Kerangka Teori Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

15 Dalam Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan ” belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan ini adalah asli adanya. Kondisi ini dapat diartikan bahwa secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian dengan lokasi penelitian dan objek yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsep

1. Kerangka Teori

Penulisan suatu karya ilmiah seperti halnya tesis tentunya memerlukan suatu kerangka teori atau kerangka pikir yang mendasari penulisan. Kerangka teori dimaksud adalah pemikiran teoritis yang digunakan dalam menganalisis permasalahan yang dikaji dalam hal ini kedudukan anak angkat perempuan dalam terhadap harta warisan orang tua angkatnya. Jadi kerangka pemikiran merupakan hal yang esensial pada kegiatan penelitian yang memberikan landasan argumentasi dan dukungan dasar teoritis konsepsional dalam rangka pendekatan pemecahan masalah yang dihadapi atau yang menjadi objek penelitian. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 12 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 13 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu 12 M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 13 Ibid., hal. 203 Universitas Sumatera Utara 16 kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 14 Apabila dikaitkan dengan judul penelitian ini yang berkaitan dengan ketentuan hukum waris khususnya dalam masyarakat Tionghoa kerangka teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Eugen Ehrlich seperti dikutip Soerjono Soekanto bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.” 15 Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan culture pattern. 16 Friedman yang dikutip Soerjono Soekanto menyatakan; legal substance adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah sistem. 17 Substansi juga berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan baru yang disusun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup living law, dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books. 18 Berdasarkan teori di atas, jelaslah bahwa hukum merupakan suatu kaedah atau norma yang berfungsi untuk mengatur berbagai kepentingan dan tuntutan didalam masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa setiap warga memiliki kepentingan dan tuntutan yang harus disesuaikan antara warga masyarakat yang satu dengan yang 14 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 15 Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 19. 16 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali, 1991, hal. 37. 17 Ibid., hal 14 18 Ibid., hal 14 Universitas Sumatera Utara 17 lainnya. Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Von Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis, oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan. b. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum. Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang. c. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu Universitas Sumatera Utara 18 sangat penting untuk mengikuti evolusi Volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah. 19 Roscoe Pound memandang hukum sebagai realitas sosial yang mengatur warga masyarakatnya. Definisi Roscoe Pound yang menyatakan bahwa dalam kehidupan setiap orang dalam masyarakat akan memiliki tiga tuntutan, yaitu : a. Untuk menguasai harta benda dan kekayaan alam termasuk tanah. b. Untuk dapat memperoleh pemenuhan keuntungan. c. Adanya jaminan terhadap campur tangan orang lain yang dapat menimbulkan gangguan. Tuntutan dan kepentingan manusia tersebut mengalami perkembangan sehingga muncul adanya 2 teori yang menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk individu teori kodrat, teori psikologis dan teori yang menyatakan manusia sebagai makhluk sosial teori historis, teori positif, dan teori sosiologis. Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas- asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengatakan bahwa : Hukum itu sebagai a command of the lawgiver perintah dari pembentuk undang- undang atau penguasa, yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem 19 Friedman, Lawrence M., American Law an Introduction Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah Wishnu Basuki, Second Edition, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hal-61-62. Universitas Sumatera Utara 19 yang logis, tetap, dan bersifat tertutup closed logical system. Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk. 20 Menurut Jhon Austin sebagimana dikutip Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, apa yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsur- unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, tetapi hanyalah merupakan positive morality. Unsur perintah ini berarti bahwa pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiaban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiga hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. 21 Hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya termasuk dalam hal pengangkatan anak. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum termasuk anak yang kehidupannya dalam suatu keluarga merupakan anak angkat. Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan kepada pasangan suami isteri sebagai pelengkap dalam kebahagiaan rumah tangganya. Di dalam diri seorang anak terkandung harapan dari orang tua untuk dapat 20 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55. 21 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 59. Universitas Sumatera Utara 20 berperan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sebagai penerus cita-cita agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan baik, secara fisik, mental maupun sosialnya. Harapan pasangan suami isteri sebagai orang tua akan terwujud apabila pasangan suami isteri tersebut dikaruniai keturunan anak. Memiliki keturunan anak merupakan tujuan utama bagi pasangan suami isteri untuk dapat melengkapi kebahagiaan hidup perkawinannya. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang telah lama menikah namun belum juga dikaruniai keturunan anak, maka solusinya adalah dengan mengangkat anak. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa : Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Di dalam Pasal 39 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pengangkatan anak ini tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya dan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Universitas Sumatera Utara 21 Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pasal 1 angka 1 disebutkan Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 nya disebutkan Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Pengangkatan anak juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. 22 Perumusan ini adalah perumusan umum untuk pengangkatan anak yang mempunyai beberapa bentuk perwujudan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya apabila masalah pengangkatan anak ini diamati menurut 22 Rianto Sitorus, Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak Adoptie Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing SK Menteri Sosial RI NO.13 HUK Tahun 1993 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak - Study Di Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, FH, USU Medan, 2008. Universitas Sumatera Utara 22 proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka akan ditemukan hal-hal yang menjadi perhatian pengangkatan anak dan menyangkut hukum pengangkatan anak. Adapun motif atau alasan pengangkatan anak di Indonesia antara lain: 1. Ingin mempunyai keturunan, ahli waris 2. Ingin mempunyai teman untuk dirinya sendiri atau untuk anaknya karena kesepian; 3. Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihannya terhadap orang lain, bangsa lain yang dalam kesulitan hidup sesuai dengan kemampuannya; 4. Adanya peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pelaksanaan pengangkatan anak; 5. Adanya orang-orang tertentu yang menganjurkan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu. 23 Kenyataan sosial yang tidak dapat lagi dipungkiri ialah bahwa pengangkatan anak merupakan salah satu aspek dalam hubungan antar bangsa dan anak negara. Pengangkatan anak semacam itu menimbulkan masalah baru yaitu masalah pengangkatan anak antar negara. Pengangkatan anak dalam masyarakat Tionghoa juga memiliki ketentuan tersendiri dimana menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi orang yang mengangkat anak abdotan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari 23 Shanti Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 29 Universitas Sumatera Utara 23 paman, karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki- lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kekeluargaan. Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan mengangkat anak dari keluarga lain, yang tampak dari dipakainya nama keluarga yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama keluarga lain. Dalam hal pengangkatan anak juga tidak terlepas dari adanya akibat hukum yang menyangkut dengan harta warisan. Pasal 11 Staatblad Tahun 1917 Nomor 129 menyebutkan “Pengangkatan anak mempunyai akibat hukum bahwa orang yang akan diangkat sebagai anak baik anak laki-laki ataupun perempuan itu memperoleh nama marga dari orang tua angkat nya dalam hal marganya berbeda dengan marga orang yang diangkat sebagai anak”. Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hak-hak keperdataan yang berkaitan dengan garis keturunan antara oang tua kandung. Apabila dilihat dari mekanisme pembagian warisan, hukum waris di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 131 IS Indische Staatsregeling. Golongan penduduk tersebut terdiri dari golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, golongan Timur Asing Tionghoa dan Non Tionghoa, dan golongan Bumi Putera. Universitas Sumatera Utara 24 Meskipun sudah ditentukan dalam pembagian waris pada masyarakat golongan Tionghoa diberlakukan KUH Perdata, namun dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat Tionghoa lebih memilih pembagian harta warisan secara hukum adat.

2. Konsepsi

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

3 93 133

Kedudukan Perempuan Karo Dalam Memperoleh Harta Warisan (Studi Kasus Di Kota Medan)

5 62 133

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT ADAT OSING DI DESA OLEHSARI, KECAMATAN GLAGAH, KABUPATEN BANYUWANGI

0 4 17

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN ORANG TUA ANGKAT PERSPEKRIF HUKUM ADAT Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkat Perspekrif Hukum Adat (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Klaten).

0 2 18

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkat Perspekrif Hukum Adat (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Klaten).

1 4 12

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 49

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 31

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PEREMPUAN TERHADAP HARTA WARISAN DI KALANGAN ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN TESIS

0 0 16

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN TESIS

0 1 16

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN ANAK ANGKAT SEBAGAI AHLI WARIS DALAM PEMBAGIAN WARISAN ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

0 0 14