Hukum Waris dalam Masyarakat Enis Tionghoa

88 Jika semua golongan ini tidak ada barulah mereka yang termasuk dalam golongan ke empat secara bertingkat berhak mewaris. Jika semua golongan ini sudah tidak ada, maka negaralah yang mewaris semua harta peninggalan pewaris. 86 Para ahli waris dalam garis lencang baik kebawah maupun ke atas, berhak atas suatu “legitieme portie”, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Dengan kata lain mereka itu tidak dapat “onterfd”. Hak atas legitieme portie, barulah timbul bila seseorang dalam keadaan sungguh-sungguh tampil ke muka sebagai ahli waris menurut Undang-undang. 87 Apabila para ahli waris menurut Undang-undang tersebut ternyata dikesampingkan onterfd, mereka mempunyai hak untuk menuntut atas hak waris tersebut. Vollmar mengatakan bahwa “mereka yang dapat mengemukakan hak untuk memperoleh bagian warisan menurut Undang-undang, yaitu yang disebut para legitimaris-mereka itu hanyalah para kerabat sedarah dalam garis lurus”. 88 Mengenai hak untuk menuntut secara hukum untuk memperoleh harta warisan dikenal dengan istilah asas Hereditatis Petitio yang diatur dalam ketentuan Pasal 834 dan 835 KUH Perdata.

B. Hukum Waris dalam Masyarakat Enis Tionghoa

Hukum warisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 131 IS Indische 86 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. hal 266. 87 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1995, hal.. 113. 88 Vollmar H.F.A., Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1992, hal. 418. Universitas Sumatera Utara 89 Staatsregeling. Golongan penduduk tersebut terdiri dari golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, golongan Timur Asing Tionghoa dan Non Tionghoa, dan golongan Bumi Putera. Pada masyarakat golongan Tionghoa diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW. Namun dalam kenyataannya tidak semua ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diikuti dan bahkan adakalanya dikesampingkan misalnya ketentuan tentang pewarisan sebagaimana diatur di dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebagai salah satu bagian dari keragaman suku bangsa, masyarakat Tionghoa mempunyai kebiasaan tersendiri yang sebagian besar berbeda dengan kebanyakan suku asli masyarakat Indonesia. Namun pada dasarnya sifat kekerabatan masyarakat Tionghoa sangat kental, untuk itu dalam kehidupan keseharian adat istiadat aslinya masih dilaksanakan, seperti perayaan Cap Go Meh, Imlek atau hari-hari besar lainnya. Keadaan ini juga terjadi dalam bidang Hukum Pewarisan pada masyarakat Tionghoa di Kota Surakarta. Meskipun sudah ditentukan dalam pembagian waris diberlakukan KUH Perdata. Namun dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat Tionghoa termasuk yang berdomisili di Kota Medan dan sekitranya lebih memilih pembagian harta warisan secara hukum adat. Seperti yang diketahui pembagian harta warisan dalam adat Tionghoa tradisional anak laki-laki lebih diutamakan daripada anak perempuan karena dulu masyarakat Tionghoa menganut sistem kekerabatan patrilineal. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam Universitas Sumatera Utara 90 pembagian waris antara kedudukan anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama tetapi prosesnya rumit. Masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Medan bertempat tinggal di pusat kota maupun di kawasan pinggiran di lingkungan masyarakat selalu ada kuil. Kuil ini biasanya memiliki bentuk yang khas dan unik karena kaya dengan ornamen dan ukiran khas Tionghoa. Adat istiadat masyarakat Tionghoa termasuk suku Hainan mayoritas masih mengikuti adat istiadat leluhurnya, terutama adat istiadat yang setiap tahun dirayakan misalnya tahun baru Imlek merupakan tahun baru tradisional orang Tionghoa berdasarkan sistem penanggalan bulan-bulan, kini di RRC disebut Pesta Musim Semi. 89 Selanjutnya mengenai hukum waris masyarakat Etnis Tionghoa berdasarkan ketentuan yang pernah berlaku di Indonesia Indische Staatsregeling IS, yaitu aturan Pemerintah Hindia Belanda yang disahkan berdasarkan Staatsblad 1925 nomor 415 dan 416 pada tanggal 23 Juni 1925 dan mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1926 berdasarkan Staatsblad 1925 nomor 557. Dalam IS ini ada dua pasal penting yang berkenaan dengan masalah sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS. Menurut Pasal 131 IS jo Pasal 163 IS terdapat penggolongan penduduk dan hukum yang diperlukan kepada masing-masing golongan tersebut yaitu : 1. Golongan Eropa yang berlaku Hukum Barat 2. Golongan Timur asing : 89 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Grafiti Pers, Jakarta, 1984, hal 170 Universitas Sumatera Utara 91 a. Tionghoa berlaku Hukum Barat b. Bukan Tionghoa berlaku Hukum Adat masing-masing 3. Golongan Pribumi berlaku Hukum Adat. Berdasarkan Pasal 131 IS jo. Pasal 163 IS tersebut, maka ada dua hukum perdata yang berlaku di Indonesia yaitu hukum perdata KUH Perdata sehingga mengakibatkan dualisme dalam lapangan hukum perdata. Dalam perkembangannya, adat Tionghoa khususnya dalam masyarakat Tionghoa suku Hainan di Kota Medan juga dipengaruhi pula oleh adat setempat, yaitu adat Batak dan Melayu Deli terlebih lagi karena Kota Medan merupakan salah satu pusat kebudayaan Batak dan Melayu Deli. Sehingga sistem kekerabatan masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara terutama di Kota Medan menjadi menganut garis keturunan bilateralparental, dimana kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama. Akibatnya kedudukan anak laki-laki tidak sedominan dulu sehingga jika hanya punya anak perempuan pun tidak menjadi masalah dan tidak perlu mengangkat anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Jika tidak punya anak maka bebas mengangkat anak laki-laki maupun anak perempuan. Perubahan sistem kekerabatan juga mengakibatkan perubahan dalam hal pembagian harta warisan menurut adat Tionghoa.

C. Kedudukan Anak Angkat Perempuan dalam Hukum Waris Bagi Warga Negara Indonesia Etnis Tionghoa

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

3 93 133

Kedudukan Perempuan Karo Dalam Memperoleh Harta Warisan (Studi Kasus Di Kota Medan)

5 62 133

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT ADAT OSING DI DESA OLEHSARI, KECAMATAN GLAGAH, KABUPATEN BANYUWANGI

0 4 17

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN ORANG TUA ANGKAT PERSPEKRIF HUKUM ADAT Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkat Perspekrif Hukum Adat (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Klaten).

0 2 18

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkat Perspekrif Hukum Adat (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Klaten).

1 4 12

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 49

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 31

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PEREMPUAN TERHADAP HARTA WARISAN DI KALANGAN ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN TESIS

0 0 16

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN TESIS

0 1 16

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN ANAK ANGKAT SEBAGAI AHLI WARIS DALAM PEMBAGIAN WARISAN ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

0 0 14