Gangguan fungsi kerja jantung yang tidak terdiagnosis sering kali menjadi faktor yang meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien PPOK. Namun hal ini
menjadi permasalahan di daerah masih berkembang karena keterbatasan fasilitas dan sarana-prasarana diagnostik sehingga penanganan pasien-pasien PPOK belum
optimal. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat isu ini
menjadi suatu penelitian guna mengetahui bagaimana gambaran EKG yang direkam pada pasien-pasien PPOK. Hal-hal yang akan diteliti dapat beragam,
meliputi gelombang P pulmonal, pembesaran jantung kanan maupun blok cabang berkas kanan right bundle branch blockRBBB. Keabnormalitasan hasil EKG
dapat menjadi indikasi telah terdapat penyakit jantung sebagai komorbid penyakit ini. Pada umumnya tingkat obstruksi sejalan terhadap hasil EKG yang
ditunjukkan Huiart, 2006 dalam McAllister, et al., 2012
. Oleh karena itu pemeriksaannya harus dipertimbangkan juga saat melakukan penegakan diagnosis
penyakit ini agar dapat dilakukan penanganan yang lebih terintegrasi oleh divisi paru dan jantung, sehingga diharapkan dapat memberi hasil yang lebih baik.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran EKG pasien PPOK yang dirawat inap di RS Haji Adam Malik Medan
pada tahun 2012?”
1.3. Tujuan Penelitian
A. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran EKG pada pasien PPOK
B. Tujuan Khusus 1. Untuk mengidentifikasi kelainan pola EKG pada pasien PPOK.
2. Untuk melihat insidensi pasien PPOK yang memiliki kelainan EKG.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa manfaat penelitian ini adalah:
Manfaat bagi klinisi: 1. Agar ke depannya pemeriksaan EKG dapat dilakukan sebagai salah
satu uji diagnostik PPOK yang rutin karena memiliki makna yang cukup penting.
2. Sebagai bahan masukan atau sumbangan pemikiran yang dapat digunakan pelayan kesehatan dalam menegakkan diagnosis dan untuk
pertimbangan penanganan PPOK. Manfaat bagi peneliti dan mahasiswa:
1. Sebagai bahan acuan dan sumber ilmu bagi peneliti masa yang akan datang yang ingin mempelajari lebih jauh gambaran EKG pada pasien
PPOK. Manfaat bagi masyarakat:
2. Sebagai sumber informasi tentang bahaya penyakit ini agar masyarakat menjauhi penyebabnya.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis
2.1.1. Defenisi, Etiologi, dan Faktor Risiko
Penyakit pada paru secara garis besar dibagi dalam 2 kelompok, yaitu penyakit paru restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah keterbatasan kemampuan
paru untuk mengembang dan mengempis sesuai aliran udara yang masuk dan keluar. Restriksi paru dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya fibrosis,
debris atau sisa infeksi pneumonitis maupun gangguan pada neuromuskular Caronia, 2014. Sementara, obstruksi adalah sumbatan saluran napas dalam hal
ini ialah paru. Sumbatan ini dapat disebabkan oleh fibrosis, cairan, partikel solid ataupun benda lain yang bisa berada di dalam paru. PPOK termasuk ke dalam
kelompok penyakit paru obstruksi. Penyakit Paru Obstruktif Kronis PPOK adalah penyakit inflamasi kronis
yang bersifat sistemik dan dapat memengaruhi fungsi pasien, kualitas hidup, penurunan tingkat fungsi paru-paru, dan meningkatkan komorbiditas penyakit
lain. Penyakit ini menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat kronis dan rekuren. Obstruksi ini biasanya bersifat progresif, dapat disertai dengan
adanya hiperaktivitas mukosa saluran napas, dan sebagian dapat kembali ke keadaan semula Porth, 2007.
Penyebab terbanyak munculnya penyakit ini adalah merokok. Oleh karena itu, PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah. Namun kenyataannya,
stadium awal dari penyakit ini jarang menimbulkan gejala sehingga seringkali pasien terdiagnosis pada stadium yang sudah lanjut. Akan tetapi pada pasien yang
sudah memiliki gejala obstruksi jalan napas pada masa dini, penanganan dapat dilakukan dengan lebih cepat serta memberikan hasil yang lebih baik Porth,
2007.
Selain merokok, faktor paparan lain yang dapat menyebabkan PPOK adalah polusi udara dari hasil rumah tangga seperti asap dapur, terutama pada
dapur dengan ventilasi buruk dan yang terkena terutama ialah wanita. Debu dan iritan lain seperti asap juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini dengan
paparan yang lama dan sering. Asap kendaraan bermotor juga diduga dapat menjadi penyebab karena partikel-partikelnya dapat mengganggu dan
meningkatkan beban kerja paru, meskipun dalam jumlah yang relatif kecil GOLD, 2014.
Prevalensi kejadian PPOK lebih banyak pada laki-laki karena pada umumnya perokok lebih banyak ialah laki-laki serta lebih sering terpapar pada
polutan udara lainnya dibanding perempuan, meskipun tingkat perokok perempuan juga meningkat dan kerentanan paru perempuan juga lebih tinggi
Chapman, et al., 2014. Faktor penjamu host lain meliputi usia, gen defisiensi α
1
-antitripsinATT, hiperaktivitas bronkus, dan gangguan tumbuh kembang paru seperti riwayat infeksi dan sosial ekonomi Reilly, et al., 2012.
2.1.2. Patogenesis
Patogenesis atau mekanisme terjadinya PPOK melibatkan banyak faktor. Meski selama ini ditetapkan merokok merupakan faktor penyebab utama
terjadinya penyakit ini, namun hasil studi epidemiologi telah menunjukkan bukti yang konsisten bahwa pada pasien yang bukan perokok dapat terjadi keterbatasan
aliran udara seperti halnya yang terjadi pada PPOK Behrendt, et al., 2005, dalam GOLD 2014. Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronis mencakup emfisema dan
bronkhitis kronis. Emfisema ditandai dengan hilangnya elastisitas paru dan destruksi dinding
alveolus dan kapiler. Destruksi ini menyebabkan alveolus tidak dapat bergerak elastis saat inspirasi dan ekspirasi. Alveolus akan cenderung mengembang
sehingga meningkatkan kapasitas total paru. Ada 2 hal yang dapat menyebabkan emfisema yaitu merokok utama
dan defisiensi α
1
-antitripsin, yaitu enzim antiprotease yang berfungsi sebagai pelindung paru Porth, 2007
. Reilly, et al., dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 2011 menyebutkan bahwa
emfisema dapat disebabkan 4 proses yang saling berkaitan: 1paparan kronis asap rokok menyebabkan akumulasi mediator inflamasi di paru; 2mediator ini akan
mensekresi elastolytic proitenases yang dapat merusak matriks ekstrasel; 3hilangnya matriks ekstrasel memicu kematian sel apoptosis; 4terjadi
perbaikan yang tidak efektif oleh elastin dan komponen matriks ekstrasel lainnya sehingga menyebabkan pelebaran alveolus.
Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya: 1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan meluas
ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama.
2. Panacinar Emphysema panlobuler yang melibatkan seluruh alveolus distal dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah. Emfisema
tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi α
1
-antitripsin. 3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura PDPI, 2003.
Sementara itu, dalam bronkitis kronis, hambatan saluran napas disebabkan oleh reaksi inflamasi. Terdapat edema dan hiperplasia kelenjar submukosa
sehingga terjadi sekresi mukus yang berlebihan Porth, 2007. Iritan yang terhirup akan menyebabkan akumulasi mediator-mediator
inflamasi seperti netrofil, CD8 ⁺, limfosit T, sel B, dan makrofag. Ketika
diaktifkan, mediator ini akan memulai kaskade yang akan memicu pengeluaran Tumour Necrosis Factor alpha TNF-
α, Interferon gamma IFN- γ, matrix-
metalloproteinases MMP-6, MMP-9, C-Reactive Protein CRP, Interleukins IL-1, IL-6, IL-8 dan fibrinogen. Proses respon inflamasi ini akan menetap
sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang menimbulkan keterbatasan aliran udara permanen Tuder dan Petrache, 2012. Struktur yang paling besar
menimbulkan hambatan adalah saluran kecil diameter ≤ 2mm karena sekresi
mukus yang berlebihan dapat menimbulkan obstruksi total. Fibrosis juga dapat ditemukan pada mukosa yang nantinya juga memicu sekresi mukus yang berlebih
pula sehingga akan memperparah kondisi hambatan Reilly, et al., 2012.
Gambar 2.1. Patogenesis PPOK Sumber: Barnes, P.J., Nat Rev Immunol 2008; 8:183-92
2.1.3. Patofisiologi Manifestasi Klinis
Pada tahap awal perjalanan PPOK, pemeriksaan fisik kemungkinan besar akan memberi hasil dalam batas normal Reilly, et al., 2012.
Batuk kronis. Batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh untuk membuang atau
membersihkan saluran napas dari benda asing seperti dahak yang disekresi secara berlebih oleh kelenjar mukus. Biasanya gejala yang pertama kali muncul adalah
batuk yang seringkali diabaikan karena pada umumnya bagi perokok, batuk merupakan hal biasa dan belum mengganggu aktivitas. Namun seiring berjalannya
waktu, gejala ini akan secara progresif berkembang sampai dapat menyebabkan kesulitan bernapas yang kemudian akan meresahkan penderitanya Kenny, 2014.
Produksi Sputum. Menurut GOLD 2014, sebagai gejala dari bronkitis kronis,
produksi sputum teratur dan menetap selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut- turut. Namun, hal ini dapat berubah-ubah sehingga tidak ada kisaran volume
sputum yang pasti untuk diagnosis PPOK.
Dyspnea. Dyspnea diartikan sebagai kesulitan bernapas, dapat disertai suara
mengi wheezing saat ekspirasi. Dyspnea muncul akibat produksi lendirmukus pada saluran pernapasan dalam jumlah besar sehingga menyebabkan hambatan
jalan napas. Pasien akan tampak memiliki frekuensi pernapasan diatas normal hiperventilasi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Pada
PPOK berat, dapat dijumpai gejala sianosis pada pasien Kenny, 2014.
2.1.4. Diagnosis 2.1.4.1. Anamnesis
Cara mendiagnosis pasien PPOK dapat dimulai dengan anamnesis, yaitu dengan menanyakan hal-hal berikut ini PDPI, 2003:
• Adanya
riwayat merokok aktif; atau tidak merokok namun terbiasa menghirup asap rokok pasif; atau bekas perokok dengan atau tanpa
gejala pernapasan • Nilai derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman IB, yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun Brinkman dan Coates, 1963 dalam Watanabe, et al, 2011:
- Ringan : 0-200 - Sedang : 200-600
- Berat : 600 • Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
• Terdapat faktor predisposisi pada masa bayianak, misal berat bayi lahir rendah BBLR, infeksi saluran napas berulang, lingkungan berasap rokok
dan polusi udara • Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
• Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Penting diingat bahwa PPOK merupakan penyakit yang memiliki gejala cukup beragam dan dapat berbeda-beda pada setiap pasien. Oleh karena itu,
pasien PPOK dapat saja tidak memiliki manifestasi klinis klasik seperti yang telah diuraikan. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menegakkan
diagnosis Zieliñski et al., 2001, dalam Lynes, 2010.
2.1.4.2. Menilai Gejala
Menilai gejala dapat dilakukan memakai COPD Assessment Test CAT, atau skala sesak napas Medical Research Council MRC. Berdasarkan GOLD,
skor CAT lebih dipilih karena CAT merupakan satu-satunya kuesioner yang tervalidasi, singkat dan sederhana untuk menganalisa seberapa besar dampak
PPOK yang dirasakan pasien; dapat membantu dan meyakinkan pasien dan dokter dalam melakukan penanganan yang optimal; dan membantu mengetahui
progresivitas penyakit dan terapi.
Gambar 2.2. Penilaian gejala PPOK dengan CAT dan mMRC Dyspnoe scale Sumber: GOLD, 2013.
Menilai Gejala Eksaserbasi
Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala saluran pernafasan pasien, di luar dari batas normal variasi harian dan
membutuhkan perubahan tatalaksana. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antarindividu. Eksaserbasi akut dapat dipicu oleh hal-hal seperti keadaan
peningkatan simpatis misalnya kecemasan, flu common cold, kelelahan, bernapas berlebihan, maupun infeksi saluran napas, dan merupakan suatu kondisi
gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera SKDI, 2012. Kriteria eksaserbasi adalah:
Tiga gejala utama eksaserbasi : 1. Sesak napas bertambah
2. Dahak berubah warna 3. Volume dahak bertambah
Gejala tambahan: 1. Demam
2. Batuk bertambah 3. Mengi bertambah
4. Infeksi Saluran Napas atas 5 hari terakhir 5. Denyut jantung meningkat 20 dari biasanya
Tipe eksaserbasi dinilai dari gejalanya: • tipe I Berat Tiga gejala utama
• tipe II Sedang Dua gejala utama • tipe III Ringan Satu gejala utama ditambah satu gejala tambahan.
2.1.4.3. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak memiliki kelainan.
2.1.4.3.1. Inspeksi
• Pursed-lips breathing mulut setengah terkatup mencucu • Barrel chest diameter antero - posterior sama dengan diameter
transversal • Penggunaan otot bantu napas
• Hipertropi otot bantu napas • Pelebaran sela iga
• Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema pada tungkai • Penampilan pink puffer atau blue bloater
2.1.4.3.2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
2.1.4.3.3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
2.1.4.3.4. Auskultasi
• Suara napas vesikuler normal, atau melemah • Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa • Ekspirasi memanjang
• Bunyi jantung terdengar jauh
Pink Puffer
“Pink Puffer” adalah istilah untuk pasien dengan emfisema sebagai penyebab utama muncul PPOK-nya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
emfisema merupakan keadaan yang dapat menyebabkan kemampuan alveolus untuk mengembang saat inspirasi menurun akibat destruksi permukaan alveolus.
Dan secara bertahap juga dapat merusak kapiler pembuluh darah sehingga terjadi penurunan aktivitas difusi. Oleh karena itu, pasien harus berkompensasi dengan
cara hiperventilasi puff berarti terengah-engah atau mengepul. Jika
dibandingkan dengan “Blue Bloater” maka pasien ini akan memiliki corak warna kulit lebih kemerahan pink dikarenakan mekanisme kompensasi yang dilakukan
untuk memenuhi oksigen jaringan tidak terjadi hipoksemia Allen, 2009.
Blue Bloater
Sementara itu, “Blue Bloater” adalah istilah untuk pasien dengan bronkitis kronis sebagai penyebab utama PPOK-nya. Bronkitis kronis ialah kondisi yang
disebabkan produksi mukus berlebihan serta penyempitan bronkus akibat metaplasia kelenjar goblet dan proses inflamasi kronis pada dinding bronkus.
Berbeda dengan emfisema, tidak terjadi destruksi kapiler, maka respon tubuh terhadap obstruksi ini adalah dengan mengurangi ventilasi dan meningkatkan
cardiac output. Hipoksemia akan terjadi lebih berat dibandingkan pada kondisi “Pink puffer” sebagai akibat ventilation-perfusion mismatch. Keadaan hipoksemia
ini semakin lama akan menyebabkan sianosis yang tampak pada warna kulit kebiruan Allen, 2009.
Pink Puffer Blue Bloater
• Normal atau kurus • Barrel Chest
• Mulut mencucu pursed lip breathing
• Penggunaan otot-otot bantu pernapasan
• Perkusi: hipersonor • Auskultasi : suara pernapasan
melemah, ekspirasi memanjang • Overweight
• Batuk • Sputum
• Sianosis • Edema perifer
• Perkusi : normal • Auskultasi : mengi, ronki basah
Tabel 2.1. Perbedaan antara “pink puffer” dan “blue bloater”
2.1.4.4. Pemeriksaan Penunjang 2.1.4.4.1. Spirometri
Merokok, sebagai faktor risiko utamanya juga tidak mutlak menyebabkan PPOK pada semua orang. Hal ini juga dipengaruhi oleh intensitas pajanan asap
rokok, usia penjamu serta fungsi paru si penjamu sendiri. Secara alami, semakin bertambahnya usia maka fungsi paru juga akan menurun. Hal ini dapat
ditunjukkan oleh Forced Expiratory Volume in one second FEV
1
=Volume Ekspirasi Pertama VEP
1
dibanding dengan FVC Forced Vital Capacity =Kapasitas Vital Paksa KVP yang dihitung melalui spirometri. VEP
1
adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan secara paksa dalam 1 detik setelah 1
inspirasi dalam. Spirometri adalah pemeriksaan fundamental dalam diagnosis
PPOK. Spirometri digunakan untuk menilai VEP
1
, VEP
1
prediksi, KVP, VEP
1
KVP. • Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP
1
prediksi dan atau VEP
1
KVP .
• Obstruksi : VEP
1
VEP
1
VEP
1
pred 80 VEP
1
VEP
1
KVP 75 • VEP
1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit PDPI, 2003
Tingkat Keparahan
Gejala Spirometri
Berisiko Batuk kronis
berdahak Normal
I Ringan
Dengantanpa batuk kronis atau
produksi sputum VEP
1
KVP 0.7 dan VEP
1 ≥
80 prediksi
II A Sedang
Dengantanpa batuk kronis atau
produksi sputum VEP
1
KVP 0.7 dan 50
≤VEP
1
80 prediksi III
Berat Dengantanpa
batuk kronis atau VEP
1
KVP 0.7 dan 30
≤VEP
1
produksi sputum 50 prediksi
IV Sangat Berat
Dengantanpa batuk kronis atau
produksi sputum VEP
1
KVP 0.7 dan VEP
1
30 prediksi
atau VEP
1
50 prediksi dengan
gagal napas atau adanya tanda
gagal jantung kanan
Tabel 2.2. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 18
th
ed., 2012:2151-2160 Dari nilai gejala dan spirometri dapat digolongkan pasien dalam 4
kelompok: Pasien
Karakteristik Spirometri
Eksa- serbasi
tahun CAT
mMRC
A Low risk, less
symptoms I
≤1 0-1
10
B Low risk, more
symptoms II
≤1 2+
≥10
C High risk, less
symptoms III
2 0-1
10
D High risk, more
symptoms IV
2 2+
≥10
Tabel 2.3. Tipe pasien PPOK dari penilaian kombinasi Sumber: GOLD Revised 2011, tersedia dari goldcopd.org diakses: 20 Mei 2014
2.1.4.4.2. Uji Bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE Arus Puncak Ekspirasi meter.
• Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP
1
atau APE, perubahan VEP
1
atau APE 20 nilai awal dan 200 ml •
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2.1.4.3.3. Pemeriksaan Radiologi Radiologi Bronkitis Kronis
• Umumnya normal • Corakan bronkoalveolar bertambah
Gambar 2.3. Foto toraks bronkitis kronis Sumber: radiopaedia.orgarticleschronic-bronchitis
;
diakses: 30 Mei 2014
Radiologi Emfisema
Stadium awal normal. Stadium lanjut:
• Tanda-tanda hiperinflasi radiolusen • Diafragma mendatar
• Sela iga lebar • Ruang retrosternal melebar
• Jantung pendulum • Bullae multipel
Gambar 2.4. Foto toraks emfisema menunjukkan peningkatan lusensi, diafragma mendatar dan ruang retrosternal melebar Sumber:
Harrison’s Principles of Internal Medicine 18
th
ed., 2012: 2106
2.1.4.4.4. Pemeriksaan Lain Tidak Rutin 2.1.4.4.4.1. Faal Paru
• Volume Residu VR, Kapasitas Residu Fungsional KRF, Kapasitas Paru Total KPT, VRKRF, VRKPT meningkat
• DLCO menurun pada emfisema • RAW Airway Resistance meningkat pada bronkitis kronis
• sGaw Specific Airway Conductance meningkat
2.1.4.4.4.2. Uji Latih Kardiopulmoner
• Sepeda statis ergocycle • Jentera treadmill
• Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
2.1.4.4.4.3. Analisa Gas Darah AGD
Terutama untuk menilai : • Gagal napas kronis stabil
• Gagal napas akut pada gagal napas kronis
2.1.4.4.4.4. Elektrokardiografi EKG
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
2.1.4.4.4.5. Ekokardiografi
Untuk menilai fungsi jantung kanan.
2.1.4.4.4.6. Pemeriksaan Bakteriologi
Untuk mengetahui infeksi bakteri dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia PDPI, 2003.
2.1.4.4 .4.7. Pemeriksaan Kadar α
1
-Antitripsin
Defisiensi α
1
-antitripsin dijumpai pada pasien PPOK emfisema dengan usia muda herediter. Jarang ditemukan di Indonesia PDPI,2003.
2.1.5. Diagnosis Banding
Berdasarkan GOLD 2014, yang menjadi diagnosis banding dari PPOK adalah asma, gagal jantung kongestif, bronkiektasis, tuberkulosis, bronkiolitis,
dan panbronkiolitis difusa.
Tabel Perbedaan PPOK dan Diagnosis Bandingnya
PPOK Onset usia dewasa biasanya 35 tahun
Perkembangan gejala lambat namun progresif Adanya riwayat merokok
Asthma Onset usia muda biasanya anak-anak
Gejala bervariasi Muncul pada waktu-waktu tertentu malampagi hari
Alergi, rhinitis, danatau ekzema Adanya riwayat keluarga yang asthma
Gagal jantung kongestif Foto toraks menunjukkan dilatasi jantung, edema paru
Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan keterbatasan volume, bukan hambatan jalan napas
Bronkiektasis Volume sputum besar
Umumnya berhubungan dengan infeksi Foto toraks menunjukkan dilatasi, dan penebalan dinding
bronkus Tuberculosis TB
Onset: semua usia Foto toraks menunjukkan adanya infiltrasi pada lapangan paru
Diagnosis pasti: pemeriksaan mikrobiologi Muncul di daerah dengan prevalensi tinggi
Bronkiolitis obliteratif Onset pada usia muda, tidak merokok
Dapat memiliki riwayat rheumatoid arthritis, atau paparan gas kronis
Hasil CT saat ekspirasi menunjukkan daerah hipodens
Panbronkiolitis difusa Umumnya ditemukan pada orang Asia
Sebagian besar pasiennya adalah pria dan tidak merokok Hampir semua pasien memiliki sinusitis kronis
Foto toraks menunjukkan hiperinflasi dan sentrilobular nodular opak yang kecil
Tabel 2.4. Diagnosis banding PPOK Sumber: GOLD 2010 updated dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 18
th
ed., 2012:2151-2160
2.1.6. Penatalaksanaan
PPOK merupakan penyakit progresif yang akan memburuk seiring dengan waktu, sehingga prinsip penanganannya ialah bukan untuk mengembalikan
keadaan paru ke keadaan normal namun untuk meningkatkan kualitas hidup dengan meminimalkan frekuensi serangan dan keluhan yang dirasakan NHLBI,
2014.
2.1.6.1. Penghentian Merokok
Langkah intervensi awal yang harus diterapkan pada pasien PPOK ialah berhenti merokok Reilly, et al., 2012. Sebagai faktor risiko utama yang
melatarbelakangi munculnya penyakit ini, merokok harus dihentikan karena terapi lain tidak akan berhasil apabila hal ini tidak dilakukan.
2.1.6.2. Bronkodilator
Bronkodilator inhalasi adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK, dan bertujuan sebagai pencegahanmengurangi gejala yang akan
timbul. Bronkodilator inhalasi kerja lama long-acting lebih efektif dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat Buist, et al., 2014.
Bermacam-macam bronkodilator yang dapat digunakan yaitu: - Golongan agonis beta-2
Digunakan untuk mengatasi sesak. Beta-2 agonis bekerja dengan cara merelaksasi otot polos dengan cara meningkatkan cyclic adenosine monophosphate cAMP
intraseluler. Pada penggunaan yang lebih banyak dapat mengindikasikan serangan
eksaserbasi akut. Untuk pemeliharaan, dapat dipergunakan bentuk tablet yang berefek lebih panjang PDPI,2003. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat. Saat ini sediaan yang tersedia adalah salbutamol yang bekerja cepat, formoterol Foradil dan salmeterol Serevent yang bekerja
lama. - Antikolinergik
Antikolinergik bekerja pada postganglionik reseptor kolinergik dan dapat mengurangi sesak dengan menimbulkan efek bronkodilatasi. Obat ini ada yang
bersifat kerja cepat, contohnya ipratropium bromida Atrovent dan kerja lambat contonya tiotropium bromida Spiriva
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita PDPI, 2003
- Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh golongan xantin adalah teofilin. Teofilin merupakan phosphodiesterase inhibitor PDEi yang saat ini
penggunaannya sebagai terapi adjuvant dibatasi karna memiliki efek samping signifikan seperti kecemasan, tremor, gangguan tidur, mual, gangguan irama
jantung aritmia dan kejang Mosenifar, 2014. Maka pada penggunaan panjang perlu dimonitor kadar aminofilin darah.
- Selektif Phosphodiesterase-4 PDE4 Dapat mengurangi sesak, dan pada pasien PPOK berat dapat meningkatkan fungsi
paru Mosenifar, 2014. Contoh obatnya adalah Roflumilast Daliresp.
- Kortikostreoid inhalasi
Kortikosteroid berfungsi mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada saluran napas. Contohnya budesonide, fluticasone, beclomethasone.
2.1.6.3. PPOK Eksaserbasi
Untuk PPOK eksaserbasi akut, manajemen di rumah sakit dapat diberikan bronkodilator kerja cepat: beta-2 agonis dan antikolinergik dosis tinggi; steroid
oral atau intravena; antibiotik, dan dapat dipertimbangkan pemberian ventilator mekanik invasif IPD, 2009. Eksaserbasi PPOK diakibatkan oleh Sethi, et al.,
2002, dalam Miravitlles et al., 2004.
• 80 dari eksaserbasi disebabkan infeksi
o 40-50 oleh
Haemophilus influenzae Moraxella catarrhalis
Streptococcus pneumoniae o
5–10 oleh bakteri atipikal Chlamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumonia o
Terkadang dapat juga disebabkan oleh Haemophilus parainfluenzae
Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus
Enterobacteriaceae o
30 oleh virus
• 20 dari eksaserbasi bukan infeksi
o Faktor lingkungan
o Ketidakpatuhan minum obat
Antibiotik yang dapat digunakan adalah: a. Lini I
: - Amoksisilin - Makrolid
- Ko-trimoksasole b. Lini II
: - Amoksisilin klavulanat - Sefalosporin
- Kuinolon - Makrolid baru
- Oksigen di rumah sakit Jika saat eksaserbasi pasien berada di rumah sakit, maka dapat diberikan
penanganan oksigen pada keadaan hipoksia. Terapi oksigen dengan cara yang
tepat adekuat.
-Ventilasi mekanik Indikasi penggunaan ventilasi mekanik: ventilasi alveolar tidak adekuat, paru
kurang mengembang, hipoksemia,kelelahan otot pernapasan, kerja napas yang berlebihan. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara:
- ventilasi mekanik dengan intubasi - ventilasi mekanik tanpa intubasi PDPI, 2003
Tambahan: • Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
• Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronis, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin. • Antitusif
Diberikan dengan hati-hati PDPI, 2003
2.1.7. Follow-up, Komplikasi, dan Indikasi Merujuk 2.1.7.1. Follow-up
Follow-up dapat dilakukan dalam 4-6 minggu pasca keluar dari rumah sakit. Berdasarkan GOLD 2014, kriteria pasien dipulangkan dari rumah sakit:
1. Menggunakan bronkodilator tidak lebih tiap 4 jam 2. Mampu berjalan keluar kamar
3. Bisa makan minum sendiri tanpa gangguan sesak 4. Stabil 12-24 jam pasca terapi parenteral
5. AGDA stabil dalam 24 jam 6. Pasien dapat menggunakan obat obat sendiri
7. Follow-up dan observasi saat di RS sudah lengkap contoh: perawatan oleh perawatan, oksigen yang diberi, makanan
8. Pasien, keluarga, dan relative sudah yakin dapat menangani saat berada di rumah.
Yang dinilai selama proses follow-up adalah: 1. Mampu beraktivitas seperti orang lain
2. Menilai nilai VEP
1
3. Menilai cara memakai inhaler 4. Mengerti regimen pengobatan
5. Menilai kembali kebutuhan oksigen atau nebulizer di rumah 6. Menilai gejala dengan CAT atau mMRC
7. Status komorbiditas
2.1.7.2. Komplikasi dan Indikasi Merujuk
Komplikasi yang dapat ditimbulkan PPOK adalah: 1. Gagal Napas
2. Infeksi Berulang 3. Kor Pulmonale
4. Pneumotoraks 5. Bronkiektasis
6. osteoporosis 7. Depresi, gangguan tidur, dan gangguan kecemasan
Rujukan ke spesialis paru dilakukan apabila:
1. Timbul pada usia muda 2. Sering mengalami eksaserbasi
3. Memerlukan terapi oksigen 4. Memerlukan terapi bedah paru
5. Sebagai persiapan terapi pembedahan 6. PPOK dengan komplikasi
7. PPOK tipe C atau D Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa PPOK merupakan
penyakit yang dapat dicegah, maka penting untuk diketahui bagaimana pencegahan dan edukasi perburukan gejalanya. Pencegahan dapat dilakukan
dengan mencegah merokok, atau bagi perokok dengan usia yang masih relative muda 30 tahun frekuensi dan intensitas merokok dapat dikurangi. Hal ini dapat
secara signifikan menurunkan angka kejadian terjadinya penyakit ini. Sementara edukasi dapat diberikan pada masa rehabilitasi pasien. Hal yang
dapat dilakukan adalah: • Exercise training seperti berjalan, menggunakan treadmill ataupun
bersepeda, dapat dilakukan selama 10-45 menit setiap sesi yang bertujuan untuk meningkatan konsumsi oksigen, meningkatkan denyut jantung, dan
kemampuan paru menggunakan oksigen. Menurut GOLD 2010, keefektifan training ini tergantung pada kemampuan pasien dan tingkat
keparahan penyakitnya, dengan lama training sekitar 6-10 minggu. • Nutrition counseling perlu diperhatikan dalam manajemen PPOK. Berat
badan berlebih ataupun kurang dapat menjadi permasalahan dalam mendapatkan perbaikan. Kelebihan berat badan lebih menyulitkan untuk
mendapat perbaikan dibanding yang kurang, untuk itu penurunan indeks massa tubuh pada pasien overweight dan obese dapat menurunkan angka
mortalitas.
2.2. ELEKTROKARDIOGRAFI
Pada setiap detakan, jantung berdepolarisasi untuk membangkitkan kontraksi. Aktivitas ini merupakan aktivitas listrik yang ditransmisikan ke seluruh
tubuh dan dapat dideteksi di permukaan kulit Ashley dan Niebauer, 2006. Elektrokardiograf adalah alat yang merekan aktivitas listrik jantung, sedangkan
elektrogradiogram adalah hasil perekaman tersebut. EKG dapat digunakan sebagai alat diagnosis adanya kelainan ritme
jantung, perubahan konduksi listrik, dan adanya iskemi atau infark jaringan otot jantung. Aktivitas listrik yang terjadi di jantung terekam dalam bentuk
gelombang, dan terbentuk mengikuti fisiologi jantung, terdiri dari gelombang depolarisasi dan repolarisasi Thaler, 2009.
2.2.1. Fisiologi Konduksi Jantung
Secara anatomi menurut sudut pangang EKG, jantung terdiri dari 3 tipe sel:
1. Sel pacu jantung – sumber tenaga listrik pada jantung 2. Sel penghantar listrik
3. Sel kontraktil Sel-sel tersebut bekerjasama membentuk sistem konduksi jantung. Sistem
tersebut bergerak melalui: a. Sel pacu jantung pacemaker yaitu nodus sinoatrial SA Node
merupakan sel-sel yang berada pada posterior dinding atrium kanan. Sel- sel ini biasanya mencetuskan impuls listrik pada frekuensi 60-100 kali per
menit, namun frekuensi tidak mutlak teratur karena dipengaruhi oleh aktivasi sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis, kadar elektrolit,
serta keadaan tubuh akan peningkatanpenurunan curah jantung aktivitas atau pekerjaan.
b. Internodal pathway yaitu jalur yang menghubungkan antara nodus sinoatrial dan nodus atrioventrikular AV node. Terletak di atrium kanan.
c. Nodus atrioventrikular AV node merupakan jaringan yang bekerja sebagai penghantar impuls listrik konduksi yang terletak di inferior-
posterior septum interartrial. Berbeda dengan nodus SA yang berasal dari sel saraf, sel-sel penyusun nodus AV merupakan sel konduksi khusus yang
berasal dari sel jantung yang memperlambat impuls menjadi 0.05 mdet impuls listrik di nodus AV.
d. Berkas His terdiri dari kanan right bundle of His dan kiri left bundle of His. Berkas His kanan keluar dari nodus AV menuju ke ventrikel kanan.
Berkas His kiri memiliki tiga jalur atau disebut fasikula Thaler, 2009: • Fasikula septum yang mendepolarisasi septum antarventrikel
kanan dan kiri • Fasikula anterior yang mendepolarisasi bagian anterior ventrikel
kiri • Fasikula posterior yang mendepolarisasi bagian posterior ventrikel
kiri e. Serabut purkinje yaitu penghantar listrik ke sel kontraktil atau disebut
miokardium otot jantung sehingga akhirnya jantung dapat berkontraksi.
Gambar 2.5. Sistem konduksi jantung Sumber: Niebauer, 2006: 15-34
2.2.2. Sistem Kerja Elektrokardiograf
EKG bekerja berdasarkan sistem konduksi jantung, yaitu proses depolarisasi-repolarisasi. Terdapat beberapa komponen yang digambarkan di
EKG aeperti gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, dan garis lurus mendatar.
Gambar 2.6. Konfigurasi EKG Sumber: Nibauer, 2006:15-34
1. Gelombang P : gelombang kecil yang pertama muncul dan menggambarkan depolarisasi atrium p: ± 0.06 det; t: 0.2 mV
2. Interval P-R : adalah waktu antara depolarisasi atrium dan ventrikel 3. Kompleks QRS: depolarisasi seluruh ventrikel N: 0,06-0,1 det. Terdiri
dari tiga gelombang: • Gelombang Q kecil menunjukkan depolarisasi septum
interventrikel; gelombang Q juga berhubungan dengan bernapas gelombang kecil dan tipis
• Gelombang R menunjukkan depolarisasi sebagian besar massa ventrikel oleh karena itu merupakan gelombang terbesar
• Gelombang S menunjukkan depolarisasi terakhir di bagian dasar ventrikel
4. Segmen S-T : merupakan jarak antara akhir gelombang kompleks QRS dan awal gelombang T yang menunjukkan fase nol tidak ada potensial
aksi sebelum terjadi repolarisasi 5. Gelombang T : repolarisasi ventrikel repolarisasi atrium terjadi pada
kompleks QRS 6. Gelombang U : gelombang ini tidak begitu jelas, namun kemungkinan
menunjukkan keadaan setelah repolarisasi ventrikel 7. Interval P-R : waktu mulai atrium depolarisasi sampai onset depolarisasi
ventrikel N: 0,12-0,2 det 8. Durasi QRS : durasi ventrikel depolarisasi
9. Interval Q-T : durasi depolarisasi dan repolarisasi ventrikel N: 0,32-0,4 det
10. Interval R-R : durasi siklus kontraksi jantung berdasarkan kontraksi ventrikel
11. Interval P-P : siklus kontraksi atrium
2.2.2.1. EKG Normal
Menurut Ashley dan Niebauer 2006, EKG normal dapat dinilai dari beberapa hal berikut ini:
a. Sinus rhythm ritme sinus apabila laju denyut jantung atau heart rate
dinilai dari banyaknya gelombang R dalam 1 menit pada orang dewasa terbentuk sebanyak 60-100; interval R-R dan P-P teratur;
Denyut jantung dapat dihitung dengan cara: 1. 1500 jumlah kotak kecil antara R-R
2. 300 jumlah kotak besar antara R-R 3. Hitung jumlah gelombang QRS dalam 6 detik, kemudian dikalikan 10
atau dalam 12 detik dikalikan dengan 5
b. Interval setiap gelombang normal seperti yang telah dijelaskan di atas.
c. Morfologi gelombang normal gambar 2.6.
Gambar 2.7. Gelombang normal di 12 sadapan
Sumber: www.merckmanuals.com diakses: 10 Mei 2014
Setiap sadapan memiliki sudut orientasi yakni sudut pandangnya sendiri terhadap jantung. Keduabelas sadapan diperoleh melalui Thaler, 2009:
1. Sadapan I dihasilkan dengan menjadikan lengan kiri sebagai kutub positif dan lengan kanan sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya
adalah 0° 2. Sadapan II dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub
positif dan lengan kanan sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah 60°
3. Sadapan III dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub positif dan lengan kiri sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya 120°
4. Sadapan aVL dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kiri sebagai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut
orientasinya adalah -30° 5. Sadapan aVR dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kanan
sebagai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya -150°
6. Sadapan aVF dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya
+90°. 7. V
1
ditempatkan di sela iga ke-empat kanan 8. V
2
ditempatkan di sela iga ke-empat kiri 9. V
3
di antara V
1
dan V
2
10. V
4
ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid klavikularis kiri 11. V
5
ditempatkan antara V
4
dan V
6
12. V
6
ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid aksilaris kiri Morfologi normal gelombang pada EKG Thaler, 2009:
1. Gelombang P berukuran kecil dan biasanya positif pada lateral kiri I, aVL, V
5,
V
6
dan inferior II, III, aVF; bifasik di sadapan III dan V
1;
paling positif pada sadapan II; paling negatif pada sadapan aVR. 2. Kompleks QRS berukuran besar, gelombang R tinggi biasanya terlihat di
sadapan lateral kiri dan inferior. Gelombang R semakin meningkat berurutan saat melintasi sadapan V
1
-V
5
. Gelombang Q yaitu depolarisasi septum dapat dijumpai pada satu atau beberapa sadapan lateral kiri, dan
kadang pada inferior. 3. Gelombang T bervariasi, tetapi biasanya positif pada sadapan dengan
gelombang R yang tinggi.
d. Aksis normal