Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

ini tidak memelihara gajah, akan tetapi gading gajah sudah menjadi mahar dalam suatu perkawinan sejak ratusan tahun lalu. Dalam masyarakat Lamaholot ukuran atau jumlah mahar dalam pernikahan atau biasa disebut dengan belis yang berupa gading gajah tergantung pada status sosial gadis atau calon mempelai perempuan yang akan dipinang. 11 Perkawinan dalam pandangan masyarakat adat yaitu bertujuan untuk membangun, membina, memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun dan damai. Hal tersebut disebabkan oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat yang berkaitan dengan tujuan perkawinan tersebut serta berkaitan dengan kehormatan keluarga dan kerabat dalam masyarakat. Maka proses pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan tatatertib adat agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang akan berdampak kepada martabat bahkan kepada kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan. 12 Di dalam Kompilasi Hukum Islam membahas mengenai rukun dan syarat perkawinan dimana pada bab ini menegaskan bahwa mahar tidak menjadi rukun dalam sebuah perkawinan. Kemudian ditetapkan mengenai asas mahar yaitu sederhana dan mudah. Serta ditegaskan pula kepemilikan mahar yaitu menjadi hak isteri. Dan prinsip penyerahan mahar diantaranya dapat berupa tunai dan ada kemungkinan ditangguhkan. Demikian juga mahar boleh dalam penyerahan lunas maupun sebagian. 13 11 Kornelis Kewa Ama, Mahar Kawin yang Membebani Keluarga, dari http:lipus.kompas.comjejakaperadabannttread2010121008361911 , artikel diakses pada 28 April 2016, jam 13.45 WIB . 12 Tolib Setiadi, Intisari Hukum Adat Indoniesa, dalam kajian kepustakaan, Bandung: Alfabeta, 2013, h. 222. 13 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonsia, Jakarta: CV Akademia Pressindo, 2010, h. 113-121. Pengaturan mahar didalam KHI bertujuan untuk: 14 1. Menertibkan masalah mahar. 2. Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan merupakan “rukun nikah”. 3. Menetapkan etika mahar atas asas “kesederhanaan dan kemudahan‟‟ bukan didasarkan atas asas prinsip ekonomi, status, dan gengsi. 4. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan dan persepsi yang sama dikalangan masyarakat dan aparat penegak hukum. Mahar yang diberikan kepada calon isteri haruslah memenuhi syarat-syarat diantaranya: 15 1. Barang yang diberikan sebagai mahar ialah harta berharga. 2. Barangnya suci serta dapat diambil manfaatnya. 3. Bukan barang ghasab. 4. Bukan merupakan barang yang tidak jelas keberadaannya. Mahar di dalam perundang-undangan Indonesia berdasarkan dengan asas kesederhanaan dan kemudahan hal tersebut sangat berkesinambungan terhadap mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Pada hakikatnya mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia yaitu mazhab Syafi‟i. Dalam menentukan batas minimal mengenai mahar Imam Syafi‟i berpendapat bahwa mahar tidak ada batas rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu 14 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 40. 15 Tihami dan Sohari, Fiqih Munakahat, Kajian Fiqih Nikah Lengkap, Jakarta: RajaWali Pers, 2009, h. 39-40. yang lain dapat dijadikan sebagai mahar. 16 Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik. Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual beli, akan tetapi mahar sebagai lambang penghormatan kepada perempuan sekaligus mahar sebagai lambang kewajiban tanggung jawab suami untuk memberi nafkah kepada isteri, selain lambang cinta dan kasih sayang suami terhadap isteri. Sebagaimana dikemukakan oleh ulama Syafi‟i. 17 Pelaksanaan pembaharuan hukum keluarga di Pakistan tidak menggunakan aturan-aturan legislasi modern, akan tetapi hanya berpegang pada konsep tradisional. 18 Proses reformasi di Pakistan dalam rangka penyusunan hukum keluarga muslim yang baru, dimulai sejak tahun 1955. Dalam hal ini Pemerintah Pakistan membentuk suatu komisi yang terdiri atas tujuh anggota yang semuanya merupakan ahli agama. Komisi ini bertugas mensurvei masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan dan hukum keluarga dengan tujuan merekomendasikan posisi kaum perempuan dimasyarakat sesuai dengan dasar-dasar Islam. Pada tahun 1956 pemerintah Pakistan mengumumkan bahwa pada tahun yang akan datang tidak akan ada hukum yang diberlakukan bertentangan dengan syari‟at. Undang-undang yang sudah berlaku akan ditinjau ulang serta direvisi sesuai dengan pemerintah tersebut. 16 Abdul Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1993, h. 340. 17 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Perawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010 h. 124. 18 Samir Fuady, Peran Urf dalam Formalisasi Hukum Peminangan di Malaysia dan Pakistan menurut Tinjauan Dalil al- Qur’an dan Sunnah dalam Jurnal Al-Mu’ashirah, vol. 10, No. 1, Januari 2013, Pasca Sarjana UIN Jakarta 2013 , h. 83. Peraturan perundang-undangan di Pakistan memang tidak dijumpai istilah musyawarah. Tetapi, prinsip demokrasi yang tercantum dalam undang-undang tersebut harus dipahami tidak lain adalah sistem demokrasi Islam yang menggunakan prinsip-prinsip musyawarah sebagai tolak ukurnya. Asumsi ini didasarkan pada rumusan yang tercantum dalam pembukuan Undang-undang Pakistan dan dalam beberapa pasal tertentu bahwa kekuasaan dankewenangan negara harus diselenggarakan menurut ajaran agama Islam dan tuntutan Islam sebagaimana yang tercantum di dalam Alquran dan Sunnah. Salah satu prinsip pokok dalam pengaturan negara menurut Alquran dan seperti yang telah dicontohkan oleh nabi ialah musyawarah yang berbeda dengan sistem demokrasi barat.Karena itu, pengertian demokrasi bagi Pakistan adalah sistem demokrasi yang sesuai dengan Islam. 19 Laporan dan rekomendasi Komisi Tujuh Muslim Family Laws Odonance MFLO pada tahun 1961 secra resmi diumumkan. 20 MFLO pada tahun 1961 ini berisi mengenai peraturan tentang pencatatan perkawinan, poligami, percerian, nafkah biaya hidup, mahar, hak waris bagi cucu, dan batas usia perkawinan untuk pembatasan maksimal. Selain itu terdapat keharusan bagi wali untuk melaporkan kepada pegawai pencatatan pernikahan mengenai biaya pernikahan dalam waktu 15 hari setelah pelaksanaan akad nikah. Adapun sanksi pidana juga akan diberikan kepada para pihak yang melanggar ketentuan di dalam Undang-undang tersebut, dalam hal ini Pakistan merupakan negara yang berani memberikan sanksi pidana dalam masalah mahar. 19 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, cet. Ke -1, Bogor: Kencana , 2003, h.234. 20 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, Bombay: N.M. Tripathi PVT, 1970. h. 248. Undang-undang yang berlaku di Pakistan mengenai mahar diatur dalam Dowry and Bridal Gifts Restriction act 1976 yang diatur di dalam pasal 2 sampai dengan pasal 5, dimana pasal 2 menjelaskan mengenai definisi mahar, pasal 3 mengatur mengenai pembatasan maksimal mahar, hadiah, dan hadiah pengantin. Pada pasal 3 tepatnya ayat 1 menetapkan jumlah maksimal mahar 5000 Rupee atau setara dengan Rp980.055,94. 21 Serta dalam pasal 4 mengatur mengenai hadiah atau kado yang boleh diberikan tidak boleh lebih dari 100 Rupee atau setara denganRp 19.601,12. 22 Dan dalam pasal 5 perundang-undangan Pakistan menyebutkan bahwa semua yang diberikan sebagai mahar, pemberian yang berkaitan dengan pernikahan atau hadiah maupun kado yang diberikan menjadi hak penuh milik istri. Dan pasal 9 menetapkan bahwa seseorang yang melanggar aturan yang ada dalam Undang-undang ini dapat dihukum dengan hukuman maksimal 6 bulan. 23 Di dalam melihat posisi mengenai mahar di Pakistan aspek yang sangat menonjol dalam perundang-undangan menegenai mahar yaitu dari segi jumlah yang ditetapkan oleh Undang-undang tersebut dimana hal tersebut saling berterkaitan dengan mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduk Pakistan. Seperti yang sudah diuraikan diatas dimana mayoritas penduduk Pakistan bermazhab Hanafi. Di dalam kitab Ushul Fiqih yang di tulis oleh Abdul Wahab Kallaf mendeskripsikan mengenai ukuran minimal mahar dalam pandangan Imam Abu Hanifah yaitu sebanyak 10 Dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karena itu diwajibkan mahar mitsil. Dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian 21 http:in.coinmill.comIDR_INR.htmlINR=100 , translate mata uang Pakistan Rupee ke Indonesia Rupiah, diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB. 22 http:in.coinmill.comIDR_INR.htmlINR=100 , translate mata uang Pakistan Rupee ke indonesia Rupiah, diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB. 23 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,Bombay: N. M. Tripathi PVT, 1970, h. 249-251. yang mewajibkan had terhadap pencurinya. Ulama Hanafiyah beralasan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan Baihaqi sebagai berikut: ةرشع نود رهم َ و ءايلوِا َإ نهجوزي َو اؤفك َإ ءاسنلا حكني َ :م.ص ها لوسر لاق ,لاق هنع ها يضر ها دبع نب رباج نع مهارد Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: ‘’ketahuilah, wanita itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak boleh mengawinkan mereka wanita kecuali dengan lakilaki yang sekufu‟dengannya, dan tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh dirham. HR. Daruquthni dan Baihaqi. 24 Hadits tersebut menjelaskan penetapan bahwa syarat mahar menurut ukuran yang benar secara syara‟ adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan nash-nash yang lain yang menunjukan persyaratan kewajiban melakukan, atau sahnya suatu akad atau lainnya. 25 Perbedaan yang terlihat dari beberapa ketentuan yang berlaku di kedua negara tersebut adalah di dalam menentukan jumlah mahar. Pakistan mencantumkan dalam aturan yang berlaku bahwa maksimal mahar adalah 5000 Rupee atau setara dengan Rp980.055,94. 26 Bahkan sampai kepada kado atau hadiah yang boleh diberikan kepada pengantin tidak boleh lebih dari 100 Rupee atau setara dengan Rp 19.601,12. 27 Dengan begitu sanksi pidana juga akan diberlakukan kepada para pihak yang 24 Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi al-Kubro, Juz VII Makkah: Dar al-Bazh, h. 240. 25 Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-2 Semarang: Toha Putra Group, 20014, h. 178. 26 http:in.coinmill.comIDR_INR.htmlINR=100 , translate mata uang Pakistan Rupee ke Indonesia, diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB. 27 http:in.coinmill.comIDR_INR.htmlINR=100 , translate mata uang Pakistan Rupee ke Indonesia Rupiah, diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB. melanggar ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam hal ini Pakistan merupakan negara yang lebih berani memberikan sanksi pidana dalam masalah mahar. Dilihat dari pembahasan di atas, hukum perkawinan dan perceraian dalam undang-undang hukum keluarga Pakistan dan Indonesia tidak bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam sebagaimana yang secara liberal ditafsirkan oleh ahli hukum. 28 Pernyataan tersebut menunjukan suatu fenomena yang sangat menarik untuk dikaji. Baik itu hal-hal yang terkait dengan paham keagamaan mazhab, maupun hal- hal yang terkait dengan politik atau regulasi yang diatur oleh kedua negara tersebut. Karena itu hal ini menjadi perhatian penting untuk di kaji. Oleh sebab itu hal ini sangat menarik untuk di kaji dengan melihat bagaimana perbedaan mahar di kedua negara tersebut yang di pengaruhi oleh letak geografis, tradisi, maupun paham keagamaan mazhab yang dianut oleh kedua negara tersebut. Maka dari itu peneliti mengangkat judul tentang “Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan di Negara Indonesia dan Pakistan ”.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian Latar Belakang Masalah diatas, maka penulis mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan yag berkaitan dengan kedudukan mahar pernikahan, yaitu : 1. Bagaimana ketentuan mahar dalam perundang-undangan di Pakistan dan Indonesia? 28 Muhammad Zumroni, Sumber Hukum dan Konstitusional Undang-Undang: Perbanding Indonesia dengan beberapa negara muslim Pakistan, Mesir, dan Iran fakultas syariah dan hukum prodi Jinayah Syiasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 78. 2. Apakah ada pengaruh dualisme aliran mazhab yang membedakan hukum mengenai mahar di kedua negara tersebut? 3. Bagaimana perbandingan ketentuan mahar pada Kompilasi Hukum Islam di negara muslim? 4. Siapa saja yang berhak terhadap pemberian mahar tersebut? 5. Bagaimana tradisi mahar pada setiap daerah di Indonesia dan Pakistan terhadap sistem mahar dan perkawinan? 6. Apa saja jenis perceraian yang diakibatkan dengan pengembalian mahar? 7. Kapan berlakunya kewajiban mengenai mahar di Indonesia dan Pakistan? Dalam studi ini penulis hanya memfokuskan kepada jumlah dan kedudukan mahar di Indonesia dan Pakistan.

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka penulis membatasi masalah pada pokok pembahasan yaitu : a. Ketentuan mahar yang ditetapkan di dalam undang-undang Pakistan mengenai mahar telah diatur dan ditetapkan di dalam Undang-undang tersebut. b. Ketentuan mahar yang ditetapkan di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam perundang-undangan Indonesia bahwa mahar berasaskan kesederhanaan dan kemudahan bukan berdasarkan jumlah. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diketahui bahwa permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep mahar dalam Fiqih? 2. Bagaimana perbedaan konsep mahar dalam Kompilasi Hukum Islam KHI Indonesia dengan Undang-undang Pakistan? 3. Bagaimana posisi mazhab fiqih dalam konteks praktek mahar di Indonesia dan Pakistan ?

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat

1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan berdasarkan Rumusan Masalah di dalam penulisan skripsi ini diantaranya yaitu: 1. Untuk mengetahui mahar menurut hukum Islam 2. Untuk mengetahui pengaruh mazhab didalam hukum keluarga di Indonesia dan Pakistan. 3. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan mengenai ketentuan mengenai mahar yang diatur di dalam perudang-undangan Indonesia dan Pakistan. 2. Manfaat Penelitian a. Secara Praktis Memberikan informasi yang mendalam mengenai perbandingan Undang-undang mengenai mahar pada hukum keluarga di negara Islam mengenai penetapan mahar. b. Secara Akademis Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu karya tulis ilmiah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya dibindang ilmu hukum keluarga.

E. Review Studi Terdahulu

Kajian studi terdahulu disajikan dalam bentuk table. NO Studi Terdahulu Objek Kajian Perbedaan 1 HUKUM KELUARGA DI PAKISTAN ANTARA ISLAMISASIDANTEKANAN ADAT Artikel : M. Atho Mudhzar Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta, 01 Juni 2014. Artikel tersebut membahas mengenai Islamisasi hukum keluarga di Pakistan yang dengan objek pembahasan mengenai batas minimal usia pernikahan, pencatatan perkawinan, pembatasan nilai mahar, proses perceraian, poligami, hak nafkah istri dan waris. Yang membedakan artikel tersebut dengan objek penulis dalam skripsi ini yaitu penulis hanya memfokuskan kepada penetapan mahar di Indonesia dan jumlah mahar di Pakistan dengan membandingkan Undang-undang yang terkait dengan kedua negara tersebut dan mengurai mengenai perbedaan mazhab yang dianut oleh kedua negara tersebut didalam