E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian mengenai
“Pertanggungjawaban Perusahaan Induk terhadap Perusahaan Anak Dalam Hal
Terjadinya Pencemaran DanAtau Kerusakan Lingkungan Hidup” sejauh ini belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh mahasiswa
terdahulu yang berkaitan dengan perusahaan induk dan perusahaan anak, antara lain: 1.
Sofwan Tambunan, Analisis Terhadap Hubungan Antara Perusahaan Induk Dengan Anak Perusahaan Studi Kasus PTPN IV Persero Dengan PT. Pamina
Adolina. 2.
Irma Atika Rangkuti, Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan.
Walaupun telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan berkaitan dengan perusahaan induk dan perusahaan anak, namun aspek yang dibahas berbeda.
Penelitian ini berfokus kepada pertanggungjawaban perusahaan induk terhadap perusahaan anak dalam hal terjadinya pencemaran danatau kerusakan lingkungan
hidup. Oleh karena aspek yang dibahas berbeda, yakni mengenai pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup, maka penelitian ini dapat dikategorikan
sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis. Penelitian tesis ini dapat
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan sepenuhnya apabila di kemudian hari ternyata penelitian tesis ini adalah perbuatan plagiat.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Teori yang akan digunakan di dalam penelitian tesis ini adalah teori badan hukum, yang menjadi dasar hukum bagi adanya eksistensi dari suatu badan hukum
korporasi, khususnya di dalam penelitian tesis ini yakni untuk menjelaskan hubungan hukum antara perusahaan induk dengan perusahaan anak. Setelah mengetahui
bagaimana hubungan hukum tersebut, maka doktrin tanggung jawab pengganti vicarious liability dapat dipakai di dalam menetapkan pertanggungjawaban pidana
perusahaan induk terhadap tindakan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak.
Korporasi sebagai suatu badan hukum rechtpersoon merupakan subjek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban selain manusia natuurlijkpersoon.
Menurut E. Utrecht, badan hukum rechtpersoon adalah badan yang menurut hukum berkuasa berwenang menjadi pendukung hak, dan selanjutnya dijelaskan bahwa
badan hukum itu adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia.
25
25
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1999, hal. 18
Selain itu, R. Subekti mengatakan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
26
Ada beberapa teori badan hukum yang dipergunakan dalam ilmu hukum dan perundang-undangan, yurisprudensi serta doktrin untuk pembenaran atau memberi
dasar hukum baik bagi adanya maupun kepribadian hukum rechtspersoonlijkheid badan hukum dalam sejarah perkembangan badan hukum saat ini.
27
Teori organ yang dikemukakan oleh sarjana Jerman yang bernama Otto von Gierke 1841-1921 menyatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia, menjadi
penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu “verband personlichkeit”, yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya
dengan perantara alat-alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggota- anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya
dengan perantara mulutnya atau dengan perantara tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang diputuskan oleh organ-organ badan tersebut adalah kehendak
dari badan hukum.
28
Selanjutnya, menurut teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan hak yang
tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu merupakan suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Tujuan badan hukum menjadi kolektivitas,
26
Mulhadi, Hukum Perusahaan – Bentuk-Bentuk Badan Usaha Di Indonesia, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, hal. 74
27
Chidir Ali, Op. Cit., hal. 31
28
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hal. 32
Universitas Sumatera Utara
terlepas dari individu, yakni badan hukum tersebut merupakan suatu verband personlichkeit yang memiliki kehendak gesamwille. Berfungsinya badan hukum
disamakan dengan fungsi manusianya. Artinya, badan hukum tidak berbeda dengan manusia. Karena itu dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap perkumpulan orang adalah
badan hukum.
29
Dari teori organ ini kemudian timbul suatu teori yang merupakan penghalusan dari teori organ tersebut, yakni teori kenyataan yuridis Juridische Realiteitsleer.
Teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda, E. M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten. Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas konkrit, riil,
walaupun tidak dapat diraba, bukam khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebut teori ini sebagai teori kenyataan yang sederhana eenvoudige, dikarenakan
teori ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Dengan demikian, menurut
teori kenyataan yuridis, badan hukum adalah wujud yang riil, sama riilnya dengan manusia dan lain-lain perikatan verbintenis. Ini semua riil menurut hukum.
30
Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta benar-benar, dalam pergaulan hukum, walaupun tidak berwujud
manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu, dan sebagainya. Yang menjadi penting dalam pergaulan hukum ialah bahwa badan hukum mempunyai kekayaan
29
Ibid, hal. 33
30
Chidir Ali, Op. Cit., hal. 35
Universitas Sumatera Utara
yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu merupakan suatu perusahaankorporasi.
31
Perseroan terbatas merupakan contoh dari manusia buatan artificial person atau badan hukum legal entity. Meskipun perseroan bukan manusia secara alamiah,
badan hukum itu bisa bertindak sendiri melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang diperlukan.
32
Perseroan terbatas sebagai makhluk atau subjek hukum artifisial disahkan oleh negara menjadi badan hukum memang tetap tidak bisa dilihat dan tidak
dapat diraba. Namun demikian, hukum atau undang-undang memberikan kepadanya untuk menikmati semua hak yang dapat dimiliki dan dinikmati manusia atau person
alamiah. Perseroan memiliki kebangsaan, tempat kedudukan di negara mana perseroan berada, perseroan mempunyai hak untuk diperlakukan dan dilindungi
dengan cara yang sama dengan proses yang dibenarkan hukum.
33
Sebagai sebuah badan hukum, perseroan terbatas telah memenuhi unsur-unsur sebagai suatu badan hukum sebagaimana diatur dalam UUPT, yakni:
34
1. Memiliki pengurus dan organisasi teratur
2. Dapat melakukan perbuatan hukum rechtshandeling dalam hubungan-
hubungan hukum rechtsbetrekking, termasuk dalam hal ini dapat digugat dan menggugat di depan pengadilan.
3. Mempunyai harta kekayaan sendiri.
4. Mempunyai hak dan kewajiban .
5. Memiliki tujuan sendiri.
31
Ibid, hal. 18-19
32
I. G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Jakarta: Kesaint Blanc, 2005, hal. 7
33
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 72
34
Mulhadi, Op. Cit., hal. 83
Universitas Sumatera Utara
Suatu perseroan terbatas, eksistensinya riil sebagai subjek hukum yang terpisah separate legal entity dan bebas independent dari pemiliknya atau
pemegang sahamnya maupun dari pengurus dalam hal ini direksi perseroan terbatas. Secara terpisah dan independen perseroan terbatas melalui pengurus dapat melakukan
perbuatan hukum, seperti melakukan kegiatan untuk dan atas nama perseroan terbatas membuat perjanjian, transaksi, menjual aset dan menggugat atau digugat serta dapat
hidup dan bernapas sebagaimana layaknya manusia selama jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar belum berakhir. Walau perseroan terbatas
tidak bisa dipenjarakan, akan tetapi dapat menjadi subjek perdata maupun tuntutan pidana dalam bentuk hukuman “denda”. Utang perseroan terbatas menjadi tanggung
jawab mandiri dan kewajiban perseroan terbatas, dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai badan hukum atau entitas yang terpisah separate entity dan independen dari
tanggung jawab pemegang saham.
35
Perseroan terbatas adalah subjek hukum yang berstatus badan hukum yang salah satu karakteristiknya adalah tanggung jawab terbatas limited liability bagi para
pemegang saham, anggota direksi dan komisaris. Dalam hal ini, setiap perbuatan yang dilakukan oleh suatu perseroan terbatas sebagai badan hukum, hanya badan
hukum itu sendiri yang bertanggung jawab. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai saham yang dimasukkannya. Namun, dalam hal-hal
tertentu terdapat pengecualian terhadap berlakunya tanggung jawab terbatas tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal sebagai berikut:
35
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 37-38
Universitas Sumatera Utara
a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c.
Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang Perseroan.
36
Pengecualian berlakunya doktrin keterbatasan tanggung jawab pemegang saham tersebut dalam hukum perusahaan disebut dengan doktrin piercing the
corporate veil. Dalam Black’s Law Dictionary, piercing the corporate veil adalah “the judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate
officers, directors, and shareholders for the corporation’s wrongful act”.
37
Peraturan hukum di Indonesia yang mempunyai hubungan dengan doktrin piercing the corporate veil yaitu peraturan-peraturan mengenai hukum perusahaan,
antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata, Kitab Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa piercing the corporate
veil merupakan tindakan hukum untuk memaksakan pertanggungjawaban pribadi yang mengenyampingkan kekebalan pejabat perusahaan, direksi, dan pemegang
saham atas kesalahan korporasi.
36
Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
37
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, 8th Edition, St. Paul Minn: West Publishing Co., 2004, hal. 1184
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Hukum Dagang KUHD, dan UUPT. Doktrin “piercing the corporate veil” yang diadopsi dalam UUPT selain Pasal 3 ayat 2, yaitu dalam:
38
1. Pasal 104, tentang pengecualian tanggung jawab terbatas dewan direksi dalam
hal kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi 2.
Pasal 115, tentang pengecualian tanggung jawab terbatas dewan komisaris dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dewan komisaris
melakukan pengawasan terhadap pengurusan perseroan. Doktrin piercing the corporate veil juga dapat diterapkan pada perusahaan
dalam grup usaha dalam kaitannya dengan hubungan antara perusahaan induk dengan perusahaan anak. Perusahaan induk dapat dikenakan pertanggungjawaban atas
tindakan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anaknya dengan menerapkan doktrin piercing the corporate veil. Posisi
perusahaan induk dalam hal ini sangatlah penting. Apabila terbukti suatu perusahaan induk memegang kontrol pada tindakan operasional perusahaan anak maka dianggap
perusahaan induk tersebut juga bertanggung jawab atas aktivitas perusahaan. Berkaitan dengan pencemaran lingkungan, maka partisipasi perusahaan induk dinilai
dari sejauh mana kontrol perusahaan induk terhadap kebijakan pengelolaan dan pembuangan limbah yang dilakukan perusahaan anak.
39
38
Shanti Rachmadsyah, Hukum Online: Hukum Perusahaan, dalam http:hukumonline.comklinikdetaillt4bf2cc7d1817b, diakses tanggal 17 Januari 2013
39
Paramita Prananingtyas, Piercing The Corporate Veil In Environmental Law Cases, A Comparation Of America And Indonesian Law, hal. 6 dalam http:eprints.undip.ac.id20847, diakses
tanggal 17 Desember 2012
Universitas Sumatera Utara
Banyak pengadilan di negara-negara common law, terutama di Inggris dan Amerika Serikat, yang menetapkan doktrin piercing the corporate veil untuk
perusahaan dalam kelompok usaha dengan memberlakukan prinsip hubungan “agency” di antara perusahaan-perusahaan dalam 1 satu kelompok usaha. Demikian
juga sering kali tetapi tidak selamanya suatu perusahaan dianggap sebagai “agen” perusahaan holding-nya perusahaan induk.
40
Korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan doktrin vicarious liability dalam hal pertanggungjawaban pidana. Istilah “vicarious liability”
oleh Black diartikan sebagai indirect legal responsibility, for example, the liability of an employer for the acts of an employers, or principal for torts and contracts of an
agent
41
Pembentukan model doktrin atau ajaran vicarious liability diambil dari hukum perdata yang diterapkan ke dalam hukum pidana. Ajaran ini mengatur tentang
perbuatan melawan hukum berdasarkan doctrine of respondeat superior. Menurut doctrine of respondeat superior terdapat hubungan antara master dan servant atau
antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per pertanggungjawaban
hukum secara
tidak langsung, misalnya, pertanggungjawaban majikan untuk tindakan karyawan, atau atasan untuk ganti rugi
dan kontrak dari agen.
40
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 16
41
Henry Campbell Black, Op. Cit., hal. 934
Universitas Sumatera Utara
se. Menurut maxim tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu.
42
Di Amerika Serikat, terdapat suatu doktrin respondeat superior yang berlaku di tingkat federal maupun di negara-negara bagian. Doktrin ini yang memberikan dasar
bagi korporasi untuk bertanggung jawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya tidak peduli apa posisi agen atau pegawai tersebut dalam hirarki
korporasi dan apa jenis pelanggarannya. Namun, terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu:
43
1. Agen tersebut bertindak dalam ruang lingkup pekerjaannya, memiliki
kewenangan untuk bertindak untuk korporasi yang berkaitan dengan bisnis korporasi tertentu yang telah dilakukan secara tercela dan merupakan kejahatan
pidana;
2. Agen tersebut bertindak, setidaknya sebagian dari tujuannya untuk memajukan
kepentingan bisnis korporasi tersebut. Seiring waktu berlalu, selain dua syarat yang telah disebutkan di atas,
pengadilan Amerika menambahkan syarat yang ketiga, yaitu tindak-tindak pidana tersebut disetujui, ditoleransikan atau disahkan oleh managemen korporasi. Syarat ini
membuat doktrin ini semakin mirip dengan doktrin direct liability.
44
Pertanggungjawaban ini dilekatkan kepada korporasi dan berlaku dalam kasus perdata maupun pidana, dan tidak memandang apakah agennya hanya karyawan biasa
atau pejabat korporasi tingkat tinggi.
45
42
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 84 - 97
43
Eli Lederman, Op. Cit., hal. 654-655;
44
Ibid, hal. 655
45
Vikramaditya S. Khanna, Corporate Crime Legislation: A Political Economic Analysis, Boston University School of Law, Working Paper No. 03-04, 2003, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
Doktrin vicarious liability yang memakai prinsip “respondeat superior” sebagai dasarnya masih mempertahankan fitur-fitur dari prinsip tersebut, yaitu menetapkan
suatu pertanggungjawaban hukum terhadap seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain the legal responsibility of one person for the wrongful acts
of another.
46
Pertanggungjawaban ini terjadi misalnya dalam hal perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh orang lain dalam ruang lingkup pekerjaan atau
jabatannya. Dengan demikian, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap
dapat dipertanggungjawabkan.
47
Pemilik korporasi dan karyawan merupakan dua entitas yang berbeda dan mandiri di dalam hukum, dan hanya salah satu dari dua entitas tersebut, yakni pemilik
korporasi atau agen yang memang terlibat dalam tindakan atau pemikiran tersebut. Tetapi, berdasarkan pertimbangan dari kebijakan hukum yang berakar dari asosiasi
dan hubungan atasan-bawahan yang ada di antara mereka, suatu pemikiran fiktif dapat dibentuk. Tindakan dan pemikiran dari salah seorang individual yang
mengikuti perintah dari orang lain, merupakan tindakan atau pemikiran dari pemberi perintah itu sendiri. Pemikiran fiktif ini kemudian membentuk hukum bahwa
46
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 33. Lihat juga Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar
Maju, 1996, hal. 79: Persamaan antara strict liability dan vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea unsur kesalahan. Perbedaannya, pada strict liability crimes pertanggungjawaban
pidana bersifat langsung dikenakan pada pelakunya, sedangkan pada vicarious liability, pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung.
47
Henny Darmayanti, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Tesis Program Magister Ilmu Hukum Kajian Sistem Peradilan Pidana
Semarang:Universitas Diponegoro, 2002, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
tindakan dari seseorang akan mengikat orang lain.
48
Hal ini jugalah yang berlaku dalam hubungan antara perusahaan induk dan perusahaan anak, di mana walaupun
mereka merupakan dua entitas yang berbeda dan mandiri, namun dikarenakan adanya hubungan asosiasi dan hubungan afiliasi yang ada di antara mereka, maka tindakan
dari perusahaan anak akan dapat mengikat perusahaan induknya, seperti dapat dikenakannya pertanggungjawaban pidana.
Perusahaan induk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas tindakan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan
anak dalam hal pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup dengan dasar bahwa tindak pidana tersebut tidak hanya dilakukan oleh perusahaan anak, tetapi
perusahaan induk juga turut serta dalam terjadinya tindak pidana lingkungan tersebut. Hal ini dikarenakan perusahaan induk, yang juga merupakan pemegang saham dalam
bisnis perusahaan anak
dan dapat mempengaruhi dibuatnya suatu keputusankebijakan terhadap kegiatan perusahaan anak, dalam praktiknya
kurangtidak melakukan danatau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang berupa tindak pidana
pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup. Hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan induk itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga
perusahaan induk dapat dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
48
Eli Lederman, Op. Cit., hal. 652-653
Universitas Sumatera Utara
2. Konsep
Beberapa kerangka konseptual dipandang perlu agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan di dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut: a.
Perusahaan induk parent corporation, yaitu pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengoordinasikan anak-perusahaan anak dalam suatu
kesatuan ekonomi.
49
Dalam Black’s Law Dictionary, parent corporation diartikan sebagai a corporation that has a controlling interest in another
corporation through ownership of more than one-half the voting stock.
50
b. Perusahaan anak subsidiary corporation, yaitu perseroan yang mempunyai
hubungan khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena lebih dari lima puluh persen sahamnya dimiliki oleh perusahaan induknya; lebih dari lima
puluh persen suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham RUPS dikuasai oleh perusahaan induknya; dan atau kontrol atas jalannya perseroan,
pengangkatan, dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh perusahaan induknya.
51
Dalam Black’s Law Dictionary, subsidiary corporation adalah a corporation in which a parent corporation has a
controlling share.
52
49
Sulistiowati, Op. Cit., hal. 24
50
Henry Campbell Black, Op. Cit., hal. 367
51
Sulistiowati, Op. Cit., hal. 35. Lihat juga Memori Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas UUPT sebelum Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007.
52
Henry Campbell Black, Op. Cit., hal. 368
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa
Universitas Sumatera Utara
perusahaan anak atau subsidiary merupakan sebuah perusahaan dimana perusahaan induk memiliki saham pengendali.
c. Perusahaan grup, yaitu susunan induk dan anak-perusahaan anak yang berbadan
hukum mandiri yang saling terkait erat sehingga perusahaan induk memiliki kewenangan untuk menjadi pimpinan sentral yang mengendalikan dan
mengoordinasikan anak-perusahaan anak bagi tercapainya tujuan kolektif perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi.
53
d. Hubungan hukum, yaitu
hubungan yang terjadi antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum lainnya danatau antara subyek hukum dengan obyek
hukum yang terjadi dalam masyarakat dimana hubungan tersebut diatur oleh hukum dan karenanya terdapat hak dan kewajiban diantara pihak-pihak dalam
hubungan hukum.
54
e. Lingkungan hidup, yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
mahluk hidup lain.
55
f. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
53
Sulistiowati, Op. Cit., hal. 23
54
Hubungan Hukum, dikutip dari http:statushukum.comhubungan-hukum.html, diakses tanggal 28 Juni 2013
55
Pasal 1 angka 1 UUPPLH
Universitas Sumatera Utara
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
56
g. Kerusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, danatau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.
57
h. Tanggung jawab perdata adalah kewajiban kepada orang, yang karena
perbuatannya telah menimbulkan kerugian, untuk mengganti kerugian yang telah ditimbulkannya terhadap orang lain.
58
i. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban setiap orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya.
59
G. Metode Penelitian