29
peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan
kedudukan anak angkat perempuan dalam terhadap harta warisan orang tua angkatnya dalam masyarakat etnis Tionghoa.
b. Penelitian Lapangan field research
Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang berkaitan dengan materi penelitian yaitu tentang kedudukan anak angkat perempuan
dalam terhadap harta warisan orang tua angkat dalam masyarakat etnis Tionghoa. Penelitian lapangan field research dimaksudkan untuk memperoleh data
sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder tersebut diperoleh dari wilayah
Kota Medan. Metode yang digunakan yaitu wawancara dengan narasumber baik responden maupun informan. Responden yaitu menyatakan responden merupakan
pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan.
29
Informan adalah sumber informasi untuk pengumpulan data. Informan juga dapat didefinisikan
sebagai orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan masalah objek penelitian.
30
4. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
29
Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 71,
30
Burhan Ashhofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
30
a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
pengangkatan anak. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang berhubungan dengan kedudukan anak angkat perempuan dalam terhadap
harta warisan orang tua angkatnya dalam masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan.
b. Wawancara
31
dengan menggunakan pedoman wawancara interview quide
32
. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam depth interview.
5. Analisis Data
Metode analisis data digunakan dalam penelitian ini ditujukan untuk menarik kesimpulan dari hasil pembahasan yang sudah terkumpul digunakan metode normatif
kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertolak dari peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif sedangkan kualitatif, dimaksudkan analisis data yang bertitik
tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan selanjutnya akan dipilah-
pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum maupun berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan yang mengatur masalah
kedudukan anak angkat perempuan terhadap harta warisan etnis Tionghoa, kemudian
31
Herman Warsito, Op.Cit, hal 71.
32
Ibid, hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan.
Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
Universitas Sumatera Utara
31
disistematisasikan sehingga menghasilkan suatu klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.
33
Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan perspektif disiplin ilmu lainnya, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian hukum, karena
perspektif disiplin lain hanya sekedar alat bantu.
34
Dengan demikian, jelaslah bahwa data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif yaitu menafsirkan
menganai kedudukan anak angkat perempuan terhadap harta warisan Etnis Tionghoa dari suku Hainan di Kota Medan. Penarikan kesimpulan dilakukan melalui induktif.
33
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002. hal.. 24.
34
Alvi Syahrin, Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan. Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal.. 17.
Universitas Sumatera Utara
32
BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT
ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
Ketentuan hukum tentang pengangkatan anak yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu :
1. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan
bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak yaitu bahwa Tata cara pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia bahwa seorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 dua kali dengan jarak
waktu paling singkat 2 dua tahun. 3.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 1983 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih
dahulu mengajukan permohonan pengesahanpengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUH Perdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu
dalam bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUH Perdata. Pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblad Nomor 129 yang mengatur masalah adopsi
bagi golongan masyarakat Tionghoa Pasal 5 sd Pasal 15.
32
Universitas Sumatera Utara
33
Namun dalam KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa,
yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan. Diberlakukannya KUH Perdata bagi golongan Tionghoa, khususnya mengenai hukum keluarga sudah tentu
menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi di dalam KUH Perdata.
B. Pengertian Pengangkatan Anak dan Pengaturannya
A nak merupakan individu yang berada dalam perkembangan mulai dari bayi
hingga remaja dan belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua di mana kata “anak” merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak
dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Hal ini sesuai dengan pengertian a
nak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern bahwa ”anak adalah keturunan kedua”.
35
Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi
akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya. Haditono mengutip pendapat Sumadi Suryabrata, menyatakan bahwa :
Anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan
35
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
34
keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.
36
Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat
perhatian baik dalam bidang ilmu pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologi sehingga pengertian anak semakin aktual dalam lingkungan sosial.
Kedudukan anak sebagai subjek hukum, ditentukan dari bentuk sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum dan
tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Tidak mampu dimaksud adalah karena akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam diri anak yang
bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subjek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum secara substansial meliputi
peristiwa hukum pidana maupun hubungan kontrak yang berada dalam lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.
37
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
38
Ketentuan tersebut menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak berusia 18
tahun. Dalam konteks hukum perdata pengertian anak erat kaitannya dengan
36
Sumadi Suryabrata, Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Andi, Yogyakarta, 2000, hal. 3.
37
Maulana Hasan Wadong, Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 3.
38
Undang-undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , Media Centre, Surabaya, 2006, hal. 119.
Universitas Sumatera Utara
35
kedewasaan. Hukum Indonesia mengenai anak masih digolongkan sebagai anak terdapat perbedaan penentuan, dimana terdapat perbedaan tolak ukur, antara lain:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Pasal 330 Ayat 1 KUH Perdata yang menentukan bahwa batas antara belum dewasa Minderjerigheid dengan telah dewasa Meerderjarigheid yaitu 21 tahun
kecuali Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan venia aetetis Pasal 419
b. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 47 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat 1 menentukan bahwa “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang
tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Dari ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut
di muka dapat disimpulkan bahwa dalam Undang-undang tersebut menentukan batas belum dewasa atau sudah dewasa adalah 16 tahun ada 19 tahun.
c. Hukum kebiasaan hukum adat dan hukum Islam
Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Mr. R. Soepomo tentang
hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi: 1 Dapat bekerja sendiri mandiri, 2 Cakap untuk melakukan apa yang
Universitas Sumatera Utara
36
disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan 3 Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.
39
Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak
berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata.
40
Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia di bawah 21 tahun. Dalam kehidupan bermasyarakat juga dikenal adanya anak angkat atau anak
orang lain yang diangkat menjadi layaknya anak sendiri atau anak kandung. Dengan kata lain anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua
dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka
yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah dikaruniai keturunan. Karena hal ini diperbolehkan oleh undang-undang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan
hukum. Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang
lain yang diambil dipelihara serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.
41
Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan
39
Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 17.
40
Ibid, hal. 19.
41
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal.31.
Universitas Sumatera Utara
37
atas harta kekayaan rumah tangganya.
42
Sedangkan menurut Surojo Wignodipuro yang mengartikan sebagai berikut :
Anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya
sendiri sedemikian
rupa sehingga
antara orangtua
yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan
kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandung sendiri.
43
Kemudian menurut M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata, anak angkat adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari
orangtua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri.
44
Sementara itu dalam Mahmud Syaltut yang dikutip Aziz Dahlan, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian anak angkat, yaitu :.
Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya, Cuma
ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai
“anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan nasaborang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat
hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.
45
42
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Alumni, 1991, hal.20.
43
Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, Kinta, 1972, hal 14.
44
M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Semarang, 1990, hal.34.
45
A. Aziz Dahlan, Op.Cit., hal. 29-30
Universitas Sumatera Utara
38
Peraturan Pemerintah
Nomor 54
Tahun 2007
tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak, ditentukan bahwa : Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan
hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan kedalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada
pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung. Adanya anak angkat dalam sebuah keluarga adalah akibat adanya tindakan
pengangkatan anak. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang
sahwalinya yang sahorang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan kekuasaan keluarga orang tua
angkat berdasarkan
putusanpenetapan Pengadilan
Negeri.
46
Sifat perbuatan
pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang tidak dapat dianggap hanya sebagai hasil kesepakatan antara para pihak semata, pengangkatan anak harus
dianggap sebagai suatu lembaga yang menciptakan suatu hubungan hukum yang sah bagi anak angkat dengan lingkungan keluarga orang tua angkat berdasarkan
penetapan pengadilan.
46
Erna Sofwan Sjukrie, Lembaga Pengangkatan Anak, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1992, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
39
Hendaknya dipahami bahwa perbuatan pengangkatan anak bukanlah suatu perbuatan hukum yang dapat terjadi pada suatu saat seperti halnya dengan
penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukan adanya kesungguhan, cinta kasih dan kesadaran yang
penuh akan segala akibat dari pengangkatan anak. Apabila ditelaah ketentuan dalam KUH Perdata tidak mengatur tentang
lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan.
Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi.
1. Secara etimologi yaitu, pengangkatan anak berasal dari kata “adoptie” bahasa
Belanda atau “adopt” bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak
kandungnya sendiri. 2.
Secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya
sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur
dalam pengaturan perundang-undangan.
47
Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak adalah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu
47
Muderis Zaini, Op.Cit., hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
40
ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.
48
Dengan kata lain, melalui pengangkatan anak, anak angkat masuk kehidupan rumah tangganya orang
tua yang mengambil anak itu sebagai sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi ia berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan
bapak angkat. Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata
untuk pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal warisan.
49
Mengenai adopsi adalah sebagai suatu lembaga hukum yang menyebabkan seorang beralih ke hubungan kekeluargaan lain,
sehingga timbul hubungan-hubungan hukum yang sah dengan orang tuanya. Pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari
orang tua angkatnya. Dengan kata lain adopsi itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri.
Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian adopsi secara umum adalah suatu tindakan mengalihkan seseorang anak
dari kekuasaan orang tua kandungnya ke dalam kekuasaan orang tua angkatnya, untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, sehingga dengan
sendirinya anak angkat mempunyai hak dan kedudukan yang sama seperti anak kandung. Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum perdata dan
merupakan bagian
dari hukum
kekeluargaan, bagaimanapun
juga lembaga
48
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 102.
49
Irma Setyowati Soemitro. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara. Jakarta, 1990, hal 47
Universitas Sumatera Utara
41
pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan.
Pengangkatan anak dilihat dari tujuannya dapat ditinjau dari 2 aspek, yaitu pengangkatan anak ditinjau dari aspek kepastian hukum status anak yang diangkat
dan aspek kesejahteraan sosial, yaitu meningkatkan kesejahteraan anak. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak
merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak.
Djaja S. Meliala mengatakan bahwa alasan orang melakukan pengangkatan anak sangat beragam, tetapi terutama yang terpenting adalah:
1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak
mampu memeliharanya. 2.
Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya di hari tua.
3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka akan dapat
mempunyai anak sendiri. 4.
Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada. 5.
Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja. 6.
Untuk mempertahankan ikatan perkawinan kebahagiaan keluarga.
50
50
Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak Adopsi di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
42
Arief Gosita yang dikutip
Irma Setyowati Soemitro
menyebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunyai dampak terhadap perlindungan anak, syarat-
syarat yang harus dipenuhi yaitu : a.
Diutamakan pengangkatan anak yatim piatu; b.
Anak yang cacat mental, fisik, sosial; c.
Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu mengelola keuangannya;
d. Bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga antara anak dan orang tua
kandung sepanjang hayat; e.
Hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya.
51
Beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar dilaksanakan suatu pengangkatan anak antara lain :
1. Dilihat dari sisi adoptant, karena ada alasan sebagai berikut :
a. Keinginan mempunyai keturunan atau anak; b. Keinginan untuk mendapat teman bagi dirinya sendiri atau anaknya;
c. Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan;
d. Adanya ketentuan hukum yang memberi peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak;
e. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.
51
Irma Setyowati Soemitro, Op.Cit., hal 38.
Universitas Sumatera Utara
43
2. Dilihat dari sisi orang tua anak, karena alasan sebagai berikut :
a. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri; b. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak
yang ingin mengangkat anaknya; c. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak;
d. Saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain; e. Keinginan agar anaknya hidupnya lebih baik dari orang tua angkatnya;
f. Ingin agar anaknya terjamin materiil selanjutnya; g. Masih mempunyai anak beberapa lagi;
h. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri; i. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat hubungan
tidak sah; j. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak
sempurna fisiknya. Pengangkatan anak selain bertujuan untuk memperoleh anak, mendapatkan
anak yang berjenis kelamin berbeda dengan anak yang dimiliki, menolong anak yang yatim piatu dan ada juga tujuan lain yaitu untuk mensejahterakan anak dan
melindunginya dari kekerasan dan diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak dengan memberikan perhatian dan kasih sayang.
Sejalan dengan perkembangan waktu dan masyarakat nilai dari pengangkatan anak mengalami pergeseran. Pada mulanya pengangkatan anak terutama ditujukan
untuk kepentingan orang yang mengangkat anak adoptant, tetapi untuk saat ini
Universitas Sumatera Utara
44
masalah pengangkatan anak ditujukan untuk kepentingan anak yang diangkat
adoptandus yakni untuk kesejahteraan si anak. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa masalah pengangkatan anak
berkaitan dengan masalah perlindungan anak. Selama dalam pengasuhan, anak berhak untuk mendapatkan perlindungan seperti yang telah diatur dalam Pasal 13 UU
Perlindungan Anak, yang menyebutkan sebagai berikut : Pasal 13
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan
perlindungan dari perlakuan : a.
Diskriminasi; b.
Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c.
Penelantaran; d.
Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e.
Ketidakadilan; dan f.
Perlakuan salah lainnya. Pengaturan mengenai hak-hak anak yang didapatkan oleh anak angkat tersebut
wajib diberikan orang tua atau wali yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak angkat tersebut, sehingga hak anak telah terlindungi sesuai dengan ketentuan Pasal 13
UU Perlindungan Anak. Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak juga mengatur mengenai hak anak untuk mendapatkan
perlindungan dari segala diskriminasi, yang menyatakan sebagai berikut “Hak-hak
Universitas Sumatera Utara
45
yang dinyatakan dalam Konvensi ini akan berlaku pada semua anak yang ada di dalam suatu negara tanpa segala macam diskriminasi. Anak akan dilindungi dari
diskriminasi berdasarkan status keluarga, kegiatan atau kepercayaannya”. Selain itu, dalam Pasal 19 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang
Konvensi Hak Anak juga menyatakan bahwa ”Negara akan melindungi anak-anak dari semua bentuk kekerasan, perlakuan sewenang-wenang, pengabaian dan
eksploitasi selagi mereka berada di bawah asuhan orang tua atau orang lain dalam mengimplementasikan pencegahan dan program perawatan.
Berdasarkan Pasal 2 dan 19 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak tersebut di atas selaras dengan adanya Pasal 13 UU
Perlindungan Anak di mana anak juga berhak untuk mendapatkan perlindungan dan perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan juga kekerasan. Pelaksanaan pengangkatan
anak dalam praktiknya lebih mengutamakan pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak di samping juga kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil
oleh orang lain. Kemudian pelayanan diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Sepanjang proses tersebut, anak benar-
benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa bukan sebagai objek perdagangan.
Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah
karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan pengangkatan anak. Pada dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan
Universitas Sumatera Utara
46
anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang
bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Pengangkatan anak dilakukan melalui Dinas Sosial dan diatur dalam Ketentuan
Umum angka 6 Keputusan Menteri Sosial Nomor 40HUKKEPIX 1980 tentang Organisasi Sosial yang menyatakan bahwa “Organisasi sosial lembaga pelayanan
sosial adalah lembaga kesejahteraan sosial yang berbadan hukum yang menangani pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Dinas Sosial melalui Surat Keputusan Menteri
Sosial sebagai penyelenggara pengangkatan anak”.
52
Kriteria yayasanorganisasi sosial yang dapat ditunjuk oleh Menteri Sosial sebagai lembaga yang memfasilitasi pengangkatan anak adalah:
1. Memiliki panti sosial asuhan anak yang khusus melayani anak balita dengan
sarana dan prasarana yang memadai. 2.
Memiliki SDM yang melaksanakan tugas secara purna waktu dengan disiplinketerampilan pekerja sosial. Sarjana hukum, psikolog, dan pengasuh.
3. Mandiri dalam operasional
4. Telah memiliki hubungan kerja dengan rumah sakit setempat.
53
Dalam melakukan pengangkatan anak perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur pengajuan pengangkatan anak yang diatur dalam
Pasal 39 sampai
52
Keputusan Menteri Sosial Nomor 40HUKKEPIX1980 tentang Organisasi Sosial
53
Departemen Sosial Republik Indonesia. Op.Cit., hal 4
Universitas Sumatera Utara
47
dengan Pasal 41 UU Perlindungan Anak. Syarat yang wajib dipenuhi demi kepentingan anak menurut UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut :
Pasal 39 1 Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2 Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
3 Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4 Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5 Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Berdasarkan ketentuan hukum mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak, maka orang tua angkat mempunyai kewajiban seperti yang telah
diatur dalam Pasal 40 yang menyebutkan : 1 Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal
usul dan orang tua kandungnya 2 Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
48
Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandung ini bertujuan agar anak yang telah diangkat tidak merasa kehilangan jati diri yang sebenarnya dan mengetahui asal
usulnya yang sebenar-benarnya. Selain itu, agar tujuan dari UU Perlindungan Anak ini tercapai, maka diperlukan peran serta dari masyarakat dan pemerintah. Pasal 41
yang menentukan bahwa : 1 Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengangkatan anak. 2 Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian, syarat dan prosedur lain yang harus ditempuh untuk melakukan
pengangkatan anak keduanya adalah WNI. Untuk syarat calon orang tua angkat pemohon, diperbolehkan pengangkatan anak langsung dilakukan antara orang tua
kandung dengan orang tua angkat atau biasanya disebut dengan private adaption. Selain itu, pengangkatan anak oleh orang yang belum menikah juga diperbolehkan
atau disebut dengan single parents adaption, asalkan para orang tua angkat ini mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap.
Syarat calon anak angkat bila dalam asuhan suatu yayasan sosial, yayasan sosial harus mempunyai surat ijin tertulis dari Menteri Sosial bahwa yayasan yang
bersangkutan telah diijinkan bergerak di bidang pengasuhan anak dan calon anak angkat harus punya ijin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang berwenang
bahwa anak tersebut diijinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat, dan apabila ijin sudah lengkap, kemudian mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada Ketua
Universitas Sumatera Utara
49
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggaldomisili anak yang akan diangkat.
Selain itu, Arif Gosita mengatakan bahwa dalam hal pengangkatan anak harus ada pihak-pihak yang bersangkutan. Pihak-pihak yang bersangkutan dalam terjadinya
dan berlangsungnya pengangkatan anak adalah sebagai berikut : a.
Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya diangkat. b.
Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak. c.
Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak. d.
Pihak perantara, yang secara individual atau kelompok badan, organisasi menguntungkan atau merugikan pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat
pengangkatan anak. f.
Anak yang diangkat, yang tidak menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya, menjadi korban tindakan aktif dan pasif
seseorang.
54
Sementara itu, menurut Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak Departemen Sosial Republik Indonesia dalam pengangkatan anak pihak-pihak yang terlibat dalam
hal terjadinya pengangkatan anak adalah sebagai berikut: a.
Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat. b.
Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.
54
Arif Gosita. Masalah Perlindungan Anak. Edisi Pertama. Akademi Presindo. Jakarta. 1989, hal. 44
Universitas Sumatera Utara
50
c. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak.
d. Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok badan, organisasi.
e. Pembuatan Undang-Undang yang merumuskan ketentuan pengangkatan anak
dalam peraturan perundang-undangan. f.
Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan anak.
g. Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang
menguntungkan atau merugikan dirinya.
55
Pihak Dinas Sosial dalam proses pengangkatan anak ikut andil dalam proses adopsi sebagai fasilitator, dengan perannya menjembatani calon orang tua adopsi
dengan rumah sakit atau yayasan sosial yang dapat melaksanakan adopsi anak. Dinas Sosial akan berperan memberikan pengarahan-pengarahan kepada calon orang tua
adopsi apa saja yang diperlukan apabila akan melaksanakan adopsi anak, diantaranya adalah dengan memberitahukan prosedur dan syarat yang harus dipenuhi oleh calon
orang tua adopsi. Selain itu, dalam pelaksanaan adopsi anak Dinas Sosial juga memberikan
pengawasan dan pembinaan kepada yayasan sosial atau panti asuhan yang biasanya melakukan adopsi anak agar pelaksanaan adopsi dapat berjalan sesuai dengan
prosedur-prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan. Tujuan utama dari Adopsi anak adalah untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak
55
Departemen Sosial Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak Departemen Sosial Republik Indonesia. Jakarta. 2005. hal 5
Universitas Sumatera Utara
51
tersebut dapat berkembang dan tumbuh secara baik sehingga apa yang anak tersebut peroleh dapat dipergunakan di masa depan mereka.
Agar proses pelaksanaan adopsi dapat berjalan dengan lancar, maka calon orang tua adopsi harus memenuhi segala persyaratan dalam pengangkatan anak
adopsi. Apabila dalam proses ada syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi, maka pelaksanaan adopsi tidak dapat dilanjutkan.
Pengaturan mengenai
Prosedur lebih
lengkapnya tentang
permohonan pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yaitu
dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagai berikut : a.
Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Instansi Sosial KabupatenKota dengan melampirkan:
1 Surat penyerahan anak dari orang tuawalinya kepada instansi sosial;
2 Surat penyerahan anak dari Instansi Sosial PropinsiKabKota kepada
Organisasi Sosial Orsos; 3
Surat penyerahan anak dari orsos kepada calon orang tua angkat; 4
Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri calon orang tua angkat;
5 Fotokopi surat tanda lahir calon orang tua angkat;
6 Fotokopi surat nikah calon orang tua angkat;
Universitas Sumatera Utara
52
7 Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari Dokter Pemerintah;
8 Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan Dokter
Psikiater; 9
Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja. b.
Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Kepala Dinas SosialInstansi Sosial PropinsiKabKota dengan ketentuan sebagai berikut:
1 Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup;
2 Ditandatangani sendiri oleh pemohon suami-istri;
3 Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang akan diangkat.
c. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon
orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat mengenai
penyerahan anak dan orang tuawali keluarganya yang sah kepada calon orang tua angkat yang disahkan oleh instansi sosial tingkat KabupatenKota setempat,
termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang diragukan domisili anak berasal.
d. Proses Penelitian Kelayakan
e. Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak PIPA Daerah
f. Surat Keputusan Kepala Dinas SosialInstansi Sosial PropinsiKab Kota bahwa
calon orang tua angkat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan ketetapan sebagai orang tua angkat.
Universitas Sumatera Utara
53
g. Penetapan Pengadilan.
h. Penyerahan Surat Penetapan Pengadilan.
56
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam pengangkatan anak juga harus dipenuhi berbagai persyaratan khususnya yang menyangkut orang yang mengangkat
anak dan calon anak yang diangkat diadopsi. Guna melegalkan adopsi atau
pengangkatan anak maka dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Hal ini berimplikasi secara hukum, sedangkan pengangkatan anak yang ilegal adalah
pengangkatan anak yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua kandung anak. Jika, seorang anak diadopsi
secara legal, maka setelah pengangkatan ada akibat hukum yang ditimbulkan, seperti hak perwalian dan pewarisan. Namun terhadap anak yang diangkat secara tidak sah,
tidak ada hubungan hukum yang terjadi diantara orang tua angkat dengan anak angkat tersebut.
C. Hukum Adat dan Sejarah Keberadaan Masyarakat Etnis Tionghoa
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan
Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat
56
Hukum Online, Anak Angkat Prosedur dan Hak Warisnya, http:www.hukumonline.com diakses 12 September 2013 Pukul 17.45 Wib
Universitas Sumatera Utara
54
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
57
Dari 19 daerah lingkungan hukum rechtskring di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok,
yaitu: 1.
Hukum Adat mengenai tata Negara 2.
Hukum Adat mengenai warga hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan.
3. Hukum Adat mengenai delik hukum pidana.
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893,
Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul De Atjehers menyebutkan istilah hukum adat sebagai adat recht bahasa
Belanda yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial social control yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan
secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda sebelum menjadi Indonesia.
58
Menurut Bushar Muhammad istilah hukum adat adalah terjemahan dalam bahasa belanda “adat recht”, dimana Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang
memaknai istilah “adatrecht” kemudian di kutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis.
59
Van Vollenhoven memberi pengertian: “hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang
57
Sangkoeno, Hukum Adat di Indonesia, http:sangkoeno.blogspot.com.html, Diakses 25 Nopember 2013 Pukul 21.35 Wib.
58
Ibid.
59
Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
55
dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasan Belanda dahulu”.
60
Apabila dilihat dari pengertian di atas, jelaslah bahwa hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang
selalu berkembang sifat dinamis serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar
tidak tertulis, senantiasa ditaati dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat
hukum sanksi. Kemudian masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup
dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
61
China Indonesia ialah sebuah kelompok etnik yang penting dalam sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Setelah negara Indonesia
terbentuk, maka suku bangsa China yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan secara automatik ke dalam masyarakat Indonesia secara setingkat dan
setaraf dengan suku-suku bangsa yang lain yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang.
60
C.Van Vollenhoven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, jilid 1 E,J Brill, 1904-1933, hal.7.
61
Soerjono Soekanto dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982, hal.106
Universitas Sumatera Utara
56
Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I
Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di
Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra. Menurut Pusdiklat Kebudayaan China Suku bangsa Tionghoa di Indonesia
adalah satu etnis penting dalam sejarah Indonesia bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah Negara Indonesia terbentuk, orang
Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia kemudian digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia.
62
Tionghoa di
Indonesia merupakan
keturunan dari
leluhur mereka
yang bermigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan- catatan literatur Tionghoa menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara
telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tionghoa. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun
manusia dari Tionghoa ke Nusantara dan sebaliknya. S. Bunardi mengatakan bahwa :
Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebangai Tenglang Hokkian, Tengnang Tiochiu dan Thongnyin Hakka. Sedangkan dalam
dialek Mandarin disebut Tangren HanTzu, bahasa Indonesia: Orang Tang. Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal
dari Tionghoa Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang,
62
S Bunardi, Pusdklat Kebudayaan China, e-journal.uajy.ac.id. Diakses 5 Januari 2014.
Pukul 14.30 Wib
Universitas Sumatera Utara
57
sedangkan Tionghoa Utara menyebut diri mereka orang HAN HAN Tzu: hanyu pinyin; hanren, bahasa Indonesia: Orang Han.
63
Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoa pun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari
Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama suku bangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua
India. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa orang-orang Tionghoa di Indonesia
berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, Tiochiu. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir
tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan
yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar
untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang
Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi
wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
63
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
58
Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu
Indonesia dan Hokian, jadi secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal diucapkan dan terdengar diluar masyarakat Indonesia. Tionghoa adalah
khas Indonesia, oleh sebab itu di Malaysia dan Thailand tidak dikenal istilah ini. Josh Chen mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa adalah suatu perkumpulan
komunitas yang berasal timur asing Cina yang masuk dan bermukim di wilayah Indonesia kemudian secara langsung disamakan sebagai warga negara Indonesia
ataupun kemudian hari atas inisiatif sendiri bermaksud menjadi warga negara Indonesia.
64
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di
daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Utara. Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa berlangsung sejak era Orde Lama hingga Orde Baru. Pada Orde Lama keluar
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini
menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965. Selama Orde
64
Josh Chen, Suku Hainan Etnis Tionghoa, http:baltyra.comhtml. Diakses 10 Nopember 2013 Pukul 17.55 Wib
Universitas Sumatera Utara
59
Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih popular disebut SBKRI, yang utamanya
ditujukan kepada warga negara Indonesia WNI etnis Tionghoa beserta keturunan- keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan
SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang “masih dipertanyakan”.
Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.
Setelah negara
Indonesia terbentuk, maka
otomatis orang Tionghoa
yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam
lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D. Motivasi Pengangkatan Anak dalam Masyarakat Etnis Tionghoa
Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini masyarakat etnis Tionghoa kehadiran seorang anak merupakan pelengkap dari suatu keluarga. Apabila dalam
sebuah keluarga telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam keluarga tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun
perkembangan dalam lingkungan sosialnya. Tujuan membentuk suatu keluarga adalah melanjutkan keturunan merupakan
hak dari setiap orang. Konsekuensi dari adanya suatu hak adalah timbulnya suatu kewajiban, yakni kewajiban antara suami isteri dan kewajiban antara orang tua dan
Universitas Sumatera Utara
60
anak. Bagi setiap keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling diharapkan kehadirannya karena dengan hadirnya seorang anak akan melengkapi kebahagiaan
sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga.
Kehadiran seorang anak dalam keluarga anak tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan,
tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia. Oleh karenanya, rasanya kurang lengkaplah sebuah keluarga tanpa
kehadiran seorang anak. Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini etnis Tionghoa tanpa kehadiran
seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Akan tetapi, karena berbagai hal keinginan memperoleh anak
dalam perkawinan tidak dapat diwujudkan oleh pasangan suami isteri sehingga menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, kemudian dilakukan dengan cara
mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut.
65
Cara memperoleh anak dengan mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam
anggota keluarganya dikenal dengan pengangkatan anak yang merupakan objek penelitian ini.
65
Dessy Balaati, Prosedur Dan Penetapan Anak Angkat Di Indonesia, Lex Privatum,
Vol.INo.1Jan-Mrt2013 , hal 138.
Universitas Sumatera Utara
61
Pada mulanya pengangkatan anak akan dilakukan semata–mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak
mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Tetapi dalam perkembangannya kemudian
sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak lebih ditujukan demi kesejahteraan anak.
Di dalam masyarakat hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah
generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak
adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama. Namun demikian, di dalam KUHPerdata Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata KUHPerdata tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam bab XII bagian ke III
Pasal 280 sampai Pasal 290 KUHPerdata. lembaga pengangkatan anak merupakan bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat, maka pemerintah Hindia Belanda
berusaha untuk membuat suatu aturan tersendiri tentang adopsi tersebut, maka dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917,
yang semua hanya mengatur tentang pengangkatan anak khusus bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa saja, tetapi dalam perkembangannya ternyata banyak
masyarakat yang ikut menundukkan diri pada Staatsblad tersebut.
Universitas Sumatera Utara
62
Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 S.1917:129 khususnya Pasal 5 sampai dengan pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan
Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengatur hukum adat yang mengatur mengenai pengangkatan anak adopsi.
Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi
adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan
anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti
misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kekeluargaan.
Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari keluarga lain, yang tampak dari dipakainya
nama keluarga yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama keluarga lain. Selain itu,
kebanyakan dari masyarakat Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat orang lain. Kecuali apabila keluarga merasa tidak mampu lagi memberikan nafkah untuk
kebutuhan anak-anaknya.
66
66
Sumiati Usman, Kedudukan Hukum Anak Angkat Terhadap Hak Waris, Lex Privatum,
Vol.INo.4Oktober2013, hal 136.
Universitas Sumatera Utara
63
Apabila ditelaah ketentuan pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yaitu pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa dalam sistem
hukum di Indonesia. Dalam ketentuan Staatsblad 1917 No. 129 tampak bahwa peraturan itu menghendaki agar setiap pengangkatan anak memenuhi persyaratan
tertentu yang
bersifat memaksa
Compulsory, sehingga
tidak dipenuhinya persyaratan dimaksud akan mengakibatkan batalnya pengangkatan itu. Ordonansi
dalam stbl.1917 No.129 mengatur tentang pengangkatan anak pada Bab II yang berkepala “Van adoptie”.
Bab II ini terdiri dari 11 pasal, yaitu dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 sebagai berikut :
1. Yang dapat mengangkat anak adalah : suami, istri, janda, atau duda Pasal 5.
2. Yang dapat diangkat anak, ialah : hanya orang Tionghoa laki-laki yang tidak
beristri dan tidak beranak dan yang belum diadopsi oleh orang lain Pasal 6. 3.
Yang diadopsi harus sekurang-kurangnya delapan belas tahun lebih muda dari suami dan sekurang-kurangnya lima belas tahun lebih muda dari istri atau janda
yang mengadopsinya Pasal 7 ayat 1. 4.
Adopsi hanya dapat dilakukan dengan Akta Notaris Pasal 10 ayat 1. 5.
Anak adopsi demi hukum harus memakai nama keluarga orang tua angkatnya Pasal 11.
6. Adopsi menyebabkan putusnya hubungan hukum antara orang tua adopsi dengan
orang tua kandungnya Pasal 14.
Universitas Sumatera Utara
64
7. Adopsi terhadap anak perempuan dan adopsi dengan cara lain selain daripada
Akta Notaris adalah batal demi hukum Pasal 15 ayat 2.
67
Berdasarkan ketentuan dan uraian di atas, jelaslah bahwa pengangkatan anak adopsi bagi kalangan masyarakat Tionghoa, yang antara lain mengatur seorang laki-
laki beristri atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena
pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya pengangkatan anak tersebut harus dilakukan oleh seorang suami, bersama-
sama dengan istrinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri anak yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang
tidak beristri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain orang yang diangkat harus berumur paling sedikit 18 tahun lebih muda daripada suami dan
paling sedikitnya pula 15 tahun lebih muda daripada si istri atau si janda yang mengangkatnya.
Apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun yang keluarga luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang
kedua belah pihak bersama, harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, sebelum ia diangkat pengangkatan terhadap anak-anak
perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum. Ketentuan ini sebenarnya berangkat dari satu
67
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012, hal. 79
Universitas Sumatera Utara
65
kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak laki-laki itu dianggap sebagai penerus keturunan keluarga di kemudian hari. Di samping itu, anak laki-laki diyakini oleh
kepercayaan mereka sebagai yang dapat memelihara abu leluhur orang tuanya.
E. Syarat-syarat dan
Prosedur Pengangkatan
Anak Perempuan
pada Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Medan
Pengangkatan anak sebagaimana dijelaskan sebelumnya bukan merupakan hal yang baru di Indonesia karena hal ini sudah lazim dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Hanya saja cara dan motivasinya yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut didaerah yang bersangkutan. Pengangkatan anak adopsi akhir-
akhir ini banyak diperbincangkan dan sudah mendapat perhatian pula dari pihak termasuk dikalangan warga etnis Tionghoa. Keanekaragaman hukum yang mengatur
masalah pengangkatan anak di Indonesia ini akan tampak jika diteliti secara cermat ketentuan-ketentuan tentang lembaga pengangkatan ini dari berbagai sumber hukum
yang berlaku, baik hukum Barat dari BW dan hukum Adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, maupun hukum Islam yang banyak dianut masyarakat
Indonesia. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum
sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema masyarakat, terutama menyangkut masalah ketentuan hukumnya. Lembaga pengangkatan anak telah lama
di kenal dalam masyarakat adat termasuk dalam masyarakat etnis Tionghoa yang pelaksanaannya pada umumnya dengan suatu upacara adat dan pemberian benda-
benda sebagai tanda peralihan kekuasaan dari orang tua kandung kepada orang tua
Universitas Sumatera Utara
66
angkat tersebut. Namun demikian, anak yang berkedudukan sebagai anak angkat, apakah ia berhak mewarisi harta dari orang tuanya, akan ditentukan oleh hukum
adatnya masing-masing daerah hukum adat itu di pertahankan oleh penganutnya. Dari penelitian yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa pada salah satu suku
bangsa etnis Tionghoa di Kota Medan termasuk yang berasal dari suku Hainan. Suku Hainan berasal dari pulau Hainan yang terletak di wilayah China. Walaupun terdiri
dari berbagai suku etnis Tionghoa dan terdapat perbedaan dialek, namun memiliki kebiasaan adat yang sama. Josh Chen mengatakan bahwa Hainan dikenal cukup luas
di Indonesia dan Asia Tenggara karena kuliner khas’nya, yaitu ‘nasi Hainan’ ada yang menyebut ‘nasi hainam’. Letak perbedaan lafal “nan” dan “nam” hanyalah
pengaruh dialek saja. Lafal Mandarin memang di sebut NAN yang berarti selatan 南, yang pengucapannya menjadi NAM dalam dialek provinsi-provinsi Selatan
China, terutama Hokkian, walaupun kadang diucapkan juga dengan “lam”.
68
Pulau Hainan merupakan rumah bagi Etnis Li 黎族, Li Zu, baca: Li Cu, yang
mencapai jumlah sekitar 1.247.814 jiwa, mayoritas bertempat tinggal di Tongze, ibukota Hainan Li-Miao Autonomous Prefecture. Selain di sini, Etnis Li juga tersebar
di seluruh wilayah China, berbaur dengan etnis yang lain. Keberadaan suku Hainan tersebar di 25 negara dari benua Amerika, Australia, Eropa dan Asia. Kini, suku
68
Josh Chen, Suku Hainan Etnis Tionghoa, http:baltyra.com2010041156-etnis-suku-di- china-etnis-li diakses 10 Nopember 2013 Pukul 17.55 Wib.
Universitas Sumatera Utara
67
Hainan sudah berada di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Inggris, Australia serta sejumlah negara lainnya.
Masyarakat Tionghoa suku Hainan juga melakukan pengangkatan anak pada umumnya dilakukan berdasarkan adat Tionghoa.
Pengangkatan anak perempuan secara adat Tionghoa suku Hainan di kota Medan dilakukan dengan memenuhi beberapa persyaratan yaitu :
69
a Mencocokkan shio antara anak dengan orang tua yang akan mengangkatnya. Hal
ini dilakukan guna menghindari hal-hal negatif yang dapat terjadi di dalam keluarga, karena menurut kepercayaan etnis Tionghoa terdapat aturan mengenai
antar shio yang memiliki kecocokan dan ketidakcocokan. b
Melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, dengan mempersiapkan beberapa material yaitu:
i. Meja berwarna merah yang biasa di pakai untuk melakukan sembahyang. Berwarna merah karena merah melambangkan kebahagiaan.
ii. Lilin, sebagai lambang penerangan sedang berlangsungnya suatu upacara sembahyang.
iii.Teh 3 cangkir,sebagai lambang penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
iv. Buah-buahan 3 macam dengan 3 buah tiap macam. Biasanya buah yang dipakai
adalah buah
jeruk melambangkan
kekekalan, buah
apel
69
Wawancara dengan Ven Vipasyana Jnana Sthavira, Suhu vihara Borobudur Medan, pada tanggal 15 Oktober 2014.
Universitas Sumatera Utara
68
melambangkan ketentraman
dan buah
Nenas melambangkan
kesejahteraan. v. Dupa, merupakan suatu penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
c Sembayang kepada leluhur yang telah meninggal dengan mempersiapkan
lilin,dupa dan 3 gelas teh serta pembakaran kertas sembahyang. d
Upacara sembahyang untuk pengangkatan anak dilakukan dengan mengatakan bahwa “pada hari ini, tanggal, kami orang tua angkat,bernama,umur,shio
mengangkat seorang anak laki-laki atau perempuan, shio yang bernama, yang kemudian akan dijadikan sebagai anak dalam keluarga kami.
e Disaksikan oleh keluarga
Adapun beberapa alasan yang mendasari masyarakat etnis Tionghoa untuk
melakukan pengangkatan anak, antara lain untuk merawat anak yang diangkat dalam kondisi tidak sehat, karena keinginan untuk membantu merawat,
memelihara dan mendidik anak dari keluarga atau kerbat yang kurang mampu baik dari segi ekonomi maupun dari segi moral dan mental.
70
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal pengangkatan anak ini baik pada masyarakat umum maupun pada etnis Tionghoa sebab yang mendorong
dilakukannya pengangkatan anak, antara lain : a.
Alasan yang disebabkan dalam keluarga tidak mempunyai anak;
70
Hasil Wawancara dengan Jauhari Chandra dan Amin Wijaya Ketua Suku Hainan Indonesia dan Ketua Yayasan Laut Selatan Cabang Medan 18 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
69
b. Alasan karena belas kasihan terhadap anak yang mempunyai orang tua kandung
tidak mampu, atau anak tersebut sudah yatim piatu; c.
Dalam keluarga hanya memiliki anak laki-laki saja atau anak perempuan saja; d.
Digunakan sebagai pancingan agar dapat memiliki anak sendiri.
71
Adanya beberapa sebab dan alasan yang ada di beberapa daerah termasuk menyangkut pengangkatan anak menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat
keanekaragaman hukum adat yang mengatur masalah anak angkat, hal ini memberikan pengaruh pada kedudukan anak angkat demikian pula dalam hal
pembagian warisannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa motivasi pengangkatan anak
mempunyai hukum yang berbeda-beda. Akibatnya hukum yang penting adalah kekuasaan orang tua, hak waris, hak alimentasi atau hak pemeliharaan dan juga soal
nama. Adanya pengangkatan anak tersebut mengakibatkan perpindahannya keluarga dari orang tua kandungnya kepada orang tua yang mengangkatnya. Status anak
tersebut seolah-olah dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat. Jadi status anak angkat itu sama dengan anak sah dan di dalam hukum waris ia disebut juga sebagai
ahli waris terhadap kedua orang tua angkatnya tersebut. Dalam pelaksanaannya dalam praktek prosedur pengangkatan anak dilakukan
dengan : 1.
Prosedur formal, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri,
71
Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Suku Hainan di Kota Medan, 18 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
70
2. Prosedur informal, yaitu menurut adatkebiasaan masyarakat, sehingga bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa untuk sahnya pengangkatan
anak berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri.
Prosedur formal pengangkatan anak bagi Warganegara Indonesia golongan Tionghoa sebelum dikeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1979, yang kemudian
disempurnakan dengan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang pengangkatan anak, yang berwenang membuat akta pengangkatan anak adalah notaris.
Dalam Stb. 1917 nomor 129, Bab II Pasal 10 ayat 1, diatur tentang pengangkatan anak, yang berisikan bahwa pengangkatan anak hanya dapat terjadi
dengan adanya akta notaris dan Pasal 10 ayat 4 Stbl. 1917 No. 129 menentukan bahwa “Setiap orang yang berkepentingan dapat meminta agar pada akta kelahiran
orang yang diangkat, pada sisi akta itu dicantumkan tentang pengangkatan anak itu”. Setelah dibuatnya akta notaris mengenai pengangkatan anak, akta tersebut
didaftarkan dan dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Kemudian atas pendaftaran dan pencatatan tersebut dikeluarkan petikan akta kelahiran yang baru yang menyebutkan
bahwa anak tersebut adalah anak dari orang tua angkat yang mengangkatnya dan bukan sebagai anak angkat.
Setelah dikeluarkannya
SEMA No.
2 Tahun
1979 yang
kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak,
terdapat perubahan yang mendasar, di mana untuk sahnya pengangkatan anak bukan diharuskan dengan adanya akta notaris, tetapi adanya putusan atau penetapan dari
Universitas Sumatera Utara
71
Pengadilan Negeri di mana anak tersebut berdomisili. Bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal
untuk sahnya pengangkatan anak, yaitu adanya penetapan dari Pengadilan Negeri. Adapun
prosedur pengangkatan
dan syarat-syarat
pengangkatan anak
ditentukan sebagai berikut : Syarat dan bentuk surat permohonan sifatnya voluntair :
1. Permohonan seperti ini hanya dapat diterima apabila telah ternyata ada urgensi yang memadai. Misalnya : ada ketentuanketentuan UU yang mengharuskan.
2. Seperti permohonan-permohonan yang lain, permohonan seperti ini dapat dilakukan secara lisan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Negeri atau permohonan secara tertulis. 3. Dapat diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya. Di
samping itu pemohon dapat juga didampingidibantu seseorang. Dalam hal didampingidibantu maka hal ini berarti pemohoncalon orang tua angkat tetap
harus hadir dalam pemeriksaan di persidangan. Begitu juga meskipun pemohon memakai seseorang kuasa namun ia wajib hadir dalam pemeriksaan sidang
Pengadilan Negeri. 4. Dibubuhi meterai secukupnya.
5. Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggaldomisili anak yang akan diangkat.
72
72
Hasil Wawancara dengan Staf Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan, 21 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
72
Isi surat permohonan memuat : 1.
Dalam bagian dasar hukum dari permohonan tersebut secara jelas diuraikan dasar yang mendorong motif diajukan permohonan pengesahanpengangkatan anak
tersebut. 2.
Juga harus nampak bahwa permohonan pengesahan pengangkatan anak itu dilakukan terutama untuk kepentingan calon anak yang bersangkutan, dan
digambarkan kemungkinan kehidupan hari depan si anak setelah pengangkatan terjadi.
3. Isi petitum bersifat tunggal, yaitu : tidak disertai in samenloop met petitum
yang lain. Misalnya, cukup dengan :
“agar si anak dari B ditetapkan sebagai anak angkat dari C”, atau “agar pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh pemohon C terhadap anak B
yang bernama A dinyatakan sah”. Tanpa ditambah tuntutan lain seperti :
“agar ditetapkan anak bernama A tersebut, ditetapkan sebagai ahli waris dari C”.
Syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar Warganegara Indonesia yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut :
73
1. Syarat bagi calon orang tua angkat pemohon:
73
Satrio J., Hukum Masyarakat Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 73
Universitas Sumatera Utara
73
a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat private adoption diperbolehkan.
b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sahbelum menikah single parent adoption diperbolehkan.
2. Syarat bagi calon anak yang diangkat :
a. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa Yayasan
yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak.
b. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat
yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
Selanjutnya sebagai akibat dari pengangkatan anak menurut ketentuan dalam Stbl 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak bagi golongan warga negara Indonesia
keturunan Tionghoa ini mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung, dan kedudukan anak angkat dipersamakan
dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya.
Hal-hal berkaitan dengan akibat hukum pengangkatan anak golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa yang diatur dalam Stbl 1917 No. 129,
antara lain :
Universitas Sumatera Utara
74
1 Pasal 11 menentukan bahwa
“Pengangkatan anak mempunyai akibat hukum bahwa orang yang diangkat sebagai anak itu memperoleh nama marga dari ayah
angkatnya dalam hal marganya berbeda dari marga orang yang diangkat sebagai anak”.
2 Pasal 12 ayat 1 menenentukan bahwa “Dalam hal sepasang suami isteri
mengangkat seseorang sebagai anak laki-lakinya, maka anak tersebut dianggap sebagai yang lahir dari perkawinan mereka”
3 Pasal 14 mengatur bahwa “karena pengangkatan anak putuslah hak-hak
keperdataan yang berkaitan dengan garis keturunan antara orang tua kandung dan saudara sedarah dan dari garis ke samping dengan orang yang diangkat”.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka terhadap anak angkat golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa berhak untuk mendapatkan harta
warisan dari orang tua yang mengangkatnya. Hal ini didasarkan pada sistem dan hak pewarisan yang diatur dalam KUH Perdata terhadap anak angkat yang berlaku di
Indonesia yang di dasari oleh ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Akan tetapi dalam praktiknya masyarakat Tionghoa ada kecenderungan
mengangkat anak untuk tidak melalui permohonan di Pengadilan Negeri Medan, alasannya adalah karena permohonan pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang relatif tinggi serta banyak persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi masyarakat Tionghoa sangat
Universitas Sumatera Utara
75
merugikan dan tidak praktis. Masyarakat Tionghoa lebih memilih melakukan pengangkatan anak melalui adat etnis Tionghoa yang dihadiri oleh kedua belah pihak
keluarga orang tua kandung dan orang tua angkat, dengan membicarakan maksud dan tujuan dari pengangkatan anak tersebut, hal ini cukup bagi masyarakat Tionghoa
khususnya dari suku Hainan di Kota Medan sebagai syarat sahnya pengangkatan anak.
74
Hasil penelitian pada etnis Tionghoa suku Hainan di Kota Medan diketahui bahwa pengangkatan anak tidak saja dilakukan terhadap anak laki-laki tetapi juga
anak perempuan walaupun dalam sebagian warga etnis Tionghoa ada pantangan. Adanya pengangkatan anak perempuan yang dilakukan warga suku Hainan dapat
dikatakan sah tidak dilarang, walaupun bertolak belakang dengan ketentuan yang dimaksud dalam Staatblaad tahun 1917 No. 129 yang menyatakan bahwa, anak yang
diangkat harus anak laki-laki dan adanya ancaman demi hukum bagi masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan terhadap anak perempuan. Dengan
demikian adanya Staatblaad tahun 1917 No. 129 tersebut tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dalam masyarakat suku Hainan dari etnis Tionghoa
di Kota Medan. Hal ini juga didukung dari adanya ketentuan pengangkatan anak sebagaimana
yang diatur dalam beberapa ketentuan lainnya yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu :
74
Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Suku Hainan di Kota Medan, 18 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
76
a. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 1983 yang mengatur tentang
cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahanpengangkatan kepada Pengadilan
Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. b.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan
hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. c.
Pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu bahwa Tata cara pengangkatan anak antar Warga
Negara Indonesia bahwa seorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 dua kali dengan jarak waktu paling singkat 2 dua tahun.
Guna sahnya pengangkatan anak di Indonesia termasuk yang dilakukan oleh etnis Tionghoa suku Hainan, maka setelah permohonan pengangkatan anak melalui
prosedur dari aturan dalam perundang-undangan yang ada, pengangkatan anak selanjutnya disahkan melalui langkah terakhir yaitu dengan adanya putusan
pengadilan yang dikeluarkan oleh pengadilan dengan bentuk penetapan pengadilan atau dikenal dengan putusan deklarator, yaitu pernyataan dari Majelis hakim bahwa
anak angkat tersebut adalah sah sebagai anak angkat dari orang tua angkat yang mengajukan permohonan pengangkatan anak. Putusan pengadilan juga mencakup
mengenai status hukum dari anak angkat dalam keluarga yang telah mengangkatnya, mengenai hak mewaris dari anak angkat diatur secara beragam baik dari hukum adat
Universitas Sumatera Utara
77
maupun peraturan perundang-undangan, hak waris anak menurut hukum adat mengikuti aturan adat dari masing-masing daerah.
Hasil wawancara dengan beberapa responden diketahui bahwa dalam hubungannya dengan syarat-syarat bagi calon orang tua angkat
yang melakukan pengangkatan anak, pada umumnya berstatus kawin atau pernah kawin. Dengan
demikian pengangkatan anak dapat dilakukan oleh mereka yang pernah terikat dalam perkawinan termasuk janda atau duda. Selanjutnya dari keterangan responden, juga
dinyatakan bahwa pengangkatan anak yang dilakukan tidak pernah meminta ijin dari keluarga maupun mantan suami. Hal ini menunjukkan bahwa, seorang janda ataupun
duda dalam masyarakat Tionghoa termasuk etnis Tionghoa dari Suku Hainan di Kota Medan telah dianggap cukup dalam melakukan tindakan hukum tanpa harus
didampingi orang lain.
75
Sementara itu berdasarkan pernyataan tokoh masyarakat Tionghoa dari Suku Hainan di Medan, yang menyatakan bahwa pengangkatan anak dapat pula dilakukan
oleh orang yang belum kawin, hal tersebut menunjukan bahwa praktek pengangkatan anak dalam masyarakat adat Tionghoa tidak hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
telah atau pernah kawin. Dengan demikian pengangkatan anak dalam masyarakat adat Tionghoa tidak seiring dengan Staatblaad 1917 No.129 yang menyatakan bahwa
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah terikat atau pernah terikat perkawinan. Namun demikian praktek pengangkatan anak dalam masyarakat
75
Hasil Wawancara dengan Jauhari Chandra dan Amin Wijaya Ketua Suku Hainan Indonesia dan Ketua Yayasan Laut Selatan Cabang Medan 18 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
78
adat Tionghoa di Kota Medan lebih sejalan dengan SEMA No 2. tahun 1979 jo No.6 Tahun 1982 yang menyebutkan bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan oleh
mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh Jauhari Chandradan Amin Wijaya
yang ditemui dalam pelaksanaan penelitian ini pada umumnya dapat dikatakan sebagai pengangkatan anak dengan cara tidak terang dan tidak tunai, karena
pengangkatan anak dengan cara tidak terang dan tidak tunai, tidak dihadiri oleh pemuka adat dan tidak disaksikan oleh masyarakat setempat dan tidak tunai karena
pengangkatan anak tersebut tidak dilakukan dengan pemberian atau barang. Selain itu, lainnya dilakukan dengan cara tidak terang dan tunai seperti pengangkatan anak
dilakukan karena dalam pengangkatan tersebut hanya dihadiri oleh kedua belah
pihak keluarga saja, tidak ada tokoh masyarakat yang di undang sebagai saksi dan tidak ada upacara adat yang dilakukan. Dalam hal pihak yang mengangkat anak
tersebut memberikan sejumlah barang dan angpao kepada orang tua kandung anak tersebut sebagai simbol bahwa telah dilakukannya pengangkatan anak.
76
Pengangkatan anak dalam masyarakat etnis Tionghoa khususnya dari suku Hainan di Kota Medan yang memperkenankan pengangkatan anak perempuan lebih
sejalan dengan maksud dari SEMA No. 2 tahun 1979 jo SEMA No. 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak yang menyebutkan sahnya pengangkatan anak terhadap
anak perempuan. Dalam kaitannya dengan calon anak angkat, para responden yang
76
Hasil Wawancara dengan Jauhari Chandradan Amin Wijaya Ketua Suku Hainan Indonesia dan Ketua Yayasan Laut Selatan Cabang Medan 18 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
79
berhasil ditemui mengatakan bahwa usia anak angkat pada saat diangkat berkisar antara 1 satu tahun hingga 5 lima tahun dan selisih anak angkat dengan orang tua
angkatnya berkisar lebih dari 25 tahun. Dengan melihat praktek anak angkat tersebut maka dapat dikatakan bahwa responden lebih memilih mengangkat anak yang
berumur dibawah 6 enam tahun serta mengangkat anak yang jauh lebih muda dibandingkan dengan usia orang tua angkatnya. Hal tersebut seiring dengan apa yang
disebutkan dalam Staatblaad Tahun 1917 No. 129 yang menyatakan bahwa anak angkat sekurang-kurangnya harus berumur lebih muda dari laki-laki yang
mengangkatnya dan sekurang-kurangnya 15 tahun lebih muda dari perempuan yang kawin atau janda yang mengangkat.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat Tionghoa termasuk dalam hal ini yang dilakukan suku
Hainan di Kota Medan diawali dengan prosesi atau upacara adat, biasanya masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak akan membuat akta
pengangkatan anak di hadapan notaris untuk digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan anak. Pada masyarakat etnis Tionghoa suku Hainan anak
angkat dianggap selayaknya anak kandung sehingga memperoleh harta warisan dari orangtua angkatnya.
Pada dasarnya pengangkatan anak termasuk yang dilakukan oleh etnis Tionghoa suku Hainan harus dilakukan melalui proses hukum dengan produk penetapan
pengadilan. Proses hukum ini bertujuan untuk menunjukkan penertiban praktek hukum dalam proses pengangkatan anak yang hidup ditengah-tengah masyarakat, agar peristiwa
pengangkatan anak tersebut dikemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak
Universitas Sumatera Utara
80
maupun bagi orang tua angkat. Pengangkatan anak yang dilakukan melalui proses pengadilan juga merupakan wujud dari tujuan pengangkatan anak melalui lembaga
pengadilan adalah untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan hukum, legalitas hukum dan dokumen hukum. Dokumen hukum yang menyatakan bahwa telah terjadinya
pengangkatan anak secara legal sangat penting dalam hukum keluarga, karena akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut akan berdampak jauh kedepan sampai beberapa
generasi keturunan yang menyangkut aspek hukum kewarisan, tanggung jawab hukum, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
81
BAB III KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS
YANG BERLAKU BAGI WARGA NEGARA INDONESIA ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN
A. Ketentuan Umum Kewarisan dan Hukum Waris
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat suku bangsa yang
dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut. Apabila dilihat dari hukum waris yang berlaku di Indonesia sekarang ini masih
tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk di
Indonesia maka yang berlaku hukum waris adat, sedangkan apabila pewaris termasuk golongan Eropa atau timur asing Tionghoa, bagi mereka berlaku hukum waris
Barat.
77
Oleh karena itu, apabila pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam mereka mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum
waris Islam. Demikian pula hal bila pewaris termasuk golongan penduduk timur asing Arab atau India, bagi mereka berlaku hukum adat mereka.
78
Hal ini di tegaskan dalam Pasal 163 jo Pasal 131 Indische staatsregeling IS, maka dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sistem hukum waris yang berlaku sekarang adalah Sistem Hukum Waris Barat, Sistem Waris Adat, dan Sistem Warisan Hukum Islam.
77
Retnowulan Sutantio, Wanita dan Hukum, Alumni, Bandung, 1999, hal. 84-85
78
Ibid., hal 85
81
Universitas Sumatera Utara
82
Dalam masyarakat Indonesia yang termasuk dalam etnis Tionghoa seperti yang menjadi objek penelitian ini, maka dalam hal hukum waris menurut konsepsi hukum
perdata Barat yang bersumber pada KUHPerdata tidak terdapat pasal yang memberikan pengertian tentang hukum waris, namun sebagaimana yang dikatakan
dalam Pasal 830 KUH Perdata bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Dengan demikian menurut hukum barat terjadinya pewarisan apabila adanya orang
yang mati dan meninggalkan harta kekayaan. A. Pitlo yang dikutip Mulyadi mendefinisikan hukum waris sebagai berikut :
Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan
yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka,
maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
79
Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip Mulyadi mengemukakan bahwa “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”.
80
Demikian pula menurut Soebekti dan Tjitrosudibio yang juga dikutip
Mulyadi, mengatakan “Hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal
dunia”.
81
79
Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2008. hal.. 2
80
Ibid. hal, 2
81
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
83
Ketiga pengertian tersebut menjelaskan bahwa untuk terjadinya pewarisan harus dipenuhi 3 tiga unsur, yaitu:
1. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia meninggalkan harta kepada orang lain.
2. Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk sebagian.
3. Harta warisan adalah segala harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia. Berdasarkan rumusan tersebut di atas dapat diketahui bahwa yang dinamakan
mewaris ialah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal. Adapun yang digantikan itu adalah hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan, artinya
hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Dalam sistematika KUH Perdata, hak dan kewajiban yang diatur dalam Buku II tentang benda dan Buku III tentang
perikatan, sedangkan hak dan kewajiban yang diatur dalam Buku I tentang orang tidak dapat diwarisi, misalnya hak dan kewajiban suami isteri Pasal 251 KUH
Perdata beralih kepada para ahli waris yaitu hak nikmat hasil, hak untuk mendiami rumah, dan hak-hak yang lahir dari hubungan kerja, karena hak tersebut secara
otomatis hapus pada saat orang yang memiliki hak tersebut meninggal dikarenakan hak-hak ini bersifat pribadi.
Selanjutnya ada juga hak-hak yang bersumber kepada hukum keluarga namun dapat diwarisi, antara lain yaitu; hak untuk mengajukan tuntutan agar ia diakui
sebagai anaknya, hak untuk menyangkal keabsahan seorang anak. Dengan demikian
Universitas Sumatera Utara
84
hanya hak dan kewajiban yang meliputi harta kekayaan saja yang dapat diwaris, ternyata hal itu tidak dapat dipegang teguh dan terdapat beberapa pengecualian.
Selanjutnya dapat dijelaskan pula bahwa warisan menurut hukum waris Barat KUH Perdata meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris
dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang, akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak dan kewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada para ahli waris, antara lain:
a. Hak memungut hasil vruchtgebruik. b. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi.
c. Perjanjian pengkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun Firma menurut WvK, sebab pengkongsian ini berakhir dengan
meninggalnya salah seorang anggota persero. Pengecualian lain terdapat pula, yaitu ada beberapa hak yang walaupun hak itu
terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu :
a. Hak seorang Ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak.
b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari
bapak atau ibunya. Sistem hukum waris Perdata tidak mengenal istilah harta asal maupun harta
gono-gini karena harta warisan dalam KUH Perdata merupakan satu kesatuan secara bulat dan utuh dalam keseluruhan yang beralih dari pewaris kepada ahli warisnya,
Universitas Sumatera Utara
85
artinya didalam KUH Perdata tidak mengenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris, seperti yang ditegaskan
dalam Pasal 849 KUH Perdata, yaitu : “Undang-Undang tidak memandang akan sifat atau asal daripada barang-barang dalam suatu peninggalan, untuk mengatur
pewarisan terhadapnya”. Ahli waris adalah semua yang berhak menerima warisan. Menurut KUH
Perdata Pasal 832 ayat 1 KUH Perdata mengatakan yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah yang sah ataupun diluar perkawinan, serta suami dan istri
yang hidup terlama. Semua ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang dari pewaris.
Apabila dilihat dari syarat-syarat bagi ahli waris untuk menerima warisan seseorang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1.
Harus ada orang yang meninggal dunia Pasal 830 KUH Perdata 2.
Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Harus ada ini berarti tidak hanya “sudah dilahirkan” tapi cukup apabila sudah ada
dalam rahim ibu. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan Pasal 2 KUH Perdata, yaitu :” Anak yang ada didalam kandungan seorang perempuan
dianggap sebagai telah dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada”. Apabila ia meninggal pada saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada”.
3. Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak
dinyatakan oleh Undang-Undang sebagai seseorang yang tidak patut mewaris
Universitas Sumatera Utara
86
Pasal 838 KUH Perdata, atau tidak dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli waris Pasal 912 KUH Perdata, atau orang yang menolak warisan Pasal
1058 KUH Perdata. Setelah terpenuhinya syarat-syarat tersebut diatas, para ahli waris diberi
kelonggaran oleh
undang-undang untuk
selanjutnya menentukan
sikap terhadap suatu warisan, ahli waris diberi hak untuk berpikir selama empat
bulan setelah itu harus menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak warisan atau menerima secara benificiair, yaitu menerima tetapi dengan syarat bahwa ia tidak
akan diwajibkan membayar hutang-hutang yang melebihi nilai harta peninggalan.
82
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa hukum waris mengatur tentang cara hak-hak dan kewajiban-kewajiban atas harta kekayaan seseorang yang meninggal
dunia akan beralih kepada orang-orang lain yang masih hidup.
83
Menurut Pasal 833 ayat 1 KUH Perdata, ahli waris karena hukum memiliki barang-barang, hak-hak,
dan segala piutang dari orang yang meninggal dunia. Hal ini disebut, mereka ahli waris mempunyai “saisine”. Kata itu di ambil dari bahasa Prancis: “le mort saisit le
vif”, artinya yang mati dianggap digantikan oleh yang hidup.
84
Dalam Undang-undang terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan, yaitu sebagai berikut :
82
Subekti R, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Intermasa, Jakarta, 1990, hal.28
83
Shanty Dellyana, SH, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004, hal.181.
84
Soetojo Prawirohamidjojo, R. Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
87
1. Secara ab intestato ahli waris menurut Undang-undang dalam Pasal 832 KUH
Perdata. Menurut ketentuan Undang-undang ini, yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami
atau isteri yang hidup terlama. 2.
Secara testamentair ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat = testamen dalam Pasal 899 KUH Perdata. Dalam hal ini, pemilik kekayaan membuat wasiat
untuk para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiattestamen.
85
Mengenai ahli waris, dalam KUH Perdata digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu :
1. Anak atau keturunannya dan isteri suami yang masih hidup;
2. Orang tua bapak dan ibu dan saudara pewaris;
3. Kakek dan nenek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus ke atas Pasal 853 KUH
Perdata; 4.
Sanak keluarga dalam garis ke samping sampai derajat ke enam Pasal 861 ayat 1 KUH Perdata.
Golongan ahli waris ini ditetapkan secara berurutan, artinya jika terdapat orang- orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewaris
semua harta peninggalan pewaris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan kedualah yang berhak
sebagai ahli waris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan kedua, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan ketigalah yang berhak mewaris.
85
Effendi Parangin, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.4
Universitas Sumatera Utara
88
Jika semua golongan ini tidak ada barulah mereka yang termasuk dalam golongan ke empat secara bertingkat berhak mewaris. Jika semua golongan ini sudah
tidak ada, maka negaralah yang mewaris semua harta peninggalan pewaris.
86
Para ahli waris dalam garis lencang baik kebawah maupun ke atas, berhak atas suatu “legitieme portie”, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak
dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Dengan kata lain mereka itu tidak dapat “onterfd”. Hak atas legitieme portie, barulah timbul bila seseorang
dalam keadaan sungguh-sungguh tampil ke muka sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
87
Apabila para
ahli waris
menurut Undang-undang
tersebut ternyata
dikesampingkan onterfd, mereka mempunyai hak untuk menuntut atas hak waris tersebut. Vollmar mengatakan bahwa “mereka yang dapat mengemukakan hak untuk
memperoleh bagian warisan menurut Undang-undang, yaitu yang disebut para legitimaris-mereka itu hanyalah para kerabat sedarah dalam garis lurus”.
88
Mengenai hak untuk menuntut secara hukum untuk memperoleh harta warisan dikenal dengan
istilah asas Hereditatis Petitio yang diatur dalam ketentuan Pasal 834 dan 835 KUH Perdata.
B. Hukum Waris dalam Masyarakat Enis Tionghoa
Hukum warisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan
hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 131 IS Indische
86
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. hal 266.
87
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1995, hal.. 113.
88
Vollmar H.F.A., Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1992, hal. 418.
Universitas Sumatera Utara
89
Staatsregeling. Golongan penduduk tersebut terdiri dari golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, golongan Timur Asing Tionghoa dan Non Tionghoa,
dan golongan Bumi Putera. Pada masyarakat golongan Tionghoa diberlakukan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata BW. Namun dalam kenyataannya tidak semua ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diikuti dan bahkan
adakalanya dikesampingkan misalnya ketentuan tentang pewarisan sebagaimana diatur di dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebagai salah satu
bagian dari keragaman suku bangsa, masyarakat Tionghoa mempunyai kebiasaan tersendiri yang sebagian besar berbeda dengan kebanyakan suku asli masyarakat
Indonesia. Namun pada dasarnya sifat kekerabatan masyarakat Tionghoa sangat kental, untuk itu dalam kehidupan keseharian adat istiadat aslinya masih
dilaksanakan, seperti perayaan Cap Go Meh, Imlek atau hari-hari besar lainnya. Keadaan ini juga terjadi dalam bidang Hukum Pewarisan pada masyarakat
Tionghoa di Kota Surakarta. Meskipun sudah ditentukan dalam pembagian waris diberlakukan KUH Perdata. Namun dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat
Tionghoa termasuk yang berdomisili di Kota Medan dan sekitranya lebih memilih pembagian harta warisan secara hukum adat. Seperti yang diketahui pembagian harta
warisan dalam adat Tionghoa tradisional anak laki-laki lebih diutamakan daripada anak perempuan karena dulu masyarakat Tionghoa menganut sistem kekerabatan
patrilineal. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam
Universitas Sumatera Utara
90
pembagian waris antara kedudukan anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama tetapi prosesnya rumit.
Masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Medan bertempat tinggal di pusat kota maupun di kawasan pinggiran di lingkungan masyarakat selalu ada kuil. Kuil ini
biasanya memiliki bentuk yang khas dan unik karena kaya dengan ornamen dan ukiran khas Tionghoa. Adat istiadat masyarakat Tionghoa termasuk suku Hainan
mayoritas masih mengikuti adat istiadat leluhurnya, terutama adat istiadat yang setiap tahun dirayakan misalnya tahun baru Imlek merupakan tahun baru tradisional orang
Tionghoa berdasarkan sistem penanggalan bulan-bulan, kini di RRC disebut Pesta Musim Semi.
89
Selanjutnya mengenai hukum waris masyarakat Etnis Tionghoa berdasarkan ketentuan yang pernah berlaku di Indonesia Indische Staatsregeling IS, yaitu aturan
Pemerintah Hindia Belanda yang disahkan berdasarkan Staatsblad 1925 nomor 415 dan 416 pada tanggal 23 Juni 1925 dan mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1926
berdasarkan Staatsblad 1925 nomor 557. Dalam IS ini ada dua pasal penting yang berkenaan dengan masalah sistem
hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS. Menurut Pasal 131 IS jo Pasal 163 IS terdapat penggolongan penduduk dan hukum yang
diperlukan kepada masing-masing golongan tersebut yaitu : 1.
Golongan Eropa yang berlaku Hukum Barat 2.
Golongan Timur asing :
89
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Grafiti Pers, Jakarta, 1984, hal 170
Universitas Sumatera Utara
91
a. Tionghoa berlaku Hukum Barat b. Bukan Tionghoa berlaku Hukum Adat masing-masing
3. Golongan Pribumi berlaku Hukum Adat.
Berdasarkan Pasal 131 IS jo. Pasal 163 IS tersebut, maka ada dua hukum perdata yang berlaku di Indonesia yaitu hukum perdata KUH Perdata sehingga
mengakibatkan dualisme dalam lapangan hukum perdata. Dalam perkembangannya, adat Tionghoa khususnya dalam masyarakat
Tionghoa suku Hainan di Kota Medan juga dipengaruhi pula oleh adat setempat, yaitu adat Batak dan Melayu Deli terlebih lagi karena Kota Medan merupakan salah
satu pusat kebudayaan Batak dan Melayu Deli. Sehingga sistem kekerabatan masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara terutama di Kota Medan menjadi menganut
garis keturunan bilateralparental, dimana kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama. Akibatnya kedudukan anak laki-laki tidak sedominan dulu
sehingga jika hanya punya anak perempuan pun tidak menjadi masalah dan tidak perlu mengangkat anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Jika tidak punya anak
maka bebas mengangkat anak laki-laki maupun anak perempuan. Perubahan sistem kekerabatan juga mengakibatkan perubahan dalam hal pembagian harta warisan
menurut adat Tionghoa.
C. Kedudukan Anak Angkat Perempuan dalam Hukum Waris Bagi Warga Negara Indonesia Etnis Tionghoa
Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa adanya beberapa sebab dan
alasan yang ada di beberapa daerah termasuk yang menyangkut pengangkatan anak
Universitas Sumatera Utara
92
menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat keanekaragaman hukum adat yang mengatur masalah anak angkat, hal ini memberikan pengaruh pada kedudukan anak
angkat demikian pula dalam hal pembagian warisannya. Di Indonesia pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anak,
untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan
anak. Kemudian dapat dilihat pengertian pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan
pengangkatan anak yaitu suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orangtua angkat.
Menurut hukum adat Tionghoa, anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat adalah merupakan anak sah. Orang tua
berkewajiban memelihara dan memberikan penghidupan serta pendidikan yang baik dan layak kepada anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan orang tua tersebut.
Kedudukan dan hak anak laki-laki dalam hukum adat Tionghoa lebih istimewa dibandingkan dengan anak perempuan. Demikian juga halnya dalam mewarisi harta
warisan dari orang tuanya, hanya anak laki-laki yang berhak untuk menjadi ahli waris, sedangkan kepada anak perempuan biasanya dianggap telah cukup dengan
Universitas Sumatera Utara
93
membekalinya dengan pendidikan yang cukup serta pemberian perhiasan maupun uang pada saat anak perempuan itu menikah.
Anak perempuan tidak mempunyai hak untuk mewaris karena anak perempuan yang sudah menikah dianggap telah keluar dari rumah dan masuk ke dalam keluarga
suaminya, kecuali apabila anak perempuan tersebut merupakan anak tunggal atau anak satu-satunya. Terutama terhadap harta warisan yang telah diwarisi secara turun-
temurun, misalnya rumah peninggalan leluhur, anak laki-laki tertua yang berhak untuk mengurusi dan menguasai secara bersama-sama anak laki-laki yang lain. Selain
itu, dalam setiap acara adat dan keluarga, pengambilan keputusan didasarkan kepada keputusan dan sepakat para anak laki-laki.
Dalam perkembangannya,
masyarakat Tionghoa
mulai menyadari
dan kemudian terjadi pergeseran nilai tentang kedudukan anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak perempuan pun dalam masa sekarang ini banyak yang dipertimbangkan untuk diberikan bagian harta warisan oleh orang tuanya, meskipun
masih banyak yang tetap mempertahankan adat istiadat Tionghoa sehingga anak perempuan cukup dibekali pendidikan dan perhiasan atau uang saat ia menikah.
Namun demikian, berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat etnis Tionghoa bahwa ketentuan mengenai tidak sahnya pengangkatan anak perempuan sebagaimana
diatur Pasal 15 sub 2 Staatsblad No. 129 Tahun 1917 yang menyatakan, bahwa adopsi anak perempuan adalah tidak sah dan batal demi hukum, dewasa ini telah
dikesampingkan oleh sebagian masyarakat etnis Tionghoa. Kondisi ini terjadi karena di dalam masyarakat ada kebutuhan akan adopsi anak, termasuk anak perempuan. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
94
disebabkan karena
lambannya perkembangan
hukum dibandingkan
dengan perkembangan masyarakat Etnis Tionghoa yang terus berasimilasi dengan masyarakat
Indonesia pada umumnya.
90
Pembuatan peraturan perundangan baru akan terlalu lamban dan memakan waktu lama, sehingga para sarjana hukum memilih jalan yang cepat, yaitu melalui pengakuan
pengadilan dan ada beberapa di antara sarjana hukum yang beranggapan bahwa, lembaga adopsi dalam Staatsblad No. 129 Tahun 1917 sehubungan dengan perubahan zaman dan
kebutuhan dapat dipakai sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan praktek adopsi anak perempuan dalam masyarakat Etnis Tionghoa termasuk dari suku Hainan. Hanya saja
untuk itu diperlukan adanya pengakuan dari pihak Pengadilan.
91
Pengakuan seperti itu berdasarkan penelaahan pada beberapa literatur diketahui pernah diberikan oleh Pengadilan dalam suatu ketetapan atas permohonan pengangkatan
anak perempuan, yang dituangkan dalam Keputusan Pengadilan Negeri Istimewa
Jakarta No. 9071963P tertanggal 29 Mei 1963 yang didalam putusannya majelis hakim berpendapat:
1. Bahwa peraturan adopsi bagi golongan Tionghoa dalam Staatsblad No. 129 tahun 1917 adalah pelaksanaan politik kolonial dalam hukum.
2. Bahwa peraturan pasal 5, 6, dan 15 dalam Staatsblad No. 129 tahun 1917 sudah tidak punya hak hidup lagi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
90
Hasil Wawancara dengan Jauhari Chandra dan Amin Wijaya Ketua Suku Hainan Indonesia dan Ketua Yayasan Laut Selatan Cabang Medan 18 Desember 2013.
91
Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Suku Hainan di Kota Medan, 18 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
95
3. Bahwa dengan demikian warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak lagi terikat oleh Staatsblad No. 129 Tahun 1917 yang mengatur pengangkatan anak
terbatas pada anak lelaki saja, tetapi juga dapat dilakukan terhadap anak perempuan asal saja hal itu dikenal dalam Hukum Adat Tionghoa.
4. Bahwa pengangkatan anak perempuan tidak perlu dituangkan dalam akta notaris, akan tetapi dengan putusan Pengadilan Negeri.
Adanya pengakuan ini merupakan konsekwensi lebih lanjut dari pernyataan putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta tersebut yang menyatakan tidak
berlakunya beberapa pasal dalam Staatsblad No. 129 Tahun 1917, yaitu bahwa adopsi itu tidak perlu dituangkan dalam akta notaris, tetapi cukup ditetapkan dalam
keputusan Pengadilan saja.
92
Setelah itu dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979 yang isinya secara garis besar
merupakan penyempurnaan pemeriksaan permohonan pengesahan pengangkatan anak. Hal ini karena pemerintah mensinyalir bahwa lembaga adopsi ini digunakan
oleh beberapa pihak untuk melakukan penyelundupan hukum guna mempermudah proses memperoleh kewarganegaraan Indonesia, dan juga adanya kekhawatiran
bahwa pengangkatan anak mengubah status kewaganegaraan anak warga negara Indonesia yang di adopsi warga negara asing.
Kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan anak yang berisi
92
Sumiati Usman, Op.Cit., hal 138.
Universitas Sumatera Utara
96
ketentuan bahwa syarat untuk warga negara asing untuk mengadopsi anak warga negara Indonesia harus berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-
kurangnya 3 tiga tahun. SEMA ini kemudian di tindaklanjuti oleh Menteri Sosial yang mengeluarkan Keputusan No. 4 tahun 1989 tentang petunjuk pelaksanaan
pengangkatan anak guna memberi pedoman dalam rangka pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak agar terdapat
kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pengangkatan anak yang dilakukan
pasangan suami istri dari etnis Tionghoa suku Hainan yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan
pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Ketentuan tersebut juga
tidak melarang pengangkatan anak terhadap perempuan, karena pengangkatan anak perempuan telah menjadi kebutuhan bagi semua masyarakat Indonesia, termasuk
masyarakat Tionghoa dari Suku Hainan. Adanya kondisi tersebut merupakan cerminan dari adanya yurispridensi
sebagaimana diatur dalam SEMA No.2 Tahun 1979, Romawi I satu butir ketiga dengan Romawi II butir ketiga SEMA No. 6 tahun 1983, yang berbunyi “Semula
digolongkan penduduk Tionghoa Staatsblad 1971 No.129 hanya dikenal adopsi terhadap anak laki-laki, tetapi setelah yurisprudensi tetap menyatakan sah pula
pengangkatan anak perempuan”.
Universitas Sumatera Utara
97
Kondisi ini menunjukkan bahwa kedudukan anak angkat perempuan dalam masyarakat etnis Tionghoa termasuk dalam suku Hainan saat ini diakui sebagaimana
layaknya anak angkat laki-laki. Dalam hal ini pengangkatan anak yang dilakukan terhadap anak perempuan dianggap sah dan diakui secara hukum. Status anak angkat
perempuan tersebut seolah-olah dilahirkan dari perkawinan orang tua angkatnya dan status anak angkat itu sama dengan anak sah. Oleh karena itu dalam hukum waris ia
disebut juga sebagai ahli waris terhadap kedua orang tua angkatnya tersebut dengan pembatasan anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak
diwasiatkan. Hak Waris anak angkat memiliki hak waris sebagaimana hak waris yang dimiliki oleh anak kandung sehingga adanya kondisi demikian memberikan
perlindungan terhadap anak,
sehingga hak-hak anak akan terlindungi dan kesejahteraan anak akan terjamin.
Universitas Sumatera Utara
98
BAB IV AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK DALAM
MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA A. Pengertian Akibat Hukum dalam Pengangkatan Anak
Pada suatu perbuatan hukum seperti halnya pengangkatan anak dilihat dari kenyataan merupakan suatu perbuatan atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Perbuatan hukum dimaksud mempunyai akibat secara hukum khususnya bagi pihak yang terkait di dalamnya. Terjadinya suatu
peristiwa hukum tersebut merupakan suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat menimbulkan akibat hukum atau yang
dapat menggerakkan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum di dalamnya dapat berlaku konkrit.
93
Jadi, peristiwa hukum adalah peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat dan akibat itu dikehendaki
oleh yang bertindak. Apabila akibat sesuatu perbuatan tidak dikehendaki oleh orang yang
melakukannya, maka perbuatannya tersebut bukan merupakan peristiwa hukum. Van Apeldorn yang dikutip Chainur Arrasjid bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa
yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.
94
Bellefroid yang dikutip Pipin Syarifin, menjelaskan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa sosial
yang tidak secara otomatis dapat merupakanmenimbulkan hukum. Suatu peristiwa dapat menimbulkan hukum apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan
93
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hal 35
94
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 134
98
Universitas Sumatera Utara
99
peristiwa hukum.
95
Seperti misalnya perkawinan antara pria dan wanita, peristiwa kelahiran anak dalam suatu perkawinan dan pengangkatan anak. Demikian pula
misalnya kematian seseorang, akan pula membawa berbagai akibat hukum, seperti penetapan pewaris, ahli waris dan harta waris. Kemudian di bidang hukum pidana,
seandainya kematian tersebut akibat perbuatan seseorang, maka orang bersangkutan terkena akibat hukum berupa pertanggung jawab pidana.
Peristiwa hukum yang terjadi dan dilakukan dalam masyarakat dapat mengenai berbagai segi hukum baik dari segi hukum publik, hukum privat, hukum tata negara,
hukum tata usaha negara, hukum pidana maupun hukum perdata. Namun demikian secara umum dalam hukum dikenal dua macam peristiwa hukum yaitu:
1. Perbuatan subyek hukum persoon yaitu berupa perbuatan manusia atau badan
hukum recht persoon sebagai pendukung hak dan kewajiban. 2.
Peristiwa lain yang bukan perbuatan subyek hukum.
96
Terjadinya atau timbulnya suatu peristiwa hukum seperti halnya suatu peristiwa pengangkatan anak merupakan perbuatan dari subjek hukum manusia sebagai
pendukung hak dan kewajiban tentunya tidak terlepas dari adanya akibat hukum. Akibat hukum dimaksud adalah suatu kondisi yang timbul dari adanya perbuatan
hukum yang dilakukan tersebut. Menurut R. Soeroso, akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan
untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh
95
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal. 73
96
Chainur Arrasjid, Op.Cit, hal. 136
Universitas Sumatera Utara
100
hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.
97
Pipin Syarifin secara lebih jelas mengatakan bahwa akibat hukum adalah segala akibat
yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-
kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.
98
Akibat hukum merupakan sumber lahirnya
hak dan kewajiban
bagi subyek-subyek
hukum yang
bersangkutan. Dalam
hal pengangkatan
anak akibat hukum dimaksud adalah telah lahir suatu akibat hukum dari proses
pengangkatan anak, yaitu timbulnya hak dan kewajiban dari orang tua yang mengangkat anak dimaksud sebagai subyek hukum. Dalam hal ini orang
tua mempunyai hak untuk memelihara anak dan mempunyai kewajiban untuk
bertanggung jawab terhadap anak dimaksud selama yang bersangkutan memelihara anak dimaksud. Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa suatu perbuatan yang
dilakukan subyek hukum terhadap suatu obyek hukum merupakan suatu peristiwa hukum termasuk dalam hal ini pengangkatan anak yang menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum itu dapat berwujud: a.
Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contoh:
97
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 295
98
Pipin Syarifin, Op.Cit., hal. 71
Universitas Sumatera Utara
101
Usia menjadi 21 tahun, akibat hukumnya berubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap hukum, atau
Dengan adanya pengampuan, lenyaplah kecakapan melakukan tindakan hukum. b.
Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih subyek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan
dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Contoh:
A mengadakan perjanjian jual beli dengan B, maka lahirlah hubungan hukum antara A dan B. Setelah dibayar lunas, hubungan hukum tersebut menjadi lenyap.
c. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.
Contoh: Seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari
perbuatan si pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.
Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun
dalam keadaan yang wajar tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum.
Misalnya:
Universitas Sumatera Utara
102
Dalam keadaan kebakaran dimana seseorang sudah terkepung api, orang tersebut merusak dan menjebol tembok, jendela, pintu dan lain-lain untuk jalan keluar
menyelamatkan diri.
99
Di dalam kenyataannya, bahwa perbuatan hukum itu merupakan perbuatan yang akibat diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja bersegi satu
maupun yang dilakukan dua pihak bersegi dua. Apabila akibat hukumnya rechtsgevolg timbul karena satu pihak saja, misalnya membuat surat wasiat diatur
dalam Pasal 875 KUH Perdata, maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum satu pihak. Kemudian apabila akibat hukumnya timbul karena perbuatan dua pihak,
seperti jual beli, tukar menukar maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum dua pihak.
Berdasarkan uraian
di atas
jelaslah bahwa
peristiwa hukum
berupa pengangkatan anak dalam suatu masyarakat merupakan suatu bentuk hubungan
hukum termasuk. Dalam hal ini proses pengangkatan anak apabila merupakan suatu perbuatan atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat yang mempunyai akibat
secara hukum bagi para pihak yang terkait didalamnya. Adanya akibat hukum ini menyebabkan para pihak yang terkait dalam perbuatan atau peristiwa hukum tersebut
tuntuk dan patuh pada ketentuan yang dibuat atau yang diatur dalam lingkup keberlakuannya sebagaimana layaknya suatu peraturan hukum yang mengatur guna
menghindari terjadinya perselisihan akibat suatu perbuatan hukum tersebut.
99
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
103
B. Akibat Hukum Dalam Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi, diantaranya untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak
memperoleh keturunan. Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak dapat mendapatkan keturunantidak mungkin melahirkan anak
dengan berbagai macam sebab, padahal mereka sangat mendambakan kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga yang dibinanya.
Atas dasar tujuan pengangkatan
anak, jelas terlihat bahwa motivasi
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Praktek pengangkatan anak yang dimotivasi untuk komersial perdagangan, komersial untuk pancingan dan kemudian setelah
pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau diterlantarkan, hal
tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu, pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan
pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat.
Berdasarkan hal tersebut jelas terlihat akibat hukum yang dikehendaki dari proses pengangkatan anak. Guna menjelaskan lebih jauh tentang akibat hukum dari
proses pengangkatan anak berikut penjelasan yang didasarkan pada tiga sistem hukum pengangkatan anak Adopsi.
Universitas Sumatera Utara
104
1. Adopsi dalam Hukum Barat BW