Rhodamin B Sudan I Magenta Violet GB

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang zat warna, Rhodamin B dinyatakan

sebagai bahan berbahaya. Rhodamin B no. Indeks 45170 (C. I. Food red 15) bersifat karsinogenik dan menyerang hati. Rhodamin B bersifat toksik, menghambat pertumbuhan mencit, menyebabkan diare, urin berflouresensi, bahkan dapat menyebabkan kematian lebih awal sekalipun dosis yang digunakan cukup rendah (0.117 mg/kg berat badan) (Basrah, 1987). Umumnya pewarna ini digunakan untuk pewarna kertas, wol, dan sutra.

Rhodamin B tidak dapat dicerna oleh tubuh dan akan mengendap secara utuh dalam hati sehingga lambat laun dapat menyebabkan kerusakan hati. Rhodamin B juga menyebabkan kanker hati pada mencit (16.6%), kanker limfa pada tikus (8.3%), dan dilatasi kantung kemih pada tikus (11.1%) (Samsudin, 2004). Menurut Sihombing (1987), tikus yang diberi 1 g Rhodamin B ke dalam setiap 3 kg makanan menunjukkan perubahan prilaku tikus yang abnormal. Tikus tersebut menjadi cenderung agresif dan menunjukkan tanda-tanda kanibal, diskolorasi dan degradasi warna rambut dan kulit menjadi kemerah-merahan dan kasar.

Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Hokoriku Jepang, efek Rhodamin B pada kosmetik dapat menghambat proliferasi fibroblas pada kultur sistem. Rhodamin B pada takaran 25 µg/ml secara signifikan menyebabkan pengurangan sel setelah 72 jam dalam kultur. Rhodamin B juga dapat mengurangi jumlah sel vaskuler endothelial pembuluh darah sapi dan sel otot polos pada pembuluh darah hewan berkulit duri setelah 72 jam dalam kultur (Anonim, 2006).


(24)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. LOKASI DAN WAKTU

Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel di kota Bogor dan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan selama lima bulan (Januari-Mei 2007).

B. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang diteliti adalah cabe merah giling halus komersial dari pasar-pasar tradisional di kota Bogor, sedangkan untuk membuat cabe giling kontrol dibutuhkan cabe merah segar, garam dapur, natrium benzoat, dan air.

Bahan- bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah aquades, larutan standar Rhodamin B, amonium hidroksida 2% dalam etanol, dietil eter, NaOH 10%, HCl 0.1 M, K2CrO4 5%, larutan AgNO3 0.1 M, NaCl, klorofom, NaOH 10%, alkohol, fenolftalin, NaOH 0.05 M.

Bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah larutan pengencer NaCl 0.85%, 5% alfa naftol dalam 40% KOH, indikator merah metil, pereaksi Kovacs dan media pertumbuhan mikroba (Plate Count Agar, Acidified Potato Dextrose Agar, Vogel Johnson Agar, Brilliant Green Lactose Bile Broth, Eosin Methylen Blue Agar, Trypthone Broth, medium Koser Sitrat,dan medium MR-VP).

Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia dan mikrobiologi antara lain: kertas Whatmann No.4, labu pemisah, rotary evaporator, penangas air, cawan aluminium, cawan porselen, desikator, penangas air, labu takar, oven, pHmeter Beckmann, spektrofotometer UV 2010, dan alat-alat gelas lainnya.


(25)

C. METODE PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian

Studi Pendahuluan

Perumusan masalah dan tujuan penelitian Studi pustaka

Pengambilan data pasar di kota Bogor Penyusunan kuisioner (Lampiran.1)

Jumlah pedagang cabe giling di kota Bogor Survei Kondisi Pedagang

Pengumpulan data dengan kuisioner Analisis data

Penentuan pedagang Keamanan Cabe Giling Komersil

Sampling Analisis

Analisis mikrobiologi Analisis kimia

total mikroba (TPC), kapang dan kamir, kadar air, kadar NaCl, S. aureus, E. coli dan koliform, kadar natrium benzoat,

bakteri pembentuk spora Rhodamin B, nilai pH

Mutu cabe giling komersial Studi Penyimpanan

Pengamatan kerusakan selama penyimpanan suhu ruang (Analisis: pH, TPC, kapang dan kamir, bakteri pembentuk spora)

cabe giling kode G dan kode K (natrium benzoat di bawah batas maksimum, tidak mengandung Rhodamin B dan E.coli) cabe giling yang dibuat dengan

penambahan natrium benzoat 0, 500, 1000 ppm


(26)

Penyusunan Laporan

Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian 2. Studi Pendahuluan

Penelitian dimulai dengan studi pendahuluan yang mencakup perumusan masalah dan tujuan penelitian, serta pencarian literatur yang relevan dengan cabe. Selanjutnya dilakukan survei awal untuk mengetahui jumlah pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor. Menurut data Badan Pusat Statistik (2006), pasar tradisional yang terdapat di wilayah kota Bogor ada tujuh yakni Pasar Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, dan Pasar Merdeka.

Berdasarkan observasi yang dilakukan di tujuh pasar tradisional di kota Bogor diperoleh data jumlah pedagang cabe giling di kota Bogor adalah 30 pedagang yang tersebar di tujuh pasar tradisional di kota Bogor. Pedagang yang didata adalah pedagang cabe giling yang berada di dalam kawasan gedung utama pasar.

3. Survei Kondisi Pedagang Cabe Giling

Pada tahap ini dilakukan survei untuk mengetahui kondisi pasar secara umum melalui pengisian kuisioner (Lampiran 1) dan wawancara terhadap 20 orang pedagang cabe giling yang bersedia menjadi responden. Pengumpulan data meliputi profil pedagang (usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin), skala usaha (jangka waktu menekuni usaha cabe giling, kapasitas produksi, pemasaran), dan kondisi sanitasi cabe giling di pasar. Data identitas pedagang yang bersedia menjadi responden dapat dilihat pada Lampiran 2, sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor dan jumlah pedagang yang bersedia menjadi responden dapat dilihat pada Tabel 4.

4. Keamanan Pangan Cabe Giling Komersial

Penentuan sampel yang dianalisis berdasarkan keterwakilan tiap pasar dan daya simpan cabe giling yang mereka jual. Data ini diperoleh dari hasil


(27)

survei (Lampiran 3) sehingga ditentukan pedagang yang akan dijadikan sebagai sampel akan mewakili tiap pasar di kota Bogor dengan daya simpan yang berbeda-beda. Identitas sampel dapat dilihat pada Lampiran 4.

Pengambilan sampel dilakukan dua kali ulangan untuk masing-masing pedagang dengan selang waktu antara ulangan ke-1 dan ulangan ke-2 adalah dua minggu dari pengambilan sampel ulangan pertama pada pedagang yang sama. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari (± pukul 06.00 WIB). Sampel dibawa dari pasar ke Laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dengan menggunakan es batu dan rice bucket. Untuk analisis Rhodamin B dilakukan pengambilan sampel untuk ulangan ke-3 yang dilakukan pada akhir bulan Mei karena variasi data pada ulangan ke-1 dan ke-2 yang tinggi.

Analisis keamanan meliputi analisis pH, kadar natrium benzoat, kandungan zat pewarna Rhodamin B, kadar air serta uji mikrobiologi (jumlah total mikroba (TPC), kapang dan kamir, bakteri pembentuk spora, Staphylococcus aureus, E. coli dan koliform). Analisis dilakukan duplo untuk setiap ulangan.

Tabel 4. Data sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor

Nomor Lokasi Berjualan Pedagang

Cabe Giling responden

1 Pasar Bogor 12 5

2 Pasar Kebon Kembang 10 7

3 Pasar Padasuka 1 1

4 Pasar Sukasari 1 1

5 Pasar Gunung Batu 3 3

6 Pasar Jambu dua 1 1

7 Pasar Merdeka 2 2

Total 30 20

5. Studi Penyimpanan

Pada tahap ini dilakukan pengamatan kerusakan cabe giling komersial. Sampel yang dipilih untuk diamati adalah sampel cabe giling kode G dan kode K (Lampiran 4) karena memiliki mutu yang lebih baik (penggunaan kadar natrium benzoat masih dalam batas yang diizinkan, tidak


(28)

mengandung Rhodamin B dan E. coli) dibandingkan dengan cabe giling lainnya. Sampel ini dibandingkan dengan cabe giling yang dibuat tanpa penambahan natrium benzoat, dan dengan penambahan natrium benzoat 500 dan 1000 ppm. Pembuatan cabe giling dilakukan seperti pada Gambar 2.

Penyimpanan dilakukan pada suhu kamar pada wadah tertutup. Pengamatan dilakukan setiap hari dan dihentikan sampai cabe giling tidak dapat diterima lagi secara organoleptik (visual: mulai terbentuk kapang di permukaan atau lendir; aroma: mulai tercium bau busuk seperti asam atau apek). Parameter kerusakan yang diamati adalah nilai pH, total mikroba, jumlah kapang kamir, dan bakteri pembentuk spora. Analisis dilakukan duplo.

Disortasi Dicuci

Digiling halus

Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan cabe giling

6. Analisis

a. Nilai pH (Apriyantono et al., 1989)

Contoh sebanyak 25 g diencerkan dengan 225 ml aquades kemudian diaduk hingga homogen. Pengukuran pH dilakukan menggunakan alat pHmeter Beckmann.

b. Kadar Natrium benzoat (Apriyantono et al., 1989)

Natrium benzoat dianalisis secara kuantitatif. Prinsip analisis adalah menghitung ppm natrium benzoat dari hasil titrasi NaOH standar terhadap

5 % air, 6% NaCl (b/b)

Cabe merah giling Cabe merah segar

Natrium benzoat 0, 500, 1000 ppm


(29)

residu asam benzoat yang diekstrak dari larutan natrium benzoat yang diasamkan dengan HCl berlebih.

1) Persiapan sampel

25 g sampel ditempatkan ke dalam gelas piala 250 ml dan ditambahkan 4 g NaCl. Gelas piala dibilas dengan larutan NaCl jenuh (26% b/v) dan ditambahkan NaOH 10% hingga pH menjadi alkali (diukur dengan pHmeter menunjukkan nilai pH ±8.0). Kemudian ditempatkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan larutan NaCl jenuh. Kemudian dibiarkan semalaman dalam shaker suhu ruang. Larutan disaring dengan kertas Whatmann No.4.

2) Penetapan sampel

Filtrat contoh dipipet sebanyak 50 ml dan ditempatkan dalam labu pemisah. Kemudian dinetralkan dengan penambahan HCl (diukur dengan pHmeter menunjukkan nilai pH ±7.0), kemudian ditambahkan 2.5 ml HCl. Larutan yang telah dinetralkan diekstrak menggunakan klorofom beberapa kali dengan volume kloroform 30, 30, dan 25 ml. Lapisan klorofom yang terbentuk dipisahkan dari emulsi. Kemudian ekstrak kloroform diuapkan dalam waterbath hingga kloroform menguap dan diperoleh residu asam benzoat. Residu asam benzoat dilarutkan dalam 50 ml alkohol, ditambahkan 15 ml aquades dan 1-2 tetes fenolftalin kemudian dititrasi dengan NaOH 0.05 N.

Kadar natrium benzoat (ppm Na-benzoat anhidrat) dihitung dengan rumus = Vtiter x N NaOH x BM Na-benzoat x V1x 106

V2 x berat sampel (gram) Keterangan:

Vtiter = Volume NaOH titran yang digunakan (liter) N NaOH = Normalitas NaOH yang digunakan (0.05 N) BM Na-benzoat = Bobot Molekul natrium benzoat (144) V1 = Volume larutan persiapan sampel (ml) 106 = Faktor konversi bilangan ppm


(30)

c. Kadar Air (Harjadi, 1993)

Cawan dikeringkan pada oven suhu 195 0C selama 30 menit. Kemudian ditimbang setelah sebelumnya didinginkan dalam desikator terlebih dahulu. Sebanyak tiga gram contoh dimasukkan kedalam cawan, kemudian dikeringkan pada oven suhu 105 0C selama tiga jam. Contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh dikeringkan kembali selama 15-30 menit, lalu contoh ditimbang kembali hingga diperoleh berat relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang 0.0003 g). Kadar air dihitung sebagai persentase kehilangan berat contoh.

d. Kadar NaCl (Apriyantono et al., 1989)

Kadar NaCl dianalisis dengan metode Mohr. Metode ini dilakukan dengan mentitrasi sampel kering hasil pengabuan dengan titran perak nitrat (AgNO3).

Cawan dikeringkan pada suhu 550 0C selama 15 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator. Sampel ditimbang dan dimasukkan kedalam cawan, kemudian dikeringkan pada suhu 550 0C selama enam jam atau hingga diperoleh abu putih. Contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang hingga diperoleh berat yang tetap.

Abu ditempatkan dalam cawan dan dibilas dengan 10-15 ml aquades. Kemudian larutan abu tersebut dipindahkan kedalam erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan 1 ml larutan K2CrO4 5%. Titrasi dengan larutan AgNO3 0.1 M hingga larutan sampel berwarna oranye merah.

Kadar NaCl (%b/b) dihitung dengan rumus = M AgNO3 x V AgNO3 x BM NaCl x 100%

berat sampel (gram) Keterangan:

M AgNO3 = Molaritas AgNO3 yang digunakan (0.1 M)


(31)

BM NaCl = Bobot Molekul NaCl (58.4)

e. Zat pewarna Rhodamin B (Metode Analisis 16/MM/00 PPOMN-BPOM) Prinsip analisis dengan metode ini adalah ekstraksi zat warna Rhodamin B dalam sampel. Ekstrak diidentifikasi dengan membandingkan profil kurva serapan maksimum sampel dengan kurva serapan maksimum larutan standar Rhodamin B.

1) Persiapan larutan standar Rhodamin B

0.01 gram Rhodamin B (BM= 479) dilarutkan dalam 100 ml HCl 0.1 N sehingga diperoleh larutan standar Rhodamin B 2.09 x 104 M (±200 ppm Molaritas). Larutan ini diencerkan hingga 5 ppm agar tidak terlalu pekat sehingga serapan larutan dapat terbaca alat spektrofotometer. 2) Penentuan sampel

20 gram sampel dilarutkan dalam 50 ml larutan NH4OH 2% dalam etanol, didiamkan kemudian disaring. Cairan diuapkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh filtrat. Filtrat dilarutkan dalam aquades 30 ml, ditambahkan NaOH 10%, dan diekstraksi menggunakan eter 30 ml. Ekstrak eter dicuci dengan 20 ml NaOH 5% dan dilakukan pengekstrakan menggunakan eter 30 ml sekali lagi. Kemudian ekstrak dicuci dengan 20 ml HCl 0.1 N hingga lapisan asam berwarna merah.

3) Pengukuran spektrofotometri

Lapisan berwarna merah diukur absorbansinya untuk memperoleh kurva serapan maksimumnya dengan alat spektrofotometer HITACHI UV 2010 pada setiap panjang gelombang (scanning) dengan interval 450-600 nm, sehingga diketahui daerah spektrum yang diserap. Profil serapan maksimum sampel dibandingkan dengan profil serapan maksimum larutan standar Rhodamin B. Sampel positif mengandung Rhodamin B jika profil serapan maksimum sampel sama dengan profil serapan larutan standar Rhodamin B.


(32)

Contoh sebanyak 25 g diencerkan dengan 225 pelarut garam fisiologis (NaCl 0.85%) kemudian dilakukan pengenceran menjadi beberapa seri pengenceran. Hasil pengenceran contoh dipipet satu ml dan dipupuk dengan media sebanyak ±10 ml. Untuk uji bakteri pembentuk spora, sampel dari pengenceran 10-1 dipanaskan dalam penangas air pada suhu 80 0C selama 15 menit.

Setelah dibuat seri pengenceran yang sesuai, dilakukan pemupukan dengan media Plate Count Agar (untuk uji total mikroba dan uji bakteri pembentuk spora), media Vogel Johnson Agar (untuk uji Staphylococcus aureus), dan media Acidified Potato Dextrose Agar (untuk uji total kapang dan kamir). Kemudian cawan diputar membentuk angka delapan. Diamkan hingga agar membeku kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung berdasarkan Standard Plate Count. Untuk analisis koliform dan E. coli analisis terdiri dari uji penduga, penguat dan pelengkap.

1) Uji penduga

Untuk uji penduga, sampel dari pengenceran 10-1 dibuat menjadi pengenceran 10-2, 10-3, dan 10-4 kemudian dipupuk menggunakan media Brilliant Green Lactose Bile Broth dalam tabung reaksi yang berisi tabung durham. Selanjutnya media tersebut diinkubasi pada suhu 37 0C selama 2 hari. Jumlah tabung positif (keruh atau terbentuk gas didalamnya) selanjutnya dicocokkan dengan tabel MPN 3 seri.

2) Uji penguat

Tabung positif pada uji penduga dipilih dan diambil 1-2 ose kemudian digoreskan pada media Eosin Methylene Blue (EMB) dalam cawan petri. Selanjutnya cawan diinkubasikan pada suhu 37 0C selama 2 hari. Koloni koliform fekal (E. coli) berwarna gelap dengan sinar hijau metalik (keemasan) berdiameter 0.5-1.5 mm, sedangkan koloni koliform non-fekal memiliki diameter lebih besar (1.0-3.0 mm) dan berwarna merah muda dan bagian tengahnya gelap (seperti mata ikan).


(33)

Uji pelengkap dilakukan dengan uji IMViC untuk mengetahui jenis koliform dalam sampel. Koloni fekal dan non-fekal disuspensikan kedalam 2 ml larutan pengencer. Selanjutnya 0.5 ml suspensi bakteri tersebut diinokulasikan ke dalam tabung masing-masing berisi media Tryptone Broth, media Kosser sitrat, dan medium MR-VP.

Tabel 5. Uji IMViC terhadap koliform

Uji Medium Pereaksi Reaksi Positif

Indol Trypthone Broth Kovacs Merah

Merah metil MR-VP Merah metil Merah

Voges Proskauer MR-VP 5% alfa naftol dan 40% KOH

Merah tua

Sitrat Koser Sitrat Keruh

Semua tabung diinkubasi pada suhu 37 0C selama 2 hari kecuali satu tabung MR-VP diinkubasi selama 5 hari. Selanjutnya dilakukan uji IMViC dengan menambahkan pereaksi seperti yang tertera pada Tabel 5. Sedangkan untuk uji jenis koliform dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Uji jenis koliform

Jenis koliform Koliform

E. coli (Fekal) E.aerogenes (Nonfekal)

Indol + -

Merah metil + -

Voges Proskauer - +


(34)

SMU

50% SD

25% SMP

10%

Tidak Tamat SD

15% IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KONDISI UMUM PEDAGANG CABE GILING DI KOTA BOGOR 1. Profil dan Skala Usaha Pedagang Cabe Giling di Kota Bogor

Berdasarkan data hasil survei pada para pedagang cabe giling, pedagang cabe giling di kota Bogor didominasi pria (85%) dan sisanya (15%) berjenis kelamin wanita. Sebagian besar (50%) pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor memiliki pendidikan terakhir Sekolah Menengah Umum. Persentase tingkat pendidikan pedagang cabe giling dapat dilihat pada Gambar 3. Data hasil kuisoner selengkapnya disajikan pada Lampiran 3.

Gambar 3. Tingkat pendidikan pedagang cabe giling

Pengalaman pedagang cabe giling dalam menjalankan usahanya bervariasi. Sebanyak 40% pedagang baru berjualan cabe giling kurang dari 5 tahun (Gambar 4). Pedagang umumnya berjualan mulai dari pagi atau dinihari hingga sore. Namun adapula yang berjualan mulai dari dinihari hingga malam hari, bahkan ada pedagang cabe giling yang berjualan 24 jam. Pedagang yang berjualan 24 jam berlokasi di Pasar Bogor dan Pasar Anyar karena kedua pasar tergolong pasar yang cukup besar dan banyak pedagang grosir sehingga roda perekonomian berjalan sehari semalam tanpa henti.


(35)

> 10 tahun 25% 5-10 tahun

35%

< 5 tahun 40%

Gambar 4. Jangka waktu menekuni usaha berjualan cabe giling

Volume cabe giling yang dijual pedagang perhari cukup variatif. Sebanyak 60% pedagang menjual cabe giling lebih dari 10 kg per hari, sedangkan 35% pedagang menjual cabe giling 5-10 kg per hari, dan 5% pedagang menjual cabe giling kurang dari 5 kg per hari. Hal ini menunjukkan konsumsi cabe giling di kota Bogor cukup banyak, bisa mencapai lebih dari 275 kg per hari atau lebih dari 2 kwintal per hari. Hal ini membuktikan cabe giling merupakan salah satu komoditi yang banyak digunakan sebagai bahan berbagai jenis bumbu masakan disamping konsumsi cabe segar.

Harga cabe giling yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor berfluktuatif mengikuti harga cabe utuh. Harga cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor berkisar lebih dari Rp 20.000 per kg (35%), Rp 15.000-Rp 20.000 per kg (60%), dan Rp 15.000 per kg (5%). Perbedaan harga dapat disebabkan karena perbedaan varietas cabe yang mereka gunakan, dan dapat pula menjadi indikator baik tidaknya mutu bahan baku yang mereka pergunakan. Dengan biaya bahan baku yang lebih rendah, dapat menekan harga jual cabe giling. Dengan melihat harga jual cabe giling per kg maka dapat diperkirakan omset penjualan cabe giling di kota Bogor minimal mencapai Rp 4.125.000 per hari. Hal ini menunjukkan cabe giling merupakan salah satu komoditi sehari-hari yang cukup berkontribusi dalam perekonomian masyarakat kota Bogor.


(36)

2.Produksi Cabe Giling

Pedagang cabe giling di kota Bogor memproduksi sendiri cabe giling yang mereka jual. Berdasarkan hasil survei, cabe giling yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor berbahan baku utama cabe merah yang diolah dengan penambahan air dan garam (Tabel 7).

Tabel 7. Bahan baku yang digunakan pedagang cabe giling

Seluruh pedagang (100%) selain menggunakan cabe merah juga menggunakan bahan baku garam. Garam yang digunakan umumnya garam kasar, karena alasan lebih ekonomis dibanding garam halus (garam meja). Menurut Nasoetion dan Karyadi (1988), garam kasar dibuat tanpa proses pemurnian (refining) yang baik dan umumnya dilakukan secara sederhana sehingga seringkali terdapat kontaminasi fisik seperti pasir, kotoran plastik, dan bebatuan kecil. Hal ini dapat berdampak pada cabe giling yang dibuat karena bahan baku yang baik dapat menghasilkan produk yang baik. Tujuan utama pedagang menambahkan garam untuk memperlambat kerusakan cabe giling yang mereka jual namun tidak memberi rasa yang terlalu asin. Meski demikian para pedagang umumnya tidak mengetahui secara pasti berapa banyak (g/kg) jumlah garam yang mereka tambahkan. Hal ini disebabkan ketidakbakuan satuan pengukuran yang mereka gunakan. Mereka umumnya menambahkan garam dalam takaran sendok makan bahkan tak jarang beberapa dari mereka menambahkan garam dengan tangan. Lain halnya dengan 30% pedagang yang mengetahui penambahan garam yang mereka lakukan karena mereka menggunakan garam dalam kemasan ukuran tertentu sehingga ukuran penambahan garam dapat dinyatakan dalam jumlah yang jelas. Mereka mengaku penambahan berkisar berkisar 5-100 g/kg cabe (0.5-10%).

Garam dapur Air Pengawet Pewarna Lainnya Bahan baku

selain cabe Respon responden


(37)

Sebanyak 60% pedagang menambahkan air pada cabe giling yang mereka jual. Alasan mereka menambahkan air adalah untuk mempermudah proses penggilingan dan memperoleh cabe giling yang tidak terlalu bulky, diperoleh rendemen lebih banyak dan menguntungkan mereka. Dari 60% jumlah pedagang yang menambahkan air tesebut sekitar 33.3% menambahkan air dengan takaran tertentu, yakni berkisar 30-50 ml/kg cabe yang digiling. Sedangkan sisanya (40%) pedagang tidak menambahkan air pada cabe gilingnya karena merasa cabe sudah cukup berair saat penggilingan dan mereka justru beranggapan penambahan air akan menghasilkan cabe giling yang encer.

Berdasarkan wawancara dan pengamatan, air yang digunakan untuk campuran maupun mencuci berasal dari PDAM. Berdasarkan pengamatan hampir seluruh pedagang memiliki mesin penggiling di kios mereka, sehingga penggilingan cabe giling dilakukan di pasar dan menggunakan air yang tersedia dari pengelola pasar, kecuali pedagang di Pasar Sukasari menggiling cabe gilingnya ditempat penggilingan karena tidak memiliki mesin penggilingan sendiri.

Pedagang cabe giling (90%) menjual cabe gilingnya dengan cara dicurah dalam wadah dan baru ditempatkan di kantung plastik saat konsumen membeli. Wadah tempat cabe giling tersebut biasanya terbuat dari plastik seperti stoples atau bak plastik tanpa ditutup. Hal ini dapat memberi peluang besar terjadi kontaminasi baik kontaminasi fisik seperti debu, maupun kontaminasi biologi seperti bakteri, kapang, kamir, serta parasit. Terlebih lagi melihat kondisi lokasi pasar tradisional yang becek dan lembab, penetrasi sinar matahari kurang serta ventilasi udara yang kurang baik dapat memperbesar peluang kontaminasi terjadi. Sedangkan 10% pedagang lainnya menjual cabe giling sudah dalam kemasan kantung plastik berbagai ukuran. Hal ini disebabkan karena mereka sudah memiliki pelanggan tetap dan pembelian berdasarkan pesanan.

Cabe giling di pasar tradisional (75%) seringkali tidak habis terjual dalam satu hari, dan hanya 25% cabe giling yang habis terjual tiap harinya. Pedagang tersebut umumnya (80%) menyimpan sisa cabe giling yang tersisa


(38)

di kios mereka hanya dalam wadah tertutup tanpa diberi es (Gambar 5). Umumnya wadah yang digunakan para pedagang untuk menyimpan cabe giling yang tersisa adalah ember plastik atau stoples bertutup. Meski penempatan cabe giling dalam wadah tertutup dapat mengurangi kontaminasi debu, mikroba, serta parasit selama penyimpanan, namun kondisi suhu ruang dan tanpa diberi es tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk selama penyimpanan, sehingga cara ini kurang efektif menghambat kerusakan. Menurut Gaman dan Sherrington (1981), penyimpanan pangan pada suhu rendah dapat mengendalikan pertumbuhan mikroba. Kendala pedagang tidak melakukan penyimpanan suhu rendah dikarenakan para pedagang tidak memiliki lemari es di kios mereka. Alternatif yang dapat diupayakan adalah sebaiknya pedagang menyimpan cabe giling tersebut di dalam kantung plastik dan dimasukkan kedalam wadah yang berisi es, sehingga dapat memperlambat kerusakan cabe giling.

Gambar 5. Cara penyimpanan cabe giling yang tidak habis terjual

Sebanyak 15% pedagang membawa cabe giling sisa ke rumahnya untuk disimpan dalam lemari es. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga mutu cabe giling agar tidak mudah rusak. Tindakan ini sudah tepat dilakukan pedagang karena proses pendinginan dapat memperlambat reaksi-reaksi dalam bahan pangan, begitu pula dengan proses perkembangbiakan mikroba menjadi terhambat. Hampir semua lemari es dioperasikan pada suhu 1-5 0C dan dapat dipakai sebagai tempat penyimpanan jangka pendek (Gaman dan Sherrington, 1981). Sedangkan 5% pedagang membiarkan cabe giling yang


(39)

tersisa dalam wadah yang digunakan sebagai tempat menyajikannya tanpa ditutup dan tanpa diberi es (Gambar 5). Penyimpanan di tempat terbuka ini dapat menyebabkan cabe giling mudah terkontaminasi dan menjadi lebih cepat rusak.

Cabe giling yang tersisa biasanya disimpan untuk dijual esok harinya. Tindakan ini dilakukan para pedagang untuk menghindari kerugian dibandingkan jika mereka harus membuang cabe giling setiap kali tidak terjual habis dalam satu hari. Sebanyak 35% pedagang menjual cabe giling sisa tersebut dengan cara mencampurkannya dengan cabe giling yang baru dan segar. Rasio antara campuran cabe giling baru dan cabe giling sisa relatif tidak dapat dipastikan setiap harinya karena tergantung cabe giling yang tersisa dan kapasitas wadah tempat menjual cabe giling tersebut. Rasio pencampuran bisa mencapai 1:1 jika masih banyak cabe giling yang tersisa dan memenuhi setengah bagian wadah dan untuk memenuhi wadah tersebut berarti penambahan cabe giling baru pun setengah dari wadah tersebut. Sedangkan 65% pedagang menjual sisa cabe giling tersebut tanpa dicampur dengan cabe giling yang baru dan segar, mereka baru akan memproduksi kembali cabe giling jika cabe giling sisa sudah habis terjual. Sebaiknya pedagang tidak mencampur antara cabe giling sisa dan cabe giling yang baru untuk dijual kembali karena hal ini dapat menurunkan mutu cabe giling yang baru secara keseluruhan.

Cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor menurut pedagang dapat bertahan 2 hingga lebih dari 8 hari. Umumnya (70%) cabe giling dapat bertahan hingga 2 hari, dan hanya 15% cabe giling yang dapat bertahan lebih dari 8 hari (Gambar 6). Meski demikian para pedagang ini sangat jarang menyimpan dan menjual cabe giling tersebut hingga lebih dari 3 hari karena mereka khawatir mengalami kerugian. Mereka akan mengurangi produksi jika merasa masih memiliki banyak stok cabe giling. Mereka membuat cabe giling sesuai kondisi pasar. Mereka menyediakan cabe giling secukupnya dan baru akan menambah kuantitas produksi mereka jika persediaan yang di display sudah sedikit atau habis sama sekali.


(40)

Gambar 6. Daya tahan cabe giling versi pedagang

Perbedaan daya tahan cabe giling di pasar dapat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya cara penanganan bahan baku, proses pengolahan, penyimpanan, dan pemasaran yang dilakukan masing-masing pedagang. Kandungan nutrisi pada cabe serta kondisi pasar tradisional yang kondusif terhadap kontaminasi dapat menjadi faktor penyebab kerusakan cabe giling sehingga cabe giling tidak dapat bertahan lama. Penanganan bahan baku dan proses pengolahan yang dilakukan dengan baik dapat mengurangi jumlah mikroba awal pada cabe giling sehingga dapat memperpanjang daya tahan cabe giling. Penelitian Lubis (2000) menunjukkan cabe giling yang dibuat dengan pemanasan microwave selama dua menit dan autoclave serta penambahan natrium benzoat 0.05, 0.75, dan 0.1% dapat bertahan hingga 35 hari.

3. Upaya Pedagang Untuk Menjamin Keamanan Cabe Giling

Berdasarkan tingkat pendidikan (Gambar 1), sebagian besar pedagang diperkirakan sudah mengerti pentingnya menjaga kebersihan. Hal ini diperkuat dengan pengakuan para pedagang dalam kuisioner mengenai upaya menjaga kebersihan cabe giling yang mereka jual.

Usaha para pedagang dalam menjaga kebersihan cabe giling antara lain dengan menggunakan bahan baku yang segar dan bersih, mencuci tangan, membersihkan kios/tempat mereka berjualan, membersihkan alat seperti mesin penggiling cabe, sendok, wadah penampung dan bahan utama

2 hari 70%

8 hari 5% > 8 hari

15% 4 hari


(41)

Sebelum berjualan

85%

Bila terlihat kotor

10% Sesudah berjualan

5%

yaitu cabe yang akan digiling. Meski demikian, upaya-upaya pembersihan yang mereka lakukan masih kurang tepat karena belum memenuhi cara sanitasi yang benar.

Menurut Winarno (1993), semua peralatan yang mempunyai peluang bersentuhan dengan bahan pangan harus selalu dijaga dalam keadaan bersih. Peralatan-peralatan seperti bejana, pisau, penggilingan, pengaduk, talenan, panci dan piring perlu digosok, dicuci dengan detergen dan air hangat kemudian dibilas dengan air bersih, sedangkan para pedagang hanya menggunakan air tanpa sabun untuk membersihkan alat karena mereka beranggapan residu sabun akan meninggalkan aroma sabun pada cabe giling mereka, selain itu dapat membuat alat cepat berkarat. Begitu pula saat

mereka mencuci tangan, mereka melakukannya tanpa sabun. Gambar 7 menunjukkan sebagian besar (85%) pedagang sudah

membersihkan alat dan bahan sebelum berjualan.

Gambar 7. Waktu pedagang membersihkan alat dan bahan

Umumnya (80%) pedagang membersihkan alat seperti sendok, pengaduk, wadah bak plastik dan bahan dengan air tergenang yang ditempatkan dalam wadah seperti bak plastik atau ember, kecuali mesin penggiling dibersihkan dengan cara menyiramnya dengan air yang dialirkan dari kran melalui selang-selang yang tersedia, sisanya (20%) membersihkan alat dan bahan dengan langsung mengalirkan air dari selang tersebut atau menyiramkan air dengan gayung ke alat dan bahan yang akan dicuci. Tindakan pedagang yang mencuci dengan air tergenang dapat dikatakan kurang tepat, karena air yang tergenang ini dapat menjadi sumber


(42)

kontaminasi bagi peralatan. Penanganan air pencuci yang baik sangat diperlukan karena itu sebaiknya pedagang menggunakan air yang dialirkan langsung dari kran atau dialirkan (disiram) menggunakan gayung dan menggunakan sabun untuk mencuci peralatan, atau jika tetap menggunakan air tergenang maka sebaiknya air pencuci sering diganti untuk mengurangi peluang terjadinya kontaminasi. Frekuensi penggunaan air tersebut harus dibatasi hanya untuk sekali penggunaan saja dan jumlah air harus menggenangi seluruh bagian bahan atau alat yang dicuci.

4.Upaya Pengelola Pasar Dalam Memantau Keadaan Pasar

Selama ini pihak pengelola pasar dianggap kurang memberi perhatian berupa pemantauan keadaan atau kondisi pasar dan para pedagang. Sebanyak 45% pedagang merasa tidak ada perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar, sebaliknya 40% pedagang merasa pihak pengelola pasar sudah rutin memantau dan memperhatikan keadaan pasar. Respon pedagang terhadap perhatian pihak pengelola pasar dapat dilihat pada Gambar 8. Perhatian pihak pengelola pasar hanya sebatas ajakan dan himbauan menjaga kebersihan pasar. Namun tidak mengontrol pelaksanaan kebersihan pasar.

Rendahnya perhatian pengelola pasar terhadap kondisi sarana dan prasarana di pasar tercermin dari kondisi pasar yang becek, gelap dan lembab. Kondisi pasar yang kurang mendapat perhatian pengelola pasar juga tercermin dari konstruksi kios yang buruk seperti lantai yang kotor dan tak bersemen, kurangnya ventilasi udara dan penetrasi sinar matahari, dan lubang-lubang pada atap dan meja pada bangunan kios-kios di pasar, pembuangan sampah sembarangan, dan selokan yang tersumbat. Hal ini seharusnya membuat pihak pengelola lebih peduli dan membenahi penyediaan sarana dan prasarana di pasar. Selain itu pihak pengelola perlu bertindak tegas dalam menertibkan banyaknya pedagang yang berjualan disepanjang jalan atau pelataran kios yang semakin membuat kondisi pasar menjadi tidak teratur, padat, dan pengap.


(43)

Gambar 8. Perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar

Penyuluhan tentang keamanan pangan pernah dilakukan pihak pengelola pasar. Hal ini diakui oleh 10% pedagang yang mengaku pernah dilakukan penyuluhan keamanan pangan dan kebersihan, yakni saat marak kasus pengawet formalin dan borak di Indonesia kurang lebih dua tahun silam. Namun baik 90% pedagang yang menyatakan tidak pernah ada penyuluhan, maupun 10% pedagang yang menyatakan pernah ada penyuluhan, tidak pernah mengikuti penyuluhan tersebut dengan alasan tidak sempat dan tidak tertarik karena penyampaian materi penyuluhan yang kurang menarik. Pihak pengelola pasar seharusnya lebih giat memberikan penyuluhan tentang keamanan pangan agar mutu cabe giling secara umum dapat lebih ditingkatkan. Penyuluhan sebaiknya dilakukan dengan penyampaian materi yang lebih atraktif dan menarik, agar pedagang bersedia mengikuti penyuluhan dan memotivasi pedagang untuk selalu menjaga mutu dan keamanan cabe giling serta kebersihan lingkungan pasar.

B. KEAMANAN PANGAN CABE GILING KOMERSIAL

Cabe giling dapat dikatakan sebagai produk setengah jadi karena untuk mengkonsumsinya perlu pengolahan lebih lanjut. Penanganan cabe giling komersial mulai dari pra pengolahan hingga penjualan masih tergolong sederhana. Pengolahan tanpa pemanasan dapat menimbulkan risiko kontaminasi mikroba yang tinggi dan dapat menimbulkan masalah terhadap kesehatan konsumen. Analisis keamanan cabe giling dilakukan terhadap cabe giling dari 12 pedagang yang mewakili sampel cabe giling di setiap pasar dan

Ya 40% Tidak

45%

Kadang-kadang


(44)

mewakili daya tahan cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor. Identitas sampel dapat dilihat pada Lampiran 4.

1. Keamanan Kimiawi Cabe Giling

Komposisi kimia dapat menjadi salah satu indikator mutu suatu produk. Sifat kimia bahan pangan sering mengalami perubahan-perubahan baik yang diharapkan maupun tidak diharapkan selama penanganan pengolahan hingga dikonsumsi. Perubahan-perubahan tersebut sebagian besar terjadi akibat adanya reaksi kimia di dalam bahan pangan maupun akibat pengaruh lingkungan. Mutu kimiawi cabe giling yang diamati pada penelitian ini meliputi pH, kadar air, kadar garam, serta bahan tambahan lainnya yang diperkirakan digunakan pedagang. Hasil pengamatan mutu kimiawi cabe giling dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Mutu kimiawi cabe giling Sampel Nilai pH Kadar NaCl

(% b/b)

Kadar Air (% bb)

Kadar Natrium benzoat (ppm) A 5.6 ± 0.0 6.2 ± 0.2 77.8 ± 3.0 1231 ± 232 B 4.8 ± 0.0 6.5 ± 0.5 86.8 ± 5.0 1038 ± 24

C 5.5 ± 0.2 5.9 ± 0.2 76.3 ± 3.0 669 ± 64

D 5.2 ± 0.2 6.9 ± 0.5 85.1 ± 1.0 1359 ± 19 E 4.7 ± 0.2 6.5 ± 0.5 81.1 ± 1.0 968 ± 168 F 5.4 ± 0.5 5.8 ± 0.4 81.1 ± 1.0 385 ± 60

G 4.7 ± 0.1 6.1 ± 0.2 83.5 ± 1.0 428 ± 80

H 5.4 ± 0.1 5.5 ± 0.2 81.7 ± 1.0 724 ± 115 I 4.9 ± 0.3 6.2 ± 0.2 75.6 ± 0.0 1284 ± 89 J 5.0 ± 0.2 6.8 ± 0.7 78.7 ± 0.0 412 ± 66 K 5.1 ± 0.1 6.1 ± 0.1 85.5 ± 1.0 326 ± 6

L 4.7 ± 0.1 4.7 ± 0.3 71.6 ± 1.0 398 ± 80 Rata-rata 5.1 ± 0.2 6.1 ± 0.3 80.4 ± 1.5 768.5 ± 84

Hingga saat ini belum ada standar yang mengatur mutu cabe giling. Syarat mutu cabe giling yang baik masih merujuk pada mutu cabe utuh dan saus cabe karena definisi cabe giling mirip dengan definisi saus cabe menurut SNI 01-2976-1992 yaitu hasil olahan cabe yang sudah matang dan


(45)

baik dengan tambahan bahan-bahan lain dan digunakan sebagai penyedap makanan.

a. Nilai pH

Hasil pengamatan nilai rata-rata pH cabe giling komersial berkisar 4.7–5.6 (Tabel 8). Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5), pH cabe giling berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor seperti perbedaan varietas cabe yang digunakan, derajat kematangan cabe, dan penanganan selama pengolahan hingga tata cara penjualan cabe giling yang dilakukan para pedagang tersebut.

Cabe giling merupakan hasil olahan cabe merah (termasuk kelompok sayur-sayuran) sehingga pH cabe giling berada pada kisaran pH sayur-sayuran yang tergolong pangan pH rendah. Menurut Fardiaz (1992), berdasarkan nilai pH dan keasaman, pangan dikelompokkan menjadi pangan berasam rendah (pH >4.5), pangan berasam sedang (pH 3.7–4.5), dan pangan berasam tinggi (pH <3.7). Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH, cabe giling termasuk kelompok pangan berasam rendah karena memiliki pH >4.5. Mikroba seperti kapang, kamir, bakteri asam laktat, koliform, dan beberapa jenis bakteri lainnya dapat tumbuh pada makanan berasam rendah.

Nilai pH cabe giling halus dengan metode microwave dan autoklaf hasil penelitian Lubis (2000) adalah 5.9–6.1 dan 5.7–6.9. Nilai pH tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai pH cabe giling pada penelitian ini. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan varietas cabe yang digunakan, derajat kematangan cabe, dan penanganan selama pengolahan. Pemanasan microwave dan autoklaf dapat mengurangi jumlah mikroba awal pada cabe sehingga aktivitas mikroba yang menghasilkan metabolit dan berakibat penurunan pH dapat direduksi. Sedangkan jika dibandingkan dengan nilai pH cabe giling hasil penelitian Wati (1997) yaitu 3.2–3.3, cabe giling ini memiliki nilai pH yang lebih tinggi. Hal ini karena cabe


(46)

giling hasil penelitian Wati (1997) ditambahkan 57% ml asam asetat 25% (v/v).

b. Kadar Garam (NaCl)

Garam dapur (NaCl) sudah sejak lama dikenal masyarakat sebagai pemberi rasa asin dan dapat mencegah kebusukan. Garam termasuk bahan pengawet GRAS (Generally Recognize as Safe)sehingga aman dan tidak berefek toksik (Davidson et al., 1993). Kadar garam cabe giling rata-rata berkisar 4.7-6.9% (b/b) (Tabel 8). Penambahan garam dilakukan para pedagang untuk memperlambat kerusakan cabe giling yang mereka jual tetapi diusahakan tidak menimbulkan rasa yang terlalu asin. Kadar garam yang terdapat pada cabe giling sudah dapat berfungsi sebagai pengawet karena menurut Soekarto (1985), penggunaan garam sebanyak 5-15% dapat berfungsi sebagai pengawet pangan. Menurut penelitian Lubis (2000) penambahan garam 6% terhadap cabe giling dapat diterima panelis. Hal ini juga diakui pedagang yang merasa belum ada konsumen yang mengeluh karena rasa cabe giling yang terlalu asin.

Kadar garam tertinggi (6.9% b/b) dimiliki oleh cabe giling D, sedangkan cabe giling dengan kadar garam terendah adalah sampel L (4.7% b/b). Kadar garam yang dimiliki masing-masing sampel ternyata berbeda nyata pada taraf 5%. Hasil ini ditunjukkan oleh hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5). Hal ini dapat disebabkan perbedaan kadar penambahan garam yang dilakukan para pedagang. Pada Tabel 8, nilai standar deviasi kadar garam cabe giling juga menunjukkan nilai yang tinggi (>5%) pada beberapa sampel yaitu B, D, E, F, dan J. Hal ini menunjukkan penambahan garam terhadap cabe giling cukup bervariasi. Hal ini dapat dikarenakan penambahan garam oleh pedagang terhadap cabe giling dilakukan tanpa takaran yang pasti. Berdasarkan survei pada tahap awal, pedagang B, D, E, F, J, dan L merupakan pedagang yang menambahkan garam tanpa takaran tertentu (Lampiran 4). Sedangkan untuk sampel A, C, dan I pedagang mengaku menambahkan garam dengan takaran tertentu yaitu ±100 g/kg cabe utuh yang digiling, sehingga


(47)

dengan adanya takaran tertentu menyebabkan variasi kadar garam sampel A, C, dan I lebih rendah dibandingkan dengan sampel lainnya karena penambahan garam relatif dilakukan dengan terukur. Namun kadar garam yang terukur pada sampel A, C, dan I lebih rendah (5.9-6.2% b/b) dibandingkan pengakuan mereka yang menambahkan garam sebesar 10%. Hal ini dapat disebabkan garam yang ditambahkan memiliki mutu kurang baik sehingga mengandung NaCl yang tidak murni dan masih mengandung mineral dan campuran lainnya yang mungkin berasal dari kontaminan fisik yang dapat menambah bobot garam, sedangkan yang terukur dalam penelitian ini hanya kadar garam NaCl.

c. Kadar Air

Hasil pengamtan pada Tabel 8 menunjukkan kadar air cabe giling berkisar 71.6-86.8% (b/b). Hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5) menunjukkan kadar air cabe giling berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan perbedaan varietas cabe yang digunakan dan volume penambahan air pada cabe giling yang dijual.

Beberapa pedagang mengaku menambahkan air ke dalam cabe gilingnya, kecuali pedagang cabe giling A, I, J, dan L tidak menambahkan air ke dalam cabe giling yang mereka jual (Lampiran 4). Cabe giling yang tidak diberi tambahan air ini memang memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel lainnya. Penambahan air yang dilakukan para pedagang umumnya tidak dengan takaran tertentu. Meski pedagang C menambahkan air pada cabe gilingnya, kadar air terukur cabe giling C menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan cabe giling lainnya yang ditambahkan air dan tidak jauh berbeda dengan kadar air cabe giling tanpa penambahan air. Hal ini dapat disebabkan perbedaan varietas cabe yang digunakan dan penambahan air yang dilakukan pedagang C hanya secukupnya (tanpa takaran tetap) dan relatif lebih sedikit dibandingkan penambahan air yang dilakukan oleh pedagang yang lain.


(48)

Kadar air cabe utuh menurut Setiadi (1987) adalah 87.0-90.0% (bb). Kadar ini lebih tinggi dibandingkan kadar air cabe

giling komersial. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam cabe giling terdapat total padatan yang lebih tinggi dibanding cabe utuh. Padatan ini dapat berasal dari adanya penambahan garam. Selain itu, berdasarkan pengamatan, para pedagang juga menjual bumbu giling lainnya seperti bawang putih giling, bawang merah giling, dan sebagainya. Residu bumbu pada alat penggilingan yang tidak dibersihkan dengan benar dapat menyumbangkan padatan pada cabe giling. Keberadaan residu ini juga terbukti dari beberapa sampel cabe giling yang memiliki aroma bawang putih.

Menurut Hartuti dan Sinaga (1994), saus cabe yang dapat diterima secara organoleptik adalah saus yang memiliki viskositas 24.143 cp dan kadar air lebih kecil dari 83.3% (b/b). Berdasarkan penelitian tersebut maka secara umum cabe giling di kota Bogor dapat diterima secara organoleptik.

d.Kadar Natrium Benzoat

Natrium benzoat merupakan salah satu pengawet yang umum digunakan di masyarakat sebagai antibasi (Winarno, 1993). Analisis natrium benzoat dilakukan karena produk olahan cabe seperti saus cabe biasa menggunakan natrium benzoat sebagai pengawet. Selain itu, berdasarkan survei daya tahan cabe giling yang dapat bertahan hingga lebih dari 8 hari tetapi dengan kondisi penanganan pengolahan yang sangat sederhana maka dalam penelitian ini dilakukan analisis natrium benzoat yang mungkin ditambahkan pedagang.

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 8), semua sampel cabe giling komersial positif menggunakan natrium benzoat sebagai pengawet. Kadar benzoat pada cabe giling adalah 326-1284 (ppm). Hasil analisis ini ternyata bertolak belakang dengan jawaban para pedagang pada saat menjawab kuisioner bahwa mereka tidak menggunakan pengawet. Hal ini


(1)

KATA PENGANTAR

Bismillahirromanirrohim,

Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, SAW, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir, yang berjudul: STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR.

Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. Pihak-pihak tersebut antara lain:

1. Ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mengarahkan penulis.

2. Bapak Dr. Sukarno, MS dan Ibu Ir. Elvira Syamsir, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Bapak H. Rusdi Sayuti dan Ibu Hj. Komala (Ayah-Bunda), Agus, Agung, yang selalu memberikan dukungan moril dan materil yang tak terhingga selama ini.

4. Saudara Azis Mustiko atas perhatian dan dorongan semangat kepada penulis. 5. Laboran dan Pusatakawan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas

Teknologi Pertanian, IPB.

6. KRUCIL: Rucit, Nisa, Epen, Irma, Abdy, Ika, Iin, Dini, Wati, Dian, Indach, dan teman-teman ITP 40, 41, 39. Terima kasih banyak atas kebersamaan dan kekompakannya selama ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dan telah banyak mendukung penulis selama ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2007


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ……….. ii

DAFTAR TABEL ………. iv

DAFTAR GAMBAR ………. v

DAFTAR LAMPIRAN ………. vi

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ………... B. TUJUAN ………...

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. GAMBARAN UMUM CABE MERAH DAN CABE GILING (Capsicum annum L. ) ………... B. KOMPOSISI KIMIA DAN KONDISI MIKROBIOLOGI CABE MERAH ... C. BAHAN TAMBAHAN PANGAN ... 1. Bahan Pengawet ... 2. Bahan Pewarna ...

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. LOKASI DAN WAKTU ...………... B. BAHAN DAN ALAT ... C. METODE PENELITIAN ... 1. Kerangka Penelitian ... 2. Studi Pendahuluan ... 3. Survei Kondisi Pedagang Cabe Giling ... 4. Keamanan Pangan Cabe Giling Komersial ... 5. Studi Penyimpanan ... 6. Analisis ...

1 2 3 5 7 7 10 13 13 14 14 15 15 15 16 17


(3)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KONDISI UMUM PEDAGANG CABE GILING DI KOTA BOGOR ... 1. Profil dan Skala Usaha Pedagang Cabe Giling di Kota

Bogor ... 2. Produksi Cabe Giling ... 3. Upaya Pedagang Untuk Menjamin Keamanan Cabe Giling 4. Upaya Pengelola Pasar Dalam Memantau Keadaan Pasar .. B. KEAMANAN PANGAN CABE GILING KOMERSIAL

1. Keamanan Kimiawi Cabe Giling ... 2. Keamanan Mikrobiologi Cabe Giling... C. STUDI PENYIMPANAN...

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ………... B. SARAN ………...

23

23 25 29 31 32 33 43 54

62 62 DAFTAR PUSTAKA ……… 65 LAMPIRAN ………... 70


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia cabe merah segar ... 5

Tabel 2. Zat warna yang diizinkan di Indonesia ... 11

Tabel 3. Zat warna sintetik yang dilarang di Indonesia ... 12

Tabel 4. Data sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor ... 16

Tabel 5. Uji IMViC terhadap koliform ... 22

Tabel 6. Uji jenis koliform ... 22

Tabel 7. Bahan baku yang digunakan pedagang cabe giling ... 25

Tabel 8. Mutu kimiawi cabe giling ... 33

Tabel 9. Hasil kualitatif Rhodamin B ... 40

Tabel 10. Mutu mikrobiologi cabe giling ... 43

Tabel 11. Pengamatan visual cabe giling hari ke-0... 55


(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian... 14

Gambar 2. Diagram alir pembuatan cabe giling kontrol... 17

Gambar 3. Tingkat pendidikan pedagang cabe giling ... 23

Gambar 4. Jangka waktu menekuni usaha berjualan cabe giling ... 24

Gambar 5. Cara penyimpanan cabe giling yang tidak habis terjual .... 27

Gambar 6. Daya tahan cabe giling ... 29

Gambar 7. Waktu pedagang membersihkan alat dan bahan ... 30

Gambar 8. Perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar 32 Gambar 9. Jumlah total mikroba selama penyimpanan ... 56

Gambar 10. Pengamatan kerusakan cabe giling selama penyimpanan.. 59

Gambar 11. Jumlah kapang kamir selama penyimpanan ... 59

Gambar 12. Jumlah bakteri pembentuk spora (koloni/g) selama penyimpanan ... 60


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuisioner untuk pedagang cabe giling... 71

Lampiran 2. Identitas Pedagang cabe giling yang bersedia jadi responden ... 73

Lampiran 3. Data hasil kuisioner………... 73

Lampiran 4. Identitas cabe giling komersial yang menjadi sampel analisis keamanan ………... 75

Lampiran 5. Hasil uji one way cabe giling komersial ... 76

Lampiran 6a. Kurva serapan maksimum larutan standar Rhodamin B... 80

Lampiran 6b. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling A ... 80

Lampiran 6c. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling B ... ... 80

Lampiran 6d. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling C ... 81

Lampiran 6e. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling D... 81

Lampiran 6f. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling E... 81

Lampiran 6g. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling F... 81

Lampiran 6h. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling G... 81

Lampiran 6i. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling H... 82

Lampiran 6j. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling I... 82

Lampiran 6k. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling J... 82

Lampiran 6l. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling K... 82

Lampiran 6m. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling L... 82

Lampiran 7. Hasil pengamatan TPC (koloni/g) cabe giling…………... 83

Lampiran 8. Hasil pengamatan Kapang dan kamir (koloni/g) cabe giling ... 84

Lampiran 9. Hasil pengamatan S. aureus (koloni/g) cabe giling …... 85

Lampiran 10. Hasil pengamatan Koliform (MPN/g) dan E coli (kualitatif) cabe giling……… 86

Lampiran 11. Hasil pengamatan Bakteri pembentuk spora cabe giling..……….. 88