Sejarah Mahar KONSEP MAHAR DALAM ISLAM DAN TRADISI BANGSA ARAB

Dalam ayat lain dijelaskan tentang kewajiban memberikan mahar sebagaimana dalam al- Qur‟an surah an-Nisa ayat 24 yang berbunyi: …… ًةَضْيِرَف ّنُهَرْوُجُأ ّنُهْوُ ت َأَف ّنُهْ نِم ِهِب ْمُتْعَ تْمَتْسااَمَف …….. Artinya: “Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan semp urna” 12 Selain dalam al- Qur‟an kewajiban mahar disebutkan pula di dalam hadits Rasulullah sebagai berikut: َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِهّللا َلوُسَر َ ُهَل َلاَق َةَمِطاَف ّىِلَع َجّوَزَ ت اّمَل : َلاَق ٍساّبَع ِنْبا ْنَع ،اًئْيَش اَهِطْعَا : ىِدْنِعاَم :َلاَق دواد وبا اور ُةّيِمْطَْْا َكُعْرِد َنْيَا :َلاَق ،ٌئْيَش Artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata: ketika Ali menikahi Fatimah, Rasulullah SAW berkata kepada Ali: berikanlah sesuatu kepada Fatimah, Ali berkata: saya tidak memiliki sesuat u”. Nabi berkata: ‘’dimana baju besimu”. H.R Abu Dawud. Nabi sangat menekankan kepada Ali agar memberikan sesuatu apapun kepada Fatimah anak beliau sebagai mahar walau hanya dengan baju besi. Begitu pula Rasulullah sangat menekankan pada umat Islam tentang kewajiban memberikan mahar kepada calon istri walau hanya dengan beberapa surah dari al- Qur‟an, sebagaimana hadist Rasul yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Sahl bin Sa ‟ad sebagai berikut: ّللا َلوُسَر ْتَءاَج ًةَأَرْما ّنَأ :ٍدْعَس ِنْب ِلْهَس ْنَع يِسْفَ ن َكَل َبَهَِِ ُتْئِج ِهّللا َلوُسَر اَي :ْتَلاَقَ ف َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِه َأَطْأَط ُُّ ُهَبّوَصَو اَهْ يَلِإ َرَظّنلا َدّعَصَف َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِهّللا ُلوُسَر اَهْ يَلِإ َرَظَنَ ف ْرَمْلا ْتَأَر اّمَلَ ف ُهَسْأَر اَهيِف ِضْقَ ي ََْ ُهّنَأ ُةَأ ِنْجِوَزَ ف ٌةَجاَح اَِِ َكَل ْنُكَت ََْ ْنِإ ِهّللا َلوُسَر اَي :َلاَقَ ف ِهِباَحْصَأ ْنِم ٌلُجَر َماَقَ ف ْتَسَلَج اًئْيَش ْنِم َكَدْنِع ْلَه َلاَقَ ف اَهي ِإ ْبَهْذا :َلاَق ِهّللا َلوُسَر اَي ِهّللاَو ََ :َلاَقَ ف .ٍءْيَش اَي ِهّللاَو ََ :َلاَقَ ف َعَجَر ُُّ َبَهَذَف .اًئْيَش ُدََِ ْلَه ْرُظْناَف َكِلْهَأ ََ ِهّللاَو ََ :َلاَقَ ف َعَجَر ُُّ َبَهَذَف .ٍديِدَح ْنِم اًََاَخ ْوَلَو ْرُظْنا :َلاَق اًئْيَش ُتْدَجَو اَم ِهّللا َلوُسَر اًََاَخ َََو ِهّللا َلوُسَر اَي ْنِم ْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِهّللا ُلوُسَر َلاَقَ ف ُهُفْصِن اَهَلَ ف ٌءاَدِر ُهَل اَم :ٌلْهَس َلاَق .يِراَزِإ اَذَه ْنِكَلَو ٍديِدَح ْنِإ َكِراَزِإِب ُعَنْصَت اَم :َمّلَسَو ِه َلَع ْنُكَي ََْ ُهْتَسِبَل ْنِإَو ٌءْيَش ُهْنِم اَهْ يَلَع ْنُكَي ََْ ُهَتْسِبَل ِهّللا ُلوُسَر ُآَرَ ف َماَق ُُّ ُهُسَلََْ َلاَط َّّح ُلُجّرلا َسَلَجَف ؟ٌءْيَش َكْي َلاَق ؟ِنآْرُقْلا ْنِم َكَعَم اَذاَم :َلاَق َءاَج اّمَلَ ف َيِعُدَف ِهِب َرَمَأَف اًيِلَوُم َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص اَذَك ُةَروُسَو اَذَك ُةَروُس يِعَم : 12 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2005, h. 82. َِِ اَهَكُتْكّلَم ْدَقَ ف ْبَهْذا :َلاَق ْمَعَ ن :َلاَق ؟َكِبْلَ ق ِرْهَظ ْنَع ّنُهُؤَرْقَ تَأ َلاَق اَهَدّدَع اَذَك ُةَروُسَو اور .ِنآْرُقْلا ْنِم َكَعَم ا .يراخبلا Artinya: “Dari Sahl bin Sa’ad: bawa seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah saw kemudian ia berkata: wahai Rasulullah aku datang untuk mencintai dirimu seorang. Maka Rasulullah saw. menaikan pandangannya kepada perempuan itu dan merendahkan pandangannya kemudian menundukkan kepalanya, dan ketika perempuan itu melihat belum ada keputusan apa-apa maka perempuan itu pun duduk dan datanglah seorang laki-laki dari golongnya dan berkata: wahai Rasulullah jika anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkanlah aku dengannya, Rasulullah berkata: “apakah kamu mempunyai sesuatu ?” “tidak demi Allah ya Rasulullah saya tidak mempunyai apa- apa”, maka Rasulullah berkata:“pergilah kepada keluargamu dan lihatlah apakah kamu menemukan sesuatu”. Maka pergilah laki-laki tersebut kemudian datang kembali kepada Rasulullah dan laki-laki itu berkata “tidak ada, demi Allah saya tidak mendapatkan sesuatu pun, maka Rasulullah berkata “carilah walau pun hanya berbentuk cincin besi”,maka laki-laki itu pergi dan kembali lagi kemudian ia berkata “demi Allah tidak ada ya Rasulullah walaupun hanya sebuah cincin besi akan tetapi ini saya mempunyai sarung, Rasulullah berkata apa yang bisa kau lakukan dengan sarungmu ? jika kamu memakainya maka tak ada satu pun untuk dia, dan jika ia memakainya maka tak akan ada satu pun untukmu, maka duduklah laki-laki itu pada majelis tersebut dalam waktu yang lama kemudian ia berdiri. Dan Rasulullah saw. melihatnya kemudian memanggilnya dan ketika laki- laki itu datang, Rasulullah berkata “apa yang kamu tahu tentang al- Qur’an”? laki-laki itu menjawab “saya menghafal surat ini dan surat ini dan surat ini, kemudian Rasulullah berkata “apakah kamu membacakan untuk dia dari hatimu yang paling dalam ? laki- laki itu menjawab “ya” Rasulullah berkata “pergilah maka kamu telah menikahinya dengan apa yang kamu punya dari al- Qur’an”. 13 H.R Al-Bukhari Pada umumnya mahar biasanya berbentuk materi baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari‟at Islam memungkinkan mahar dalam bentuk yang lainnya, seperti dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Qasas ayat 27 yang berbunyi: َع َتْمَََْأ ْنِإَف ٍجَجِح َ ِّاَََ َِّرُجْأَت ْنَأ ىَلَع َِْْ تاَه َََّنْ با ىَدْحِإ َكَحِكْنُأ ْنَأ ُديِرُأ ِِّإ َلاَق ْنِمَف اًرْش ْنَأ ُديِرُأ اَمَو َكِدْنِع َِِِْاّصلا َنِم ُهّللا َءاَش ْنِإ ُِّدِجَتَس َكْيَلَع ّقُشَأ . Artinya :”Berkatalah Dia Syuaib: Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun. Maka itu adalah suatu kebaikan dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik. 14 13 Al-Bukhari, Sahih Al-bukhari, Juz III, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2008, h. 440. 14 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2005, 388. Kewajiban membayarkan mahar pada hakikatnya tidak hanya untuk mendapatkan kesenangan, namun lebih kepada penghormatan dan pemberian dari calon suami kepada calon isteri sebagai awal dari sebuah pernikahan dan sebagai tanda bukti cinta kasih seorang laki-laki. 15 Adapun mahar menurut para madzhab diantaranya yaitu: Madzhab Hanafi ialah mahar sebagai sesuatu yang didapatkan seseorang perempuan akibat akad pernikahan atau persetubuhan. Sedangkan mahar menurut Mazhab Maliki yaitu sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya dan Mazhab Syafi‟i mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang diwajibkan sebab pernikahan atau persetubuhan, atau lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi, begitu juga mahar menurut Mazhab Hambali mendefinisikan mahar sebagai pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua belah pihak atau hakim. 16 Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual-beli, akan tetapi mahar merupakan lambang penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang kewajiban tanggung jawab suami memberi nafkah kepada istri, selain lambang cinta kasih sayang suami terhadap istri, sebaga imana dikemukakan ulama Syafi‟iyah. 17 15 Syaikh Muhammad Amin al-Kurdiy, Tanwir al-Qulub, Beirut: Dar al-Kutub al- „Ilmiyah, 1995, h. 384. 16 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Damaskus: Darul Fikir, 2007, h. 230. 17 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 124. Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad sebagaimana halnya dalam jual-beli, tetapi merupakan salah satukonsekuensi adanya akad. Akad nikah boleh dilakukan tanpa menyebut mahar. Mengenai jumlah rukun nikah para Imam Madzhab berbeda pendapat dalam membentuknya. Imam malik mengatakan rukun nikah itu ada lima macam diantaranya adalah : 1. Wali dari pihak perempuan. 2. Mahar maskawin 3. Calon pengantin laki-laki. 4. Calon pengantin perempuan. 5. Sighat akad nikah. Imam Syafi‟i juga menyebutkan lima rukun pernikahan ada lima, yaitu: 1. Calon pengantin laki-laki. 2. Calon pengantin perempuan. 3. Wali. 4. Dua orang saksi. 5. Sighat akad nikah. Menurut Abd. Rahman Ghazali madhzab Hanafiyah menyebutkan rukun pernikahan hanya ada ijab dan qabul akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki. Sedangkan menurut segolongan ulama yang lain menyebutkan rukun dari pernikahan ada empat yaitu: 18 1. Sighat ijab dan qabul. 18 Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenanda Media, 2003, h. 48. 2. Calon pengantin perempuan. 3. Calon pengantin laki-laki. 4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan. Para Imam madzhab berbeda pendapat mengenai redaksi mahar akan tetapi maksud dan tujuannya tetap sama. Diantara mereka yang berbeda pendapat ialah: a. Golongan Syafi‟iyah berpendapat bahwa mahar adalah 19 ءطو وأ حاكنب بجو ام وهو artinya: ‘’ Sesuatu yang wajib diberikan sebab adanya pernikahan atau jima’ ‘’. b. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah 20 جوزلا ىلع حاكنلا دقع ي بج لاما وه رهماو دقعلاب وأ ةيمستلاب امإ ،عضبلا عفانم ةلباقم ي Artinya : ‘’Mahar adalah sejumlah harta yang diwajibkan kepada suami dalam suatu akad nikah sebagai imbalan halalnya jima, baik dengan sebab penyebutan mahar atau ka rena adannya akad’’. c. Golongan Malikiyah berpendapat bahwa mahar adalah 21 رهما اَِِ ِعاَتْمِتْس ِإا ِِْْظَن ِْي ِةَجْوّزلِلا ُلَعُْج اَم َوُه Artinya: ‘’Mahar adalah sesuatu yang di berikan kepada isteri sebagai ganti imbalan dari istimt a’ atau bersenag-senang dengannya’’ d. Golongan Hanabilah mengenai mahar adalah menurut golongan Hanabilah mahar terbagi menjadi 2 jenis atau bentuk, yaitu pertama mahar yang disebutkan didalam akad nikah atau yang diwajibkan setelah akad nikah. Mahar yang disebutkan atau ditetapkan pada waktu pemberlakuan akad nikah disebut mahar musamma. Dan yang kedua mahar yang tidak disebutkan 19 Syekh Ahmad Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Mabari Al-Malibari Al-Fannan, Fathul Muin Bisyarhi Qurrotil Ain Bimuhimmatiddin, cet. Ke-1 Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2004, h. 485. 20 Al-Babarty Hasyiyah al-Mufti Asy- Syahir bin Sa‟ied al-Halbi, Al-inayah Syarhul Hidayah, jilid 3 Beirut: Darul Fikri, t.th, h. 316. 21 Ibnu Humam, Syarh Fath al-QadirJuz III, Beirut: Darul Kutub al- „Ilmiyah,t.th, h. 304. didalam akad nikah, mahar tersebut disebut dengan mahar mitsil. Jika tidak menyebutkan mahar di dalam akad nikah maka pernikhannya tetap sah. Adapun mengenai status hukum mahar para fuqaha sependapat bahwa mahar itu termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan, dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya. 22 Sedangkan menurut Wahbah Zuhayliy mahar bukanlah rukun dan syarat syahnya dari sebuah pernikahan, melainkan hanya akibat dari adanya akad nikah sehingga jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah maka hukum perkawinannya adalah sah. 23 Akibat hukum dari perkawinan yang akad nikahnya tanpa menyebutkan mahar adalah jika terjadi perceraian, maka isteri berhak atas hak- hak mereka seperti hak nafkah „iddah, muth‟ah, hak pembagian harta bersama, hak hadhanah atas anak yang belum muayyiz dan hak waris jika perceraian itu disebabkan karena suami meninggal dunia. 24 Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Amin al-Kurdiy yang menyatakan bahwa akad tanpa menyebutkan mahar adalah sah namun dibenci makruh. 25 Imam Syafi‟i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi‟in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. 26 Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik. Segolongan fuqaha mewajibkan penentuan batas terendahnya, tetapi kemudian mereka berselisih dalam dua pendapat. Pendapat pertama dikemukakan oleh Imam 22 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II Jakarta: Pustaka Amani, 2007, h. 432. 23 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Damaskus: Darul Fikir, 2007, h. 6761. 24 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 136. 25 Syaikh Muhammad Amin al-Kurdiy, Tanwir al-Qulub, Beirut: Dar al-Kutub al- „Ilmiyah, 1995, h. 385. 26 Abdul Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1993, 340. Malik dan para pengikutnya. Imam Malik berpendapat bahwa sedikit-dikitnya mahar adalah seperempat dinar emas atau perak seberat 3 dirham timbangan atau barang yang sebanding dengan 3 dirham tersebut. Sedangkan pendapat kedua dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya batas minimal mahar sebanyak 10 Dirham. Ulama Hanafiyah beralasan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ad- Daruquthni dan Baihaqi sebagai berikut: نع َ و ءايلوِا َإ نهجوزي َو اؤفك َإ ءاسنلا حكني َ :م.ص ها لوسر لاق ,لاق هنع ها يضر ها دبع نب رباج مهارد ةرشع نود رهم Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: ‘’ketahuilah, wanita itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak boleh mengawinkan mereka wanita kecuali dengan lakilaki yang sekufu‟dengannya, dan tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh dirham.HR. Daruquthni dan Baihaqi. 27 Hadis di atas menjelaskan bahwa batas minimal mahar adalah sepuluh dirham.Kurang dari itu dianggap tidak ada mahar atau pernikahan itu tidak sah.Adapun dalil qiyas yang dikemukakan oleh mazhab Hanafiyah adalah dengan mengqiyaskan batas minimal maharkepada nishab potong tangan dalam pencurian, karena masing- masing merupakan ketentuan syara‟ yang menghalalkan anggota tubuh. Menurut mereka nishab pencurian yang mewajibkan potong tangan adalah sepuluh dirham. Maka itulah yang bisa menghalalkan kehormatan wanita. Hadis ini menjelaskan penetapan bahwa syarat mahar menurut ukuran yang benar secara syara‟ adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan nash-nash yang lain yang menunjukkan persyaratan kewajiban melakukan, atau sahnya suatu akad atau segala sesuatu yang disyaratkan. 28 27 Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi al-Kubro, Makkah: Dar al-Bazh, Juz VII, h. 240. 28 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, cet. Ke-2 Semarang: Toha Putra Group, 2014, h. 178. Adapun mahar menurut Kompilasi Hukum Islam KHI pada pasal 1 huruf d disebutkan: „‟Pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik dalam berbentuk barang, uang, maupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam‟‟. Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa mahar merupakan pemberian wajib yang penuh kerelaan dari suami sebagai simbol penghormatan kepada istri dikarenakan adanya ikatan perkawinan, dengan mahar tersebut suami menunjukkan kesungguh-sungguhannya atas kerelaan dan cita-cita untuk membina rumah tangga bersama istrinya. Pengaturan mahar dalam KHI bertujuan: 29 a. Untuk menertibkan masalah mahar. b. Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan “rukun nikah”. c. Menetapkan etika mahar atas asas “kesederhanaan dan kemudahan”, bukan didasarkan atas asas prinsip ekonomi, status, dan gengsi. d. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan dan persepsi yang sama dikalangan masyarakat dan aparat penegak hukum. Mahar menurut Abdul Shomad adalah : 30 a. Pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib. b. Sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam rangka akad perkawinan kedua mempelai, sebagai lambang kecintaan 29 Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 40. 30 Abd. Shomad, Hukum Islam Penoromaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Group, 2010, h. 229. calon suami terhadap calon isteri serta kesedian calon isteri untuk menjadi isterinya. Adapun menurut Tihami dan Sohari Sahrani dalam bukunya yang berjudul Fiqih Munakahat yang menjelaskan tentang syarat-syarat mahar dengan maksud yang serupa sebagai berikut: 31 1. Harta berharga, tidak sah mahar dengan barang dan harta yang tidak berharga meskipun tidak ada penentuan banyaknya mahar, sesuatu yang bernilai tetap sah disebut mahar. 2. Barangnya suci serta dapat diambil manfaat, tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga. 3. Barang yang dijadikan mahar bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa izinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena bermaksud akan mengembalikannya kelak. 4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya, tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan jenisnya. Al- Qur‟an tidak menentukan jenis mahar harus berupa sebuah benda atau jasa tertentu yang harus dibayarkan seorang suami terhadap istrinya. Jawwad Mugniyah menjelaskan bahwa jenis mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya asalkan mahar tersebut 31 M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 39-40. adalah barang yang halal dan dinilai berharga. 32 Adapun Syarat yang harus dipenuhi ketika mahar berbentuk barang adalah : 33 a. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya. b. Barang itu miliknya sendiri secara penuh dalam arti dimiliki zatnya dan juga manfaatnya. c. Barang itu memenuhi syarat untuk diperjual-belikan dalam arti barang yang tidak boleh diperjual-belikan tidak diperbolehkan dijadikan mahar. d. Mahar dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan, dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada waktu diperlukan. Mahar itu merupakan pemberian pertama dari seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akantimbul beberapa kewajiban materil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materil berikutnya. Diberlakunya mahar di dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam antara lain: 34 a. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, karena keduanya saling membutuhkan. b. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian. 32 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Penerbit Lentera, 2007, h. 365. 33 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, h. 95. 34 Amir Nuruddin Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, h. 66. c. Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istrinya sesukanya. d. Untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami istri. 35 e. Menunujukkan pentingnya dan posisi akad serta menghargai dan memuliakan perempuan. 36 Mahar sebagai kewajiban laki-laki bukan perempuan, selaras dengan prinsip syariat bahwa seorang perempuan sama sekali tidak dibebankan kewajiban nafkah, baik sebagai ibu, anak perempuan, ataupun seorang istri. Sesungguhnya yang dibebankan untuk memberi nafkah adalah orang laki-laki, baik yang berupa mahar maupun nafkah kehidupan, dan yang selainnya karena orang laki-laki lebih mampu untuk berusaha dan mencari rizeki.

B. Mahar dalam Tradisi Arab

Sistem pernikahan yang berlaku pada bangsa Arab adalah sistem pernikahan endogami.Dimana sistem pernikahan tersebut memiliki aturan khusus yang harus dipatuhi oleh masyrakat karena hal tersebut sudah menjadi suatu kebiasaan yang telah dijalankan dari dulu hingga kini, sperti hal nya mengawini sesama golongan Arab, hingga pada pemberian mahar. 37 Kalau dahulu mahar dibayarkan kepada orang tua ayah calon istri sekarang mahar tersebut diperuntukkan calon istri.Salah satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. 35 Nurjannah, Mahar Pernikahan, Yogyakarta: Prima Shopi, 2003, h. 55-56. 36 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Damaskus: Darul Fikir, 2007, h. 232. 37 Soepomo, Sejarah Politik Hukum Adat Jilid II, Jakarta: Pradya Pramita, 2001, h. 53. Praktik ednogami dan kekerabatan ini masih dipertahankan oleh banyak masyarakat dunia, seperti Kuwait, Jordan, Lebanono, Al-Jazair, Mesir, dan masih banyak negara lainnya yang memperaktikan perkawinan ednogami maupun sesama etnis. 38 Di negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Somalia dan lain-lain calon pengantin laki-laki harus menyediakan dana minimal Rp 500.000.000,- atau setengah miliyar untuk perkawinannya. Uang sebanyak itu di pergunakan untuk biaya mahar, biaya perkawinan yang di tanggung oleh pihak penngantin laki-laki, biaya rumah biaya mobil serta biaya bulan madu. Di sebagian masyarakat Arab , semakin tinggi mahar semakin bangga mereka karena itu seakan sebagai bukti bahwa anak perempuan mereka mendapat calon suami yang status sosialnya tinggi. Tradisi tersebut dikarenakan masih banyak hal yang bergantung pada hubungan keluarga, isolasi geografi, maupun startifikasi sosial, dan budaya dengan alasan yang fundamental dari beberapa alasan tersebut disebabkan oleh faktor ekonomi. 39 Di beberapa negara Arab, antara lain Arab Saudi, mahar menjadi mahal karena dikaitkan juga dengan status sosial wanita. Semakin tinggi status sosial, misalnya keluarga kerajaan, bisa jadi maharnya mencapai 1 juta Riyal atau Rp 3 milyar, atau bahkanlebih. Tetapi, mahar untuk kebanyakan masyarakat di Arab Saudi antara 1.000 Riyal sekitar Rp 3 juta dan 10.000 Riyal atau sekitar Rp 30 juta. Karena itu angka perkawinan di beberapa negara Arab, termasuk Arab Saudi sangat kecil karena 38 Ar- Rifa‟i, Muhammad Talal, dan Robert C. Woody, Marriage Patterns and Pediadnic Neurologic Disease in Damascus , Scince II Syiri‟a: Pakistan Journal, 2007. 39 Sari, Badr-Eddine, Mourad Aribi, Badia Sari, Effect of Enogamy and Consanguinity on The Development Labial Venous Malformations in area of tlemcen Wes Algeria The Oppen genomics Journal, 2008. keharusan bagi calon mempelai laki-laki untuk memenuhi mahar yang tinggi, meskipun kini banyak lembaga sosial yang membantu perkawinan lajang, baik dengan pinjaman dengan angsuran tanpa bunga atau sedekah dari kalangan berduit. 40 Di Somalia besaran mahar yang harus disiapkan oleh mempelai pria adalah sebesar 1.000 Shilling Somalia atau besaran nilai lain yang dianggap layak. Jika ia tidak sanggup membayar, maka dengan kesepakatan kedua belah pihak, mahar tersebut dapat dihutangkan. 41 Namun demikian, kedua mempelai dapat bersama-sama menanggung biaya yang dikeluarkan dalam mencukupi besaran mahar sesuai dengan Undang-undang, hal tersebut terkait dengan kemampuan mempelai pria dalam ketidak sanggupannya memenuhi tuntutan mahar yang telah ditentukan pemerintah. 42 40 https:musallamudassir.wordpress.com20091027ketentuan-mahar-mitsil diakses pada tanggal 21 Agustus 2016, 19.56 Wib. 41 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, N. M Tripathi PVT. LTD, Bombay, 1972, h. 258. The Family Code of Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 24. 42 Tahir Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Muslim World, N. M Tripathi PVT. LTD, Bombay, 1972, h. 259. The Family Code of Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 28. 38

BAB III HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN PAKISTAN

A. Profile Islam Indonesia dan Pakistan

1. Profile Islam Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.Negara ini memiliki letak geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada diantara dua samudera samudra Hindia dan samudra Pasifik dan dua benua benua Asia dan benua Australia. Indonesia juga memiliki perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan internasional. 1 Letak astronomis wilayah Indonesia yaitu 6°LU - 11°.08‟LS dan 95°BT – 141°.45‟BT. 2 Indonesia terdiri dari 360 suku bangsa, mereka mendiami pulau dan memiliki adat dan kebudayaannya sendiri. 3 Pada tangal 01 Juli 2015 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 255.461.700 jiwa. 4 Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, yaitu sekitar 89 dari seluruh penduduk Indonesia. 5 Sebagian besar muslim di Indonesia merupakan golongan sunni dengan mayoritas menganut mazhab Syafi‟i. Banyak teori yang mengemukakan bahwa masyarakat muslim di Indonesia bermazhab Syafi‟i. Agama Islam telah ada dan sangat berkembang pesat di dalam masyarakat Indonesia sejak dulu melalaui aktifitas dakwah oleh para pengemban atau aktifis dakwah, salah satu agama yang telah ada 1 M. Thayeb, Pengetahuan Sosial Terapdu untuk kelas SD kelas V, Jakarta: Erlangga, 2004, h. 8. 2 Arsyad Umar, Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SD kelas IV, Jakarta: Erlangga, 2007, h. 10. 3 http:www.anneahira.comsuku-suku-bangsa-di-indonesia.htm diakses pada tanggal Selasa09 Agustus 2016 pukul 13.00 Wib. 4 http:id.m.wikipwdia.orgwiki Daftar_negara_menurut_jumlah_penduduk, diakses pada tanggal Selasa 09 Agustus 2016, pukul 20.00 Wib. 5 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 125.