65
kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak laki-laki itu dianggap sebagai penerus keturunan keluarga di kemudian hari. Di samping itu, anak laki-laki diyakini oleh
kepercayaan mereka sebagai yang dapat memelihara abu leluhur orang tuanya.
E. Syarat-syarat dan
Prosedur Pengangkatan
Anak Perempuan
pada Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Medan
Pengangkatan anak sebagaimana dijelaskan sebelumnya bukan merupakan hal yang baru di Indonesia karena hal ini sudah lazim dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Hanya saja cara dan motivasinya yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut didaerah yang bersangkutan. Pengangkatan anak adopsi akhir-
akhir ini banyak diperbincangkan dan sudah mendapat perhatian pula dari pihak termasuk dikalangan warga etnis Tionghoa. Keanekaragaman hukum yang mengatur
masalah pengangkatan anak di Indonesia ini akan tampak jika diteliti secara cermat ketentuan-ketentuan tentang lembaga pengangkatan ini dari berbagai sumber hukum
yang berlaku, baik hukum Barat dari BW dan hukum Adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, maupun hukum Islam yang banyak dianut masyarakat
Indonesia. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum
sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema masyarakat, terutama menyangkut masalah ketentuan hukumnya. Lembaga pengangkatan anak telah lama
di kenal dalam masyarakat adat termasuk dalam masyarakat etnis Tionghoa yang pelaksanaannya pada umumnya dengan suatu upacara adat dan pemberian benda-
benda sebagai tanda peralihan kekuasaan dari orang tua kandung kepada orang tua
Universitas Sumatera Utara
66
angkat tersebut. Namun demikian, anak yang berkedudukan sebagai anak angkat, apakah ia berhak mewarisi harta dari orang tuanya, akan ditentukan oleh hukum
adatnya masing-masing daerah hukum adat itu di pertahankan oleh penganutnya. Dari penelitian yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa pada salah satu suku
bangsa etnis Tionghoa di Kota Medan termasuk yang berasal dari suku Hainan. Suku Hainan berasal dari pulau Hainan yang terletak di wilayah China. Walaupun terdiri
dari berbagai suku etnis Tionghoa dan terdapat perbedaan dialek, namun memiliki kebiasaan adat yang sama. Josh Chen mengatakan bahwa Hainan dikenal cukup luas
di Indonesia dan Asia Tenggara karena kuliner khas’nya, yaitu ‘nasi Hainan’ ada yang menyebut ‘nasi hainam’. Letak perbedaan lafal “nan” dan “nam” hanyalah
pengaruh dialek saja. Lafal Mandarin memang di sebut NAN yang berarti selatan 南, yang pengucapannya menjadi NAM dalam dialek provinsi-provinsi Selatan
China, terutama Hokkian, walaupun kadang diucapkan juga dengan “lam”.
68
Pulau Hainan merupakan rumah bagi Etnis Li 黎族, Li Zu, baca: Li Cu, yang
mencapai jumlah sekitar 1.247.814 jiwa, mayoritas bertempat tinggal di Tongze, ibukota Hainan Li-Miao Autonomous Prefecture. Selain di sini, Etnis Li juga tersebar
di seluruh wilayah China, berbaur dengan etnis yang lain. Keberadaan suku Hainan tersebar di 25 negara dari benua Amerika, Australia, Eropa dan Asia. Kini, suku
68
Josh Chen, Suku Hainan Etnis Tionghoa, http:baltyra.com2010041156-etnis-suku-di- china-etnis-li diakses 10 Nopember 2013 Pukul 17.55 Wib.
Universitas Sumatera Utara
67
Hainan sudah berada di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Inggris, Australia serta sejumlah negara lainnya.
Masyarakat Tionghoa suku Hainan juga melakukan pengangkatan anak pada umumnya dilakukan berdasarkan adat Tionghoa.
Pengangkatan anak perempuan secara adat Tionghoa suku Hainan di kota Medan dilakukan dengan memenuhi beberapa persyaratan yaitu :
69
a Mencocokkan shio antara anak dengan orang tua yang akan mengangkatnya. Hal
ini dilakukan guna menghindari hal-hal negatif yang dapat terjadi di dalam keluarga, karena menurut kepercayaan etnis Tionghoa terdapat aturan mengenai
antar shio yang memiliki kecocokan dan ketidakcocokan. b
Melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, dengan mempersiapkan beberapa material yaitu:
i. Meja berwarna merah yang biasa di pakai untuk melakukan sembahyang. Berwarna merah karena merah melambangkan kebahagiaan.
ii. Lilin, sebagai lambang penerangan sedang berlangsungnya suatu upacara sembahyang.
iii.Teh 3 cangkir,sebagai lambang penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
iv. Buah-buahan 3 macam dengan 3 buah tiap macam. Biasanya buah yang dipakai
adalah buah
jeruk melambangkan
kekekalan, buah
apel
69
Wawancara dengan Ven Vipasyana Jnana Sthavira, Suhu vihara Borobudur Medan, pada tanggal 15 Oktober 2014.
Universitas Sumatera Utara
68
melambangkan ketentraman
dan buah
Nenas melambangkan
kesejahteraan. v. Dupa, merupakan suatu penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
c Sembayang kepada leluhur yang telah meninggal dengan mempersiapkan
lilin,dupa dan 3 gelas teh serta pembakaran kertas sembahyang. d
Upacara sembahyang untuk pengangkatan anak dilakukan dengan mengatakan bahwa “pada hari ini, tanggal, kami orang tua angkat,bernama,umur,shio
mengangkat seorang anak laki-laki atau perempuan, shio yang bernama, yang kemudian akan dijadikan sebagai anak dalam keluarga kami.
e Disaksikan oleh keluarga
Adapun beberapa alasan yang mendasari masyarakat etnis Tionghoa untuk
melakukan pengangkatan anak, antara lain untuk merawat anak yang diangkat dalam kondisi tidak sehat, karena keinginan untuk membantu merawat,
memelihara dan mendidik anak dari keluarga atau kerbat yang kurang mampu baik dari segi ekonomi maupun dari segi moral dan mental.
70
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal pengangkatan anak ini baik pada masyarakat umum maupun pada etnis Tionghoa sebab yang mendorong
dilakukannya pengangkatan anak, antara lain : a.
Alasan yang disebabkan dalam keluarga tidak mempunyai anak;
70
Hasil Wawancara dengan Jauhari Chandra dan Amin Wijaya Ketua Suku Hainan Indonesia dan Ketua Yayasan Laut Selatan Cabang Medan 18 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
69
b. Alasan karena belas kasihan terhadap anak yang mempunyai orang tua kandung
tidak mampu, atau anak tersebut sudah yatim piatu; c.
Dalam keluarga hanya memiliki anak laki-laki saja atau anak perempuan saja; d.
Digunakan sebagai pancingan agar dapat memiliki anak sendiri.
71
Adanya beberapa sebab dan alasan yang ada di beberapa daerah termasuk menyangkut pengangkatan anak menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat
keanekaragaman hukum adat yang mengatur masalah anak angkat, hal ini memberikan pengaruh pada kedudukan anak angkat demikian pula dalam hal
pembagian warisannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa motivasi pengangkatan anak
mempunyai hukum yang berbeda-beda. Akibatnya hukum yang penting adalah kekuasaan orang tua, hak waris, hak alimentasi atau hak pemeliharaan dan juga soal
nama. Adanya pengangkatan anak tersebut mengakibatkan perpindahannya keluarga dari orang tua kandungnya kepada orang tua yang mengangkatnya. Status anak
tersebut seolah-olah dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat. Jadi status anak angkat itu sama dengan anak sah dan di dalam hukum waris ia disebut juga sebagai
ahli waris terhadap kedua orang tua angkatnya tersebut. Dalam pelaksanaannya dalam praktek prosedur pengangkatan anak dilakukan
dengan : 1.
Prosedur formal, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri,
71
Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Suku Hainan di Kota Medan, 18 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
70
2. Prosedur informal, yaitu menurut adatkebiasaan masyarakat, sehingga bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa untuk sahnya pengangkatan
anak berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri.
Prosedur formal pengangkatan anak bagi Warganegara Indonesia golongan Tionghoa sebelum dikeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1979, yang kemudian
disempurnakan dengan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang pengangkatan anak, yang berwenang membuat akta pengangkatan anak adalah notaris.
Dalam Stb. 1917 nomor 129, Bab II Pasal 10 ayat 1, diatur tentang pengangkatan anak, yang berisikan bahwa pengangkatan anak hanya dapat terjadi
dengan adanya akta notaris dan Pasal 10 ayat 4 Stbl. 1917 No. 129 menentukan bahwa “Setiap orang yang berkepentingan dapat meminta agar pada akta kelahiran
orang yang diangkat, pada sisi akta itu dicantumkan tentang pengangkatan anak itu”. Setelah dibuatnya akta notaris mengenai pengangkatan anak, akta tersebut
didaftarkan dan dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Kemudian atas pendaftaran dan pencatatan tersebut dikeluarkan petikan akta kelahiran yang baru yang menyebutkan
bahwa anak tersebut adalah anak dari orang tua angkat yang mengangkatnya dan bukan sebagai anak angkat.
Setelah dikeluarkannya
SEMA No.
2 Tahun
1979 yang
kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak,
terdapat perubahan yang mendasar, di mana untuk sahnya pengangkatan anak bukan diharuskan dengan adanya akta notaris, tetapi adanya putusan atau penetapan dari
Universitas Sumatera Utara
71
Pengadilan Negeri di mana anak tersebut berdomisili. Bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal
untuk sahnya pengangkatan anak, yaitu adanya penetapan dari Pengadilan Negeri. Adapun
prosedur pengangkatan
dan syarat-syarat
pengangkatan anak
ditentukan sebagai berikut : Syarat dan bentuk surat permohonan sifatnya voluntair :
1. Permohonan seperti ini hanya dapat diterima apabila telah ternyata ada urgensi yang memadai. Misalnya : ada ketentuanketentuan UU yang mengharuskan.
2. Seperti permohonan-permohonan yang lain, permohonan seperti ini dapat dilakukan secara lisan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Negeri atau permohonan secara tertulis. 3. Dapat diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya. Di
samping itu pemohon dapat juga didampingidibantu seseorang. Dalam hal didampingidibantu maka hal ini berarti pemohoncalon orang tua angkat tetap
harus hadir dalam pemeriksaan di persidangan. Begitu juga meskipun pemohon memakai seseorang kuasa namun ia wajib hadir dalam pemeriksaan sidang
Pengadilan Negeri. 4. Dibubuhi meterai secukupnya.
5. Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggaldomisili anak yang akan diangkat.
72
72
Hasil Wawancara dengan Staf Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan, 21 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
72
Isi surat permohonan memuat : 1.
Dalam bagian dasar hukum dari permohonan tersebut secara jelas diuraikan dasar yang mendorong motif diajukan permohonan pengesahanpengangkatan anak
tersebut. 2.
Juga harus nampak bahwa permohonan pengesahan pengangkatan anak itu dilakukan terutama untuk kepentingan calon anak yang bersangkutan, dan
digambarkan kemungkinan kehidupan hari depan si anak setelah pengangkatan terjadi.
3. Isi petitum bersifat tunggal, yaitu : tidak disertai in samenloop met petitum
yang lain. Misalnya, cukup dengan :
“agar si anak dari B ditetapkan sebagai anak angkat dari C”, atau “agar pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh pemohon C terhadap anak B
yang bernama A dinyatakan sah”. Tanpa ditambah tuntutan lain seperti :
“agar ditetapkan anak bernama A tersebut, ditetapkan sebagai ahli waris dari C”.
Syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar Warganegara Indonesia yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut :
73
1. Syarat bagi calon orang tua angkat pemohon:
73
Satrio J., Hukum Masyarakat Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 73
Universitas Sumatera Utara
73
a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat private adoption diperbolehkan.
b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sahbelum menikah single parent adoption diperbolehkan.
2. Syarat bagi calon anak yang diangkat :
a. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa Yayasan
yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak.
b. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat
yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
Selanjutnya sebagai akibat dari pengangkatan anak menurut ketentuan dalam Stbl 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak bagi golongan warga negara Indonesia
keturunan Tionghoa ini mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung, dan kedudukan anak angkat dipersamakan
dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya.
Hal-hal berkaitan dengan akibat hukum pengangkatan anak golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa yang diatur dalam Stbl 1917 No. 129,
antara lain :
Universitas Sumatera Utara
74
1 Pasal 11 menentukan bahwa
“Pengangkatan anak mempunyai akibat hukum bahwa orang yang diangkat sebagai anak itu memperoleh nama marga dari ayah
angkatnya dalam hal marganya berbeda dari marga orang yang diangkat sebagai anak”.
2 Pasal 12 ayat 1 menenentukan bahwa “Dalam hal sepasang suami isteri
mengangkat seseorang sebagai anak laki-lakinya, maka anak tersebut dianggap sebagai yang lahir dari perkawinan mereka”
3 Pasal 14 mengatur bahwa “karena pengangkatan anak putuslah hak-hak
keperdataan yang berkaitan dengan garis keturunan antara orang tua kandung dan saudara sedarah dan dari garis ke samping dengan orang yang diangkat”.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka terhadap anak angkat golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa berhak untuk mendapatkan harta
warisan dari orang tua yang mengangkatnya. Hal ini didasarkan pada sistem dan hak pewarisan yang diatur dalam KUH Perdata terhadap anak angkat yang berlaku di
Indonesia yang di dasari oleh ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Akan tetapi dalam praktiknya masyarakat Tionghoa ada kecenderungan
mengangkat anak untuk tidak melalui permohonan di Pengadilan Negeri Medan, alasannya adalah karena permohonan pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang relatif tinggi serta banyak persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi masyarakat Tionghoa sangat
Universitas Sumatera Utara
75
merugikan dan tidak praktis. Masyarakat Tionghoa lebih memilih melakukan pengangkatan anak melalui adat etnis Tionghoa yang dihadiri oleh kedua belah pihak
keluarga orang tua kandung dan orang tua angkat, dengan membicarakan maksud dan tujuan dari pengangkatan anak tersebut, hal ini cukup bagi masyarakat Tionghoa
khususnya dari suku Hainan di Kota Medan sebagai syarat sahnya pengangkatan anak.
74
Hasil penelitian pada etnis Tionghoa suku Hainan di Kota Medan diketahui bahwa pengangkatan anak tidak saja dilakukan terhadap anak laki-laki tetapi juga
anak perempuan walaupun dalam sebagian warga etnis Tionghoa ada pantangan. Adanya pengangkatan anak perempuan yang dilakukan warga suku Hainan dapat
dikatakan sah tidak dilarang, walaupun bertolak belakang dengan ketentuan yang dimaksud dalam Staatblaad tahun 1917 No. 129 yang menyatakan bahwa, anak yang
diangkat harus anak laki-laki dan adanya ancaman demi hukum bagi masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan terhadap anak perempuan. Dengan
demikian adanya Staatblaad tahun 1917 No. 129 tersebut tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dalam masyarakat suku Hainan dari etnis Tionghoa
di Kota Medan. Hal ini juga didukung dari adanya ketentuan pengangkatan anak sebagaimana
yang diatur dalam beberapa ketentuan lainnya yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu :
74
Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Suku Hainan di Kota Medan, 18 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
76
a. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 1983 yang mengatur tentang
cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahanpengangkatan kepada Pengadilan
Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. b.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan
hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. c.
Pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu bahwa Tata cara pengangkatan anak antar Warga
Negara Indonesia bahwa seorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 dua kali dengan jarak waktu paling singkat 2 dua tahun.
Guna sahnya pengangkatan anak di Indonesia termasuk yang dilakukan oleh etnis Tionghoa suku Hainan, maka setelah permohonan pengangkatan anak melalui
prosedur dari aturan dalam perundang-undangan yang ada, pengangkatan anak selanjutnya disahkan melalui langkah terakhir yaitu dengan adanya putusan
pengadilan yang dikeluarkan oleh pengadilan dengan bentuk penetapan pengadilan atau dikenal dengan putusan deklarator, yaitu pernyataan dari Majelis hakim bahwa
anak angkat tersebut adalah sah sebagai anak angkat dari orang tua angkat yang mengajukan permohonan pengangkatan anak. Putusan pengadilan juga mencakup
mengenai status hukum dari anak angkat dalam keluarga yang telah mengangkatnya, mengenai hak mewaris dari anak angkat diatur secara beragam baik dari hukum adat
Universitas Sumatera Utara
77
maupun peraturan perundang-undangan, hak waris anak menurut hukum adat mengikuti aturan adat dari masing-masing daerah.
Hasil wawancara dengan beberapa responden diketahui bahwa dalam hubungannya dengan syarat-syarat bagi calon orang tua angkat
yang melakukan pengangkatan anak, pada umumnya berstatus kawin atau pernah kawin. Dengan
demikian pengangkatan anak dapat dilakukan oleh mereka yang pernah terikat dalam perkawinan termasuk janda atau duda. Selanjutnya dari keterangan responden, juga
dinyatakan bahwa pengangkatan anak yang dilakukan tidak pernah meminta ijin dari keluarga maupun mantan suami. Hal ini menunjukkan bahwa, seorang janda ataupun
duda dalam masyarakat Tionghoa termasuk etnis Tionghoa dari Suku Hainan di Kota Medan telah dianggap cukup dalam melakukan tindakan hukum tanpa harus
didampingi orang lain.
75
Sementara itu berdasarkan pernyataan tokoh masyarakat Tionghoa dari Suku Hainan di Medan, yang menyatakan bahwa pengangkatan anak dapat pula dilakukan
oleh orang yang belum kawin, hal tersebut menunjukan bahwa praktek pengangkatan anak dalam masyarakat adat Tionghoa tidak hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
telah atau pernah kawin. Dengan demikian pengangkatan anak dalam masyarakat adat Tionghoa tidak seiring dengan Staatblaad 1917 No.129 yang menyatakan bahwa
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah terikat atau pernah terikat perkawinan. Namun demikian praktek pengangkatan anak dalam masyarakat
75
Hasil Wawancara dengan Jauhari Chandra dan Amin Wijaya Ketua Suku Hainan Indonesia dan Ketua Yayasan Laut Selatan Cabang Medan 18 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
78
adat Tionghoa di Kota Medan lebih sejalan dengan SEMA No 2. tahun 1979 jo No.6 Tahun 1982 yang menyebutkan bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan oleh
mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh Jauhari Chandradan Amin Wijaya
yang ditemui dalam pelaksanaan penelitian ini pada umumnya dapat dikatakan sebagai pengangkatan anak dengan cara tidak terang dan tidak tunai, karena
pengangkatan anak dengan cara tidak terang dan tidak tunai, tidak dihadiri oleh pemuka adat dan tidak disaksikan oleh masyarakat setempat dan tidak tunai karena
pengangkatan anak tersebut tidak dilakukan dengan pemberian atau barang. Selain itu, lainnya dilakukan dengan cara tidak terang dan tunai seperti pengangkatan anak
dilakukan karena dalam pengangkatan tersebut hanya dihadiri oleh kedua belah
pihak keluarga saja, tidak ada tokoh masyarakat yang di undang sebagai saksi dan tidak ada upacara adat yang dilakukan. Dalam hal pihak yang mengangkat anak
tersebut memberikan sejumlah barang dan angpao kepada orang tua kandung anak tersebut sebagai simbol bahwa telah dilakukannya pengangkatan anak.
76
Pengangkatan anak dalam masyarakat etnis Tionghoa khususnya dari suku Hainan di Kota Medan yang memperkenankan pengangkatan anak perempuan lebih
sejalan dengan maksud dari SEMA No. 2 tahun 1979 jo SEMA No. 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak yang menyebutkan sahnya pengangkatan anak terhadap
anak perempuan. Dalam kaitannya dengan calon anak angkat, para responden yang
76
Hasil Wawancara dengan Jauhari Chandradan Amin Wijaya Ketua Suku Hainan Indonesia dan Ketua Yayasan Laut Selatan Cabang Medan 18 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
79
berhasil ditemui mengatakan bahwa usia anak angkat pada saat diangkat berkisar antara 1 satu tahun hingga 5 lima tahun dan selisih anak angkat dengan orang tua
angkatnya berkisar lebih dari 25 tahun. Dengan melihat praktek anak angkat tersebut maka dapat dikatakan bahwa responden lebih memilih mengangkat anak yang
berumur dibawah 6 enam tahun serta mengangkat anak yang jauh lebih muda dibandingkan dengan usia orang tua angkatnya. Hal tersebut seiring dengan apa yang
disebutkan dalam Staatblaad Tahun 1917 No. 129 yang menyatakan bahwa anak angkat sekurang-kurangnya harus berumur lebih muda dari laki-laki yang
mengangkatnya dan sekurang-kurangnya 15 tahun lebih muda dari perempuan yang kawin atau janda yang mengangkat.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat Tionghoa termasuk dalam hal ini yang dilakukan suku
Hainan di Kota Medan diawali dengan prosesi atau upacara adat, biasanya masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak akan membuat akta
pengangkatan anak di hadapan notaris untuk digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan anak. Pada masyarakat etnis Tionghoa suku Hainan anak
angkat dianggap selayaknya anak kandung sehingga memperoleh harta warisan dari orangtua angkatnya.
Pada dasarnya pengangkatan anak termasuk yang dilakukan oleh etnis Tionghoa suku Hainan harus dilakukan melalui proses hukum dengan produk penetapan
pengadilan. Proses hukum ini bertujuan untuk menunjukkan penertiban praktek hukum dalam proses pengangkatan anak yang hidup ditengah-tengah masyarakat, agar peristiwa
pengangkatan anak tersebut dikemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak
Universitas Sumatera Utara
80
maupun bagi orang tua angkat. Pengangkatan anak yang dilakukan melalui proses pengadilan juga merupakan wujud dari tujuan pengangkatan anak melalui lembaga
pengadilan adalah untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan hukum, legalitas hukum dan dokumen hukum. Dokumen hukum yang menyatakan bahwa telah terjadinya
pengangkatan anak secara legal sangat penting dalam hukum keluarga, karena akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut akan berdampak jauh kedepan sampai beberapa
generasi keturunan yang menyangkut aspek hukum kewarisan, tanggung jawab hukum, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
81
BAB III KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS