103
B. Akibat Hukum Dalam Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi, diantaranya untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak
memperoleh keturunan. Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak dapat mendapatkan keturunantidak mungkin melahirkan anak
dengan berbagai macam sebab, padahal mereka sangat mendambakan kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga yang dibinanya.
Atas dasar tujuan pengangkatan
anak, jelas terlihat bahwa motivasi
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Praktek pengangkatan anak yang dimotivasi untuk komersial perdagangan, komersial untuk pancingan dan kemudian setelah
pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau diterlantarkan, hal
tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu, pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan
pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat.
Berdasarkan hal tersebut jelas terlihat akibat hukum yang dikehendaki dari proses pengangkatan anak. Guna menjelaskan lebih jauh tentang akibat hukum dari
proses pengangkatan anak berikut penjelasan yang didasarkan pada tiga sistem hukum pengangkatan anak Adopsi.
Universitas Sumatera Utara
104
1. Adopsi dalam Hukum Barat BW
Dalam KUH Perdata, memang tidak ditemukan satu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat, yang ada hanya ketentuan tentang pengakuan anak
di luar nikah yang sama sama sekali hubungannya dengan masalah adopsi. Oleh karena itu, KUH Perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak, sehingga bagi
orang-orang Belanda sampai kini tidak dapat memungut anak secara sah.
100
Namun demikian, di Negara Belanda tetap saja pengangkatan anak diterima baik sebagai
suatu perbuatan mulia. Adopsi merupakan salah satu perbuatan manusia termasuk perbuatan perdata
yang merupakan bagian dalam Hukum Kekeluargaan, dengan demikian maka melibatkan persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan antar manusia,
sehingga lembaga adopsi ini akan mengikuti pekembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan. Dengan demikian, karena tuntutan
masyarakat walaupun dalam KUH Perdata, tidak mengaturnya sedangkan adopsi lazim terjadi di masyarakat, maka Pemerintah Hindia Belanda berusaha membuat
suatu aturan tersendiri tentang adopsi ini, sehingga dikeluarkannya Staatsblad nomor 129 Tahun 1917.
Pada Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 ada aturan juga yang mengatur tentang siapa saja yang boleh mengadopsi, bahwa seorang laki beristri atau telah pernah
beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena angkatan, maka ia boleh
100
Muderis Zaini, Op.Cit., hal 30.
Universitas Sumatera Utara
105
mengangkat seorang laki sebagai anaknya.
101
Dalam Staatsblad 1917 nomor 129, tidak ada satu pasalpun yang menyangkut masalah motif atau tujuan mengadopsi,
tetapi ada aturan mengenai anak yang boleh diangkat, yaitu hanyalah anak laki-laki saja, sedangkan untuk anak perempuan tidak boleh dilakukan adopsi dan apabila
dilakukan adopsi terhadap anak perempuan, maka adopsi itu batal demi hukum. Ketentuan di atas berdasarkan dari satu sistem kepercayaan adat Tionghoa,
bahwa anak laki-laki itu dianggap oleh masyarakat Tionghoa untuk melanjutkan keturunan dari mereka di kemudian hari. Di samping itu, yang terpenting adalah
bahwa anak laki-lakilah yang dapat memelihara abu leluhur orang tuanya. Oleh karena itulah, kebanyakan dari Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat orang
lain, kecuali apabila keluarga ini merasa tidak mampu lagi memberikan nafkah untuk kebutuhan anak-anaknya.
102
Selain motif di atas, dapat juga dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan, bahwa dengan mengangkat anak ini, maka di kemudian hari akan mendapat anak kandung
sendiri atau anak angkat sebagai pancingan untuk dapat mendapatkan anak kandung sendiri.
2. Adopsi Dalam Hukum Adat
Adopsi telah dikenal dan dilakukan di berbagai tempat di permukaan dunia ini, baik pada masyarakat primitif maupun masyarakat yang sudah maju. Oleh sebab itu,
maka orang tua terutama di kota-kota besar merasa khawatir terhadap anaknya
101
Ibid., hal 33
102
Ibid., hal 34
Universitas Sumatera Utara
106
apabila ada penculikan anak yang berakibat anak-anak tersebut dapat diadopsi oleh orang-orang asing.
103
Adopsi dapat dilakukan dengan banyak cara, terutama di Indonesia yang mempunyai aneka ragam sistem peradatannya. Di seluruh lapisan
masyarakat, pengangkatan anak ini lebih banyak atas pertalian darah, sehingga kelanjutan keluarga tersebut juga bergantung kepadanya.
Secara umum, sistem hukum adat kita berlainan dengan hukum barat yang individualistis liberalistis. Menurut Soepomo yang dikutip Muderis Zaini, hukum adat
kita mempunyai corak sebagai berikut : 1
Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut Hukum Adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat,
kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum; 2
Mempunyai corak yang religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3 Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkret; artinya hukum adat
sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit;
4 Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan hukum dianggap
hanya terjadi karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.
104
Jadi dalam hal ini, khusus masalah anak angkat atau adopsi bagi masyarakat Indonesia juga pasti mempunyai sifat-sifat kebersamaan antar berbagai daerah
103
Ibid., hal 38
104
Ibid., hal 42
Universitas Sumatera Utara
107
hukum, meskipun
karakterisitik masing-masing
daerah tertentu
mewarnai kebhinnekaan tunggal ika. Dalam Hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang
siapa saja yang boleh melakukan adopsi dan batas usianya, kecuali minimal beda 15 tahun.
Berkenaan dengan siapa saja yang dapat diadopsi, umumnya dalam masyarakat Hukum Adat Indonesia tidak membedakan anak laki-laki atau anak perempuan. Tata
cara adopsi atau pengangkatan anak, ada beraneka ragam sesuai dengan keanekaragaman sistem masyarakat adat, meskipun secara esensial tetap mempunyai
titik persamaan. Berkenaan dengan masalah akibat hukumnya terdapat variasi dalam lingkaran hukum adat Indonesia. Namun, dengan mengambil anak sebagai anak
angkat dan memelihara anak itu hingga menjadi dewasa yang baik, maka sudah barang tentu akan timbul dan berkembang hubungan rumah tangga antara bapak dan
ibu angkat di satu pihak, dan anak angkat di lain pihak. Hubungan rumah tangga ini menimbulkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, yang mempunyai
konsekuensi terhadap harta benda rumah tangga tersebut. Salah satu tujuan dari lembaga adopsi ini pada mulanya yang dominan adalah
meneruskan keturunan, apabila dalam suatu perkawinan tidak membuahkan anak. Namun berdasarkan perkembangan masyarakat hingga sekarang ini tujuan lembaga
adopsi tidak lagi hanya untuk meneruskan keturunan, tetapi mempunyai motivasi dari berbagai faktor pendorong yang lebih jauh dari itu.
Universitas Sumatera Utara
108
3. Adopsi Dalam Hukum Islam
Apabila ditelaah ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan anak sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak, diketahui bahwa telah menjadi pembicaraan serius di kalangan pembentuk Undang-undang dalam kaitan permasalahannya dengan eksistensi Hukum
Islam ketika menyoroti yang berkenaan dengan adopsi dalam rancangan UU tersebut, sehingga akhirnya masalah adopsi ini dalam UU Kesejahteraan Anak ditiadakan. Hal
ini dilatarbelakangi oleh konsep adopsi dalam rancangan UU tersebut adalah adopsi dalam pengertian aslinya, yakni mengangkat anak sehingga terputus sama sekali
hubungan darah si anak dengan orang tua yang melahirkannya. Kondisi ini bertentangan dengan ajaran agama Islam adalah mengangkat anak
adopsi dengan memberikan status yang sama dengan anak kandungnya sendiri. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan pengangkatan anak dalam pengertian yang
terbatas, maka kedudukan hukumnya diperbolehkan bahkan dianjurkan. Penekanan pangangkatan anak adalah perlakuan anak sebagai anak dalam segi kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan
segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.
Menurut Hukum Islam, pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi kritera-kriteria sebagai berikut :
1 Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
biologis dan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
109
2 Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak nagkatnya.
3 Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya sacara
langsung, kecuali sekadar sabagai tanda pengenal alamat. 4
Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut Hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan
tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Begitu pula halnya dengan masalah adopsi ini, walaupun
ajaran yang ada hanya mengatakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak, sedangkan yang boleh hanya memelihara saja. Namun dalam
konteksnya dengan argumentasi di atas, perkembangan lain yang tumbuh menurut pandangan
Hukum Islam
pada Pembinaan
Hukum Nasional
sebagaimana dikemukakan dalam “Seminar Evaluasi Pengkajian Hukum 19801981”. Adapun
pokok-pokok pikiran yang diusulkan sebagai bahan untuk menyusun RUU tentang anak angkat yang dipandang dalam Hukum Islam sebagai berikut :
1 Lembaga pengangkatan anak tidak dilarang dalam Islam, bahkan Agama Islam
membenarkan dan menganjurkan dilakukannya pengangkatan anak untuk kesejahteraan anak dan kebahagiaan orang tua;
Universitas Sumatera Utara
110
2 Ketentuan mengenai pengangkatan anak perlu diatur dalam Undang-Undang
yang memadai; 3
Istilah yang dipergunakan hendaknya disatukan dalam “pengangkatan anak” dengan berusaha meniadakan istilah-istilah lain;
4 Pengangkatan anak tidak menyebabkan putusnya hubungan darah antara anak
angkat dengan orang tuanya dengan keluarga orang tua anak yang bersangkutan; 5
Hubungan kehartabendaan antar anak yang diangkat dengan orang tua yang mengangkat dianjurkan untuk dalam hubungan hibah dan wasiat;
6 Dalam melanjutkan kenyataan yang terdapat dalam Masyarakat Hukum Adat,
dikenal pengangkatan anak hendaknya diusahakan agar tidak berlawanan dengan hukum agama;
7 Hendaknya diberikan pembatasan yang lebih ketat dalam pengangkatan anak
yang dilakukan oleh orang asing; 8
Pengangkatan anak oleh orang yang berlainan agama tidak dibenarkan. Berdasarkan sistem pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas jelaslah
bahwa dalam ketiga sistem hukum pengangkatan anak yang diakui dan diterapkan dalam
masyarakat didasarkan dari
tujuan dan
motivasi dari
dilakukannya pengangkatan anak. Pegangkatan anak merupakan suatu perbuatan pengambilan anak
orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungutdiangkat itu timbul suatu hubungan
kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orangtua dan anak kandungnya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
111
Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak adopsi telah
menghapuskan perangainya sebagai “orang asing” dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik
pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orangtua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat
apa-apa dari barang asal daripada bapa atau ibu angkatnya atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat
barang-barang semua yang diperoleh dalam perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.
105
Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam lahir
dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.
106
Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan
orangtua sebagai berikut: a.
Hubungan darah, di mana mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
b. Hubungan waris, di mana dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak
sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.
105
B. Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjmahan oleh K. Ng. Soebakti Poesponot, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 247.
106
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1976, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
112
c. Hubungan perwalian, di mana dalam hubungan perwalian ini terputus
hubungannya anak dengan orangtua kandung dan beralih kepada orangtua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan.
Segala hak dan kewajiban orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat. d.
Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orangtua angkat.
107
Staatsblad 1917 No. 219 menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah sebagai berikut :
a Pasal 11
“anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi”.
b Pasal 12 ayat 1
“anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekwensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang
mengadopsi”. Konsekwensinya anak angkat menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi.
Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam keluarga orangtua yang mengangkat, anak yang
diangkat berkedudukan sebagai anak sah dengan segala konsekwensi lebih lanjut.
108
107
M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal. 21.
108
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang kedudukan Anak Dalam Undang-undang, Citra Aditya, Bandung, 2000, hal. 236.
Universitas Sumatera Utara
113
Apabila anak adopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan orangtua angkat dan anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah maka akibat hukumnya adalah sebagai
berikut : 1.
Apabila adopsi dilakukan sebelum keluarnya UU No. 1 tahun 1974, maka akibat hukumnya tunduk kepada KUH Perdata yang meliputi:
a. Kekuasaan orangtua terhadap pribadi anak, yaitu orangtua wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa Pasal 298 ayat 2
KUH Perdata. Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa, tetap dibawah kekuasaan orang tua sepanjang kekuasaan
orang tua tersebut belum dicabut Pasal 299 KUH Perdata b. Kekuasaan orangtua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang
belum dewasa, maka orangtua harus mengurus harta kekayaan anak itu Pasal 307 KUH Perdata
c. Hak dan kewajiban anak terhadap orangtua, yaitu tiap-tiap anak, dalam umur berapapun wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan
ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan. 2.
Apabila adopsi dilakukan setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka akibat hukumnya tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1974 yang meliputi:
a. Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, sebagaimana diatur dalam
Pasal 45 UU No.1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa : 1
Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Universitas Sumatera Utara
114
2 Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.
Kemudian dalam Pasal 47 UU No.1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa : Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya,
dan Ia berkelakuan buruk sekali”. b.
Kewajiban orangtua terhadap harta benda anak, yaitu: Pasal 48 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa :
“orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 delapan
belas tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”.
c. Hak dan kewajiban anak terhadap orangtua, yaitu selain berhak atas
pemeliharaan dan pendidikan juga mempunyai kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu:
1. Anak wajib menghormati orangtua dan mentaati kehendak mereka yang
baik.
Universitas Sumatera Utara
115
2. Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya
orangtua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah, bahwa dalam suatu proses pengangkatan yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan tidak terlepas dari adanya
suatu akibat hukum. Akibat hukum pengangkatan anak yaitu timbul hubungan keperdataan meliputi nafkah, pemeliharaan anak dan waris antara anak yang iangkat
dengan orangtua angkat.
C. Akibat Hukum dari Pengangkatan Anak Perempuan terhadap Hubungan dengan Orang Tua Kandung dan Orang Tua Angkat dalam Hal Nafkah,
Pemeliharaan dan Warisan
Dalam prakteknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia termasuk di kalangan masyarakat etnis Tionghoa suku Hainan mempunyai beberapa
macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Hasil
penelaahan berbagai literatur diketahui bahwa pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Pengangkatan anak diadakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orangtua yang tidak beranaktidak mempunyai anak.
Akibat dari pengangkatan yang demikian itu ialah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan
kewajiban. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan pengangatan anak calon orangtua
Universitas Sumatera Utara
116
harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.
Akibat hukum terhadap pengangkatan anak termasuk dalam hal ini anak perempuan
biasanya adalah
menyangkut hubungan
dengan orang
tua kandung dan orang tua angkat dalam hal nafkah, pemeliharaan dan warisan atau
mengenai hak waris-mewarisi antara orang tua angkat dan anak angkat dan
sebaliknya. Sebagai telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum yang berlaku di Indonesia terhadap pengangkatan anak masih beragam sehingga membawa akibat
yang berbeda pula dalam hal hubungan hukum terutama dalam persoalan hak mewarisi seperti halnya yang berlaku pada masyarakat etnis Tionghoa yang
sebelumnya tidak mengakui adanya anak angkat perempuan. Kemudian setelah melalui perkembangan dan yurisprudensi yang ada anak perempuan juga diakui dan
berhak atas warisan dari orang tua angkatnya. Hal ini menunjukkan bahwa selain menimbulkan hak dan kewajiban,
pengangkatan anak juga menimbulkan suatu akibat hukum bagi anak angkat maupun orang tua angkat. Akibat hukum ini dapat berbeda antara pengangkatan anak yang
didasarkan pada hukum Islam melalui Pengadilan Agama dengan pengangkatan anak yang didasarkan pada hukum perdata barat yang dilakukan melalui Pengadilan Negeri
dimana Islam melarang akibat hukum pengangkatan anak yang didasarkan pada ketentuan di luar Hukum Islam. Namun dalam hal ini mengingat objek penelitian
adalah dari etnis Tionghoa jadi pembahasan hanya dilakukan dengan batasan pada ketentuan hukum perdata yang menjadi pedoman bagi etnis Tionghoa.
Universitas Sumatera Utara
117
Berdasarkan hasil
penelitian diketahui
bahwa akibat
hukum dari
pengangkatan anak perempuan dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain akibat terhadap hubungan dengan orang tua kandung, terhadap orang tua angkat dalam hal
nafkah dan pemeliharaan serta terhadap harta warisan. Berdasarkan penelaahan pada ketentuan yang ada
mengenai warisan bagi anak angkat termasuk dalam hal ini anak angkat perempuan, jika suami istri
mengadopsi seorang anak laki-laki, maka anak itu dianggap telah dilahirkan dari perkawinan mereka. Jadi dalam hal ini anak angkat dianggap sebagai anak sah dalam
ikatan hukumnya adalah sah akan tetapi ikatan biologisnya sudah tentu tidak mungkin sama sedarah. Hal ini dibenarkan oleh Jauhari Chandra dan Amin Wijaya bahwa
dalam masyarakat etnis Tionghoa termasuk suku Hainan jika dilakukan pengangkatan anak dalam sebuah keluarga etnis Tionghoa, maka anak itu dianggap telah dilahirkan
dari perkawinan mereka. Anak angkat dianggap sebagai anak sah dalam ikatan hukumnya adalah sah akan tetapi ikatan biologisnya sudah tentu tidak mungkin sama
sedarah.
109
Kemudian hal ini juga di dalam ketentuan Pasal 250 KUH Perdata dinyatakan, bahwa
tiap-tiap anak
dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang
perkawinan memperoleh suami sebagai bapaknya. Pasal ini lebih dititik beratkan kepada ikatan
keturunan hubungan darah antara anak dengan orang tua yang dilahirkannya atau dibuahkan sepanjang perkawinan. Perlu pula diketahui bahwa anak sah mempunyai
109
Hasil Wawancara dengan Jauhari Chandra dan Amin Wijaya Ketua Suku Hainan Indonesia dan Ketua Yayasan Laut Selatan Cabang Medan 18 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
118
bagian mutlak dalam warisan dan sesuai dengan bunyi Pasal 913 KUH Perdata sebagai berikut, bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta
peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan
menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antar yang masih hidup maupun selaku wasiat.
Demikian pula dalam Ordonantie Staatsblad 1917 No. 129 dalam Pasal 12 ayat 2 yaitu Jika suami setelah perkawinanannya bubar mengadopsi seorang anak laki-
laki, maka anak dianggap telah dilahirkan dari perkawinan yang telah dibubar karena kematian. Pembuat undang-undang ada membedakan antara kata-kata Uit een dan uit
het. Walaupun memang perkawinannya itu pecah karena kematian istrinya. Jadi anak yang diadopsi itu dianggap sebagai anak sah dari si laki-laki itu tapi bukan anak dari
bekas istrinya yang telah cerai atau meninggal dunia. Dalam pasal ini juga tidak disebutkan door echscheiding onbonthden pecah perceraian karena dengan
demikian maka akan diciptakan hubungan antara bekas istri dengan anak.
110
Dengan demikian menurut Staatsblad 1917 No. 129 bahwa anak angkat akan putus nasabnya kepada orangtua kandungnya, dan terjadi hubungan nasab dengan
orang tua angkatnya, sehingga anak angkat tersebut juga menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Namun Staatsblad ini memberikan pembatasan lain Dari hak mewarisi
anak angkat adopsi adalah bahwa anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan.
110
Sumiati Usman, Op.Cit., hal 141.
Universitas Sumatera Utara
119
Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa pengangkatan anak perempuan yang dilakukan secara sah maka akan memiliki hubungan hukum antara orang tua angkat
dengan anak angkat baik dalam perwalian. Pemberian nafkah dan pewarisan. Namun apabila pengangkatan anak perempuan yang dilakukan tanpa mengikuti prosedur
hukum yang berlaku maka akibatnya antara orang tua angkat dan anak angkat tidak memiliki hubungan hukum yang pasti, sehingga apabila diberlakukan secara hukum
adat Tionghoa yang berlaku maka anak angkat perempuan tersebut sama haknya dengan anak perempuan kandung yang dimana menurut hukum adat Tionghoa anak
perempuan tidak memiliki hak untuk mewarisi harta orang tua. Dan apabila terjadi hal dimana orang tua angkat yang telah mengangkat anak perempuan tersebut
ternyata di kemudian hari menelantarkan anaknya tersebut, maka si anak tidak dapat berbuat apa-apa kecuali kembali lagi ke orang tua kandungnya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa akibat hukum dari pengangkatan anak termasuk anak perempuan dapat dilihat dari hubungan anak angkat dengan
orang tua kandung, hubungan anak angkat orang tua angkat dalam hal nafkah dan pemeliharaan serta dari hal kewarisan atau hak waris dari anak angkat. Akibat hukum
dari pengangkatan anak perempuan tersebut terhadap hubungan dengan orang tua kandung menurut ketentuan yang diikuti di kalangan etnis Tionghoa adanya
pengangkatan anak ini mengakibatkan anak angkat akan putus nasabnya kepada
orangtua kandungnya dan terjadi hubungan nasab dengan orang tua angkatnya. Dalam hal kewajiban pemberian nafkah, pemeliharaan dan pembiayaan untuk kehidupannya
tanggung jawab beralih kepada orang tua angkat yang berkewajiban memberikan jaminan
Universitas Sumatera Utara
120
atas pemeliharaan anak angkat. Kemudian dalam hal warisan anak angkat tersebut juga menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Akan tetapi, dalam hal warisan juga ditentukan
pembatasan lainnya yaitu hak mewarisi anak angkat termasuk anak angkat perempuan hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan.
D. Analisis Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan
Pada penelitian tesis ini penulis menggunakan teori kepastian hukum untuk mendapatkan kesimpulan dari apa yang terjadi di masyarakat etnis Tionghoa suku
Hainan di Kota Medan khususnya mengenai sistem pewarisan yang berlaku bagi etnis Tionghoa suku Hainan tersebut. Dari pengumpulan data yang dilakukan baik yang
berasal dari pustaka dan penelitian di lapangan yang dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap tokoh-tokoh dari suku Hainan yang berada di Kota Medan dan
juga wawancara terhadap instansi dari pemerintahan di Dinas Kependudukan dan Pengadilan Negeri Kota Medan.
Dari hasil data–data yang dikumpulkan ternyata masih banyak sekali tindakan- tindakan yang melawan hukum yang dilakukan oleh warga masyarakat Indonesia
dalam hal melakukan pengangkatan anak. Hal ini terjadi dikarenakan adanya celah hukum yang memungkinkan sehingga dapat terjadi penyelundupan hukum. Oleh
karena itu apabila tidak ada suatu pembenahan terhadap sistem peraturan hukum yang mengatur tentang pengangkatan anak baik laki-laki maupun perempuan maka hal ini
dapat menimbulkan suatu potensi konflik dikemudian hari yang dapat merugikan calon orang tua angkat maupun anak angkat itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
121
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN