Gambaran Fungsi Kognitif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang

(1)

(2)

(3)

ii

Faculty of Medicine and health sciences

School of Nursing

Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta

Skripsi, Januari 2016

Syahir Noer Muhamad, NIM : 1111104000024

Imaging of Cognitive Function in Patient of COPD at RSU Kabupaten Tangerang

(xvii + 71 Pages + 18 Table + 2 Schemes + 4 Attachments) ABSTRACT

Human cognitive function consist of orientation time and place, attention, memory, language, visuospacial, eksecutive, dan abstract skill. The cognitive function could alter if hypo perfusion occur. Patients with COPD suffer hypoksia lead to brain hypoperfusi. The aim of the research was to investigate cognitive function of patient with COPD, this study had been carried out during 5 month from March until Jule 2015. Quantitative method was used and descriptive design with cross sectional approach. Has been choosen sample were 48 patient at RSU Kabupaten Tangerang with non probability sampling technique and using montreal Cognitive Assesment (MoCa) questionnaire. The result has been delivered 38 out of 48 patient has cognitive function altered whereas 10 of them still normal. Most of them were at above 60 years old 64.8%, 31.5% were around age of 45-59, and 4.2% were below ≤ 44 years old. Mele were most potential of suffering COPD than female (34 male and 5 male on this study). Thus 34 male shown cognitive function altered while female only 4 people. In conclusion cognitive changed could be affected by age and chronic disease of COPD nurse are needed to educate to COPD Patient in order to reduce cognitive changing induced by hypoksia such as COPD.

Key word : Cognitive function, COPD, MoCa Reference : 58 (2003-2015)


(4)

iii

3

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Program Studi Ilmu Keperawatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Skripsi, Januari 2016

Syahir Noer Muhamad, NIM : 1111104000024

GAMBARAN FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

OBSTRUKTIF KRONIS DI RUMAH SAKIT UMUM KABUPATEN TANGERANG ( xvii + 71 Halaman + 18 Tabel + 2 Gambar + 4 Lampiran )

ABSTRAK

Perubahan kognitif dapat terjadi jika terjadi hipoperfusi pada otak, penyebab terjadinya hipoperfusi otak yakni kondisi hipoksia pada otak, salah satunya terjadi pada penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran fungsi kognitif pada penyakit paru obstruktif kronis yang dilakukan selama 5 bulan dari bulan Maret hingga Juli 2015. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel adalah 48 pasien di RSU Kabupaten Tangerang dengan teknik non probability sampling. Pengambilan data menggunakan kuisioner Montreal Cognitive Assesment (MoCa). Hasil penelitian menunjukan dari 48 responden, 38 diantaranya (79.1%) mengalami perubahan fungsi kognitif dan 10 orang (20.9%) memiliki fungsi kognitif yang normal. Rata-rata pasien PPOK yang mengalami perubahan kognitif pada usia≥ 60 tahun sebanyak 31 orang (64.8%), 45-59 tahun sebanyak 15 orang (31.5%) dan ≤ 44 sebanyak 2 orang (4.2%). Jenis kelamin laki-laki lebih banyak yakni 43 orang (89.6%) di diagnosa PPOK dibanding perempuan sebanyak 5 orang (10.4%), pada laki-laki 34 orang (79.1%) terjadi perubahan kognitif dan 9 orang (20.9%) kognitif normal, pada perempuan 4 orang (80.0%) dengan perubahan kognitif dan 1 orang (20.0%) kognitif normal. Dengan begitu perubahan fungsi kognitif dapat dipengaruhi oleh faktor usia dan penyakit yang menahun maka diperlukan peran perawat sebagai caregiver dalam menekankan edukasi terhadap pasien PPOK agar dapat mengurangi prevalensi kejadian gangguan kognitif pada pasien PPOK.

Kata Kunci : Fungsi Kognitif, PPOK, MoCa Daftar Bacaan : 58 (2003-2015)


(5)

(6)

(7)

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr. Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, Berkat rahmat, karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Fungsi Kognitif Pada Penderita Penyakit Paru Obstrukstif Kronis di RSU Kabupaten Tangerang”

Skripsi ini disusun sebagaimana untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar sarjana keperawatan (S.Kep) UIN Jakarta serta mengembangkan teori-teori yang penulis peroleh selama kuliah.

Penulis telah berusaha untuk menyajikan suatu tulisan ilmiah yang rapi dan sistematik sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Penulis sangat menyadari bahwa penyajian skripsi ini jauh dari sempurna. Hal ini sebabkan masih terbatasnya pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, oleh karena itu, segala kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan skripsi ini akan penulis terima dengan hati terbuka dan rasa terima kasih.

Sesungguhnya banyak pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan yang tak terhingga nilainya hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Penulis sampaikan kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri S.KM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

3. Ibu Maulina Handayani, S.Kp.,MSc, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan.

4. Ibu Nia Damiati, S.Kp, M.SN. selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah membimbing dan memberi motivasi selama 4 tahun masa akademik.

5. Ibu Ns. Mardiyanti, M.Kep.,MDS dan Ibu Maftuhah, Ph.D selaku Dosen Pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah meluangkan waktu serta memberi arahan dan bimbingan dengan sabar kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini.

6. Bapak Jamaludin, S.Kp., M.Kep dan Bapak Ns.Waras Budi Utomo., S.Kep., MKM.

7. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya yang tak ternilai, serta seluruh staf dan karyawan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Perawat RSU Kabupaten Tangerang yang telah mengizinkan dan membantu peneliti dalam melakukan penelitian.

9. Orang tuaku, Ibu Baiatin Nassa Kardiani dan Bapak Ns.Yayat Ruhiyat., S.Kep yang telah mendidik, mencurahkan semua kasih sayang tiada tara, mendo’akan keberhasilan penulis,serta memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada penulis selama proses menyelesaikan proposal skripsi ini. Tak lupa, adikku, Syaifan Bachtiar Nirwansyah, dan segenap keluargaku yang selalu memberikan semangat tanpa pamrih.


(10)

10.Teman-teman PSIK 2011, PSIK 2010, Kak Yoga, Kak Andri, Kak Egi, Kak Qoys, Wiwi, Manda dan teman-teman kosan yang telah membantu, memberi masukan, memberi inspirasi, dan terkhusus untuk Nika Sari Cahyaningrum yang telah banyak memberikan referensi dan membantu proses perkuliahan dan sebagai tempat berbagi keluh kesah selama menjadi mahasiswa UIN Jakarta.

11.Teman-teman BEM FKIK 2013-2014 yang telah memberikan pelajaran praktik berorganisasi.

`Pada akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Ciputat, Januari 2016


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL HAL

Lembar pernyataan...i

Abstrack...ii

Abstrak...iii

Pernyataan Persetujuan...iv

Lembar pengesahan...v

Riwayat Hidup...vii

Kata Pengantar...ix

Daftar Isi...xii

Daftar Singkatan...xv

Daftar Gambar...xvi

Daftar Tabel...xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah ...4

C. Pertanyaan Penelitian ...5

D. Tujuan Penelitian ...5

E. Manfaat Penelitian...5

F. Ruang linkup...6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)...8

1. Definisi PPOK...8

2. Faktor Risiko PPOK ...9

3. Jenis PPOK ...12

4. Komplikasi PPOK ...16

5. Pemeriksaan Diagnostik PPOK ...18

B.Fungsi Kognitif ...23

1. Pengertian Fungsi Kognitif ...23

2. Aspek-Aspek Fungsi Kognitif ...24

3. Anatomi Fungsional pada Fungsi Kognitif ...26

C.Pengaruh PPOK terhadap Fungsi Kognitif ...29

D.Alat Ukur Fungsi Kognitif...31

E. Kerangka Teori ...32

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A.Kerangka Konsep ...33

B.Definisi Operasional ...34

BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ...37


(12)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...37

C. Populasi dan Sampel ... ...38

D. Instrumen Penelitian ... ……40

E. Uji Validitas dan Reliabilitas ... ……42

F. Langkah-Langkah Pengumpulan Data ... ……43

G. Pengolahan Data ... ……44

H. Analisis Data ... ……45

I. Etika Penelitian ...46

BAB V HASIL PENELITIAN A. Analisis Data………...47

1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia………... …………...47

2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin …………...47

3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan…………...48

4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Merokok………...48

5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Penyakit………...49

6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan...49

7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Trauma Kepal………...50

8. Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Usia…………...50

9. Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Jenis Kelamin...51

10.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Pekerjaan………...51

11.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Merokok………...52

12.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Pendidikan……...53

13.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Penyakit………...54

14.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Trauma Kepala…...55

15.Distribusi Frekuensi MoCa dengan Jumlah Responden……...55

16.Distribusi Frekuensi Diagnosa Kerja………...55

17.Distribusi Proporsi Antara Fungsi Kognitif dengan diagnosa.. ...56

BAB VI PEMBAHASAN A. Pembahasan………...58

1. Gambaran Fungsi kognitif berdasarkan Usia………...58

2. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Jenis Kelamin……...59

3. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan pendidikan………...60

4. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan pekerjaan…………...60

5. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan status merokok…...61

6. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan riwayat penyakit…...62

7. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Skor MoCa………...64

8. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Diagnosa Kerja…...65


(13)

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………...67

B. Saran………...68

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

DAFTAR SINGKATAN

AGD : Analisa Gas Darah

CHF : Coronary Hearth Failure

EKG : Electrocardiogram

FEV1 : Forced Expired Volume in One Second

FVC : Forced Vital Capacity

GARD : Global Alliance Againts Respiratory Disease

GOLD :Global Inititative for Chronic Obstructive Lung Disease

ICCU : Intensive cardiac care unit

ICU : Intensive care unit

MMSE : Mini Mental State Examination

MoCa : Montreal Cognitive Asessement

NICE : National Institute for Health and Care Excellence

NTT : Nusa Tenggara Timur

PEF : Peak Expiratory flow

PPOK :Penyakit Paru Obstruktif Kronis

RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

RVC : Relaxed after capacity

SDM : Sumber daya manusia

UIN : Universitas Islam Negeri

WHO : World Health Organization


(15)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Kerangka Teori………..31


(16)

DAFTAR TABEL

HALAMAN

1.1Pengkajian menentukan derajat berat asma………...………13

1.2 Klasifikasi PPOK………..……….………...18

1.3 Fungsi kognitif berdasarkan skor MMSE………...29

2.1 Definisi operasional………...35

5.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia…………. ………...52

5.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin…. ………53

5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan……….……...53

5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat merokok………54

5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat penyakit………..54

5.6 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan………..55

5.7 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat trauma kepala………..55

5.8 Distribusi proporsi antara fungsi kognitif dengan usia……….56

5.9 Distribusi proporsi antara fungsi kognitif dengan jenis kelamin…………..56

5.10 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan pekerjaan……….57

5.11 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan riwayat merokok……….58

5.12 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan status pendidikan………59

5.13 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan riwayat penyakit………..60

5.14 Distribusi proporsi antara fungsi kognitif dengan riwayat trauma kepala…61 5.15 Distribusi frekuensi MoCa dengan jumlah responden……… 61


(17)

(18)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kondisi obstruksi irreversibel progresif aliran udara ekspirasi. Individu dengan PPOK mengalami kesulitan bernapas, batuk produktif, dan intoleransi aktivitas (Gede dan Effendy, 2003). The Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2006, mendefinisikan penyakit PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, PPOK dapat pula mempengaruhi tingkat keparahan penyakit pada individu dengan riwayat asma.

Menurut Patrick (2005) faktor genetika yang turut mempengaruhi terjadinya PPOK adalah defisiensi a1-antitripsin yang merupakan faktor predisposisi berkembangnya PPOK dini disertai dengan pengaruh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang menjadi penyebab utama adalah merokok serta resiko tambahan akibat polutan di tempat kerja atau debu di perkotaan dan gaya hidup perokok aktif yang mempengaruhi peningkatan jumlah penderita PPOK. Faktor usia juga menjadi faktor penyebab terjadinya PPOK, rata-rata lanjut usia mengidap PPOK karena sudah mengalami degeneratif pada fungsi tubuhnya

World Health Organization (WHO) pada tahun 2007 dalam terbitannya, Global Alliance Againts Chronic Respiratory Disease (GARD) didasari oleh prevalensi PPOK di dunia yang merupakan masalah kesehatan selama lebih dari 40 tahun dan merupakan permasalahan di kemudian hari. Perkembangan angka kesakitan dan kematian dari PPOK sangat tinggi pada negara-negara di Asia dan Afrika selama lebih dari dua dekade. Estimasi kejadian kisaran 4% hingga 20% pada orang dewasa dengan usia lebih dari 40


(19)

tahun serta hal tersebut di dukung dengan laporan statistik yang di prakarsai oleh WHO (2015) bahwa prevalensi perokok pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia pada tahun 2012 sangat tinggi dan di dominasi oleh laki-laki yakni sebanyak 71,8% dan 4% perempuan.

Penderita PPOK di negara maju seperti Amerika di tahun 2006 terbilang cukup tinggi dan merupakan penyebab kematian keempat yakni sebanyak 120.970 jiwa pada tahun GOLD (2006). Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sendiri masih cukup mengkhawatirkan karena prevalensi PPOK di Indonesia masih terbilang cukup tinggi dengan presentasi 4.5% per mil.

PPOK merupakan masalah serius dengan ditetapkannya sebagai penyebab kematian keempat di dunia, tidak sampai disana beberapa dampak yang diakibatkan oleh PPOK juga membuat kerugian yang lebih besar. Salah satunya yakni organ yang dipengaruhi oleh PPOK selain paru sebagai akibat dari komplikasi adalah otak yang merupakan salah satu organ khusus yang mudah diserang oleh dampak sistemik dari PPOK Thakur et al (2010), disamping itu PPOK dapat meningkatkan resiko kerusakan neuron yang berhubungan dengan hipoksemia (Dodd et al, 2009).

Gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK menjadi sebuah topik yang menarik untuk diteliti pasalnya belum terdapat penelitian terkait gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK di Indonesia. Sangat penting mengkaji fungsi kognitif pada pasien dengan PPOK dalam rangka mengoptimalisasi perawatan yang berorientasi pada pasien sebagai upaya pencegahan komplikasi dari PPOK, sesuai dengan hipotesis penelitian De Carolis et al (2011) yang menjelaskan bahaya dari komplikasi PPOK yakni terjadinya hipoksia kronik yang mana hipoksia kronik pada PPOK meningkatkan kejadian neurodegenerasi penyakit


(20)

Gangguan pada fungsi kognitif akan mempengaruhi produktivitas seseorang bahkan hilangnya kemandirian, terlebih penderita PPOK, pasalnya kemandirian seseorang akan terhambat karena berdasarkan tanda dan gejala seperti napas pendek, batuk berlebih, frekuensi ekserbasi, kelelahan, dan depresi dapat berdampak besar pada orang normal terutama pada pasien PPOK yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan hal kecil (Barnett, 2006).

Penelitian yang di lakukan oleh Li & Guang (2013) menemukan adanya hubungan antara tingkat keparahan penderita PPOK dengan gangguan fungsi kognitif. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengukuran fungsi paru, dimana terlihat rendahnya kadar oksigen atau (PaO2). Kadar PaO2 hanya dapat dilihat melalui pengukuran analisa gas darah melalui cara

pengambilan darah arteri perifer (Barnett, 2006). Rendahnya kadar oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia kronis. Hipoksemia kronis menyebabkan terjadinya atrofi hippokampus yang berperan sebagai kunci utama terjadinya gangguan kognitif pada penderita PPOK.

Data prevalensi mengenai gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK di Indonesia masih belum banyak terkaji seperti data angka kematian dan kesakitan PPOK. Hal ini menjadi bukti dasar bahwa gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK masih belum banyak mendapat perhatian dari kalangan klinis dan akademisi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran fungsi kognitif pada penderita PPOK.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, peneliti menyimpulkan bahwa PPOK merupakan salah satu penyakit penyebab kematian keempat di dunia. Meskipun WHO dalam terbitannya


(21)

GOLD menyatakan bahwa PPOK merupakan penyakit yang dapat di obati tergantung dari tingkat keparahan penyakit akan tetapi penyebab dominan adalah merokok yang menjadi masalah utama yang cukup memprihatinkan terutama di negara-negara berkembang, bahkan debu polutan pun dapat berkontribusi terjadinya penyakit PPOK. Meski demikian dampak dari PPOK lebih besar kerugian yang didapat seperti komplikasi berupa terjadinya gagal nafas, hipertensi paru, dan gangguan kognitif.

Perubahan fungsi kognitif pada penderita PPOK di Indonesia masih belum banyak tergali karena dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, budaya, dan latar belakang pendidikan. Selain itu perubahan fungsi kognitif akibat dari komplikasi PPOK berupa kejadian hipoksia. Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran fungsi kognitif pada penderita penyakit paru obstruksi kronis.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran demografi yang terdiri atas usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir pasien PPOK di RSU Kab Tangerang ?

2. Bagaimana gambaran hasil tes diagnostik yang di sertai diagnosa kerja pada pasien PPOK di RSU Kab Tangerang ?

3. Bagaimana gambaran fungsi kognitif pada pasien PPOK di Kab Tangerang ? D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif pada pasien penyakit paru obstruktif kronis di RSU Kabupaten Tangerang.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi gambaran demografi pada penderita PPOK di RSU Kab Tangerang.


(22)

b. Mengidentifikasi hasil diagnosa kerja pada penderita PPOK di RSU Kab Tangerang. c. Mengidentifikasi gambaran fungsi kognitif pada penderita PPOK di RSU Kab

Tangerang. E. Manfaat penelitian

1. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan seputar PPOK beserta dengan komplikasinya yang dapat terjadi dan mekanisme terjadinya gangguan fungsi kognitif.

2. Bagi Perawat

a. Sebagai bahan pertimbangan evaluasi terhadap perawatan dan intervensi keperawatan terhadap pasien PPOK.

b. Penelitian ini dapat sebagai tanggung jawab yang bisa dijalankan atas dasar perawatan pada pasien PPOK dengan dasar pemenuhan kebutuhan dasar biologis, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual.

3. Bagi pasien PPOK

Penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi bagi penderita penyakit PPOK untuk mencegah terjadinya komplikasi berupa perubahan fungsi kognitif pada penderita PPOK 4. Bagi perkembangan pendidikan keperawatan

Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan keperawatan, khususnya keperawatan Medikal Bedah mengenai pentingnya pengetahuan tentang terjadinya gangguan kognitif pada pasien dengan PPOK untuk meningkatkan kualitas praktik keperawatan pasien dengan PPOK.

F. Ruang Lingkup

Penelitian dilakukan oleh mahasiswa program studi ilmu keperawatan di RSU Kabupaten Tangerang, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif pada pasien penyakit paru obstruktif kronis. Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dengan


(23)

metode purposive sampling yang ditentukan berdasarkan kriteria inklusi-eksklusi. Metode pengambilan data menggunakan kuisioner yang di adaptasi dari Montreal Cognitive Asessment (MoCa) dan data rekam medis pasien berupa nilai Analisa Gas Darah (AGD), foto rontgen, dan diagnosa kerja. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei hingga September 2015 yang mana responden yang menjadi subjek adalah pasien yang berada di ruang rawat inap dan rawat jalan RSU Kabupaten Tangerang.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) 1. Definisi PPOK

Menurut Priece and Lorraine (2005) penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkhitis kronis, emfisema, dan asma bronkhial membentuk kesatuan yang disebut PPOK. Sedangkan menurut Djojodibroto (2009) istilah PPOK ditunjukkan untuk mengelompokan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala terhambatnya aliran udara pernapasan.

Selain itu PPOK yang didefinisikan oleh Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006, menyatakan bahwa PPOK merupakan keadaan penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Sementara, National institute for health and care excellence (NICE) mendefinisikan PPOK adalah obstruksi jalan nafas yang di tunjukan karena kombinasi kerusakan dari parenkim dan jalan nafas.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa PPOK adalah istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang sepenuhnya tidak irreversibelserta peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkhitis kronis, emfisema, dan asma bronkhial membentuk kesatuan yang disebut PPOK.


(25)

2. Faktor Risiko PPOK 1) Faktor risiko primer

1. Merokok

Merokok tembakau merupakan penyebab utama dan paling penting terjadinya PPOK. Walaupun PPOK dapat terjadi pada pasien yang tidak merokok, sekitar 90% kasus terjadi pada individu yang merokok secara aktif. Merokok tembakau bereaksi sebagai bronkhial iritan, yang menyebabkan perubahan permanen dari kelenjar yang memproduksi mukus dan sampai hipersekresi mukus. Merokok juga menyebabkan perubahan inflamasi dalam dinding dari jalan napas dan destruksi dari dinding alveolar, menyebabkan berkembangnya emfisema pada individu yang rentan (Barnett, 2006).

Merokok merupakan penyebab PPOK yang paling umum, dan mencakup 80% dari semua kasus PPOK yang ditemukan. Dengan risiko perseorangan meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah rokok yang dihisapnya (Francis, 2008).

2. Defisiensi Alpha-1 antitripsin

Pasien dengan defisiensi alpa-1 antitripsin berisiko berkembangnya emfisema pada usia dini yaitu antara usia 20 dan 40 tahun dan sering kali memiliki riwayat penyakit pada keluarga. Pasien dengan defisiensi antitripsin dan emfisema inhereditas salah satu gen abnormal dari salah satu orang tua, dengan kata lain orang tua yang memiliki gen karier (Barnett, 2006).

3. Faktor usia

PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis sebelum mencapai usia 40 tahun. Kasus-kasus ini terkait dengan defisiensi bawaan dari anti tripsinalfa-1. Ketidakmampuan ini dapat mengakibatkan


(26)

seseorang mengalami emfisema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang berisiko menjadi semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008). Klasifikasi usia berdasarkan kategori lansia terdiri sebagai berikut.

1. Pralansia (prasenil)

Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun 2. Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih 3. Lansia resiko tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

4. Lansia potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.

5. Lansia tidak potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Maryam dkk, 2008).

2) Faktor Risiko yang Berhubungan a. Polusi Lingkungan

Terdapat bukti yang kuat bahwa PPOK diperburuk oleh polusi udara, namun peran polusi dalam etiologi PPOK menunjukkan pengaruh yang lebih kecil dibandingkan dengan merokok (Bourke, 2003 dalam Barnett, 2006). b. Faktor Pekerjaan

Beberapa pekerjaan di mana pekerja terpapar dengan batu bara, silica dan kapas seperti buruh tambang, pekerja tekstil dan pekerja semen, berhubungan


(27)

dengan meningkatkan risiko PPOK. Pajanan logam berat, dan asap las telah dikenali menyebabkan emfisema sejak tahun 1950 (Barnett, 2006).

c. Infeksi Pernapasan pada Masa Anak-Anak

Infeksi pernapasan pada tahun pertama kehidupan, seperti pneumonia dan bronkhitis, mungkin mempengaruhi berkembangnya PPOK pada kehidupan setelahnya. Hal ini mungkin terjadi sebagai hasil belum lengkapnya perkembangan sistem respirasi saat lahir sampai paru berkembang pada awal masa dewasa (Stick, 2000 dalam Barnett, 2006).

d. Faktor Sosioekonomi Rendah

Insiden PPOK lebih tinggi pada pasien dengan status sosioekonomi rendah, terutama tinggal pada daerah pinggiran kota daripada daerah pedesaan. Merokok juga merupakan hal yang biasa pada populasi ini, namun tidak menjadi faktor satu-satunya yang terlibat. Faktor lain seperti lingkungan rumah yang buruk, kondisi yang lembab dan kepadatan yang berlebihan yang memungkinkan frekuensi dan menyebabkan infeksi respirasi dan menaikkan polusi udara dalam ruangan (Barnett, 2006).

e. Atrophy dan Hiperesponsif Jalan Napas

Penurunan fungsi paru pada PPOK karena kerusakan akibat infeksi berulang, yang mana pemulihan fungsi paru tidak dapat diperoleh. Hipotesis lain menyebutkan bahwa fungsi paru menurun lebih cepat pada pasien perokok dan yang mempunyai unsur alergi (atopy) dan meningkatnya level imunoglobulin E (IgE), menyebabkan hiperaktivitas yang dapat dilihat pada asma (Barnett, 2006).


(28)

3. Jenis PPOK a. Asma

Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri bronkospasme periodik yaitu kontraksi spasme pada saluran napas (Soemantri, 2008).

1) Tipe-tipe Asma

Asma terbagi menjadi alergik, idiopatik atau non alergik dan campuran : a) Asma alergik

Merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh allergen misalnya bulu binatang, debu, makanan, dan lain-lain. Allergen yang paling umum adalah allergen penyebaran melalui udara (airbone) dan allergen musiman (Soemantri, 2008). Seringkali Gejala asma dapat meliputi batuk kering intermiten, mengi, dada sesak, dispnea sering kali setelah terpajan stimulus (Brashers, 2007).

b) Asma idiopatik atau non allergen

Merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara langsung dengan alergen spesifik seperti Infeksi saluran nafas atas, emosi, pilek/flu, dan aktivitas fisik berlebih. (Soemantri, 2008).

Beberapa agen farmakologis seperti beta-adrenergik dan agen sulfite (penyedap rasa) juga dapat berperan sebagai faktor pencetus. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 tahun).

c) Asma campuran

Adalah asma yang terdiri dari komponen asma ekstrinsik dan instrinsik. Sebagian besar pasien asam instrinsik dan ekstrinsik akan berlanjut menjadi


(29)

bentuk campuran (Priece and Lorraine, 2005). Asma tipe ini pada kasus klinis merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan (Soemantri, 2008). 2) Manifestasi Klinis Asma

Gejala asma terdiri atas triad : dispnea, batuk, dan mengi. Gejala sesak napas sering dianggap sebagai gejala yang harus ada. Adapun gambaran klinis penderita asma :

a) Gambaran objektif :

Kondisi penderita asma seperti sesak napas parah disertai wheezing, disertai batuk dengan sputum kental dan sulit dikeluarkan, bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan, dapat berupa sianosis, takikardi, gelisah serta cemas.

b) Gambaran subjektif :

Penderita mengeluh sukar bernapas, sesak, dan anoreksia (Soemantri, 2008). Tabel 2.1 pengkajian menentukan derajat berat asma

Sumber : Soemantri (2008)

b. Bronchitis Kronik

Bronkhitis adalah radang pada bronkus yang biasanya mengenai trachea dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan laringo trakheo bronkhitis. Istilah bronkhitis kronis juga menunjukan kelainan pada bronkus yang sifatnya menahun (Soemantri, 2008).

Manifestasi klinis Skor 0 Skor 1

a. Penurunan toleransi beraktivitas

b. Penurunan otot bantu napas tambahan, adanya retraksi interkostal

c. Wheezing

d. Respiratory per menit e. Pulse rate per menit f. Teraba pulsus paradoksus

g. Puncak expiratory flow rate (L/Menit)

Ya Tidak ada Tidak ada <25 <120 Tidak ada >100 Tidak Ada Ada >25 >120 Ada <100


(30)

Temuan utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltrasi sel-sel radang dan edema mukosa bronkus (Priece and Lorraine, 2005).

1) Etiologi Bronkhitis Kronik

Terdapat beberapa jenis bakteri penyebab bronkhitis, yaitu Staphylococcus, Sreptococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus influenza. Selain pajanan bakteri, bronchitis dapat disebabkan oleh alergi, polusi udara, terutama asap rokok (Soemantri, 2008).

2) Manifestasi Klinis Bronchitis Kronis

penampilan umum cenderung overweight, sianosis akibat pengaruh sekunder polisitemia, edema akibat CHF (Coronary heart failure) dekstra, dan barrel chest. Adanya temuan pembesaran jantung, cor pulmonal, dan di dapat hematokrit > 60% serta riwayat merokok yang positif (+).

c. Emfisema

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (Soemantri, 2008). Demikian pula menurut Djojodibroto (2009) menyatakan bahwa emfisema merupakan keadaan paru yang abnormal, yaitu pelebaran rongga udara pada asinus yang sifatnya permanen.

1) Tipe Emfisema :

Terdapat beberapa tipe emfisema berdasarkan bagian paru-paru : a) Emfisema sentriolobular

Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru bagian atas. inflamasi


(31)

merambah sampai bronkhiolus sampai bronkhiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa.

b) Emfisema panlobular

Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut centracinar emfisema, seringkali timbul pada perokok. Panacinar timbul pada orang tua dan pasien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.

c) Emfisema paraseptal

Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli) atau disebut dead space di sepanjang perifer paru-paru (Soemantri, 2008)

4. Komplikasi PPOK a. Cor Pulmonal

Cor pulmonal adalah kegagalan jantung pada sisi kanan yang disebabkan oleh peningkatan ketegangan dan tekanan pada ventrikel kanan. Peningkatan resistensi pembuluh darah paru mengakibatkan induksi hipoksia terhadap vasokontriksi pada kapiler pembuluh darah paru yang menghasilkan tegangan yang berlebih pada sisi jantung sebelah kanan. Pada akhirnya hal ini mengacu pada hipertrofi dan kegagalan pada ventrikel kanan. Hasilnya terjadinya edema peripheral berkembang menjadi kegagalan jantung sebelah kanan, dimana merembesnya cairan keluar dari kapiler masuk ke jaringan sekitar (Barnett, 2006).

Cor pulmonal akut merupakan dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan dekompensasi. Cor pulmonal kronis merupakan bentuk cor pulmonal yang paling sering terjadi. Dinyatakan sebagai hipertropi ventrikel kanan akibat


(32)

penyakit paru-paru atau adanya kelainan pada toraks, sehingga menyebabkan hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan (Somantri, 2007).

1) Etiologi Cor pulmonal

Secara umum cor pulmonal disebabkan oleh :

a) Penyakit paru-paru yang merata. Terutama emfisema, bronkhitis kronis, dan fibrosis akibat tuberkulosis.

b) Penyakit pembuluh darah paru-paru. Terutama thrombosis dan embolus paru-paru, fibrosis akibat penyinaran menyebabkan penurunan elastistisitas pembuluh darah paru-paru.

c) Hipoventilasi alveolar menahun. Adalah semua penyakit yang menghalangi pergerakan dada normal, misalnya; penebalan pleura, kelainan neuromuskuler, dan kiposkoliosis yang mengakibatkan penurunan kapasitas rongga toraks sehingga pergerakan toraks berkurang (Soemantri, 2007)

b. Pneumothorax

Pneumothorax bisa saja muncul secara spontan pada pasien dengan emfisema. Pada emfisema dengan kerusakan alveoli menjadikan ruang udara yang cukup besar yang bisa di sebut bula. Hal ini dapat membuat rupture secara spontan, menyebabkan udara keluar ke cavitas pleura. Gejala dari pneumothorax termasuk kejadian onset nyeri dada, dan meningkatnya pernapasan (Barnett, 2006).

c. Polisitemia

Polisitemia terjadi seiring berjalannya waktu secara terus menerus terhadap rendahnya kadar oksigen di sirkulasi (Hipoksia) dapat membuat


(33)

sebuah peningkatan jumlah sel darah merah. Hal tersebut merupakan cara tubuh beradaptasi dengan kondisi hipoksia dan lebih banyak menghasilkan hemoglobin dengan membawa sejumlah oksigen (Barnett, 2006).

5. Pemeriksaan diagnostik PPOK

Pemeriksaan diagnostik PPOK terdiri atas tes fungsi paru, Analisa gas darah, CT-Scan, dan skreening defisiensi alfa 1-antitripsin

a. Tes fungsi paru-paru

Tes fungsi paru pada PPOK untuk mengetahui diagnosis dan derajat obstruksi aliran udara yang paling baik dikaji melalui alat spirometri. Spirometri adalah standar paling untuk pengukuran obstruksi aliran udara secara akurat pada pasien dengan PPOK.

Spirometri merupakan alat esensial untuk mendiagnosa PPOK karena adanya perbedaan antara penyakit restriktif dan obstruktif. Berikut beberapa keterangan hasil dari pengukuran oleh spirometri :

a) FEV1 (forced expired volume in one second) adalah volume udara yang dihembuskan dalam satu detik pertama atau tekanan ekspirasi setelah inspirasi maksimal.

b) FVC (forced vital capacity) adalah volume maksimal jumlah udara yang dapat dihirup (total lung capacity) hingga penghembusan maksimal (residual volume) yang diukur kembali dengan jeda waktu. c) RVC (relaxed after capacity) adalah pengukuran ekspirasi tanpa

tekanan, di mana biasanya terdapat hasil lebih besar dibanding FVC pada pasien PPOK. Caranya sebagai berikut, pasien akan menghembuskan nafas yang besar dan sekencang-kencangnya dengan


(34)

sekali hembusan setelah menghirup udara maksimal lalu pada saat yang menghembuskan pasien menjepit hidung.

d) PEF (peak expiratory flow) adalah jumlah aliran udara yang di hembuskan dengan mengawali hirup nafas sedalam-dalamnya lalu menghembuskan nafas selama-lamanya sekitar 10 detik.

Tabel 2.2 klasifikasi PPOK. Diadopsi dari National Collaborating Centre For Chronic Condition (2004) dalam Barnett (2006)

Kategori Gejala Tanda

Ringan

(FEV150-80% perkiraan)

Batuk perokok : Napas pendek

Tidak ada

Sedang

(FEV130-49% perkiraan)

Napas sesak dan atau whezze: batuk disertai sputum

Beberapa tanda

Berat

(FEV1<30% perkiraan)

Napas sesak : batuk, wheeze

Hiperinflasi : hipoksia, edema peripheral. Sumber : Barnett (2006)

b. CT-Scan

Tampilan dari gambar CT-Scan berbeda dengan tampilan gambaran foto sinar X-ray. Alat ini lebih sensitif, di mana sesuatu yang dihasilkan gambaran CT berupa potong lintang dan dapat dengan akurat menentukan lokasi lesi.

c. EKG (elektrokardiogram)

EKG merupakan alat yang berguna mendeteksi penyakit jantung iskemik dan aritmia. Pasien dengan cor pulmonal dapat menunjukan adanya hipertrofi pada ventrikel kiri.


(35)

d. Skreening defisiensi alpha 1-antitripsin :

Merupakan faktor resiko yang langka bagi penderita PPOK yang merupakan faktor keturunan adanya defisiensi enzyme tersebut. Pada kasusnya enzyme tersebut mencegah terjadinya kerusakan enzim proteolitik di paru-paru. Namun pada pasien yang telah lama menderita emfisema antara usia 20-40 tahun atau memiliki riwayat pada keluarga yang erat menderita penyakit tersebut, maka alpha 1-antitripsin dapat diukur. Sebuah konsentrasi serum di bawah 15-20% dari nilai normal dapat di indikasikan terjadinya defisiensi. (Barnett, 2006).

e. Analisa gas darah

Analisa gas darah (AGD) merupakan salah satu tes diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa. Komponen yang terdapat dalam pemeriksaan AGD adalah pH, PCO2, PO2, saturasi O2(Muttaqin, 2008).

Pengukuran AGD merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi keseimbangan asam-basa. Untuk menilai hasil pemeriksaan AGD, sebelumnya pemeriksa harus memahami arti dari komponen tersebut :

1) pH mengukur konsentrasi H+ untuk menunjukan status asam-basa darah. Nilai menunjukan apakah pH arteri normal (7,40), asam < 7,40, atau alkalosis > 7,40. Karena kemampuan mekanisme kompensasi untuk Menormalkan pH, nilai hampir normal tidak menghilangkan kemungkinan dari gangguan asam-basa.


(36)

PaCO2 merupakan komponen pernapasan dari pengaturan asam basa dan diatur oleh perubahan frekuensi dan kedalaman ventilasi pulmoner. Hiperkapnea (PaCO2> 45 mmHg) menunjukan hipoventilasi alveolar dan asidosis respiratori. Hiperventilasi mengakibatkan pada PaCO2< 35 mmHg dan alkalosis respiratori. kompensasi respirator terjadi dengan cepat pada ketidakseimbangan asam basa metabolik. Bila ada abnormalitas pada PaCO2 terjadi, ini penting untuk menganalisa parameter ph dan HCO3untuk menentukan gangguan pernapasan atau respon kompensasi terhadap abnormalitas asam basa metabolik.

3) PaO2 adalah tekanan oksigen parsial dalam arteri. PaO2 tidak mempunyai peran pengaturan asam basa bila terdapat dalam rentang normal. Adanya hipoksemia dengan PaO2 (< 60 mmHg) dapat menimbulkan metabolisme anaerobik, mengakibatkan produksi asam laktat dan asidosis metabolik. Terdapat penurunan normal pada PaO2 sesuai pertambahan usia. Hipoksemia juga dapat menyebabkan hiperventilasi mengakibatkan alkalosis respiratori.

4) Saturasi SaO2 merupakan rasio antara jumlah oksigen aktual yang terikat oleh hemoglobin terhadap kemampuan total hemoglobin darah mengikat oksigen (Djojodibroto, 2009).

f. Diagnosa kerja

Merupakan suatu kesimpulan berupa hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien disebut diagnosis kerja. Setiap diagnosis kerja harus diiringi dengan diagnosis banding. Ada dua cara membuktikan diagnosis kerja, yaitu dengan instrumen waktu dan terapi dan kedua dengan data klinik tambahan.


(37)

Pembuktian dengan instrumen waktu dan terapi mengandung konsekuensi perlunya pemantauan yang ketat khususnya pada kasus yang potensial (Hardjodisastro, 2006).

B. Fungsi Kognitif

1. Pengertian Fungsi Kognitif

Kognisi meliputi kemampuan otak untuk memproses, mempertahankan, dan menggunakan informasi. Kemampuan kognitif mencakup pemikiran, penilaian, persepsi, perhatian, pemahaman dan memori. Kemampuan kognitif penting pada individu dalam membuat keputusan, menyelesaikan masalah, menginterpretasikan lingkungan, dan mempelajari informasi yang baru, untuk memberikan nama pada beberapa hal (Videbeck, 2008).

Menurut Ginsberg (2008), fungsi kognitif meliputi fungsi otak yang lebih tinggi, dan dapat di sub klasifikasi menjadi; (1) Fungsi kognitif yang terdistribusi, yakni fungsi yang tidak terlokalisasi pada region otak tertentu, namun membutuhkan aksi dari berbagai bagian pada kedua sisi otak, seperti: atensi dan konsentrasi, memori, fungsi eksekutif, konduksi sosial dan kepribadian. (2) Fungsi kognitif yang terlokalisasi, yakni fungsi yang berjalan tergantung dari struktur dan fungsi normal dari suatu area tertentu pada satu hemisfer serebri.

Fungsi kognitif dapat didefinisikan dengan semua proses mental yang meliputi persepsi, memori, kreasi imajinasi, dan berpikir yang membentuk kesadaran dan kesiagaan serta proses membuat keputusan (Panentu, 2013).


(38)

2. Aspek-Aspek Fungsi Kognitif a. Atensi dan Konsentrasi

Atensi merupakan kemampuan untuk memfokuskan perhatian pada masalah yang dihadapi. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan fokus tersebut. Atensi yang terpusat merupakan hal esensial dalam belajar dan memberikan kemampuan untuk memproses item penting yang dipilih, dan mengabaikan yang lainnya (Lumbantobing, 2008)

b. Orientasi

Orientasi merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan sekitar dengan pengalaman lampau (Lumbantobing, 2008).

c. Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan & penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori (Sidiarto, 2003 dalam Hamidah, 2011). Gangguan mengingat sering merupakan gejala yang pertama timbul pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kognitif (Panentu, 2013).

Dalam klinik neurologi fungsi memori dibagi tiga tingkatan bergantung lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall, yaitu : (1) memori segera/Immediate memory, merupakan rentang waktu antara stimulus dan recall hanya beberapa detik. Pada poin ini dibutuhkan sebuah perhatian untuk mengingat/attention. (2) memori baru/recent memori merupakan rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan, bahkan tahun.(3) memori lama/remote memoy adalah rentang waktunya bertahun-tahun bahkan seumur hidup (Panentu, 2013).


(39)

d. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif meliputi kemampuan untuk membuat rencana, beradaptasi, menangani konsep abstrak, dan menyelesaikan masalah, digabung dengan aspek sosial dan kepribadian misalnya inisatif, motivasi, dan inhibisi (Ginsberg, 2005).

e. Visuospasial

Merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar misal lingkaran dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi. (Sidiarto, 2003 dalam Hamidah, 2011).

f. Bahasa

Kelainan pada bahasa merupakan syarat pertama untuk menegaskan adanya bukti hilangnya sebagian besar fungsi otak dapat lebih spesifik pada region otak berdasarkan kerja pada broca (Larner, 2008).

3. Anatomi Fungsional pada Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif terbagi dalam beberapa fungsi namun masing-masing fungsinya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, tetapi sebagai kesatuan yang disebut sistem limbik (Hamidah, 2011).

Sistem limbik terdiri dari amigdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus, dan korpus mamillare. Sementara alveus, fimbria, formiks, traktus mamilotalamikus, dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini.


(40)

Gambar 2.1 Sumber :http://spinwarp.ucsd.edu/Neuroweb/Text

Para sentral limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin, dan aktivitas otonom. Struktur otak berikut bagian dari sistem limbik :

a) Amigdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.

b) Hipocampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses belajar.

c) Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial. d) Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan

darah, dan kognitif yaitu atensi. Korteks cinguli anterior (ACC) merupakan struktur limbic terluas, berfungsi pada afektif, kognitif, otonom, perilaku dan motorik.

e) Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammilary body, dan septal nukelus, forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.


(41)

f) Hipotalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan pelepasan hormone, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido, dan siklus tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang.

g) Thalamus, ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak/sebagai stasiun relay ke korteks serebri.

h) Mamaliari bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran

i) Girus dentatus, berperan dalam memori baru dan mengatur rasa bahagia. j) Korteks entorhinal, penting dalam memori dan merupakan komponen

asosiasi. Sedangkan lobus otak yang ikut berperan dalam kognitif adalah. a. Lobus frontalis

Fungsi lobus frontalis mengatur motorik, perilaku, kepribadian, bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisis dan sintesis. Sebagian korteks medial lobus frontal dikaitkan sebagai bagian sistem limbik, karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan.

b. Lobus parietalis

Berfungsi dalam membaca, persepsi, memori, dan visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensori (input visual, auditori, takil) dari area asosiasi sekunder karena menerima input dari berbagai


(42)

modalitas sensori sering disebut korteks hemoromodal dan mampu membentuk asosiasi sensori. Sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.

c. Lobus temporal

Berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda, dan seleksi rangsangan auditorik dan visual.

d. Lobus oksipital

Berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori, dan bahasa (Hamidah, 2011).

C. Pengaruh PPOK terhadap Fungsi Kognitif

Gangguan kognitif telah ditemukan menjadi salah satu manifestasi di luar sistem respirasi yang penting pada pasien dengan PPOK (Antonelli et al, 2003 dalam Li et al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh De Carolis et al (2011) pada 44 responden dengan penderita PPOK dan non PPOK menunjukkan bahwa responden dengan PPOK sedikit, namun secara signifikan menunjukkan performa yang buruk dibandingkan dengan kelompok kontrol pada tes neuropsikologi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Li et al (2013) sebelumnya menemukan bahwa gangguan kognitif berhubungan dengan klasifikasi dari keparahan PPOK. Selanjutnya Li & Guang (2013) meneliti bagaimana pengaruh PPOK terhadap struktur otak yang mungkin mempengaruhi fungsi kognitif. Dalam penelitiannya tersebut menemukan bahwa terjadi atrofi pada


(43)

hipokampus yang ditentukan melalui MRI dan penemuan ini berhubungan secara signifikan dengan PaO2, SaO2 dan hasil MMSE yang mengukur penurunan kognitif pada pasien PPOK. Salah satu kemungkinan penjelasannya yakni bahwa pasien PPOK berada dalam status inflamasi yang rendah dan keterbatasan aliran udara secara terus-menerus yang menyebabkan hipoksemia kronik.

Hipoksemia kronik adalah mekanisme utama yang dapat berdampak kurang baik pada fungsi kognitif dan volume hipokampus. Hipoksemia kronik pada pasien PPOK menstimulasi atrofi hipokampus, yang mana memerankan peran krusial pada gangguan kognitif. Hipokampus yang berlokasi di dalam lobus temporal bagian medial merupakan komponen utama pada otak. Hipokampus terdiri dari dua bagian utama yang tersambung dan empat divisi histologi. Hal tersebut berperan dalam fungsi kognitif dan yang paling utama sangat rapuh terhadap efek buruk dari hipoksemia (Li & Guang, 2013).

Penemuan secara morfologi menggunakan MRI menunjukkan bahwa atrofi pada hipokampus adalah diagnostik biomarker / penanda untuk gangguan kognitif (Dawe et al, 2011). Rendahnya volume hipokampus yang dideteksi oleh MRI secara konsisten ditemukan pada gangguan kognitif ringan dan penyakit Alzheimer(Zhang et al, 2012 dalam Li dan Guang, 2013).

D. Alat Ukur Fungsi Kognitif


(44)

Montreal Cognitive Assessment(MoCA) dibuat pada tahun 1966 oleh Dr. Ziad Nasreddine di Montreal, Canada. MoCA telah dikembangkan sebagai alat screening cepat untuk gangguan kognitif ringan dan awal demensia Alzheimer. MoCA mengkaji domain fungsi kognitif yang meliputi; atensi dan konsentrasi, fungsi eksekutif, memori, bahasa, kemampuan visuo konstruksional, berpikir konseptual, kalkulasi, dan orientasi (Doerflinger dan Inova, 2012).

Dalam penelitian Crisan et al (2014) berpendapat bahwa instrument MoCA lebih baik dibandingkan MMSE dalam mendeteksi tahap awal gangguan kognitif. Dong dan Villeneuve dalam Crisan et al (2014) menguatkan bahwa instrumen MoCA adalah alat yang lebih unggul dibanding MMSE dalam mendeteksi pasien dengan gangguan kognitif.

Pernyataan tersebut sebanding dengan validasi terkait kedua instrument yang dilakukan oleh Friedman (2012) dalam studi thesisnya menyatakan yakni kedua instrumen MoCA dan MMSE memiliki kelebihan dan kekurangan yang relatif sama, namun MoCA sedikit lebih baik dalam tingkat keakuratan diagnostik dibandingkan dengan MMSE dan memperlihatkan sebagai alat yang lebih sensitif. Berdasarkan dari beberapa penelitian maka peneliti menggunakan instrument MoCA sebagai alat ukur dalam penelitian ini.


(45)

E. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Sumber: Francis (2008), Lumbantobing (2008), Panentu (2013), Ginsberg (2007), Hamidah (2011), Dawe et al (2011), Li dan Guang-He (2013), Li et al (2013), Barnett

(2006)

↓ Fungsi Kognitif Faktor Risiko PPOK

1. Primer :

- Merokok

- Defisiensi Alpha-1 antitripsin

2. Faktor risiko yang berhubungan : - Polusi lingkungan - Pekerjaan

- Infeksi pernapasan masa kanak-kanak - Atopy dan

Hiper-responsif Jalan Napas

(Barnett, 2006; Francis, 2008) PPOK ↑resistensi terhadap aliran udara Hipoksemia Kronis Atrofi pada hippocampus melalui gambaran MRI

(Li and Guang, 2013)

Pemeriksaan MoCA tool Pemeriksaan

AGD

Komponen Fungsi Kognitif 1. Orientasi

2. Atensi 3. Memori

4. Fungsi eksekutif 5. Visuospasial

(Lumbantobing, 2008; Panentu, 2013; Ginsberg, 2007; Hamidah, 2011).

↓ Oksigenasi serebral

↓ Saturasi O2

Hipocampus sebagai pembentuk memori Aktifitas fisik Sosial Mental Daya ingat


(46)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep

Konsep dalam dunia penelitian dapat diartikan segala sesuatu yang bersifat masih abstrak. Agar konsep ini dapat dimengerti dan dioperasionalkan oleh semua pihak, maka harus diberikan ukuran dan variabel (Imron dan Amrul, 2010). Penelitian ini menggunakan satu variabel yaitu gambaran fungsi kognitif pada penderita penyakit paru obstruktif kronis.

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

Gambaran Fungsi Kognitif pada Penderita Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Visuospasial Usia

Bahasa Jenis Kelamin

Eksekutif Pekerjaan

Memori/Delayed recall Tingkat Pendidikan

Atensi Riwayat Merokok

Abstraksi Riwayat Trauma

Diagnosa Kerja

(Lumbantobing, 2008; Panentu, 2013; Ginsberg, 2007; Hamidah, 2011).


(47)

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No .

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1. Fungsi kogntif Fungsi kognitif merupakan proses berpikir pada manusia yang meliputi fungsi eksekutif, visuospasial, eksekutif, bahasa, delayed recall/memori, atensi, abstraksi, orientasi. Mengajukan pertanyaan melalui kuesioner Kuesioner Montreal Cognitive Assessment (MoCA) Kuesioner terdiri dari 30 item

pernyataan.

≥ 26-30 = Normal < 26 = Tidak Normal

Sumber : www.mocatest.org

Ordinal

2. Karakteristik Responden a. Usia b. Jenis Kelamin c. Pendidikan terakhir

Lamanya masa hidup responden berdasarkan tanggal lahir hingga saat ini.

Identitas responden berdasarkan ciri fisik dan biologis. Tingkat pendidikan formal terakhir responden. Mengajukan pertanyaan melalu kuesioner Menanyakan langsung ke responden Menanyakan langsung responden Kuisioner data demografi Kuisioner data demografi Kuisioner data demografi

1 = < 44 tahun 2= 45-59 tahun 3= > 60 tahun

1 = Laki-laki 2 = Perempuan

1 = Tidak sekolah 2= SD

3 = SMP 4 = SMA 5 = PT

Nominal

Nominal


(48)

d. Pekerjaan e. Riwayat Merokok f. Riwayat cidera kepala Jenis pekerjaan responden Status merokok

responden di masa lalu.

Status responden pernah jatuh di bagian kepala di masa lalu Menanyakan langsung ke responden Menanyakan langsung ke responden Menanyakan langsung ke responden Kuisioner data demografi Kuisioner data demografi Kuisioner data demografi

1 = Tidak bekerja 2 = Petani 3= Wiraswasta 4 = Buruh 5 = Pensiunan 6 = TNI/POLRI 1 = Merokok 2 = Tidak merokok

1 = Iya 2 = Tidak

Nominal

Nominal

Normal

Normal

3. Analisa Gas Darah

AGD adalah pengukuran untuk menentukan status respirasi yang

digambarkan melalui status oksigenasi dan status asma basa yang meliputi pH, PCO2, PO2,

dan saturasi O2

Melakukan observasi melalui data sekunder berupa rekam medis pasien. Data sekunder berupa rekam medis pasien

pH 7.35-7.45 = Normal

PaO2 80-100 mmHg = Normal PaCO2 35-45 mmHg = Normal SaO2 ≥ 95% = Normal

1= Normal 2= Tidak normal Sumber :

Craven and Constance, 2009

Interval

4. Spirometri Merupakan pengukuran fungsi paru-paru dengan melihat fungsi jalan napas Melakukan observasi pada rekam medis Data sekunder berupa rekam medis pasien

FEV1 80% atau lebih = Normal FEV1 50 79% = Sedang FEV1 30-49% = Berat FEV1 < 30% = Sangat berat 1 = Normal

2 = Tidak normal

Pengukuran dilakukan dengan


(49)

menghembuskan udara dalam waktu 1 detik

5. EKG Alat yang dapat merekam kelistrikan jantung

Dengan dilakukan observasi pada rekam medis pasien

Data sekunder berupa rekam medis pasien

1 = Normal 2 = Tidak normal

Nominal

6. Diagnosa Kerja Diagnosa yang telah ditegakkan oleh dokter dan menjadi patokan untuk menyeleksi responden berdasarkan penyakitnya

Dengan melihat rekam medis

Data sekunder berupa rekam medis

1 = PPOK & TB Paru 2 = PPOK & Asma 3 = PPOK & DM 4 = PPOK & Stroke 5 = PPOK & Hipertensi 6 = PPOK


(50)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Konsep dalam dunia penelitian dapat diartikan segala sesuatu yang bersifat masih abstrak. Agar konsep ini dapat dimengerti dan dioperasionalkan oleh semua pihak, maka harus diberikan ukuran dan variabel (Imron dan Amrul, 2010). Penelitian ini menggunakan satu variabel yaitu gambaran fungsi kognitif pada penderita penyakit paru obstruktif kronis.

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

Gambaran Fungsi Kognitif pada Penderita Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Visuospasial Usia

Bahasa Jenis Kelamin Eksekutif Pekerjaan

Memori/Delayed recall Tingkat Pendidikan Atensi Riwayat Merokok Abstraksi Riwayat Trauma Diagnosa Kerja

(Lumbantobing, 2008; Panentu, 2013; Ginsberg, 2007; Hamidah, 2011).


(51)

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No .

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1. Fungsi kogntif Fungsi kognitif merupakan proses berpikir pada manusia yang meliputi fungsi eksekutif, visuospasial, eksekutif, bahasa, delayed recall/memori, atensi, abstraksi, orientasi. Mengajukan pertanyaan melalui kuesioner Kuesioner Montreal Cognitive Assessment (MoCA) Kuesioner terdiri dari 30 item

pernyataan.

≥ 26-30 = Normal < 26 = Tidak Normal

Sumber : www.mocatest.org

Ordinal

2. Karakteristik Responden a. Usia b. Jenis Kelamin c. Pendidikan terakhir

Lamanya masa hidup responden berdasarkan tanggal lahir hingga saat ini.

Identitas responden berdasarkan ciri fisik dan biologis. Tingkat pendidikan formal terakhir responden. Mengajukan pertanyaan melalu kuesioner Menanyakan langsung ke responden Menanyakan langsung responden Kuisioner data demografi Kuisioner data demografi Kuisioner data demografi

1 = < 44 tahun 2= 45-59 tahun 3= > 60 tahun

1 = Laki-laki 2 = Perempuan

1 = Tidak sekolah 2= SD

3 = SMP 4 = SMA

Nominal

Nominal


(52)

d. Pekerjaan e. Riwayat Merokok f. Riwayat cidera kepala Jenis pekerjaan responden Status merokok

responden di masa lalu.

Status responden pernah jatuh di bagian kepala di masa lalu Menanyakan langsung ke responden Menanyakan langsung ke responden Menanyakan langsung ke responden Kuisioner data demografi Kuisioner data demografi Kuisioner data demografi

5 = PT

1 = Tidak bekerja 2 = Petani 3= Wiraswasta 4 = Buruh 5 = Pensiunan 6 = TNI/POLRI 1 = Merokok 2 = Tidak merokok

1 = Iya 2 = Tidak

Nominal

Nominal

Normal

Normal

3. Analisa Gas Darah

AGD adalah pengukuran untuk menentukan status respirasi yang

digambarkan melalui status oksigenasi dan status asma basa yang meliputi pH, PCO2, PO2,

dan saturasi O2

Melakukan observasi melalui data sekunder berupa rekam medis pasien. Data sekunder berupa rekam medis pasien

pH 7.35-7.45 = Normal

PaO2 80-100 mmHg = Normal PaCO2 35-45 mmHg = Normal SaO2 ≥ 95% = Normal

1= Normal 2= Tidak normal Sumber :

Craven and Constance, 2009

Interval

4. Spirometri Merupakan pengukuran fungsi paru-paru dengan melihat fungsi jalan napas Melakukan observasi pada rekam medis Data sekunder berupa rekam medis pasien

FEV1 80% atau lebih = Normal FEV1 50 – 79% = Sedang FEV1 30-49% = Berat FEV1 < 30% = Sangat berat 1 = Normal

2 = Tidak normal


(53)

Pengukuran dilakukan dengan menghembuskan udara dalam waktu 1 detik

5. EKG Alat yang dapat merekam kelistrikan jantung

Dengan dilakukan observasi pada rekam medis pasien

Data sekunder berupa rekam medis pasien

1 = Normal 2 = Tidak normal

Nominal

6. Diagnosa Kerja Diagnosa yang telah ditegakkan oleh dokter dan menjadi patokan untuk menyeleksi responden berdasarkan penyakitnya

Dengan melihat rekam medis

Data sekunder berupa rekam medis

1 = PPOK & TB Paru 2 = PPOK & Asma 3 = PPOK & DM 4 = PPOK & Stroke 5 = PPOK & Hipertensi 6 = PPOK


(54)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk melihat gambaran fungsi kognitif pada pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang dengan desain penelitian cross sectional, cross sectional adalah desain penelitian yang dilakukan pengumpulan datanya pada satu waktu atau at one poin in time (Polit & Beck, 2003 dalam Swarjana, 2012). Penelitian cross sectional meneliti suatu kejadian pada satu titik waktu di mana variabel dependen dan independen diteliti sekaligus pada saat yang sama (Setiadi, 2007).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-September 2015 di Ruang Rawat Inap Dewasa Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten Tangerang, tepatnya di Paviliun Cempaka, Flamboyan, Seruni, Kenanga dan ruang rawat jalan.

Alasan peneliti memilih RSU Kabupaten Tangerang sebagai lokasi penelitian karena di rumah sakit ini belum pernah di lakukan penelitian tentang fungsi kognitif pada pasien PPOK di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Hidayat, 2007).

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang menderita PPOK di Ruang Rawat jalan Dewasa RSU Kabupaten Tangerang berdasarkan


(55)

studi pendahuluan pada bulan Januari dari Oktober 2014 - Januari 2015 dengan total sebanyak 78 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi, atau sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Hidayat, 2007). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik

non probability sampling yaitu teknik yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Setiadi, 2013).

Non probability sampling ini merupakan pengambilan data hanya pada individu atau obyek pada suatu populasi yang memenuhi persyaratan tertentu terpilih menjadi sampel (Imron & Amrul, 2010). Adapun kriteria inklusi-eksklusi yang digunakan untuk menentukan sampel yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek penelitian pada populasi target dan sumber (Riyanto, 2011). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Pasien dengan penyakit PPOK sekurang-kurangnya 6 bulan menderita penyakit.

2. Pasien dewasa dengan usia 22 tahun sampai 65 tahun. 3. Pasien yang mampu berkomunikasi verbal dengan baik 4. Pasien dengan kondisi kesadaran penuh

5. Pasien yang bersedia mengikuti penelitian 6. Pasien yang berada di pelayanan rawat jalan b. Kriteria eksklusi


(56)

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

1. Pasien dengan gangguan kejiwaan

2. Pasien yang tidak bisa berbahasa Indonesia

3. Pasien dengan gangguan fungsi pendengaran dan penglihatan. 4. Pasien yang terpasang ventilator atau oksigen

3. Besar Sampel

Budiarto (2008) dalam menentukan besarnya sampel, dilakukan perhitungan sampel dengan menggunakan rumus slovin.

n

=

Keterangan :

N = Besar populasi n = jumlah sampel

e = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (90%)

Angka populasi di masukan dalam rumus besar populasi yaitu :

n =

= 43,82 = 44

Berdasarkan hasil perhitungan sampel dengan menggunakan rumus maka didapatkan hasil sampel sebesar 44 orang dan ditambahkan 10% untuk menghindari sampel drop out, maka didapatkan sampel keseluruhan sebanyak 44 + 10% = 48.4 atau 48 orang sebagai sampel dalam penelitian ini.


(57)

Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner untuk memperoleh informasi dari responden. Kuesioner adalah cara pengumpulan data dengan mempergunakan pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi dari responden (Sandjaja, 2006).

Adapun instrumen pengumpulan data yang digunakan terdiri dari 3 bagian, yakni:

1. Bagian 1 : Berupa pertanyaan mengenai data demografi responden yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan riwayat merokok.

2. Bagian 2 : Berupa lembar hasil tes diagnostik paru yang meliputi nilai analisa gas darah, hasil EKG, hasil tes fungsi paru, hasil rontgen yang diperoleh dari rekam medis responden.

3. Bagian 3 : Berupa kuesioner MoCA INA yang terdiri dari 30 poin yang akan diujikan dengan menilai domain fungsi kognitif, yaitu :

a. Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail making B (1 poin)

b. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing test (3 poin) dan menggambarkan kubus 3 dimensi (1 poin)

c. Bahasa: menyebutkan 3 nama binatang (singa, unta, badak ; 3 poin), mengulang 2 kalimat (2 poin), kelancaran berbahasa (1 poin)

d. Delayed recall: menyebutkan 5 kata, menyebutkan kembali setelah 5 menit (5 poin)

e. Atensi: menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3 poin), digit forward and backward (2 poin)

f. Abstaksi: menilai kesamaan suatu benda (2 poin)

g. Orientasi: menilai menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari, tempat dan kota (6 poin). (Panentu dan Irfan, 2013).


(58)

E. Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas

Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukan alat ukur tersebut benar-benar mengukur apa yang di ukur. Suatu kuisioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuisioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuisioner tersebut. Uji ini dilakukan dengan menghitung korelasi antara masing-masing skor item pertanyaan dari setiap variabel dengan total skor variabel tersebut (Hidayat, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Panentu dan Irfan pada tahun 2013 yang menguji instrument MoCA INA pada pasien pasca stroke fase recovery ditemukan validitas MoCA INA yang diuji melalui uji korelasi pearson menunjukkan hasil r = 0,529 dan p = 0,046 yang dengan demikian instrument MoCA INA dinyatakan valid.

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan pada tingkat kepercayaan dan dapat diandalkan (Arikunto, 2010). Reliabilitas adalah tingkat konsistensi dari suatu pengukuran. Reliabilitas menunjukan apakah pengukuran menghasilkan data yang konsisten jika instrument digunakan kembali secara berulang (Dharma, 2011).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Panentu dan Irfan, (2013) yang menguji reliabilitas instrument MoCA INA dengan uji test-retest menggunakan uji korelasi person didapatkan nilai r = 0.963 dan p = 0,000 dengan demikian MoCA INA dinyatakan reliabel.


(59)

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret hingga Juli 2015. Data yang didapatkan dalam penelitian ini data primer melalui kuisioner tentang fungsi kogntif dan data sekunder berupa hasil analisa gas darah. Adapun tahapan dalam penelitian ini, yaitu ;

1. Setelah proposal penelitian disetujui oleh penguji, peneliti mengajukan surat permohonan penelitian ke Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Peneliti menyerahkan surat permohonan ijin penelitian kepada kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) RSU Kabupaten Tangerang.

3. Setelah surat permohonan ijin penelitian disetujui oleh kepala Diklit lalu peneliti mendapat surat pengantar ke tiap kepala ruangan

4. Setelah ijin penelitian disetujui oleh kepala Instalasi Rawat jalan RSU Kabupaten Tangerang

5. Setelah ijin penelitian disetujui oleh Kepala Ruangan, peneliti menyeleksi calon responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.

6. Dengan menggunakan rumus perhitungan sample slovin, peneliti menentukan calon responden banyaknya sesuai dengan responden yang memenuhi kriteria yaitu sebanyak 43,82 pasien PPOK yang ditambah sebanyak 10% dari total populasi yaitu ditambah 10 menjadi 44 orang.

7. Setelah mendapatkan calon responden sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, peneliti melakukan informed consent terhadap calon responden. jika calon responden bersedia menjadi responden, mereka dapat membaca lembar persetujuan kemudian menandatanganinya.

8. Setelah responden menandatangani lembar persetujuan, responden selanjutnya diajukan pertanyaan oleh peneliti atau asisten peneliti melalui kuisioner.


(60)

9. Waktu wawancara melalui kuisioner selama kurang lebih 20 menit untuk setiap responden dan responden hanya dianjurkan bertanya setelah proses wawancara selesai namun tidak diperkenankan bertanya sebelum dan selama proses wawancara berlangsung.

10.Kuisioner yang telah terisi melalui wawancara selanjutnya diolah dan dianalisa oleh peneliti.

G. Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengolahan data yang meliputi :

1. Editing

Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh. Data perlu diedit untuk memudahkan pengolahan data selanjutnya. Hal yang perlu diperhatikan dalam mengedit meliputi kelengkapan pengisian, kejelasan tulisan, kejelasan makna, kesesuaian dan konsistensi antar jawaban.

2. Coding

Coding adalah usaha member kode-kode tertentu pada jawaban responden. coding merupakan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.

3. Entry data

Entry data adalah kegiatan memasukan data dari kuesioner dalam program computer agar dapat dianalis, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga dengan membuat tabel kontingensi.

4. Cleaning data

Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukan ke dalam komputer untuk memastikan dan telah bersih dari kesalahan sehingga data siap dianalisa (Hidayat, 2007).


(61)

H. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menganalisis setiap variabel yang dinyatakan dengan menggambarkan dan meringkas data dengan cara ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik (Setiadi, 2007).

Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan pada variabel penelitian yang meliputi : 1) karakteristik pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat merokok, riwayat penyakit, dan riwayat trauma kepala 2) gambaran hasil analisa gas darah pada pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang, 3) gambaran fungsi kognitif pada pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang.

I. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, dilakukan penerapan prinsip etika penelitian yang meliputi :

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Lembar persetujuan ini diberikan dan dijelaskan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria sampel. Tujuan informed consent adalah agar responden mengerti maksud dan tujuan penelitian serta mengetahui dampaknya.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Untuk menjaga kerahasian identitas responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data yang diisi responden, tetapi lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.


(62)

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. Data yang telah diolah dalam penelitian (Hidayat, 2007).


(63)

BAB V

HASIL PENELITIAN A. Analisis Data

Pada bab ini peneliti menyajikan analisis data berdasarkan hasil penelitian pada pasien PPOK yang berupa gambaran karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status riwayat merokok, riwayat penyakit, dan riwayat trauma kepala, serta gambaran fungsi kognitif pada pasien PPOK yang menjalani pengobatan di poli rawat jalan dan rawat inap di RSU Kabupaten Tangerang tahun 2015, yang berjumlah 48 orang. Hasil penelitian didapatkan melalui kuesioner data demografi dan MoCa untuk menggambarkan fungsi kognitif responden yang dijabarkan pada tabel di bawah ini :

1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Tabel 5.1

Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia (n=48)

Variabel Jumlah Persentase (%)

Usia ≤ 44 tahun 2 4.2

Usia 45-59 tahun 15 31.5

Usia ≥ 60 tahun 31 64.8

Total 48 100

Rata-rata responden berusia ≥ 60 tahun yakni sebanyak 31 orang (64,8%), sementara responden yang berusia ≤ 40 tahun hanya berjumlah 2 orang (4,2%), sedangkan sisanya berada pada rentang usia 45-59 tahun yakni sebanyak 15 orang (31,5%).


(64)

2. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin (n=48)

B

Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yakni sebanyak 43 orang (89,6%), sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan hanya berjumlah 5 orang (10,4%).

3. Distribusi Frekuensi Pasien PPOK Berdasarkan Pendidikan Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan (n=48) Variabel Jumlah Persentase (%)

Tidak sekolah 3 6.3

SD 20 41.7

SMP 6 12.5

SMA 14 29.2

PT 5 10.4

Total 48 100

Responden sebagian besar menempuh pendidikan sampai sekolah dasar (SD) yakni sebanyak 20 orang (41,7%), sedangkan responden yang menempuh pendidikan sampai SMA sebanyak 14 orang (29,2%), selanjutnya adalah responden dengan jenjang pendidikan SMP yakni sebanyak 6 orang (12,5%), serta responden yang menempuh jenjang pendidikan sampai perguruan tinggi (PT) sebanyak 5 orang (10,4%) dan responden yang tidak menempuh pendidikan yakni sebanyak 3 orang (6,3%).

Variabel Jumlah Persentase (%)

Laki-laki 43 89.6

Perempuan 5 10.4


(65)

1. Distribusi Frekuensi Pasien PPOK berdasarkan Status Riwayat Merokok Tabel 5.4

Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Merokok (n=48)

Variabel Jumlah Persentase %

Iya 38 79.2

Tidak 10 20.8

Total 48 100

Sebagian besar responden memiliki riwayat merokok yakni sebanyak 38 orang atau sebesar 79.2%. Sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat merokok sebanyak 10 orang (20,8%).

2. Distribusi Frekuensi Pasien PPOK berdasarkan Status Riwayat Penyakit Tabel 5.5

Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat penyakit (n=48)

Berdasarkan tabel 5.5 frekuensi riwayat penyakit terdapat pasien dengan riwayat stroke sebanyak 2 orang (4,2%), diabetes melitus sebanyak 2 orang (4,2%), hipertensi sebanyak 15 orang (31,3%), penyakit lain sebesar (18,8 %), dan tidak memiliki penyakit 20 orang (41,7%).

Variabel Jumlah Frekuensi

Tidak ada penyakit 20 41.7

Hipertensi 15 31.3

Stroke 2 4.2

Diabetes mellitus 2 4.2

Penyakit lain 9 18.8


(66)

3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Tabel 5.6

Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan

Variabel Jumlah Persentase (%)

Tidak bekerja 6 12.5

Petani 4 8.3

Wiraswasta 12 25

Buruh 7 14.6

TNI/POLRI 3 6.3

Pensiunan 16 33.3

Total 48 100

Responden sebagian besar merupakan pensiunan yakni sebanyak 16 orang (33,3%), sedangkan responden dengan wiraswasta sebanyak 12 orang (25%), responden yang bekerja sebagai buruh sebanyak 7 orang (14,6%), dan responden dengan profesi sebagai TNI/POLRI paling sedikit ditemukan sebagai respoden yakni 3 orang (6,3%).

4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Trauma Kepala Tabel 5.7

Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Trauma Kepala (n=48)

Berdasarkan tabel 5.7 terdapat pasien dengan trauma kepala sebanyak 6 orang (13.6%), dan non trauma kepala sebanyak 38 orang (86.4%).

Variabel Jumlah Presentase (%)

Trauma Kepala 6 13.6

Non Trauma kepala 38 86.4


(67)

5. Distribusi Proporsi Antara Fungsi Kognitif dengan Usia Tabel 5.8

Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Usia (n=48) Variabel Jumlah Persentase (%)

Usia ≤ 44 tahun 2 4.2

Usia 45-59 tahun 15 31.5

Usia ≥ 60 tahun 31 64.8

Total 48 100

Berdasarkan tabel 5.8 terdapat usia yang paling banyak terjadi gangguan fungsi kognitif pada usia ≥ 60 tahun yakni sebanyak 30 orang (79%) dan yang memiliki fungsi kognitif normal pada usia 45-59 yakni sebanyak 7 orang (70%), untuk yang paling banyak memiliki fungsi kognitif normal diantara ketiga kategori usia yakni rentang usia ≤ 44 tahun sebanyak 100%. 6. Distribusi Proporsi Antara Fungsi Kognitif dengan Jenis Kelamin

Tabel 5.9

Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Jenis Kelamin (n=48)

Jenis Kelamin Fungsi Kognitif Total Perubahan Fungsi Kognitif Fungsi kognitif Normal Laki-laki 34

89.5%

9 90%

43 89.6% Perempuan 4

10.5%

1 10%

5 10.4%

Total 38

100%

10 100%

48 100% Berdasarkan tabel 5.9 terdapat perbedaan besar antar laki-laki dan perempuan, pada laki-laki terjadi perubahan fungsi kognitif sebesar 34 orang (89.5%) dan fungsi kognitif normal sebanyak 9 orang (90%) sedangkan pada responden perempuan yang mengalami perubahan fungsi kognitif sebanyak 4 orang (10.5%) lalu dengan fungsi kognitif normal sebanyak 1 orang (10%).


(1)

Total 48 100.0 100.0

Tot_Kog

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 10.00 2 4.2 4.2 4.2

11.00 1 2.1 2.1 6.3

12.00 1 2.1 2.1 8.3

13.00 1 2.1 2.1 10.4

15.00 6 12.5 12.5 22.9

16.00 2 4.2 4.2 27.1

17.00 1 2.1 2.1 29.2

18.00 1 2.1 2.1 31.3

19.00 3 6.3 6.3 37.5

20.00 4 8.3 8.3 45.8

21.00 1 2.1 2.1 47.9

22.00 6 12.5 12.5 60.4

23.00 2 4.2 4.2 64.6

24.00 6 12.5 12.5 77.1

25.00 1 2.1 2.1 79.2

26.00 2 4.2 4.2 83.3

27.00 2 4.2 4.2 87.5

28.00 5 10.4 10.4 97.9

29.00 1 2.1 2.1 100.0

Total 48 100.0 100.0

Jenis kelamin * Fungsi Kognitif Crosstabulation Fungsi Kognitif

Total Gangguan

Fungsi Kognitif

Fungsi Kognitif Normal

Jenis kelamin Laki-laki Count 35 8 43

% within Fungsi Kognitif 89.7% 88.9% 89.6%

Perempuan Count 4 1 5

% within Fungsi Kognitif 10.3% 11.1% 10.4%


(2)

Fungsi Kognitif

Total Gangguan

Fungsi Kognitif

Fungsi Kognitif Normal

Pekerjaan TIdak bekerja Count 6 0 6

% within Fungsi Kognitif 15.4% 0.0% 12.5%

petani Count 4 0 4

% within Fungsi Kognitif 10.3% 0.0% 8.3%

wiraswasta Count 8 4 12

% within Fungsi Kognitif 20.5% 44.4% 25.0%

buruh Count 6 1 7

% within Fungsi Kognitif 15.4% 11.1% 14.6%

pensiunan Count 13 3 16

% within Fungsi Kognitif 33.3% 33.3% 33.3%

TNI/POLRI Count 2 1 3

% within Fungsi Kognitif 5.1% 11.1% 6.3%

Total Count 39 9 48

% within Fungsi Kognitif 100.0% 100.0% 100.0%

Usia * Fungsi Kognitif Crosstabulation Fungsi Kognitif

Total Gangguan

Fungsi Kognitif

Fungsi Kognitif Normal

Usia 37 Count 0 1 1

% within Fungsi Kognitif 0.0% 11.1% 2.1%

44 Count 0 1 1

% within Fungsi Kognitif 0.0% 11.1% 2.1%

49 Count 1 1 2

% within Fungsi Kognitif 2.6% 11.1% 4.2%

50 Count 1 0 1

% within Fungsi Kognitif 2.6% 0.0% 2.1%

51 Count 1 0 1

% within Fungsi Kognitif 2.6% 0.0% 2.1%

52 Count 2 0 2


(3)

53 Count 0 1 1

% within Fungsi Kognitif 0.0% 11.1% 2.1%

54 Count 0 2 2

% within Fungsi Kognitif 0.0% 22.2% 4.2%

55 Count 2 0 2

% within Fungsi Kognitif 5.1% 0.0% 4.2%

57 Count 1 2 3

% within Fungsi Kognitif 2.6% 22.2% 6.3%

58 Count 1 0 1

% within Fungsi Kognitif 2.6% 0.0% 2.1%

60 Count 5 1 6

% within Fungsi Kognitif 12.8% 11.1% 12.5%

61 Count 2 0 2

% within Fungsi Kognitif 5.1% 0.0% 4.2%

62 Count 4 0 4

% within Fungsi Kognitif 10.3% 0.0% 8.3%

63 Count 3 0 3

% within Fungsi Kognitif 7.7% 0.0% 6.3%

64 Count 6 0 6

% within Fungsi Kognitif 15.4% 0.0% 12.5%

66 Count 1 0 1

% within Fungsi Kognitif 2.6% 0.0% 2.1%

69 Count 1 0 1

% within Fungsi Kognitif 2.6% 0.0% 2.1%

70 Count 3 0 3

% within Fungsi Kognitif 7.7% 0.0% 6.3%

71 Count 2 0 2

% within Fungsi Kognitif 5.1% 0.0% 4.2%

72 Count 3 0 3

% within Fungsi Kognitif 7.7% 0.0% 6.3%

Total Count 39 9 48

% within Fungsi Kognitif 100.0% 100.0% 100.0%


(4)

Fungsi Kognitif Normal

Pendidikan Tidak sekolah Count 2 1 3

% within Fungsi Kognitif 5.1% 11.1% 6.3%

SD Count 20 0 20

% within Fungsi Kognitif 51.3% 0.0% 41.7%

SMP Count 6 0 6

% within Fungsi Kognitif 15.4% 0.0% 12.5%

SMA Count 7 7 14

% within Fungsi Kognitif 17.9% 77.8% 29.2%

PT Count 4 1 5

% within Fungsi Kognitif 10.3% 11.1% 10.4%

Total Count 39 9 48

% within Fungsi Kognitif 100.0% 100.0% 100.0%

Riwayat merokok * Fungsi Kognitif Crosstabulation Fungsi Kognitif

Total Gangguan

Fungsi Kognitif

Fungsi Kognitif Normal

Riwayat merokok Iya Count 30 8 38

% within Fungsi Kognitif 76.9% 88.9% 79.2%

Tidak Count 9 1 10

% within Fungsi Kognitif 23.1% 11.1% 20.8%

Total Count 39 9 48

% within Fungsi Kognitif 100.0% 100.0% 100.0%

Riwayat penyakit * Fungsi Kognitif Crosstabulation

Fungsi Kognitif

Total Gangguan

Fungsi Kognitif

Fungsi Kognitif Normal

Riwayat penyakit Tidak ada Count 17 3 20

% within Fungsi Kognitif 43.6% 33.3% 41.7%

Stroke Count 2 0 2

% within Fungsi Kognitif 5.1% 0.0% 4.2%

Diabetes mellitus Count 1 1 2


(5)

Hipertensi Count 12 3 15

% within Fungsi Kognitif 30.8% 33.3% 31.3%

dan lain-lain Count 7 2 9

% within Fungsi Kognitif 17.9% 22.2% 18.8%

Total Count 39 9 48

% within Fungsi Kognitif 100.0% 100.0% 100.0%

Riwayat trauma kepala * Fungsi Kognitif Crosstabulation Fungsi Kognitif

Total Gangguan

Fungsi Kognitif

Fungsi Kognitif Normal

Riwayat trauma kepala Iya Count 5 2 7

% within Fungsi Kognitif 12.8% 22.2% 14.6%

Tidak Count 34 7 41

% within Fungsi Kognitif 87.2% 77.8% 85.4%

Total Count 39 9 48

% within Fungsi Kognitif 100.0% 100.0% 100.0%

Diagnosa kerja * Fungsi Kognitif Crosstabulation Count

Fungsi Kognitif

Total Gangguan

Fungsi Kognitif

Fungsi Kognitif Normal

Diagnosa kerja PPOK & TB paru 1 1 2

PPOK & Asma 4 1 5

PPOK & DM 2 1 3

PPOK & Stroke 1 0 1

PPOK & Hipertensi 12 3 15

PPOK 17 4 21

PPOK & Jantung 1 0 1


(6)

Dokumen yang terkait

Gambaran EKG Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

6 113 83

Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia

6 77 65

Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

1 34 78

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) EKSASERBASI AKUT YANG DI RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PARU JEMBER

1 41 15

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)Eksaserbasi Akut yang di Rawat Inap di Rumah Sakit Paru Jember

1 21 5

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MAKROLIDA PADA PASIEN EKSASERBASI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) (Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu)

2 10 27

Gambaran Fungsi Kognitif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang

1 10 112

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis Di Rs Paru Ario Wirawan Salatiga.

0 3 14

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)Di BBKPM Surakarta.

1 7 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis 2.1.1. Defenisi, Etiologi, dan Faktor Risiko - Gambaran EKG Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 31