1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia terdiri dari beribu–ribu kepulauan yang mempunyai berbagai suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat yang memiliki perbedaan
walaupun ada juga persamaannya. Demikian pula mengenai ketentuan tentang pewarisannya terdapat banyak perbedaan, namun ada juga persamaannya. Hukum
adat tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini disebabkan karena setiap anggota masyarakat di masing-masing
daerah tersebut selalu patuh pada hukum adat, yang merupakan hukum tidak tertulis, hukum tersebut telah mendarah daging dalam hati sanubari anggota masyarakat yang
dapat tercermin dalam kehidupan di lingkungan masyarakat tersebut.
1
Negara Republik Indonesia sampai sekarang ini masih berlaku hukum waris yang bersifat pluralistik, yaitu :
1. Hukum Waris Adat, untuk warga negara Indonesia asli. 2. Hukum Waris Islam, untuk warga negara Indonesia asli di berbagai daerah dari
kalangan tertentu yang terdapat pengaruh hukum agama Islam. 3. Hukum Waris Barat, untuk warga negara Indonesia keturunan Eropa dan Cina,
yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
2
1
Adityo Ariwibowo,
Sistem Pewarisan
Masyarakat Adat
di Indonesia, http:adityoariwibowo.wordpress.com, diakses Maret 2013.
2
Ibid.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Dalam hal membicarakan hukum waris juga tidak terlepas dari masalah hukum keluarga. Hukum keluarga dimaksud adalah hukum yang mengatur hubungan antar
individu dalam sebuah keluarga. Di Indonesia, hukum keluarga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ke 1 satu. Ketentuan lain yang mengatur
tentang sebuah keluarga dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945, yang dimuat dalam Pasal 28B ayat 1 yang menentukan bahwa: ”setiap
orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui keturunan yang sah.”
3
Ketentuan di atas jelas menunjukkan bahwa, keluarga dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dipergunakan dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap
orang dan merupakan sarana untuk dapat melanjutkan silsilah keluarga dengan
mempunyai keturunan, yakni seorang anak dengan jalan melakukan perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah dimaksud adalah sebagaimana yang ditentukan dalam
ketentuan yang berlaku dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 UU No. 1 Tahun 1974.
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa”. Dari pengertian tersebut
tergambar tujuan dari dilakukannya perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia, dan adanya
hubungan yang erat dengan keturunannya.
3
Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Universitas Sumatera Utara
3
Kemudian di dalam sebuah keluarga tiada lengkap tanpa adanya anak yang lahir dari hubungan perkawinan di maksud. Kehadiran seoarang anak akan
melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah
keluarga dan juga merupakan keinginan mengembangkan keturunan adalah naluri setiap manusia.
Apabila dalam sebuah keluarga telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam keluarga tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani,
jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya. Namun demikian, dalam kenyataannya tidak semua orang yang membentuk keluarga secara sah tersebut
dianugerahi dengan kehadiran seorang anak, karena bahkan ada pasangan suami isteri yang telah menikah bertahun-tahun belum dikaruniai keturunan atau tanpa kehadiran
seorang anak. Bahkan, di dalam masyarakat tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri.
Menghadapi kondisi demikian sebagai masyarakat yang tidak memiliki keturunan berupa anak yang didambakan tidak diperoleh secara natural, maka
dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain. Selanjutnya anak tersebut dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang
tidak dapat
diperoleh secara
alami. Upaya
memperoleh anak
melalui pengangkatan anak dalam istilah hukum Perdata Barat lazim disebut sebagai
“adopsi”.
Universitas Sumatera Utara
4
Secara etimologi yaitu, Muderis Zaini mengatakan bahwa pengangkatan anak berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt” bahasa Inggris. Pengertian
dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.
4
Lebih lanjut mengutip Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Muderis Zaini mengemukakan bahwa anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Sedangkan dalam
ensiklopedia umum disebutkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan
perundang-undangan.
5
Perbuatan pengangkatan
anak bukanlah
merupakan perbuatan
yang terjadi pada suatu saat, seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan
merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukkan adanya cinta kasih, kesadaran yang penuh dan segala akibat yang ditimbulkan dari
pengangkatan anak tersebut. Arif Gosita mengatakan bahwa masalah pengangkatan anak menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional demi pengayoman di
bidang hukum dan kesejahteraan sosial yang bersangkutan, patut disambut dan dihargai.
6
Keberadaan anak angkat di tengah masyarakat adat yang dilakukan oleh keluarga tertentu, nampaknya menjadi fenomena yang cukup menarik untuk dapat
4
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Bina Akasara, 1999, hal.85.
5
Ibid., hal. 4.
6
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
5
diperbincangkan dalam khasanah keilmuan dewasa ini. Anak merupakan amanat dari Tuhan yang maha kuasa, yang diberikan agar dapat dipelihara secara lahir dan bathin
oleh keluarga. Seorang anak memang layak hidup dengan segala kebutuhan yang diusahakan oleh kedua orang tua kandung, karena memang sudah menjadi tanggung
jawabnya. Namun demikian, keadaan tersebut sering kali tidaklah dapat dirasakan oleh beberapa anak yang mungkin karena salah satu atau kedua orang tuanya telah
tiada. Kemungkinan ini menimbulkan keadaan hidup si anak tidak lagi selayak anak yang lain, yang masih mempunyai orang tua kandung. Keadaan seperti ni, dapat pula
terjadi dengan adanya kemungkinan karena kedua orang tua kandung memang tidak mampu secara ekonomi membiayai hidup si anak.
Beberapa sebab lain dapat pula terjadi, sehingga oleh keluarga lain kemudian diambil untuk dijadikan anak angkat. Pengangkatan anak oleh keluarga tertentu pada
akhirnya mempunyai akibat-akibat yang mungkin terjadi di kemudian hari keberadaan anak angkat dalam keluarga memungkinkan adanya ikatan emosional
yang tinggi, yang tidak lagi memisahkan antara satu dengan yang lain. Sehingga, pada saatnya anak angkat dapat diperhitungkan sebagai orang yang
berhak mendapatkan harta orang tua angkat setelah meninggal. Inilah akibat yang dimaksud
terjadi di kemudian hari. Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa keberadaan anak angkat tersebut di atas mempunyai kedudukan terhadap harta
warisan. Apabila ditelaah menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam
preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat di
Universitas Sumatera Utara
6
bawah generasi yang diadopsi, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari dari sepupu laki-laki dari paman, karena
nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama.
Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai
praktek pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang
lain. Praktek pengangkatan anak telah lama melembaga di berbagai suku bangsa di tanah air, akan tetapi disatu aturan hukum yang mengatur mengenai hal itu sampai
saat ini belum memadai. Padahal pelaksanaan pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia diselenggarakan bukan hanya dengan memperhatikan kepentingan orang
tua angkatnya saja, tetapi juga dengan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan anak yang akan dijadikan sebagai anak angkat. Oleh karena itu, untuk menjamin
kepastian hukum dari pelaksanaan pengangkatan anak tersebut, maka hal ini diatur dalam undang-undang.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu
dalam bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUHPerdata. Maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, pemerintah Belanda pada tahun 1917
Universitas Sumatera Utara
7
mengeluarkan Staatblad Nomor 129 yang mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa Pasal 5 – Pasal15.
7
Namun dalam KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa,
yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan. Diberlakukannya KUH Perdata bagi golongan Tionghoa, khususnya mengenai hukum keluarga sudah tentu
menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi di dalam KUH Perdata. Masyarakat Tionghoa yang telah
mengenal lembaga
adopsi berdasarkan
hukum keluarga Tionghoa
sebelum berlakunya KUH Perdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga
yang tidak mempunyai anak atau tidak memiliki keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga keluarga dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur.
Hidayat MZ mengatakan hal ini dalam upacara kematian biasanya anak laki-laki tertua yang membawa foto orang tuanya yang meninggal dan pada saat mengadakan
pertemuan musyawarah keluarga apabila orang tua sudah tidak ada, anak laki-laki tertua yang memimpin jalannya musyawarah.
8
Jadi dalam hal ini pengangkatan anak pada masyarakat Etnis Tionghoa tradisi pengangkatan anak lebih didominasi oleh faktor penyebab ketiadaan anak laki-laki
yang menjadi generasi penerus keluarga dan pemelihara abu leluhur seta berhak atas harta warisan. Namun berdasarkan yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta,
7
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal 178.
8
Hidayat Z. M., Masyarakat dan Kebudayaan Tionghoa Indonesia, Tarsito, Bandung, 1977, hal 101-103.
Universitas Sumatera Utara
8
tanggal 29 mei 1963 No. 9171963 jo putusan Pengadilan Negeri Jakarta 17 Oktober 1963 No. 588 menyatakan bahwa “pengangkatan anak di kalangan masyarakat
Tionghoa di Indonesia tidak lagi terbatas pada pengangkatan anak laki-laki namun telah diperbolehkan juga pengangkatan terhadap anak perempuan”. Sebagaimana juga
dinyatakan dalam SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983 terkait dengan yurisprudensi terhadap pengangkatan anak perempuan”. Dengan kata lain hal
ini membawa akibat hukum bahwa anak angkat perempuan juga berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya.
Selain itu, dalam masyarakat etnis Tionghoa juga terdapat suatu kebiasaan dalam pengangkatan anak, di mana pengangkatan anak menurut masyarakat WNI
keturunan Cina atau Tionghoa menurut Henson yang dikutip Risko Al Windo El Jufri kebanyakan berdasarkan sebagai berikut :
a. Apabila anak yang akan diangkat berasal dari lingkungan keluarga sendiri atau
kerabat dari orang yang mengangkat maka pada umumnya pengangkatan dilakukan secara diam-diam yang dirahasiakan oleh anggota keluarga. Artinya
tanpa diadakan acara syukuran tapi diketahui oleh ketua adat dan ketua RT setempat.
b. Jika anak yang diangkat berasal dari luar lingkungan keluarga orang tua yang
mengangkat, biasanya dilakukan secara terang dan tunai. Artinya pengangkatan itu diramaikan oleln keluarga terdekat dan para tetangga dengan mengadakan
Universitas Sumatera Utara
9
acara syukuran. Maksudnya agar sewaktu-waktu anak tersebut tidak dapat ditarik oleh orang tua kandungnya.
9
Adapun fakta yang terjadi dilapangan bahwa pengangkatan anak tersebut pada umumnya dilakukan dengan tradisional tanpa melalui Pengadilan setempat.
Menghadapi dilema tersebut, bahwa tidak selalu perbuatan yang diatur itu berarti dilarang atau dibolehkan, tetapi harus dilihat secara kasuistis.
10
Dalam hal ini pembentuk Undang-undang tidak mungkin mengatur seluruh kegiatan kehidupan
manusia secara lengkap dan tuntas. Dalam praktek secara garis besar dalam pembagian warisan, semua orang Tionghoa termasuk di wilayah Kota Medan,
akan membagi warisannya secara kekeluargaan sesuai dengan hukum adat masing-masing.
Formalitas dan aspek hukum hanya diperlukan kalau ada pihak-pihak yang keberatan dengan cara pembagian seperti itu. Jadi yang diutamakan adalah asas
kekeluargaan, bukan aspek hukumnya, kalau semua anggota menerima, semua selesai tanpa perlu formalitas dan aturan hukum, kecuali untuk pengalihan hak atas tanah
yang memerlukan akta notaris. Dalam hal anak pungut, kalau anak pungut tersebut diadopsi secara sah, baik laki-laki ataupun perempuan, hak warisnya akan disamakan
dengan hak anak kandung. Namun yang menjadi masalah adalah aturan pembagian warisan tersebut, di mana antara Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan ada
9
Risko Al Windo El Jufri, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Di Kota Jambi, PPS, Universitas
Niponegoro Semarang, 2010, hal 8.
10
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal 64.
Universitas Sumatera Utara
10
perbedaan mendasar, tetapi tidak ada patokan yang pasti yang dapat dijadikan rujukan.
Mengenai perbedaan dalam masyarakat Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan menurut Hidayat Z.M, selain mengenai aturan warisan juga terdapat
perbedaan lainnya : Dalam pendidikan terdapat juga perbedaan. Banyak diantara orang-orang
Tionghoa peranakan menyesuaikan diri dengan setiap situasi baru. Mereka banyak yang telah masuk agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan, di
samping sekolah-sekolah umum. Mereka juga sering terpengaruh oleh pendidikan dan pola kehidupan sosio-budaya asli masyarakat Indonesia.
Terlihat dari usahanya untuk mencapai suatu status sosial yang terhormat dalam masyarakat, dengan berusaha untuk mencapai perguruan-perguruan tinggi
dengan hasil sebaik mungkin. Mereka lebih menghargai orang-orang terpelajar. Tidaklah demikian bagi orang-orang Tionghoa Totok, yang lebih menghargai
orang yang sukses dalam usaha perdagangan atau industri materialistis. Bagi orang-orang Tionghoa
peranakan pendidikan formil mempunyai arti yang sangat penting.
11
Pada masyarakat Tionghoa peranakan umumnya akan membagikan semua harta secara sama rata terhadap semua anaknya baik laki-laki maupunpe rempuan,
termasuk anak angkat yang diadopsi secara sah. Akan tetapi, pada prakteknya, anak- anak yang sudah kaya biasanya tidak mengambil haknya atau hanya mengambil
sebagian, sisanya diberikan kepada saudara kandungnya yang kurang mampu miskin. Anak angkat yang tidak diadopsi sekalipun, asal dari bayi ikut keluarga
tersebut umumnya akan diberikan warisan yang sama dengan anak kandungnya. Sementara itu, Tionghoa Totok yang lahir dari Tiongkok atau generasi kedua
atau ketiganya yang masih memegang tradisi daerah asal orang tuanya, hak waris
11
Hidayat Z. M., Op.Cit. hal 103
Universitas Sumatera Utara
11
antara anak laki-laki dan perempuan tidak sama dimana hak waris anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Pada prakteknya, aturan ini tidak sepenuhnya
dilaksanakan secara konsekuen, karena sebagian Tionghoa Totok melakukan pembagian warisan sama seperti Tionghoa Peranakan, tanpa membedakan anak laki-
laki dan perempuan. Berdasarkan hasil penelitian di Kota Medan diketahui terdapat beberapa suku
dari etnis
Tionghoa yang
menjadi warga
Negara Indonesia
keturunan Tionghoa, suku hokkian, haka, tio chiu, kong hu dan suku Hainan. Suku Hainan
berasal dari pulau Hainan yang terletak di wilayah China. Walaupun terdiri dari berbagai suku etnis Tionghoa dan terdapat perbedaan dialek, namun
memiliki kebiasaan adat yang sama.
Data penelitian sementara juga menunjukkan bahwa dalam hal pengangkatan anak dikenal 2 model pengangkatan anak, yaitu ;
1. Pengangkatan anak yang dilakukan dimana anak angkat tidak menetap bersama
orang tua angkat namun tetap tinggal bersama orang tua kandungnya.
2.
Pengangkatan anak yang dilakukan dimana anak angkat tersebut menetap bersama orang tua angkatnya dan telah putus hubungan antara anak kandung
dengan orang tua kandungnya tersebut. Adanya model pengangkatan anak di kalangan etnis Tionghoa khususnya suku
Hainan inilah yang kemudian menarik untuk diteliti lebih lanjut yang selanjutnya dikaitkan dengan kedudukan anak angkat perempuan dalam etnis Tionghoa di Kota
Universitas Sumatera Utara
12
Medan. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan
judul “Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Dalam Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan
”.
B. Perumusan Masalah