59
Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih popular disebut SBKRI, yang utamanya
ditujukan kepada warga negara Indonesia WNI etnis Tionghoa beserta keturunan- keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan
SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang “masih dipertanyakan”.
Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.
Setelah negara
Indonesia terbentuk, maka
otomatis orang Tionghoa
yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam
lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D. Motivasi Pengangkatan Anak dalam Masyarakat Etnis Tionghoa
Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini masyarakat etnis Tionghoa kehadiran seorang anak merupakan pelengkap dari suatu keluarga. Apabila dalam
sebuah keluarga telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam keluarga tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun
perkembangan dalam lingkungan sosialnya. Tujuan membentuk suatu keluarga adalah melanjutkan keturunan merupakan
hak dari setiap orang. Konsekuensi dari adanya suatu hak adalah timbulnya suatu kewajiban, yakni kewajiban antara suami isteri dan kewajiban antara orang tua dan
Universitas Sumatera Utara
60
anak. Bagi setiap keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling diharapkan kehadirannya karena dengan hadirnya seorang anak akan melengkapi kebahagiaan
sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga.
Kehadiran seorang anak dalam keluarga anak tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan,
tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia. Oleh karenanya, rasanya kurang lengkaplah sebuah keluarga tanpa
kehadiran seorang anak. Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini etnis Tionghoa tanpa kehadiran
seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Akan tetapi, karena berbagai hal keinginan memperoleh anak
dalam perkawinan tidak dapat diwujudkan oleh pasangan suami isteri sehingga menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, kemudian dilakukan dengan cara
mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut.
65
Cara memperoleh anak dengan mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam
anggota keluarganya dikenal dengan pengangkatan anak yang merupakan objek penelitian ini.
65
Dessy Balaati, Prosedur Dan Penetapan Anak Angkat Di Indonesia, Lex Privatum,
Vol.INo.1Jan-Mrt2013 , hal 138.
Universitas Sumatera Utara
61
Pada mulanya pengangkatan anak akan dilakukan semata–mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak
mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Tetapi dalam perkembangannya kemudian
sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak lebih ditujukan demi kesejahteraan anak.
Di dalam masyarakat hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah
generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak
adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama. Namun demikian, di dalam KUHPerdata Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata KUHPerdata tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam bab XII bagian ke III
Pasal 280 sampai Pasal 290 KUHPerdata. lembaga pengangkatan anak merupakan bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat, maka pemerintah Hindia Belanda
berusaha untuk membuat suatu aturan tersendiri tentang adopsi tersebut, maka dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917,
yang semua hanya mengatur tentang pengangkatan anak khusus bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa saja, tetapi dalam perkembangannya ternyata banyak
masyarakat yang ikut menundukkan diri pada Staatsblad tersebut.
Universitas Sumatera Utara
62
Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 S.1917:129 khususnya Pasal 5 sampai dengan pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan
Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengatur hukum adat yang mengatur mengenai pengangkatan anak adopsi.
Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi
adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan
anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti
misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kekeluargaan.
Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari keluarga lain, yang tampak dari dipakainya
nama keluarga yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama keluarga lain. Selain itu,
kebanyakan dari masyarakat Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat orang lain. Kecuali apabila keluarga merasa tidak mampu lagi memberikan nafkah untuk
kebutuhan anak-anaknya.
66
66
Sumiati Usman, Kedudukan Hukum Anak Angkat Terhadap Hak Waris, Lex Privatum,
Vol.INo.4Oktober2013, hal 136.
Universitas Sumatera Utara
63
Apabila ditelaah ketentuan pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yaitu pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa dalam sistem
hukum di Indonesia. Dalam ketentuan Staatsblad 1917 No. 129 tampak bahwa peraturan itu menghendaki agar setiap pengangkatan anak memenuhi persyaratan
tertentu yang
bersifat memaksa
Compulsory, sehingga
tidak dipenuhinya persyaratan dimaksud akan mengakibatkan batalnya pengangkatan itu. Ordonansi
dalam stbl.1917 No.129 mengatur tentang pengangkatan anak pada Bab II yang berkepala “Van adoptie”.
Bab II ini terdiri dari 11 pasal, yaitu dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 sebagai berikut :
1. Yang dapat mengangkat anak adalah : suami, istri, janda, atau duda Pasal 5.
2. Yang dapat diangkat anak, ialah : hanya orang Tionghoa laki-laki yang tidak
beristri dan tidak beranak dan yang belum diadopsi oleh orang lain Pasal 6. 3.
Yang diadopsi harus sekurang-kurangnya delapan belas tahun lebih muda dari suami dan sekurang-kurangnya lima belas tahun lebih muda dari istri atau janda
yang mengadopsinya Pasal 7 ayat 1. 4.
Adopsi hanya dapat dilakukan dengan Akta Notaris Pasal 10 ayat 1. 5.
Anak adopsi demi hukum harus memakai nama keluarga orang tua angkatnya Pasal 11.
6. Adopsi menyebabkan putusnya hubungan hukum antara orang tua adopsi dengan
orang tua kandungnya Pasal 14.
Universitas Sumatera Utara
64
7. Adopsi terhadap anak perempuan dan adopsi dengan cara lain selain daripada
Akta Notaris adalah batal demi hukum Pasal 15 ayat 2.
67
Berdasarkan ketentuan dan uraian di atas, jelaslah bahwa pengangkatan anak adopsi bagi kalangan masyarakat Tionghoa, yang antara lain mengatur seorang laki-
laki beristri atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena
pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya pengangkatan anak tersebut harus dilakukan oleh seorang suami, bersama-
sama dengan istrinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri anak yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang
tidak beristri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain orang yang diangkat harus berumur paling sedikit 18 tahun lebih muda daripada suami dan
paling sedikitnya pula 15 tahun lebih muda daripada si istri atau si janda yang mengangkatnya.
Apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun yang keluarga luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang
kedua belah pihak bersama, harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, sebelum ia diangkat pengangkatan terhadap anak-anak
perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum. Ketentuan ini sebenarnya berangkat dari satu
67
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012, hal. 79
Universitas Sumatera Utara
65
kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak laki-laki itu dianggap sebagai penerus keturunan keluarga di kemudian hari. Di samping itu, anak laki-laki diyakini oleh
kepercayaan mereka sebagai yang dapat memelihara abu leluhur orang tuanya.
E. Syarat-syarat dan