Aksis normal EKG PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

6. Sadapan aVF dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya +90°. 7. V 1 ditempatkan di sela iga ke-empat kanan 8. V 2 ditempatkan di sela iga ke-empat kiri 9. V 3 di antara V 1 dan V 2 10. V 4 ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid klavikularis kiri 11. V 5 ditempatkan antara V 4 dan V 6 12. V 6 ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid aksilaris kiri Morfologi normal gelombang pada EKG Thaler, 2009: 1. Gelombang P berukuran kecil dan biasanya positif pada lateral kiri I, aVL, V 5, V 6 dan inferior II, III, aVF; bifasik di sadapan III dan V 1; paling positif pada sadapan II; paling negatif pada sadapan aVR. 2. Kompleks QRS berukuran besar, gelombang R tinggi biasanya terlihat di sadapan lateral kiri dan inferior. Gelombang R semakin meningkat berurutan saat melintasi sadapan V 1 -V 5 . Gelombang Q yaitu depolarisasi septum dapat dijumpai pada satu atau beberapa sadapan lateral kiri, dan kadang pada inferior. 3. Gelombang T bervariasi, tetapi biasanya positif pada sadapan dengan gelombang R yang tinggi.

d. Aksis normal

Sumbu jantung aksis ditentukan dengan menghitung jumlah resultan defleksi positif dan negatif kompleks QRS rata-rata di sadapan I sebagai sumbu X dan sadapan aVF sebagai sumbu Y. Aksis normal berkisar antara -30° sampai +110°. Beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan aksis jantung adalah Ashley dan Niebauer, 2006: a. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF positif, maka sumbu jantung aksis berada pada posisi normal. b. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF negatif, jika resultan sadapan II positif: aksis normal. Tetapi jika sadapan II negatif maka deviasi aksis ke kiri LAD= left axis deviation, berada pada sudut -30° sampai -90°. c. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF positif, maka deviasi aksis ke kanan RAD= right axis deviation berada pada sudut +110° sampai +180°. d. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF negatif, maka deviasi aksis kanan atas, berada pada sudut -90° sampai +180°.

2.2.2.2. EKG Abnormal

EKG dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya gangguan-gangguan pada jantung. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan fungsi, irama, maupun struktur Thaler, 2009. Penyakit yang dapat menunjukkan kelainan pada EKG- nya adalah: 1. Aritmia gangguan irama 2. Penyakit pada jantung seperti iskemik miokardial akut, gagal jantung, perikarditis, kardiomiopati obstruktif hipertrofi, miokarditis, 3. Penyakit paru seperti PPOK, emboli paru akut. 4. Penyakit sistem saraf pusat seperti perdarahan subarakhnoid, infark serebral. 5. Kondisi lain seperti jantung atlet, gangguan elektrolit, hipotermia, ataupun akibat penggunaan obat-obatan.

2.3. EKG PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Menurut Mosenifar, et al., 2014, manifestasi PPOK ke sistem kardiovaskular dapat timbul akibat penurunan kemampuan rekoil alveoli emfisema sehingga tekanan dalam paru akan menjadi lebih tinggi. Tekanan yang tinggi ini mengakibatkan aliran darah jantung kanan terganggu. Jantung kanan akan bermanifestasi untuk meningkatkan kontraksinya agar darah terpompakan ke paru-paru. Kontraksi yang semakin kuat ini akan menyebabkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, dapat terlihat peningkatan tekanan vena jugularis, maka pada perekaman EKG akan terdapat hasil yang menunjukkan keadaan tersebut. Keadaan lain seperti hipoksemia dan hipoksia jaringan yang didukung oleh keadaan inflamasi bronkus akan memperberat kondisi. Laratta dan Van Eeden 2014 mengatakan bahwa pasien PPOK memiliki risiko yang cukup tinggi untuk mendapat penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke, dan gagal jantung kongestif kor pulmonal. Faktor risiko lain yang dilaporkan dapat meningkatkan risiko pasien PPOK mengalami manifestasi kardiovaskular adalah adanya hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga, abnormal profil lipid, atau diabetes O’Donnell, et al., 2008. Telah banyak dilaporkan bahwa risiko mendapat penyakit kardiovaskular meningkat pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Dalam populasi, pasien dengan infeksi sistem pernapasan dalam 1-2 minggu dapat mengalami miokardiak infark segmen S-T elevasiSTEMI atau tidakNSTEMI dengan risiko 2-3 kali dibanding yang tidak. Selain itu, berdasarkan Huiart, et al. 2009, pasien stabil yang menggunakan kortikosteroid memiliki risiko yang lebih besar mendapat miokardiak infark. Hasil pemeriksaan EKG pada pasien PPOK dapat menganalisaadanya penyakit jantung seperti iskemia atau aritmia. Pada PPOK stabil biasanya hanya ada perubahan halussedikit pada EKG-nya dibanding dengan yang eksaserbasi akut. Kelainan yang dapat terjadi adalah seperti: variasi interval R-R yang berhubungan dengan derajat hipoksemia Laratta dan Van Eeden, 2014. Studi lain melaporkan variasi interval R-R juga dapat mengindikasikan gangguan irama jantung akibat gangguan simpatis yang biasanya muncul pada pasien PPOK. Kelainan hasil EKG lain dapat meliputi amplitudo gelombang P di sadapan II, III, dan aVF yang lebih tinggi pada pasien PPOK dengan tekanan darah sistolik tinggi Humagain, et al., 2011, aksis gelombang P ≥ 90° sebagai indikasi adanya hipertrofi ventrikel kanan, aksis kompleks QRS 90°. Deviasi aksis ke kanan disebabkan oleh paru berekspansi yang memaksa jantung mengubah posisinya lebih vertical sehingga berorientasi semakin ke kanan Thaler, 2009. Kelainan EKG dijumpai lebih tinggi pada pasien PPOK berat dibanding dengan yang ringan-sedang Holtzman, et al., 2011 seperti pembesaran atrium kanan Right Atrium EnlargementRAE, hipertrofi ventrikel kanan Right Ventricle HypertrophyRVH, blok berkas serabut kanan Right Bundle Branch BlockRBBB, deviasi aksis ke kiri Left Axis DeviationLAD, dan di sebagian kecil populasi terdapat supraventrikular takikardi SVT. Kelainan-kelainan tersebut dapat sebagai indikasi gangguan jantung kanan bahkan sampai gagal jantung kanan Banker dan Verma, 2013. BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

2 70 87

Perbandingan nilai Limfosit T CD8+ pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan laki-laki dewasa sehat perokok di RSUP H.Adam Malik Medan

0 68 74

Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

4 95 88

Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2010-2011

1 63 90

Profil Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil Berdasarkan Penilaian BODE Index di RSUP H.Adam Malik dan RS PTP II Tembakau Deli Medan

2 58 67

Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

1 34 78

Prevalensi Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dengan Riwayat Merokok di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan Periode Januari 2009 – Desember 2009

1 50 51

Gambaran Fungsi Kognitif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang

1 9 112

Gambaran Fungsi Kognitif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang

1 10 112

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis 2.1.1. Defenisi, Etiologi, dan Faktor Risiko - Gambaran EKG Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 31