Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

Thomas Suyatno et.al dalam buku Muhammad Djumhana mengatakan selain itu kredit pemilikan rumah ini juga meningkatkan daya guna uang, meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, meningkatkan daya guna dan peredaran barang, salah satu alat stabilitas ekonomi, dan juga dapat meningkatkan kegairahan berusaha. 34 a KPR bersubsidi : “merupakan KPR dengan suku bunga yang rendah lebih kecil dari suku bunga komersial yang di peruntukkan bagi masyarakat golongan bawah” Kredit KPR ini terdiri dari 2 jenis yakni : b KPR umumkomersial ; “merupakan KPR dengan suku bunga komersial yang di peruntukkan bagi semua golongan masyarakat yang membutuhkan dan layak menurut penilaian bank”.

B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

Dalam pemberian suatu kredit pemilikan rumah oleh bank kepada debitur, pertama-tama selalu dimulai dengan permohonan kredit oleh nasabah debitur yang bersangkutan. Terhadap permohonan tersebut terdapat 2 dua kemungkinan jawaban, yakni penerimaan atau penolakan permohonan tersebut ditolak maka tahapan permohonan pemberian KPR terhenti, namun bila permohonan tersebut diterima layak untuk diberikan maka untuk terlaksananya pemberianpelepasan 34 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.372 Universitas Sumatera Utara KPR tersebut terlebih dahulu haruslah diadakan suatu persetujuan atau kesepakatan dalam bentuk perjanjian KPR secara tertulis biasa disebut akad kredit. Salah satu yang mendasari harus dibuatnya perjanjian ini adalah bunyi Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Adapun filosofi harus dibuatnya perjanjian KPR adalah berfungsinya perjannjian kredit itu sebagai alat bukti, dan sebagaimana diketahui bahwa surat-surat perjanjian yang ditanda-tangani adalah merupakan suatu akta. 35 Di dalam Undang-Undang Perbankan tidak di tentukan bentuk dari perjanjian kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat di lakukan secara tertulis maupun lisan. Dalam praktek perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku standards contrac dan juga dapat dibuat dibawah tangan ataupun notarial. 36 Pada perjanjian KPR ini, perjanjian dibuat dengan akta autentik dan dalam bentuk perjanjian baku. Dimana yang berarti perjanjian ini dibuat oleh seorang notaris tetapi isi atau klausula-klausula perjanjian KPR ini diserahkan sepenuhnya kepada pihak bank kreditur, namun tetap harus dipedomani bahwa rumusan 35 Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 139-140 36 Rachmadi Usman, Op.cit. hal. 263 Universitas Sumatera Utara perjanjian tersebut tidak boleh tidak jelas kabur dan harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum. Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya kebatalan dari perjanjian yang bersangkutan. Selain itu juga harus diperhatikan bahwa isinya tidak boleh merugikan salah satu pihak. Secara umum biasanya perjanjian KPR ini berisi definisi-definisi, jumlah kredit pinjaman, besarnya bunga dan denda, jangka waktu, angsuran dan cara pembayaran agunan, wanprestasi, timbul dan berakhirnya hak dan kewajiban, serta hukum yang berlaku bagi perjanjian tersebut. Seperti telah diterangkan di atas bahwa perjanjian KPR ini harus tetap memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, maka perjanjian KPR ini dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan syarat keempat mengenai objek dari suatu perjanjian sehingga disebut syarat Universitas Sumatera Utara objektif. Mengenai hal ini harus dibedakan antara keduanya. Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum yang mana berarti perjanjian tersebut dianggap tidak pernah dibuattidak pernah ada. Maka tidak ada dasar untuk saling menuntut oleh para pihak di depan hakim. Perjanjian seperti ini disebut null and void. Dalam hal syarat subjektifnya yang tidak terpenuhi makam perjanjian itu bukanlah batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan. Pihak yang dapat memintakan pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang yang memberikan sepakatnya secara bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan. 37 Dengan demikian nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable atau vernietigbaar. Surbekti dalam buku Hasanuddin Rahman berpendapat perjanjian seperti ini selalu berpendapat perjanjian seperti ini selalu diancam dengan bahaya pembatalan canceling. 38

C. Objek Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah