Model simulasi pengaturan hasil dinamik kasus di KPH Blora, Cepu dan Randublatung, Perum Perhutani, Unit I Jawa Tengah
MODEL SIMULASI PENGATURAN HASIL DINAMIK
(Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung
Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)
IRHAMNA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
ABSTRACT
IRHAMNA. Simulation Model of Dynamic Yield Regulation (Case in KPH Blora, Cepu , and Randublatung Perum Perhutani Unit I West Java). Supervised by Dr. Ir. BUDI KUNCAHYO, MS
Pressure about forest resources can cause happen over exploitation until of forest resources not capable to give optimal benefit in fact on contrary, forest sustainable more offer decrease. The excalation of population in around forest area cause pressure about forest can effect to increase use area for settlement with construction wood and fuel wood consumption.
The management of forest in Java Island which is whole almost of plant forest, at this time used one method of yield regulation of which is used in entire area of productin forest. This method only enter stand of forest factor, with the result of approach that currently used for aimed at method yield regulation of forest have the quality of partial.
This research is aimed to arrange dinamics yield regulation of forest method in KPH Blora, Cepu, and Randublatung and study wood consumption effect for model of yield regulation by used.
According to result khi-square test (X2) for KPH Blora shows X2hitung 3,77 and
values X2tabcl shows 16,92 on confidence level of 95% by degrees of freedom 9.
X2hitung values more liitle than X2tabcl can be conclusion that variability of simulation
data not difference evidence with variability of actual data. For KPH Cepu according of result khi-square test (X ), shows X2hitung 9,15 and X2tabcl 16,92 on
confidence level of 95% by degrees of freedom 9. X2hitun2 values more little than
X2tabcl, can be conclusion that variability of simulation data not difference evidence
with variability of actual data. For KPH, Randublatung shows X2hitung 3,31 and
values X2tabcl shows 16,92 on confidence level of 95% by degrees of freedom 9.
X2hitung values more liitle than X2tabcl, can be conclusion that variability of
simulation data not difference evidence with variability of actual data.
According to scenario influence of construction wood and fuel wood consumption to fluctuation wood production (etat volume), sum of tree steal and enterprise profit in each KPH of result that : at KPH Blora of simulation result during 20 next years shows increase fuel wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 13.593,31 m or 3,34 %; increase sum of tree steal shows 66.176 tree and decrease KPH Profit shows Rp 12.158.321.453,- or 6,57.
KPH Cepu of shows increase fuel wood consumption 50%, consequence decrease etat volume 34.870,68 m3 or 1,33%; increase sum of tree steal shows 61.624 tree and decrease KPH Profit shows Rp 44.227.957.527,- or 2,92%.
KPH Randublatung of shows increase fuel wood consumption 50%, consequence decrease etat volume 34.870,68 m3 or 1,33%; increase sum of tree steal shows 61.624 tree and decrease KPH Profit shows Rp 44.227.957.527,- or 2,92%.
KPH Blora of simulation result during 20 next years shows increase construction wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 13.104,97 m3 or 0,184 %; increase sum of tree steal shows 78.957 tree and decrease KPH profit shows Rp 11.339.104.192,- or 0,35%.
(3)
KPH Cepu shows increase construction wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 34.426,3 m or 0,07%; increase sum of tree steal shows 73.978 tree and decrease KPH profit shows Rp 43.016.394.576,- or 0,89%.
KPH Randublatung shows increase construction wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 35.625,75 m or 0,184 %; increase sum of tree steal shows 32.497 tree and decrease KPH profit shows Rp 113.839.424.029,-or0,13%.
(4)
RINGKASAN
IRHAMNA. Model Simulasi Pengaturan Hasil Dinamik (Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah). Dibimbing oleh Dr. Ir. BUDI KUNCAHYO, MS
Tekanan terhadap sumber daya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bahkan sebaliknya, kelestarian hutan semakin mengalami penurunan. Peningkatan jumlah penduduk di sekitar areal hutan yang menyebabkan tekanan terhadap hutan berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan lahan untuk pemukiman serta permintaan kayu pertukangan dan kayu bakar.
Pengelolaan hutan di Pulau Jawa yang hampir seluruhnya hutan tanaman, pada saat ini digunakan satu metode pengaturan hasil yang diterapkan di seluruh kawasan hutan produksi. Metode ini hanya memasukkan faktor tegakan hutan, sehingga pendekatan yang digunakan dalam merumuskan metode pengaturan hasil hutan masih bersifat parsial. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya variabel komponen lain, seperti faktor sosial masyarakat sekitar hutan.
Penelitian ini bertujuan menyusun model pengaturan hasil hutan yang dinamis di KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung dan mengkaji pengaruh konsumsi kayu terhadap model pengaturan hasil hutan yang digunakan.
Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat (X2) untuk KPH Blora besarnya X2hitung
sebesar 7,01 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selang kepercayaan 95% dengan
derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel, dapat disimpulkan bahwa
keragaman data simulasi tidak berbeda nyata dengan keragaman data aktual. Untuk KPH Cepu Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat (X2), besarnya X2hitung
sebesar 12,01 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selangkepercayaan 95% dengan
derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel, dapat disimpulkan bahwa
keragaman data simulasi tidak berbeda nyata dengan keragaman data aktual. Untuk KPH Randublatung, besarnya X2hitung adalah 5,42 dan nilai X2tabel sebesar
16,92 pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih
kecil X2tabel, dapat disimpulkan bahwa keragaman data simulasi tidak berbeda
nyata dengan keragaman data aktual. Berdasarkan evaluasi maka model KPH Blora, Cepu, dan Randublatung dianggap dapat menjelaskan kondisi aktual.
Berdasarkan skenario pengaruh tingkat konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar terhadap besarnya fluktuasi produksi kayu (etat volume), jumlah pohon yang di curi serta keuntungan perusahaan pada masing-masing KPH diperoleh :pada KPH Blora hasil simulasi selama 20 tahun ke depan menunjukan besarnya kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 50 % mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 13.593,31 m3 atau 3,34 %; peningkatan jumlah pencurian
pohon sebesar 66.176 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 12.158.321.453,- atau sebesar 6,57 %.
Untuk KPH Cepu kenaikan 50 % konsumsi kayu bakar mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 34.870,68 m3 atau 1,33 %; peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 61.624 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 44.227.957.527,- atau sebesar 2,92%.
(5)
Untuk KPH Randublatung kenaikan 50% konsumsi kayu bakar mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 35.114,65 m3 atatu 1,36 %, peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 68.940 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 110.901.329.061,- atau sebesar 2,51 %.
Pada KPH Blora hasil simulasi selama 20 tahun ke depan menunjukan besarnya kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 50 % mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 13.104,97 m3 atau 0,18 %; peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 78.957 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 11.339.104.192,- atau sebesar 0,35 %.
Untuk KPH Cepu kenaikan 50% konsumsi kayu pertukangan mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 34.426,3 m3 atau 0,07 %; peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 73.978 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 43.016.394.576,- atau sebesar 0,89 %.
Untuk KPH Randublatung kenaikan 50% konsumsi kayu pertukangan mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 35.625,75 m3 atau 0,07 %, peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 32.497 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 113.839.424.029,- atau sebesar 0,13%.
(6)
MODEL SIMULASI PENGATURAN HASIL DINAMIK
(Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung
Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)
IRHAMNA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(7)
Judul Skripsi : Model Simulasi Pengaturan Hasil Dinamik (Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)
Nama : Irhamna
NRP : E01499066
Departemen : Manajemen Hutan Program Studi : Manajemen Hutan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS NIP. 131 578 798
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799
(8)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia Iman, Islam dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Karya ilmiah ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dengan Judul yang diambil adalah Model Simulasi Pengaturan Hasil Dinamik dengan mengambil kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah..
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan arahan. Tidak lupa kepada Abah (alm.), Umi dan Kak Hilda (alm.) atas segala doa, bantuan, dan kasih sayangnya. Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusunan karya ilmiah ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sehingga karya tulis ini menjadi lebih baik.
Bogor, Agustus 2006
(9)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1981 di Desa Peulanggahan, Kecamatan Kuta Raja, Kotamadya Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Djamil Achmad (alm.) dan Ibu Fauziah Sungkar (alm.).
Penulis memulai pendidikan formal di SDN 17 Banda Aceh, tahun 1987 dilanjutkan di SMPN 7 Banda Aceh. Selanjutnya pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Banda Aceh. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atasnya dan lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama kuliah Penulis mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H), dengan Pengenalan Hutan di jalur Batu Raden-Cilacap dan Pengelolaan Hutan di KPH Indramayu, Jawa Barat, dan Praktek Kerja Lapang di PT The Best One UniTimber, Kabupaten Pelalawan, Riau.
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
PENDAHULUAN Latar belakang ... 2
Tujuan ... 2
Hipotesis ... 2
Manfaat Penelitian ... 2
TINJAUAN PUSTAKA Pengaturan Hasil Hutan ... 3
Pengelolaan Hutan Lestari ... 5
Karakteristik Masyarakat Desa Sekitar Hutan ... 6
Analisis Sistem ... 7
Penelitian yang telah dilakukan ... 11
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian ... 13
Alat dan Bahan ... 13
Jenis dan Sumber Data ... 13
Analisis Data ... 14
KEADAAN UMUM Letak dan Luas ... 18
Geologi dan Topografi ... 20
Iklim dan Curah Hujan ... 20
Sosial Ekonomi Masyarakat ... 21
Potensi Hutan ... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelestarian Hasil ... 26
(11)
Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat ... 33
Pendekatan Sistem ... 35
Formulasi Model Konseptual ... 37
Spesifikasi Model Kuantitatif ... 48
Evaluasi Model ... 52
Penggunaan Model ... 57
KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN
(12)
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Letak astronomis KPH Blora, KPH Cepu dan
KPH Randublatung ... 18
2 Batas geografis wilayah hutan KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ... 18
3 Pembagian hutan KPH Blora ... 18
4 Pembagian wilayah kerja KPH Cepu ... 19
5 Pembagian bagian hutan KPH Randublatung ... 20
6 Keadaan geologi dan topografi KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ... 20
7 Tipe iklim dan curah hujan di KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ... 21
8 Jumlah penduduk, kepadatan dan rata-rata luas kepemilikan lahan per kecamatan . ... 21
9 Jumlah penduduk menurut kecamatan wilayah KPH Blora Tahun 1997-2001 . ... 22
10 Kepadatan penduduk desa sekitar hutan KPH Cepu... 23
11 Penyebaran penduduk tiap Kecamatan sekitar wilayah KPH Randublatung ... 24
12 Potensi Hutan di KPH Cepu, KPH Randublatung, dan KPH Blora ... 25
13 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Blora ... 27
14 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Cepu ... 27
15 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Randublatung ... 28
16 Penentuan etat dan perhitungan jangka waktu penebangan ... 29
17 Konsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan di Masing-masing KPH ... 31
18 Konsumsi kayu bakar pada desa contoh di masing-masing KPH ... 32
19 Konsumsi kayu pertukangan pada desa contoh di masing-masing KPH ... 33
(13)
20 Pendapatan dan pengeluaran rata-rata setiap rumah
tangga desa contoh ... 33 21 Jumlah responden desa contoh dalam kategori
miskin dan tidak ... 34 22 Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil
simulasi KPH Blora ... 56 23 Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil
simulasi KPH Cepu ... 56 24 Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil
(14)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perbandingan metode pemecahan masalah dalam lingkup
pemahaman relatif dan jumlah data relatif ... 10
2 Hubungan antar sub model ... 36
3 Diagram Causal Loop antara jumlah penanaman dengan jumlah pohon dalam tegakan ... 40
4 Diagram Causal Loop antara jumlah pencurian dengan jumlah pohon dalam tegakan ... 41
5 Diagram Causal Loop antara jumlah pohon penjarangan dengan jumlah pohon dalam tegakan... 41
6 Sub model dinamika penduduk ... 44
7 Sub model gangguan hutan ... 45
8 Sub model pengangguran ... 46
9 Sub model keuangan perusahaan ... 47
10 Sub model kayu konsumsi ... 48
11 Etat luas dan etat volume pada KPH Blora yang tidak mengalami gangguan ... 52
12 Etat luas dan etat volume pada KPH Cepu yang tidak mengalami gangguan ... 53
13 Etat luas dan etat volume pada KPH Randublatung yang tidak mengalami gangguan ... 53
14 Etat luas KPH Blora pada luas gangguan 100 Ha/ tahun (1), 500 Ha/tahun (2) dan 900 Ha/ tahun (3) ... 54
15 Etat luas KPH Randublatung pada luas gangguan 100 Ha/ tahun (1), 1.000 Ha/tahun (2) dan 2.000 Ha/ tahun (3) ... 54
16 Etat luas KPH Cepu pada luas gangguan 1.000 Ha/ tahun (1), 1.500 Ha/tahun (2) dan 2.000 Ha/ tahun (3)... 55
17 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 58
18 Pendapatan bersih KPH Blora pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 59
(15)
19 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu
bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 59
20 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar
0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 60
21 Pendapatan bersih KPH Cepu pada kenaikan konsumsi
kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 61
22 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu
bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 61
23 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar
0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 62
24 Pendapatan bersih KPH Randublatung pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2)
dan 100% (3) ... 62
25 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu
bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 63
26 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan
sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 64
27 Pendapatan bersih KPH Blora pada kenaikan konsumsi
kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 64
28 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu
pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 65
29 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan
sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 65
30 Pendapatan bersih KPH Cepu pada kenaikan konsumsi
kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 66
31 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu
pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 66
32 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan
sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 67
33 Pendapatan bersih KPH Randublatung pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2)
(16)
34 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Sub model jumlah pohon ... 74
2 Sub model luas areal berhutan ... 75
3 Sub model pengaturan hasil ... 76
4 Potensi tegakan hasil risalah sela KPH Blora ... 77
5 Potensi tegakan hasil risalah sela KPH Cepu ... 78
6 Potensi tegakan hasil risalah sela KPH Randublatung ... 79
7 Contoh perhitungan etat tebangan metode Cotta, Burn dan Von Mantel ... 80
8 Data bagian hutan contoh di masing-masing KPH ... 81
9 Data dasar dan asumsi ... 82
(18)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan dalam perkembangannya dituntut untuk dikelola secara multiguna. Kondisi yang diharapkan tidak hanya hutan lestari tetapi juga masyarakat di dalam dan sekitar hutan hidupnya sejahtera. Pengelolaan sumberdaya hutan meliputi aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, sehingga pemanfaatannya tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi semata, tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan fungsí sumberdaya hutan itu sendiri, yaitu untuk menopang kehidupan manusia antar generasi.
Tekanan terhadap sumber daya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bahkan sebaliknya, kelestarian hutan semakin mengalami penurunan. Laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menyebabkan timbulnya berbagai masalah, diantaranya konsumsi kayu oleh masyarakat desa sekitar hutan.
Konsumsi kayu yang terus meningkat sementara daya beli masyarakat menurun berpotensi meningkatkan gangguan hutan. Gangguan hutan berpengaruh pada standing stock. Sementara pengaturan hasil yang digunakan mengacu pada besarnya standing stock.
Hutan tanaman di seluruh Pulau Jawa selama ini menggunakan sistem pengelolaan hutan yang seragam di seluruh kawasan hutan produksi. Metode ini hanya memasukkan faktor tegakan hutan, sehingga pendekatan yang digunakan dalam merumuskan metode pengaturan hasil hutan masih bersifat parsial. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya variabel komponen lain, seperti faktor sosial masyarakat sekitar hutan.
Besarnya etat yang diperoleh dengan metode pengaturan hasil saat ini sudah tidak sesuai. Untuk itu diperlukan suatu metode pengaturan hasil dalam rangka penentuan etat luas dan etat volume yang dinamis. Faktor konsumsi kayu merupakan salah satu faktor digunakan dalam metode pengaturan hasil yang dinamis.
(19)
Konsumsi kayu oleh masyarakat yang dipengaruhi laju pertumbuhan penduduk dapat digunakan untuk mengkaji pengaruh kebutuhan kayu terhadap model pengaturan hasil yang diterapkan. Penyusunan rencana pengaturan hasil hutan dilakukan dengan memasukkan faktor konsumsi kayu masyarakat dalam sistem pengelolaan.
Tujuan
1. Menyusun model pengaturan hasil hutan yang dinamis di KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung.
2. Menguraikan besarnya konsumsi kayu oleh masyarakat sekitar hutan. 3. Mengkaji pengaruh konsumsi kayu terhadap model pengaturan hasil hutan
yang digunakan.
4. Menguji sub model konsumsi kayu dalam berbagai skenario.
Hipotesis
Perubahan konsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan akan mempengaruhi etat volume setiap tahun, jumlah pencurian pohon serta pendapatan KPH.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu memberi pedoman bagi pihak pengelola dan perencana hutan dalam penentuan pengaturan hasil hutan yang memperhitungkan kebutuhan kayu masyarakat desa sekitar hutan.
(20)
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaturan Hasil Hutan
Pengaturan hasil adalah penentuan kayu dan produksi lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk di mana, kapan dan bagaimana hasil seharusnya diekstraksi (FAO 1998).
Pengaturan hasil bertujuan untuk memperoleh hasil akhir yang berazaskan kelestarian. Ada beberapa alasan penebangan dan pengaturan hasilnya dalam hubungan dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu. Osmaston (1968) mengemukakan alasan-alasan tersebut adalah :
1. Penyedian bagi konsumen
Penebangan harus dilakukan agar tersedia jenis, ukuran, mutu dan jumlah kayu sesuai dengan permintaan pasar.
2. Pemeliharaan growing stock untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi di dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat mungkin.
3. Penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan tujuan pengelolaan.
4. Penebangan perlindungan, terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya.
Menurut Osmaston (1968), beberapa hal yang dibutuhkan dan harus dicakup dalam pengaturan hasil, yaitu:
1. Perhitungan jumlah hasil yang akan diperoleh.
2. Bagaimana hasil tersebut dapat dibagi dalam hasil akhir dan penjarangan. 3. Penyusunan suatu rencana penebangan yang dibatasi oleh kepadatan tegakan
yang akan ditebang.
Vanclay (1995) mengatakan bahwa pengelolaan tegakan secara keseluruhan dapat digunakan untuk menggambarkan parameter-parameter tingkat tegakan (langsung per unit area), seperti tegakan persediaan (pohon/Ha), bidang dasar tegakan (m2/Ha) dan volume tegakan (m3/Ha).
Ada empat aspek pokok yang patut mendapat pemikiran dalam pengelolaan hutan produksi secara lestari yang merupakan penjabaran dari fungsi
(21)
ganda hutan, yaitu fungsi sosial ekonomis dan fungsi ekologis, yaitu (Proceeding 1995) :
1. Aspek kepastian dan keamanan sumberdaya hutan 2. Aspek kesinambungan produksi
3. Aspek konservasi fauna, flora dan keanekaragaman jenis serta berbagai fungsi hutan bagi lingkungan
4. Aspek ekonomi bagi pertumbuhan bangsa dan partisipasi mayarakat.
Simon (1994) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pengaturan hasil memerlukan tiga tahap kegiatan sebagai berikut :
1. Perhitungan etat, yaitu jumlah hasil hutan yang dapat diperoleh setiap tahun atau selama jangka waktu tertentu. Jika hasil tersebut dinyatakan dalam luas dinamakan etat luas, dan jika dinyatakan dalam m3 dinamakan etat volume.
2. Pemisahan jumlah hasil tersebut ke dalam hasil penjarangan dan hasil tebangan akhir (untuk etat volume).
3. Penyusunan rencana tebangan, baik tebangan penjarangan maupun tebangan akhir, berikut keterangan tentang keadaan tegakan serta tata waktunya.
Meyer et al. (1961), dan Osmaston (1968) menyebutkan terdapat beberapa metode pengaturan hasil yang telah dikembangkan. Metode tersebut adalah :
1. Metode berdasarkan luas
Pengendalian berdasarkan prinsip silvikultur
Pengendalian dengan daur dan penyebaran kelas umur
Pengendalian berdasarkan kelas pengembangan dan pembinaan 2. Metode berdasarkan volume dan riap
Metode Austrian Metode Hundeshagen Metode Von Mantel Metode Gerhardt Metode Chapman
3. Metode berdasarkan luas dan volume Metode Burn
(22)
Pengelolaan Hutan Lestari
Kelestarian hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktifitas hutan, dan fungsi-fungsi ekosistem hutan yang terbentuk akibat terjadinya interaksi antar komponen ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya (Suhendang 2004).
Definisi kelestarian hasil dalam Conservation Code 1938 adalah pengelolaan kawasan hutan tertentu yang jelas status pemiliknya, dengan luas wilayah yang ekonomis dan memiliki sistem pengelolaan yang jelas berdasarkan rencana kerja yang rasional (Simon 1994).
Pengelolaan hutan lestari adalah proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara bekelanjutan, tanpa adanya pengurangan nilai dan produktifitas hutan di masa yang akan datang dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998).
Konsep pengelolan hutan lestari berlandaskan pada pandangan hutan sebagai ekosistem, yaitu sistem sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Oleh karenanya maka pengelolaan hutan haruslah dilaksanakan berlandaskan pada pendekatan yang bersifat menyeluruh dan utuh (holistic), terpadu (integrated), dan berkelanjutan (sustainable) (Helms 1998).
Konsep kelestarian hasil mengandung unsur kenisbian. Salah satu unsur kenisbian ini adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, baik luas, volume kayu, nilai uang, atau jumlah batang pohon. Tak ada jaminan pemakaian salah satu ukuran hasil memberikan tingkat kelestarian yang sama apabila diukur oleh ukuran yang lain (Suhendang 1995).
Secara teoritis ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan asas kelestarian, yaitu (Simon 1994) :
1. Ada jaminan kepastian kawasan hutan yang tetap dan diakui oleh semua pihak, baik rakyat, lembaga swasta maupun pemerintah.
2. Sistem perhitungan etat yang tidak over-cutting, sehingga dapat disusun rencana tebangan tahunan dengan asas kelestarian.
3. Adanya rumusan sistem permudaan yang menjamin permudaan kembali kawasan bekas tebangan yang berhasil baik.
(23)
Meyer et al. (1961), menyatakan terdapat beberapa tipe kelestarian hasil yaitu
1. Integral yield (hasil integral), hutan tersusun atas pohon dengan umur
yang sama, ditanam pada saat yang sama dan ditebang pada saat yang sama pula. Tipe ini pada umumnya hanya berlaku untuk pemilikan hutan yang kecil, khususnya daur pendek sampai menengah.
2. Intermitten yield (hasil periodik), yaitu bila dalam kawasan hutan ada
berbagai kelas umur, dengan demikian akan dapat ditebang dalam beberapa kali dalam interval waktu tertentu atau secara regulasi.
3. Annual yield (hasil tahunan), penebangan selalu siap dilakukan pada setiap tahun.
Karakteristik Masyarakat Desa Sekitar Hutan
Desa hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan langsung dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan. Sedangkan masyarakat desa hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya (Perhutani 1988).
Suhendang (2004) mengatakan aspek sosial hutan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari. Fungsi sosial dan budaya hutan menyatakan kemampuan hutan dalam memenuhi kepentingan masyarakat, terutama masyarakat di sekitar hutan dalam memenuhi kebutuhannya.
Menurut Alrasyid (1979) diacu dalam Sudjatmiko (1981) diperkirakan konsumsi energi yang berasal dari kayu oleh masyarakat desa mencapai 70-75% dari total kebutuhan energi rumah tangga. Hal ini dapat dipahami mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bermukim di pedesaan dan pinggiran kota dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah. Konsumsi kayu, terutama di desa yang semakin jauh dari kota cenderung semakin tinggi. Ini merupakan indikasi bahwa di daerah-daerah dengan aksesibilitas rendah, konsumsi kayu bakar perkapita semakin meningkat karena pertambahan penduduk dan jenis-jenis bahan bakar subsitusi seperti minyak tanah kurang tersedia.
(24)
Kelangkaan sumberdaya telah menyebabkan masyarakat desa hutan sangat tergantung dengan hutan-hutan di sekitarnya, baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Salah satu pemecahan masalah langkanya sumberdaya lahan dan kesempatan kerja di desa-desa sekitar hutan adalah dengan meningkatkan kesempatan menghasilkan pangan, makanan ternak, dan persedian kayu bakar di dalam kawasan hutan tanpa harus mengorbankan fungsi hutan itu sendiri (Andajani 1997).
Struktur masyarakat pedesaan, khususnya di Jawa menurut Soedjatmoko (1980), dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu ;
1. Golongan pertama adalah mereka yang memilki tanah cukup besar untuk kehidupan yang cukup bagi keluarganya.
2. Golongan kedua, terdiri dari petani yang memiliki atau menguasai tanah yang luasnya atau kualitasnya marginal, sehingga kehidupan keluarganya sangat tergantung dari kesempatan kerja sampingan, selain karena faktor iklim dan faktor pasar.
3. Golongan ketiga, yang makin lama makin besar jumlahnya baik di Indonesia maupun di Asia pada umumnya adalah mereka yang sama sekali tidak mempunyai tanah.
Analisis Sistem
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mempunyai pengertian demikian, (Amirin 2001) :
1. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.
2. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur.
Muhammadi et al. (2001) mengatakan sistem adalah keseluruhan inter-aksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu. Sistem sebagai obyek didekati dengan berpikir sistem. Syarat awal untuk memulai berpikir sistem adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (system approach).
Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan sesuatu kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan untuk
(25)
mencapai sesuatu atau beberapa tujuan dengan cara mengolah data dalam jangka waktu tertentu guna menghasilkan informasi (Amirin 2001).
Sistem dinamis adalah adalah sistem yang secara tetap dan terus-menerus berubah, sistem mengatur diri sendiri, mengarahkan dan berperilaku sesuai tujuan (Amirin 2001).
Amirin (2001) mengatakan ciri-ciri sistem adalah berorientasi pada tujuan dan perilakunya atau segala kegiatannya memiliki tujuan. Rumusan ciri-ciri pokok sistem diantaranya :
1. Sistem mempunyai tujuan. 2. Sistem mempunyai batas.
3. Suatu sistem terdiri dari beberapa subsistem.
4. Terdapat saling hubungan dan saling ketergantungan baik di dalam sistem maupun anatara sistem dan lingkungannya.
5. Sistem memiliki mekanisme kontrol dengan memanfaatkan tersedianya umpan balik.
6. Adanya mekanisme kontrol, maka sistem dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Sistem secara garis besar dapat digolongkan pada dua golongan penggunaan, yaitu (Amirin 2001):
1. Sistem sebagai suatu wujud (“Entitas”)
Suatu sistem dianggap merupakan suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan. Sistem sebagai suatu entitas pada dasarnya bersifat deskriptif.
2. Sistem sebagai suatu metode
Sistem dipergunakan untuk menunjukkan tata cara (prosedur), jadi bersifat (preskriptif). Konsep pengertian sistem sebagai suatu metode ini dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem (system approach) yang merupakan penerapan metode ilmiah di dalam usaha memecahkan masalah.
Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah (Muhammadi et al 2001). Untuk mengetahui validitas
(26)
model sesuai dengan tujuan penyusunan model tersebut dilakukan melalui seperangkat tahapan pengujian yang meliputi empat aspek, yaitu (Simon 1993) : 1. Validasi struktural (structural validity) untuk menunjukkan bahwa model yang telah diciptakan mempunyai hubungan yang erat dengan sistem yang senyata di lapangan, khususnya ditinjau dari saling keterkaitan antara struktur sistem tersebut.
2. Validasi watak (behavioral validity) untuk menunjukkan bahwa model yang diciptakan menghasilkan dinamika watak yang sama dengan sistem yang
senyata di lapangan, khususnya ditinjau dari hubungannya dengan lingkungan sistem tersebut.
3. Validasi empirik (empirical validity) yaitu hasil perhitungan atau logika yang diperoleh dari model yang diciptakan sesuai dengan data empirik untuk sistem yang senyata di lapangan.
4. Validasi aplikasi (application validity) untuk menunjukkan bahwa model yang telah dirumuskan berhubungan erat dengan tujuan studi dan model tersebut dapat menyediakan informasi yang serupa dengan sistem yang senyata di lapangan.
Simulasi adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab-akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem sebenarnya (Eriyatno 1998).
Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses yang bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala dan proses yang terjadi (Muhammadi et al 2001). Menurut Eriyatno (1998), analisis sistem didefinisikan sebagai gugus kriteria prilaku sistem yang kemudian dievaluasikan. Analisis sistem didasarkan pada penentuan informasi yang terperinci yang dihasilkan melalui tahap-tahap tertentu. Analisis sistem dapat juga didefinisikan sebagai studi yang dibentuk dari satu atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem.
Analisis sistem merupakan aplikasi yang bersifat paling langsung dari metode ilmiah untuk suatu masalah yang mencakup sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan tehnik untuk mempelajari,
(27)
menggambarkan, dan membuat prediksi tentang sesuatu yang kompleks yang besarnya dicirikan dengan penggunaan prosedur matematis tingkat tinggi serta penggunaan komputer (Grant et al 1997). Dikatakan juga oleh Grant et al, analisis sistem menekankan pendekatan holistik pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi serta mensimulasikan karakter-karakter dalam suatu sistem yang kompleks.
Banyak
Sedikit
Tingkat Pemahaman Relatif
Rendah Tinggi
Gambar 1 Perbandingan metode pemecahan masalah dalam lingkup pemahaman relatif dan jumlah data relatif (Grant et al 1997).
Menurut Muhammadi et al. (2001), untuk memahami gejala atau proses dari suatu model dapat dilakukan dengan mengidentifikasi tahapan dasar dalam pengembangan dan penggunaan model sistem, yaitu :
1. Formulasi Model Konseptual
Langkah awal dalam analisis sistem untuk menentukan komponen-komponen yang berperan dalam proses yang akan ditirukan sesuai dengan tujuan dari model yang akan dibentuk. Komponen ini saling berhubungan dan berinteraksi sehingga dapat dirumuskan sebagai model dalam bentuk uraian, gambar, atau rumus.
2. Formulasi Model Kualitatif
Pengembangan model kualitatif dari keterkaitan sistem dengan menjelaskan aturan aliran material dengan menggunakan model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik, atau komputer. Pembentukan model kuantitatif
Banyak Data Rendah Pemahaman
(Statistik)
Banyak Data Baik Pemahaman
(Matematis)
Sedikit Data Rendah Pemahaman
Sedikit Data Baik Pemahaman
Analisis Sistem dan Simulasi
Jumlah Data Relatif
(28)
ditujukan untuk masing-masing nilai variabel dan menterjemahkan setiap hubungan antar variabel dan komponen penyusun model tersebut ke dalam persamaan persamaan matematik untuk dapat dilakukan simulasi.
3. Simulasi
Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, dimana perhitungan dilakukan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses.
4. Evaluasi model
Pada tahapan ini dilakukan pengujian terhadap model yang telah disimulasikan, yaitu sejauh mana interaksi variabel model dapat mendekati interaksi kejadian nyata. Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil.
5. Penggunaan model
Hasil simulasi yang telah dievaluasi selanjutnya dapat digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang.
Penelitian yang telah dilakukan
Sumadi (2002), melakukan penelitian penyusunan model simulasi pengaturan hasil yang paling sesuai di KPH Blora. Metode Von Mantel merupakan metode yang paling sesuai diterapkan di KPH Blora.
Pengaturan hasil dengan metode Von Mantel yang berfluktuasi dapat menghasilkan volume kayu tebangan sebesar 732.956,84 m3 sedangkan pada metode Burn statis yang ditetapkan 10 tahun sekali saat penyusunan buku RPKH volume kayu tebangan yang dapat dihasilkan sebesar 671.163,45 m3. Penyerapan tenaga kerja penanaman rata-rata tiap tahunnya metode Von mantel fluktuasi sebesar 706 orang/tahun, sedangkan pada metode Burn statis sebanyak 702 orang/tahun.
Triono (2002), melakukan penelitian penyusunan model simulasi pengaturan hasil kelas perusahaan Pinus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
(29)
penerapan metode von mantel dinamis lebih baik dalam hal besarnya etat massa, penerimaan KPH dan penyerapan tenaga kerja dibanding metode Burn statis. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan metode von mantel dinamis daur 20 tahun merupakan daur yang terbaik dalam hal besarnya etat massa, penerimaan KPH, penyerapan tenaga kerja di banding metode Burn statis.
Munandar (2005), melakukan penelitian penyusunan model pengaturan hasil kelas perusahaan Jati yang mempertimbangkan aspek gangguan berupa pencurian kayu di KPH Cepu. Hasil penelitian menunjukkan metode Burn dalam pengaturan hasil di KPH Cepu memiliki prospek kelestarian yang rendah karena untuk memperoleh jumlah tebangan yang kurang lebih sama setiap tahun membutuhkan waktu lebih dari satu daur. Metode Burn tidak mampu merespon terhadap penurunan potensi akibat pencurian pohon. Penggunaan etat volume dinamis lebih disukai dibandingkan dengan etat volume berdasarkan metode Burn karena mampu merespon penurunan potensi tegakan akibat pencurian kayu.
Penelitian model simulasi pengaturan hasil pada hutan alam juga telah dilakukan, seperti pada penelitian Aryanto (2001), dengan tujuan mencari metode pengaturan hasil yang lebih baik ditinjau dari segi finansial dan kelestarian hutan. Hasil penelitian menunjukkan pengaturan hasil adaptif mampu memberikan keuntungan finansial yang lebih besar dibandingkan pengaturan hasil dengan siklus 20 tahun, 35 tahun dan 50 tahun. Hal ini disebabkan pengaturan hasil adaptif, penebangan dilakukan pada saat harga optimum.
(30)
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung Perum Perhutani unit I Jawa Tengah pada bulan Oktober – Desember 2004
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu : alat tulis, kalkulator, komputer, software microsoft Excel, Minitab 13, dan Stella 8. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder yang digunakan untuk proses simulasi.
Jenis dan Sumber Data
1. Data Primer
Data primer yang dikumpulkan meliputi data pendapatan dan pengeluaran serta data konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar masyarakat desa sekitar hutan dari setiap KPH. Konsumsi kayu berasal dari kawasan hutan KPH Blora, Cepu dan Randublatung. Data diperoleh melalui wawancara dan kuisioner dari 40 rumah tangga yang dipilih secara acak dari setiap desa yang dijadikan desa contoh. Desa contoh yang dipilih sebanyak 10 desa. Pemilihan desa contoh dilakukan secara purposive, artinya desa contoh yang dipilih merupakan desa-desa yang lokasinya berbatasan langsung dengan hutan.
2. Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi : a. Data luas areal produktif, KBD rata-rata, bonita rata-rata.
b. Data biaya pengelolaan hutan.
c. Harga kayu pertukangan dan kayu bakar.
d. Data jumlah penduduk sekitar hutan, persen kelahiran dan persen kematian.
(31)
Analisis Data A. Penentuan Etat
Dalam penetuan etat, metode pengaturan hasil yang digunakan adalah Metode Burn, Metode Cotta, dan Metode Von Mantel. Data yang digunakan dalam penentuan etat meliputi luas areal produktif, KBD rata-rata, dan bonita rata-rata.
1. Metode Burn UTR = U +
2 D U = Li Li . Xi ∑ ∑
Untuk penentuan etatnya :
D L EtatLuas= D 2 V 1 V
EtatVolume= +
2. Metode Cotta
R 1/2I V
AY= +
4. Metode Von Mantel
R 2AG
AY= kayu tegakan
miskin riap (
Keterangan :
UTR = Umur tebang rata-rata (th)
U = Umur rata-rata kelas umur ke-i (th) Xi = Umur tengah kelas umur ke-i (th) Li = Luas areal kelas umur ke-i (ha)
D = Daur (tahun)
L = Luas areal produktif (ha)
V1 = Volume kayu tegakan kelas umur
pada UTR (m3)
V2 = Volume kayu tegakan miskin
riap (m3)
Keterangan :
AY = panen tahunan (m3/th)
V = volume total/tegakan persediaan (m3)
I = riap total dari volume/riap nyata (m3/th)
R = daur (tahun)
Keterangan :
AY = hasil tahunan (m³/th)
AG = tegakan persediaan nyata (m³)
(32)
B. Pendekatan Sistem
Tahapan analisis sistem yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan atas tahapan yang dilakukan Grant et al. (1997), yaitu :
1. Formulasi Model konseptual
Tujuan tahapan ini adalah untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan pada keadaan nyata di alam dengan segala sistem yang terkait antara yang satu dengan yang lainnya serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan memperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan permodelan simulasi. Tahapan ini terdiri dari enam langkah sebagai berikut :
a. Menentukan tujuan model. b. Batasan model.
c. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem.
Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem dikategorisasikan ke dalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan fungsinya sebagai berikut :
c. 1. state variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem. c. 2. driving variable, variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun
tidak dapat dipengaruhi oleh sistem.
c. 3. konstanta adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik sebuah sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami perubahan pada setiap kondisi simulasi.
c. 4. auxilary variable, variabel yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi sistem.
c. 5. material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode tertentu. Mateial transfer terletak diantara dua state, source dan state, state dan sink.
c. 6. information transfer, menggambarkan penggunaan informasi tentang state dari sistem untuk mengendalikan perubahan state.
(33)
c. 7. source dan sink, berturut-turut menggambarkan awal dimulainya proses dan akhir dari masing-masing transfer materi.
d. Pengidentifikasian hubungan antar komponen.
e. Menyatakan komponen dan hubungannya dalam model yang lazim. f. Menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model.
g. Menentukan pola perilaku dari model sesuai dengan pengetahuan dan teori yang ada.
2. Spesifikasi model kuantitatif
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : a. Memilih struktur kuantitatif umum untuk model.
b. Memilih unit waktu dasar untuk simulasi.
c. Mengidentifikasi bentuk-bentuk fungsional dari persamaan model. d. Menduga parameter dan persamaan model.
e. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi. f. Menjalankan simulasi acuan (baseline simulation). g. Menetapkan persamaan model.
3. Evaluasi model
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengetahui keterandalan model yang dibuat sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Langkah evaluasi yang ditempuh adalah sebagai berikut :
a. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model.
b. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan. c. Membandingkan model dengan sistem nyata.
Membandingkan model dengan sistem nyata dapat dilakukan dengan menggunakan uji beda khi-kuadrat. Model dianggap dapat menjelaskan kondisi aktual apabila keragaman populasi hasil analisis model tidak berbeda nyata dengan keragaman populasi aktual. Uji khi-kuadrat sebagai berikut :
∑
−= 2 aktual
model aktual
hitung
2 (Y Y ) /Y
(34)
Hipotesis uji : Ho : Y model = Y aktual
H1 : Y model≠ Y aktual
Kriteria uji :
X2hitung< X2tabel : terima Ho
X2hitung> X2tabel : tolak Ho
4. Penggunaan Model
Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario hasil simulasi yang telah dievaluasi, sehingga dapat digunakan untuk memahami perilaku model serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang. Skenario dilakukan pada variabel konsumsi kayu, baik kayu pertukangan maupun kayu bakar. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah mengetahui pengaruh tingkat konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar terhadap besarnya fluktuasi produksi kayu (etat volume), jumlah pencurian pohon serta keuntungan yang diperoleh perusahaan. Untuk keperluan tersebut disusun suatu skenario untuk mengetahui tingkat perubahan yang terjadi. Skenario-skenario yang akan dijalankan adalah :
Skenario 1 : Konsumsi kayu bakar dinaikkan sebesar 0% , 50% dan 100%
Skenario 2 : Konsumsi kayu pertukangan dinaikkan sebesar 0%, 50% dan 100%.
(35)
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Luas
Letak KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung secara astronomis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Letak astronomis KPH Blora, Cepu dan Randublatung
Blora Cepu Randublatung
Bujur Timur 111016’ - 111033’ 111016’ - 111033’ 111025’ - 111040’ Lintang Selatan 06028’ - 07048’ 06052’ - 07024’ 07005’ - 07020 Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung
Berdasarkan letak geografis dari wilayah hutannya ketiga KPH yaitu Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu, Kesatuan Pemangkuan Hutan Randublatung, dan Kesatuan Pemangkuan Hutan Blora mempunyai wilayah yang saling berbatasan satu sama lain sebagaimana terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Batas geografis wilayah hutan KPH Blora, Randublatung, dan Cepu Batas Sebelah KPH Blora KPH Cepu KPH Randublatung
Utara KPH Mantingan dan Pati KPH Kebonharjo KPH Blora Timur KPH Cepu KPH Parengan KPH Cepu Selatan KPH Randublatung Bengawan Solo KPH Ngawi
Barat KPH Purwodadi KPH Randublatung KPH Gundih Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung
Luas kawasan hutan KPH Blora adalah 15.000 Ha dan dibagi dalam 6 BKPH dan 1 Kring Hutan. Pembagian hutan KPH Blora secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3 Pembagian hutan KPH Blora
No Bagian Hutan BKPH RPH Luas (Ha)
Watuondo 663,5 Jembangan 752,2 Kalonan Kalonan 720,2 Gelam 1.188,6 Ngawenombo 1.062,0 1 Kunduran Ngawenombo Bradag 599,7 Gunungan 1.098,9 Gendongan 1.019,8 Ngapus Krocok 837,5 Wotbakah 921,5 Sumberejo 991,3 2 Ngawen Nglawung Nglawungan 930,4 Tabel 3 Lanjutan
(36)
Kepitu 896,9 Ngrangkang Sambonganyar 720,4 Wegil 893,4 Kalisari 754,4 3 Banjarejo Kalisari Kedungkenong 804,6
Luas Hutan 14.855,9
Luas Alur 144,1
Luas Total 15.000
Sumber : Buku RPKH KPH Blora
Kawasan hutan KPH Cepu berada pada dua wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Blora (Propinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten Bojonegoro (Propinsi Jawa Timur). KPH Cepu yang mempunyai luas 33.109,9 Ha terbagi atas dua Sub KPH Cepu Utara dan Sub KPH Cepu Selatan yang masing-masing terdiri dari 6 BKPH. Rincian pembagian wilayah kerja disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Pembagian wilayah kerja KPH Cepu
No Sub KPH BKPH Luas (Ha)
Wonogadung 2.421 Cabak 2.650,5 Nglebur 2.624,1 Kedewen 2.739,8
Nanas 2.576,9 1 Cepu Utara
Sekaran 3.208,5 Jumlah Sub KPH Cepu Utara 16.220,8
Blungun 2.360 Pasarsore 2.993,5
Ledok 2.938,2 Pucung 2.681,9 Kendilan 3.004 2 Cepu Selatan
Nglobo 2.911,5 Jumlah Sub KPH Cepu Selatan 16.889,1
Jumlah luas KPH Cepu 33.109,9
Sumber : Buku RPKH KPH Cepu
Selain dibagi kedalam Sub KPH dan BKPH, wilayah hutan KPH Cepu dikelompokan dalam 7 bagian hutan (BH) yaitu Bagian Hutan Payaman (3.376,3 Ha), Bagian Hutan Cabak (4.506,8 Ha), Bagian Hutan Nanas (4.960,6 Ha), Bagian Hutan Ledok (4.435,3 Ha), Bagian Hutan Kedewan (5.949,1 Ha), Bagian Hutan Kedinding (5.088,9 Ha) dan Bagian Hutan Blungun (4.792,9 Ha). Luas KPH Randublatung adalah 32.464,1 Ha yang terletak pada dua tempat, yaitu di Kabupaten Blora sebesar 32.131,2 Ha (98,97%) dan sisanya
(37)
seluas 332,9 Ha (1,03%) berada di Kabupaten Grobogan. KPH Randublatung dibagi menjadi 6 bagian hutan, uraian rinci tersaji pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Pembagian Bagian Hutan KPH Randublatung
No Bagian Hutan Luas (Ha)
1 Doplang 5.894,8 2 Bekutuk 4.907,2 3 Ngilron 6.336,2 4 Randublatung 5.216,6 5 Banyuurip 5.128,7 6 Banglean 4.980,8
Jumlah 32.464,1
Sumber : Buku RPKH KPH Randublatung
Geologi dan Topografi
Kawasan hutan di KPH Blora, Cepu dan Randublatung terletak di lereng Gunung Kendeng Utara, yang memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda karena letaknya berdekatan dan berbatasan antara satu KPH dengan yang lain, seperti terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Keadaan geologi dan topografi KPH Blora, Cepu dan Randublatung
KPH Blora KPH Cepu KPH Randublatung Topografi Berbatu (batu kapur),
datar, berombak, bergelombang sampai berbukit.
Miring, lereng, sebagian berbatu (batu kapur), sedikit berbukit, dan berombak/ bergelombang.
Datar, miring, berbukit, berombak, ergelombang kebanyakan tidak terlalu curam.
Geologi (Bahan Induk)
Batuan Kapur. Batuan beku, Batuan semen keror, Batuan sedimen keror, margel, List Tuf Volkan, Batu kapur keras, dan Tuf Volkan Basa.
Endapan kapur, tanah liat/lempung, dan napal.
Ketinggian Tempat
30-280 mdpl 30-250 mdpl 10-250 mdpl
Jenis Tanah
Regosol, Grumosol, dan Mediteran.
Latosol, Grumusol, Mediteran, dan Aluvial.
Aluvial, Litosol, Regosol, Grumusol, dan Mediteran. Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung
(38)
Iklim dan Curah Hujan
Kabupaten Blora secara umum mempunyai kondisi tanah yang kering dan tandus dengan curah hujan yang sangat rendah terutama di musim kering. Curah hujan relatif banyak jatuh pada bulan Nopember sampai Februari, sedangkan bulan Juni sampai September merupakan bulan kering (kemarau). Iklim dan curah hujan di ketiga Kesatuan Pemangkuan Hutan relatif sama karena daerahnya saling berdampingan. Tipe iklim di ketiga Kesatuan Pemangkuan Hutan ini termasuk dalam tipe iklim C-D Schmidt and Ferguson (1951), seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Tipe iklim dan curah hujan di KPH Blora, Cepu dan Randublatung KPH
Cepu Randublatung Blora Tipe Iklim
(Schmid dan Ferguson)
Tipe Iklim C Nilai Q rata-rata
50%
Tipe Iklim C-D Nilai Q rata-rata
48%
Tipe Iklim C Nilai Q rata-rata
58% Curah Hujan Rata-rata per
tahun (mm/tahun) 1636 1632 1644 Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung
Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat dapat dilihat dari data keadaan penduduk, luas kepemilikan lahan rata-rata, dan pendapatan per kapita.
Tabel 8 Jumlah penduduk, kepadatan dan rata-rata luas kepemilikan lahan per kecamatan
No Kecamatan Jumlah Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
(Orang)
Kepadatan Penduduk (Orang/Km2)
Rata-rata Luas Kepemilikan Lahan
(ha/KK)
1 Jati 12 183,62 47.948 261 0,39 2 Randublatung 18 211,13 72.252 342 0,4
3 Kradenan 10 109,51 38.248 349 0,45 4 Kedungtuban 17 106,86 54.064 506 0,53 5 Cepu 17 49,15 73.904 1.504 0,23 6 Sambong 10 88,75 26.402 297 0,45 7 Jiken 11 168,17 35.963 214 0,35 8 Jepon 25 107,72 57.736 534 0,42 9 Tunjungan 15 101,82 43.035 423 0,47 10 Banjarejo 20 55,57 55.581 537 0,45 11 Ngawen 29 100,98 58.974 584 0,49 12 Kunduran 26 127,98 62.872 491 0,52 13 Todanan 25 128,74 56.407 438 0,56
Jumlah 295 1820,59 826.229 6.480 0,4 Sumber : BPS Kabupaten Blora, 2002
(39)
Luas Kabupaten Blora 1.820,59 Km2. Jumlah penduduk Kabupaten Blora seluruhnya berjumlah 826.229 orang yang terdiri 407.921 orang laki-laki dan 418.308 orang perempuan. Distribusi penduduk rata-rata sebesar 454 orang/Km2. Rata-rata luas kepemilikan lahan 0,4 ha/KK.
Keadaan sosial ekonomi masyarakat secara kumulatif di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung masih tergolong rendah, hal ini sangat dipengaruhi oleh keadaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang sebagian besar berinteraksi langsung dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Keadaan penduduk di masing-masing KPH secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut :
1. Kesatuan Pemangkuan Hutan Blora.
Jumlah penduduk dari desa yang berbatasan langsung dengan hutan sebanyak 137.860 jiwa (34.629 KK). Rata-rata jumlah anggota keluarga dalam KK sebanyak 4 orang. Besarnya persentase kelahiran pada desa yang berbatasan dengan hutan sebesar 0,69% dan persentase kematian sebesar 0,22%.
Jumlah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan KPH Blora seluruhnya berjumlah 55 desa yang tersebar pada 5 kecamatan. Kecamatan Banjarjo terdapat 6 desa, Kecamatan Japah terdapat 13 desa, Kecamatan Kunduran 8 desa, Kecamatan Ngawen 8 desa, Kecamatan Todanan 17 desa, dan Kecamatan Tunjungan terdapat 3 desa.
Berdasarkan data stasistik Kabupaten Blora tahun 2001 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk untuk setiap kecamatan yang termasuk kedalam wilayah KPH Blora seperti terlihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan Wilayah KPH Blora Tahun 1997-2001
Kecamatan 1997 1998 1999 2000 2001 Tunjungan 42.161 42.457 42.689 43.035 43.050
Banjarejo 55.845 55.774 55.557 55.575 55.581 Ngawen 55.818 56.163 58.053 58.974 59.099 Japah 32.334 32.676 32.705 32.359 32.812 Kunduran 61.184 61.599 62.499 62.872 63.595 Todanan 55.807 55.993 56.200 56.407 56.743 Sumber : BPS Kabupaten Blora, 2002
(40)
Mata pencaharian sebagian besar penduduk sekitar hutan di bidang pertanian sebesar 73,86%, kemudian di bidang jasa sebesar 10,57%, perdagangan 7,90%, industri dan angkutan masing-masing sebesar 1,65% dan 1,02% serta lainnya termasuk Pegawai Negri Sipil (PNS) dan TNI sebesar 5%. Angkatan kerja yang ada pada 55 desa sekitar hutan sebesar 79,20% dari jumlah total penduduk. Persentase yang bekerja dari angkatan kerja sebesar 67,03% sedangkan yang lainnya sebagai pengangguran. Pendidikan formal penduduk sekitar hutan sebagian besar hanya sampai tingkat Sekolah Dasar, dengan persentase 70%, sedangkan yang berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama kurang lebih 17%, dan Sekolah Menengah Atas kurang lebih 11%.
2. Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu.
Hubungan masyarakat di sekitar wilayah kerja KPH Cepu, baik yang masuk daerah Pemerintahan Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro dengan hutan masih cukup tinggi, tetapi interaksi negatif lebih dominan dibandingkan dengan interaksi yang positif. Hal ini disebabkan karena potensi lapangan kerja baik di bidang pertanian maupun di bidang industri masih sangat terbatas.
Tabel 10 Kepadatan penduduk desa sekitar hutan KPH Cepu
Jumlah Penduduk No Kabupaten
/Kecamatan
Luas (Km2)
Jumlah
Desa Laki-laki Perempuan Jumlah
Kepadatan Km2/Jiwa
1 BLORA
1.1. Jepon 107,72 25 28.576 29.160 57.736 536 1.2. Jiken 168,17 11 18.572 18.305 36.877 219 1.3. Kedung Tuban 106,86 17 26.575 27.279 53.854 507 1.4. Sambong 88,75 10 13.076 13.383 26.459 298 1.5. Cepu 49,15 11 36.416 37.749 74.160 1.509
Jumlah 1 520,65 74 123.215 125.876 249.086 3.069 2 BOJONEGORO
2.1. Malo 51,91 10 12.821 13.238 26.059 502 2.2. Kedewan 68,30 20 14.851 15.148 29.999 439 2.3. Kasiman 57,23 5 5.852 6.021 11.873 208
Jumlah 2 177,44 35 33.524 34.407 67.931 1.149 Jumlah 1 + 2 698,09 109 156.739 160.283 317.017 4.218 Sumber : Buku RPKH KPH Cepu
Lahan pertanian (berupa sawah dan tegalan) yang ada di sekitar wilayah kerja KPH Cepu luasnya sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan keadaannya tidak subur. Sedangkan pemilik ternak besar di sekitar
(41)
wilayah kerja KPH Cepu sangat tinggi, keadaan ini merupakan salah satu ancaman terhadap keamanan hutan utamanya untuk tanaman muda.
3. Kesatuan Pemangkuan Hutan Randublatung.
Kawasan hutan KPH Randublatung secara administratif, masuk wilayah Kabupaten Dati II Blora. Kabupaten Blora dengan luas 182.059 Ha terbagi kedalam 4 wilayah pembantu Bupati yang meliputi 14 Kecamatan, sedangkan yang berdekatan dengan KPH Randublatung ada 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, Jepon, dan Banjarejo. Jumlah penduduk dalam kecamatan yang termasuk wilayah kerja KPH Randublatung di sekitar hutan sebesar 271.765 orang yang terdiri dari 135.102 orang laki-laki dan 136.663 orang perempuan. Adapun penyebaran penduduk untuk tiap kecamatan yang ada disekitar wilayah KPH Randublatung terlihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Penyebaran penduduk tiap kecamatan sekitar wilayah KPH Randublatung
Jumlah Penduduk No Kecamatan
Laki-laki Perempuan Jumlah 1 2 3 4 5 Jati Randublatung Kradenan Jepon Banjarejo 23.773 35.949 19.151 28.576 27.653 24.175 36.303 19.097 29.160 27.928 47.948 72.252 38.248 57.736 55.581
Jumlah 135.102 136.663 271.765
Sumber : Buku RKPH KPH Randublatung
Berdasarkan data yang terhimpun diketahui bahwa luas kepemilikan tanah tiap desa rata-rata yang terendah berada di desa-desa wilayah kecamatan Randublatung yaitu seluas 198,0 Ha/desa, sedangkan rata-rata kepemilikan tanah tiap desa dalam 5 kecamatan adalah 218 Ha/desa. Sebagian besar penduduk desa sekitar hutan banyak yang bercocok tanam di lahan kering (tegalan) dan menempati sekitar 45% dari seluruh pemilikan tanah. Pada usaha tani rata-rata luas lahan yang mereka miliki adalah 0,25 Ha, baik itu lahan milik maupun menggarap lahan milik Perhutani.
Sebagian besar masyarakat berpendidikan yang berada di wilayah kecamatan Randublatung sekitar 32%. Berdasarkan data yang didapat bahwa penduduk sekitar hutan 75% berpendidikan SD ke bawah. Masyarakat sekitar
(42)
hutan yang mata pencahariannya bercocok tanam sebesar 88% dan berdagang 7%, sisanya sebesar 5% bekerja di bidang lain.
Potensi Hutan
Hutan Jati di Kabupaten Blora merupakan gabungan dari tiga KPH dengan potensi produktifitas yang besar, sehingga menjadi andalan utama produksi kayu Jati bagi Perhutani. Potensi hutan yang ada di masing-masing KPH dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Kondisi dan potensi hutan di KPH Cepu, Randublatung, dan Blora KPH Cepu KPH Randublatung KPH Blora Keadaan (Ha)
- Produksi - Bukan Produksi Potensi (Ha) Kelas Umur (KU) I Kelas Umur (KU) II Kelas Umur (KU) III Kelas Umur (KU) IV Kelas Umur (KU) V Kelas Umur (KU) VI Kelas Umur (KU) VII Kelas Umur (KU) VIII Kelas Umur (KU) IX Mt Mr Tjbk Tk Ltjl Tkl Tjkl Ldti Alur Hutan Lindung Terbatas 30.408,55 1.894,3 3.584,30 3.329,30 3.314,80 4.354,25 1.931,00 1.880,40 1.447,90 1.689,30 214,30 93,70 1.211,10 4.824,50 1.711,80 296,30 448,50 1.619,40 203,15 559,00 71,40 31.609,17 854,93 3.962,47 4.452,19 4.483,75 4.611,15 2.353,18 2.071,10 2.697,24 1.892,56 423,60 253,45 1.456,44 1.227,84 418,40 328,42 73,00 904,38 180,33 568,70 9.848,10 144,40 1.973,20 1.926,60 1.623,10 840,40 443,20 501,80 581,50 458,60 398,9 187,40 913,30 2.060,40 1.137 192,90 15,80 1.254,25 28,15
Sumber : Buku RPKH KPH Cepu, Randublatung, dan Blora Keterangan :
(43)
Mr : Miskin Riap Ldti : Lahan dengan tujuan istimewa Tk : Tanah Kosong Tjbk : Tanaman jati bertumbuhan kurang Tkl : Tanaman Kayu Lain
(44)
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kelestarian Hasil
Kegiatan pengelolaan hutan tanaman oleh Perum Perhutani pada saat sekarang menggunakan metode pengaturan hasil yang bersifat statis, sementara kondisi hutan sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat beragam dan dinamis. Pengaruh sosial ekonomi masyarakat merupakan salah satu faktor dinamis yang sangat berperan dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang lestari sangat terkait dengan perubahan faktor sosial ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan.
Salah satu tahapan dalam pengaturan hasil adalah penentuan etat (Simon 1994). Untuk menentukan jatah penebangan, Perhutani melakukan penentuan etat yang dilakukan pada areal tebang habis berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No : 143/Kpts./Dj/I/7a tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, Khusus Kelas Perusahaan Tebang Jati (Perum Perhutani 1974). Etat kelas perusahaan ditentukan berdasarkan metode kombinasi antara luas areal dan volume kayu. Pada KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung, daur yang digunakan untuk setiap KPH adalah 80 tahun. Daur ini merupakan daur pada waktu suatu jenis yang diusahakan sudah dapat menghasilkan kayu yang dapat dipakai untuk tujuan tertentu (Simon 1994). Besarnya luas penebangan ditentukan berdasarkan luas areal produktif tiap-tiap KPH dibagi dengan daur.
Kelestarian hutan tiap-tiap KPH dapat diketahui berdasarkan tabel tegakan persediaan hasil risalah yang dinyatakan dalam bentuk luas (ha) dan volume (m3). Luas tegakan persediaan hasil risalah awal rata-rata lebih besar dari luas tegakan persediaan hasil risalah sela. Hal ini menunjukkan adanya penurunan riap tegakan sebagai akibat gangguan terhadap tegakan hutan berupa pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Besarnya riap yang diperoleh dari selisih antara hasil risalah awal dan hasil risalah sela.
Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan hasil risalah sela menurut kelas umur di tiap-tiap KPH disajikan pada tabel 13, 14, dan 15.
(45)
Tabel 13 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Blora Tegakan Persediaan
Hasil Risalah awal
Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas
Hutan
Luas (Ha) Volume (m3) Luas (Ha) Volume (m3)
MT 913,3 69410,8 1188,7 90341,2
MR 187,4 23425 187,4 23425
IX 398,9 61642,017 358,3 55368,1 VIII 458,6 74302,372 430,3 69715,48
VII 581,6 91159,984 462,5 72492,25 VI 501,8 65806,052 496,2 65071,67 V 443,2 50910,384 287,9 33071,65 IV 840,4 67400,08 628,4 50395,17 III 1.623.10 106897,37 1.001.70 65971,96
II 1.926.60 105076,76 1.219.80 66527,89 I 1.973.20 39424,536 1.720.80 34385,03 Jumlah 9848,1 755455,36 7982 626765,4 Sumber : Buku RPKH Blora
Luas total tegakan hasil risalah awal untuk KPH Blora sebesar 9.848,1 Ha, sedangkan luas total hasil risalah sela sebesar 7.982 Ha atau terjadi penurunan sebesar 18,94%. Volume tegakan hasil risalah awal sebesar 755.455,36 m3 sedangkan volume tegakan hasil risalah sela sebesar 626.765,4 m3 atau terjadi penurunan sebesar 17,03%.
Tabel 14 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Cepu Tegakan Persediaan
Hasil Risalah awal
Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas
Hutan
Luas (Ha) Volume (m3) Luas (Ha) Volume (m3)
MT 93,7 16491,2 69,1 12161,6 MR 1211,1 75088,2 948,8 58825,6
IX 214,3 45030,4 230,8 48497,5 VIII 1689,3 302044 765,72 136910
VII 1747,9 273936 1291,8 202455 VI 1880,4 241232 735,4 94342,9
V 1931 236092 2392,23 292484
IV 4354,6 495133 1911,2 217310 III 3134,8 232420 1834,9 136043 II 3329,3 197844 2349,9 139643 I 3584,3 52736,5 5687,4 83679,9 Jumlah 23170,35 2168048,3 18217,25 1422351,7 Sumber : Buku RPKH Cepu
Berdasarkan Tabel 14, diperoleh luas total tegakan hasil risalah awal KPH Cepu sebesar 23.170,35 Ha. Sedangkan luas total tegakan hasil risalah sela sebesar 18.217,25 Ha atau terjadi penurunan sebesar 21,37%. Untuk volume
(46)
risalah awal besarnya 2.168.048,3 m3; sedangkan untuk risalah sela besarnya 1.422.351,7 m3 atau terjadi penurunan sebesar 34,39%.
Tabel 15 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Randublatung
Tegakan Persediaan Hasil Risalah awal
Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas
Hutan
Luas (Ha) Volume (m3) Luas (Ha) Volume (m3)
MT 1409,34 67944,28 1060,5 67951
MR 300,55 501,92 6,7 503
X 17,4 3389,58 17,4 3389,58
IX 423,6 101973,47 186,4 44872,18 VIII 1892,56 342313,52 1188,7 215004,06
VII 2697,24 466430,94 1180,9 204211,82 VI 2071,1 289935,67 956,4 133887,53
V 2353,18 250696,72 2161,7 230297,35 IV 4611,15 487931,37 1982,5 209779,33 III 4483,75 331310,93 2457,9 181617,87 II 4452,19 314033,84 3610,9 254693,71 I 3962,47 80413,36 7369 149544,62 Jumlah 28657,13 2733486 22179 1627298,1 Sumber : Buku RPKH Randublatung
Untuk KPH Randublatung luas total tegakan persedian hasil risalah awal sebesar 28.657,13 Ha. Sedangkan luas total tegakan hasil risalah sela 22.179 Ha atau terjadi penurunan sebesar 22,6%. Untuk volume tegakan hasil risalah awal besarnya 2.733.486 m3, sedangkan hasil risalah sela sebesar 1.627.298,1 m3 atau terjadi penurunan sebesar 40,46%.
Berdasarkan tabel hasil risalah awal dan risalah sela dari ketiga KPH, pertambahan luas hanya terjadi di KPH Cepu dan KPH Randublatung. Pada KPH Cepu luas tegakan persediaan hasil risalah awal lebih besar dari luas tegakan persediaan hasil sela pada KU I. Luas hasil risalah awal sebesar 3.584,3 Ha, sedangkan luas hasil risalah sela sebesar 5.687,4 Ha. KU I pada KPH Randublatung juga mengalami kenaikan dengan luas hasil risalah awal sebesar 3.962,47 Ha, sedangkan luas hasil risalah sela sebesar 7.369 Ha.
Pengujian jangka waktu penebangan (cutting time test) merupakan pengujian terhadap kelestarian produksi selama daur berdasarkan luas tegakan areal produksi. Apabila jumlah kumulatif tahun-tahun penebangan selama daur yang diperoleh berbeda dengan daur yang telah ditetapkan, maka besarnya etat massa yang diperoleh pada pengujian awal akan dikoreksi untuk dilakukan
(47)
pengujian kembali. Etat massa diuji sampai menghasilkan perbedaan lebih kurang 2 tahun. Pengujian dibatasi sampai lima kali dengan alasan semakin banyak pengujian akan semakin lama waktu yang dibutuhkan tegakan untuk kembali membentuk suatu tegakan normal.
Berdasarkan perhitungan jangka waktu penebangan dengan menggunakan tiga metode pengaturan hasil diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 16 Penentuan Etat dan Perhitungan Jangka Waktu Penebangan
KPH Metode pengaturan hasil Etat Luas (Ha/th) Etat Massa Sebelum diuji (m3/th) Etat Massa Setelah diuji (m3/th) Banyaknya Pengujian Selisih JWP Daur Cepu Randublatung Blora Cotta Burn Von Montel Cotta Burn Von Montel Cotta Burn Von Montel 227.71 227,71 227,71 277,23 277,23 277,23 99,78 99,78 99,78 42.209,13 28.137,96 33.784,11 56.595,35 33.455,85 33.784,11 16.850,40 13.551,80 15.669,14 27.517,79 29.544,86 27.830,19 38.522,31 38.949,20 37.641,49 12.515,97 12.880,11 12.888,54 5 2 4 5 4 5 4 3 4 -0,51 -0,05 -0,15 -1.78 -2,37 +5,30 +2.17 -1,66 -1.51
Sumber : Hasil Pengujian Etat KPH Cepu, KPH Randublatung dan KPH Blora
Pada KPH Cepu etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan metode Cotta sebesar 42.209,13 m3/tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 28.137,96 m3/tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 33.784,12 m3/tahun.
Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 27.517,79 m3/tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa setelah uji sebesar 29.544,86 m3/tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian sebesar 27.830,19 m3/tahun.
(48)
Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar pada KPH Cepu terdapat pada metode Cotta yaitu -0,51 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode Burn sebesar -0,05 tahun.
Untuk KPH Randublatung etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan metode Cotta sebesar 56.595,35 m3/tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 33.455,85 m3/tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 33.784,11 m3/tahun. Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 38.522,31 m3/tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa setelah uji sebesar 38.949,2 m3/tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian sebesar 37.641,49 m3/tahun.
Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar pada KPH Randublatung terdapat pada metode Cotta yaitu 5,30 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode Burn sebesar 1,78 tahun.
Untuk KPH Blora etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan metode Cotta sebesar 16.850,4 m3/tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 13.551,8 m3/tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 15669,14 m3/tahun.
Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 12.515,97 m3/tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa setelah uji sebesar 12.880,11 m3/tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian sebesar 12.888,54 m3/tahun.
Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar KPH Blora terdapat pada metode Cotta yaitu 2,17 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode Burn sebesar -1,51 tahun.
(49)
B. Konsumsi Kayu
Tingkat konsumsi kayu pertukangan dan konsumsi kayu bakar merupakan salah satu faktor yang dirumuskan dalam tujuan pengelolaan hutan tanaman di Pulau Jawa (Simon, 1993). Tabel 17 menyajikan total konsumsi kayu pada masing-masing KPH.
Tabel 17 Konsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan di masing–masing KPH
No KPH Jumlah
Desa Jmlah Penduduk (Jiwa) Total Konsumsi Kayu Bakar (sm/th) Total Konsumsi Kayu pertukangan (m3/th)
1 Cepu 42 104.338 3.113.445,92 45.008,72 2 Randublatung 39 126.591 2.288.403,59 47.956,26 3 Blora 24 51.441 971.720,49 15.689,55 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
Berdasarkan tabel 14 diperoleh, konsumsi kayu bakar tertinggi terdapat di KPH Cepu sebesar 3.113.445,92 sm/tahun. Untuk KPH Blora konsumsi kayu bakar memiliki nilai terendah sebesar 917.720,49 sm/tahun. Konsumsi kayu pertukangan terbesar pada KPH Randublatung dengan nilai 47.956,26 m3/tahun. Untuk KPH Cepu konsumsi kayu pertukangan sebesar 45.008,72 m3/tahun. Untuk KPH Blora konsumsi kayu pertukangan memiliki nilai terendah sebesar 15.689,55 m3/tahun.
B.1. Konsumsi Kayu Bakar
Kayu bakar mempunyai peranan yang sangat penting sebagai sumber energi tradisional, terutama bagi masyarakat pedesaan. Ketersediaan bahan bakar pengganti seperti minyak tanah, arang, dan gas diperkirakan konsumsi masyarakat terhadap kayu bakar cenderung menurun, namun dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk kecenderungan ini tidak berpengaruh besar terhadap konsumsi kayu bakar. Penggantian kayu bakar oleh sumber energi lain lebih banyak terdapat di daerah kota, sedangkan kayu bakar merupakan bahan bakar utama bagi masyarakat pedesaan.
Meningkatnya kebutuhan konsumsi kayu bakar bagi masyarakat desa sekitar hutan, khususnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan hutan menyebabkan pemenuhan kebutuhan kayu bakar dari pekarangan atau tanah pertanian tidak lagi memadai. Hutan menjadi pilihan masyarakat sebagai sumber untuk memenuhi konsumsi kayu bakar yang kurang tersebut.
(50)
Masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan areal hutan, khususnya KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung memiliki interaksi yang tinggi terhadap hutan. Hal ini didasarkan pada tingkat konsumsi kayu bakar yang berasal dari areal hutan di tiap-tiap desa contoh. Tabel 18 menyajikan besarnya konsumsi kayu bakar oleh masyarakat pada desa contoh di masing-masing KPH. Tabel 18 Konsumsi kayu bakar pada desa contoh di masing-masing KPH
Konsumsi Kayu Bakar (sm)
Konsumsi Kayu bakar (Rp)
No Desa Contoh
Jumlah Penduduk
(Jiwa) sm/RT/th sm/kapita/th Rp/RT/th Rp/kapita/th
1 Ngiyono 1.003 109,5 27,17 2.737.500 684.375 2 Jegong 2.615 46,81 11,46 1.170.250 292.563 3 Ngliron 2.554 23,27 7,51 581.750 145.438 4 Bodeh 1.529 40,24 12,02 1.006.000 251.500 5 Kemiri 2.015 44,83 10,61 1.120.750 280.188 6 Klopoduwur 4.427 45,85 14 1.146.250 286.563 7 Sumberejo 942 94,44 26,08 2.361.000 590.250 8 Kalisari 2.530 102,66 27,47 2.566.500 641.625 9 Temengan 2.308 87,6 29,84 2.190.000 547.500 10 Sambongwangan 3.980 94,44 28 2.361.000 590.250
Jumlah 23.903 689,64 194,16 17.241.000 4.310.250 Rata-rata 2.390 68,96 19,42 1.724.100 431.025 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
Tingkat konsumsi kayu bakar terbesar terdapat pada Desa Ngiyono, sebesar 109,5 sm/RT/tahun dengan harga Rp 2.737.500,-. Pada Desa Ngliron, tingkat konsumsi kayu bakar memiliki nilai terkecil sebesar 23,27 sm/RT/tahun atau sebanding dengan Rp 581.750,-/RT/tahun. Sedangkan rata-rata konsumsi kayu bakar untuk seluruh desa contoh adalah sebesar 68,96 sm/RT/tahun, yang setara dengan dengan Rp 1.724.100,-/RT/tahun.
B.2. Konsumsi Kayu Pertukangan
Kayu pertukangan oleh masyarakat pedesaan sebagian besar digunakan untuk pembuatan rumah, dan sebagian kecil yang dijual. Kayu pertukangan di hasilkan dari tebangan AII. Konsumsi kayu pertukangan oleh masyarakat bukan hanya berasal dari lokasi tebangan AII, namun juga berasal dari tegakan yang berada pada semua kelas umur. Tindakan ini menyebabkan pertumbuhan tegakan yang telah di inventarisasi pada risalah awal menjadi berkurang pada saat dilakukan risalah sela.
(51)
Tabel 19 Konsumsi kayu pertukangan pada desa contoh di masing-masing KPH Konsumsi Kayu Pertukangan (m3) Konsumsi Kayu Pertukangan (Rp) N
o Desa Contoh
Jumlah Penduduk
(Jiwa) m3/RT/th m3/kapita/th Rp/RT/th Rp/kapita/t h
1 Ngiyono 1.003 1,08 0,26 1.080.000 270.000 2 Jegong 2.615 1,43 0,38 1.430.000 357.500 3 Ngliron 2.554 1,25 0,38 1.250.000 312.500 4 Bodeh 1.529 1,31 0,39 1.310.000 327.500 5 Kemiri 2.015 1,40 0,35 1.400.000 350.000 6 Klopoduwur 4.427 1,35 0,37 1.350.000 337.500 7 Sumberejo 942 1,31 0,34 1.310.000 327.500 8 Kalisari 2.530 1 0,27 1.000.000 250.000 9 Temengan 2.308 1,30 0,44 1.300.000 325.000 10 Sambongwangan 3.980 0,90 0,26 900.000 225.000
Jumlah 23.903 12,33 3,44 12.330.000 3.082.500 Rata-rata 2.390 2,24 0,34 1.233.000 308.250 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
Konsumsi kayu pertukangan rata-rata pada seluruh desa contoh untuk
setiap rumah tangga adalah sebesar 2,24 m3/RT/tahun, setara dengan Rp 1.233.000,-. Konsumsi kayu pertukangan terbesar terdapat pada Desa Jegong
yaitu 1,43 m3/RT/tahun, setara dengan Rp 1.430.000,-. Untuk Desa Sambongwangan, konsumsi kayu memiliki nilai terendah, yaitu 0,90 m3/RT/tahun atau setara dengan Rp 900.000,-.
C. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat
Masyarakat sekitar hutan memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat diukur dari besarnya pendapatan dan pengeluaran dari masing-masing rumah tangga pada desa contoh. Besarnya pendapatan dan pengeluaran dari tiap-tiap desa contoh disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Pendapatan dan pengeluaran rata-rata setiap rumah tangga desa contoh
No Desa Contoh
Jumlah Penduduk (Jiwa) Pendapatan rata-rata Rumah tangga (Rp/kapita/th) Pengeluaran rata-rata Rumah tangga (Rp/kapita/th)
1 Ngiyono 1.003 557.255 524.199 2 Jegong 2.615 1.093.1678 1.038.509 3 Ngliron 2.554 1.260.414 1.193.148 4 Bodeh 1.529 1.361.318 1.292.460 5 Kemiri 2.015 1.439.938 1.349.000 6 Klopoduwur 4.427 774.118 689.841
(52)
Tabel 20 Lanjutan
7 Sumberejo 942 865.348 610.280 8 kalisari 2.530 1.038.038 944.710 9 Temengan 2.308 1.263.764 1.146.184 10 Sambongwangan 3.980 823.294 719.784
Jumlah 23.903 10.476.655 9.508.115 Rata-rata 2.390 1.047.665 950.811 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
Pendapatan rata-rata rumah tangga terbesar terdapat pada Desa Kemiri
yaitu Rp 1.439.938,-/kapita/tahun, sedangkan pengeluaran rata-rata sebesar Rp 1.349.000,-/kapita/tahun. Pendapatan rata-rata rumah tangga terkecil terdapat
pada Desa Ngiyono yaitu Rp 557.255,-/kapita/tahun dengan pengeluaran rata-rata sebesar Rp 524.199,-/kapita/tahun. Rata–rata pendapatan rumah tangga seluruh desa contoh sebesar Rp 1.047.666,-/kapita/tahun, sedangkan pengeluaran rata-rata sebesar Rp 950.811,-/kapita/tahun.
Kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan diketahui dari total pendapatan per kapita per tahunnya yang dihubungkan dengan garis kemiskinan berdasarkan klasifikasi Sayogyo (1987) yang setara dengan nilai tukar 320 kg beras (harga beras desa contoh pada saat dilakukan penelitian Rp 2.000,-/kg). Berdasarkan hasil analisis, sebanyak 192 KK pada desa contoh berada diatas garis kemiskinan atau sebesar 48%, sedangkan sebanyak 208 KK atau sebesar 52% responden desa contoh berada dibawah garis kemiskinan.
Tabel 21 Jumlah responden desa contoh dalam kategori miskin dan tidak miskin
Miskin Tidak Miskin
KPH Desa Contoh
(KK) (%) (KK) (%)
Ngiyono 31 77,5 9 22,5
Blora
Sumberejo 30 75 10 25
Kemiri 16 40 24 60
Cepu
Temengen 26 65 14 35
Jegong 19 47,5 21 52,5
Ngliron 17 42,5 23 57,5
Bodeh 6 15 34 85
Klopoduwur 20 50 20 50
Kalisari 23 57,5 17 42,5 Randublatung
Sambongwangan 20 50 20 50
Jumlah 208 52 192 48
(1)
peng__perkapita__per_tahun = 950812
Selisih_pendapatan = Pendapatan_bersih_masyarakat-peng_kayu_masy Luas Areal Berhutan
luas_ku_I(t) = luas_ku_I(t - dt) + (tanam_luas - pin_ku_I - luaspenc_I) * dt INIT luas_ku_I = 1973.2
INFLOWS:
tanam_luas = Etat_Luas+Luas_Tan_Pem OUTFLOWS:
pin_ku_I = 0.362*luas_ku_I
luaspenc_I = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.098996*luascuri_total) luas_ku_II(t) = luas_ku_II(t - dt) + (pin_ku_I - pin_ku_II - luaspenc_II) * dt INIT luas_ku_II = 1926.6
INFLOWS:
pin_ku_I = 0.362*luas_ku_I OUTFLOWS:
pin_ku_II = 0.23*luas_ku_II
luaspenc_II = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.330096*luascuri_total) luas_ku_III(t) = luas_ku_III(t - dt) + (pin_ku_II - pin_ku_III - luaspenc_III) * dt INIT luas_ku_III = 1623.1
INFLOWS:
pin_ku_II = 0.23*luas_ku_II OUTFLOWS:
pin_ku_III = 0.2*luas_ku_III
luaspenc_III = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.19017*luascuri_total) luas_ku_IV(t) = luas_ku_IV(t - dt) + (pin_ku_III - tebluas_IV - luaspenc_IV - pin_ku_IV) * dt
INIT luas_ku_IV = 840.4 INFLOWS:
pin_ku_III = 0.2*luas_ku_III OUTFLOWS:
tebluas_IV = if luas_ku_V<=Etat_Luas then sisael_IV else 0
luaspenc_IV = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.139861*luascuri_total) pin_ku_IV = if luas_ku_V=Etat_Luas then 0 else 0.22*luas_ku_IV luas_ku_IX(t) = luas_ku_IX(t - dt) + (pin_ku_VIII - pin_IX - teb_luas_IX - luas_penc_ku_IXup) * dt
INIT luas_ku_IX = 398.9 INFLOWS:
pin_ku_VIII = if (luas_ku_IX=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VIII*0.0) OUTFLOWS:
pin_IX = if (luas_MT=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_IX*0.002)
teb_luas_IX = IF(luas_ku_IX<=el_IX_up) THEN(luas_ku_IX) ELSE(el_IX_up) luas_penc_ku_IXup = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.000015*luascuri_total) luas_ku_V(t) = luas_ku_V(t - dt) + (pin_ku_IV - pin_ku_V - luas_penc_V - teb_luas_V) * dt
INIT luas_ku_V = 443.2 INFLOWS:
(2)
OUTFLOWS:
pin_ku_V = if luas_ku_VI=Etat_Luas then 0 else 0.128*luas_ku_V luas_penc_V = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.145669*luascuri_total) teb_luas_V = if(luas_ku_V<=el_V) then (luas_ku_V) else (el_V)
luas_ku_VI(t) = luas_ku_VI(t - dt) + (pin_ku_V - tebluas_VI - luaspenc_ku_VI - pin_kuVI) * dt
INIT luas_ku_VI = 501.8 INFLOWS:
pin_ku_V = if luas_ku_VI=Etat_Luas then 0 else 0.128*luas_ku_V OUTFLOWS:
tebluas_VI = if(luas_ku_VI<=el_VI) then (luas_ku_VI) else (el_VI)
luaspenc_ku_VI = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.0009715*luascuri_total) pin_kuVI = if (luas_ku_VII=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VI*0.1)
luas_ku_VII(t) = luas_ku_VII(t - dt) + (pin_kuVI - pin_ku_VII - teb_luas__VII - luaspenc_ku_VII) * dt
INIT luas_ku_VII = 581.6 INFLOWS:
pin_kuVI = if (luas_ku_VII=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VI*0.1) OUTFLOWS:
pin_ku_VII = if (luas_ku_VIII=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VII*0.13) teb_luas__VII = IF(luas_ku_VII<=el_VII) then (luas_ku_VII) else (el_VII) luaspenc_ku_VII = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.009841*luascuri_total) luas_ku_VIII(t) = luas_ku_VIII(t - dt) + (pin_ku_VII - teb_luas__VIII -
luas_penc_ku_VIII - pin_ku_VIII) * dt INIT luas_ku_VIII = 458.6
INFLOWS:
pin_ku_VII = if (luas_ku_VIII=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VII*0.13) OUTFLOWS:
teb_luas__VIII = IF(luas_ku_VIII<=el_VIII) THEN(luas_ku_VIII) ELSE(el_VIII) luas_penc_ku_VIII = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.065939*luascuri_total) pin_ku_VIII = if (luas_ku_IX=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VIII*0.0) luas_MR(t) = luas_MR(t - dt) + (- luas_penc_MR - teb_luas_MR) * dt INIT luas_MR = 913.3
OUTFLOWS:
luas_penc_MR = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.001*luascuri_total) teb_luas_MR = if (luas_MR <= Etat_Luas) then luas_MR else Etat_Luas luas_MT(t) = luas_MT(t - dt) + (pin_IX - teb_luas_MT - luas_penc_MT) * dt INIT luas_MT = 187.4
INFLOWS:
pin_IX = if (luas_MT=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_IX*0.002) OUTFLOWS:
teb_luas_MT = IF(luas_MT<=el_MT) THEN (el_MT) ELSE(el_MT) luas_penc_MT = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.001*luascuri_total) TanahKosong(t) = TanahKosong(t - dt) + (luas_curi - Luas_Tan_Pem) * dt INIT TanahKosong = 1076.57
(3)
luas_curi =
luaspenc_I+luaspenc_II+luaspenc_III+luaspenc_IV+luaspenc_ku_VI+luaspenc_k u_VII+luas_penc_V+luas_penc_ku_VIII+luas_penc_ku_IXup+luas_penc_MR+lua s_penc_MT
OUTFLOWS:
Luas_Tan_Pem = TanahKosong*persen_tan_pem
el_IX_up = if luas_MT<Etat_Luas then sisa_el_IX_up else 0 el_MT = if luas_MR<Etat_Luas then sisa_el_MT else 0 el_V = if luas_ku_VI<Etat_Luas then sisael_V else 0 el_VI = if luas_ku_VII<Etat_Luas then sisa_el_VI else 0 el_VII = if luas_ku_VIII<Etat_Luas then sisa_el_VII else 0
el_VIII = IF(luas_ku_IX<=Etat_Luas)THEN(sisa_el_VIII) ELSE(0) luas_teb_total =
tebluas_VI+teb_luas_V+teb_luas__VII+teb_luas__VIII+teb_luas_IX+teb_luas_M R+teb_luas_MT+tebluas_IV
persen_tan_pem = 0.2 sisael_IV =
Etat_Luas-(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX+teb_luas__VIII+teb_luas__VII+tebluas _VI+teb_luas_V)
sisael_V =
Etat_Luas-(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX+teb_luas__VIII+teb_luas__VII+tebluas _VI)
sisa_el_IX_up = Etat_Luas-(teb_luas_MT+teb_luas_MR) sisa_el_MT = Etat_Luas-teb_luas_MR
sisa_el_VI =
Etat_Luas-(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX+teb_luas__VIII+teb_luas__VII) sisa_el_VII =
Etat_Luas-(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX+teb_luas__VIII)
sisa_el_VIII = Etat_Luas-(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX) Pengangguran
alokasi = 0.25
AngkatanKerja = (Jumlah_penduduk*Persen_Angkatan_kerja) Bekerja_non_hutan = AngkatanKerja*Persen_bekerja
Jumlah_pengangguran = Pencari_kerja-Total_TK lahan_pesanggem = 0.25
luas_TS = tanam_luas*persen_TS
Pencari_kerja = AngkatanKerja-Bekerja_non_hutan-pensiunan pensiunan = AngkatanKerja*persen_pensiunan
Persentase_TK = (Total_TK/Pencari_kerja)*100 Persen_Angkatan_kerja = 0.791988829
Persen_bekerja = 0.670293748
persen_pengangguran = 100*(Jumlah_pengangguran/AngkatanKerja) persen_pensiunan = 0.0151
persen_TS = 0.3
PesanggemTS = luas_TS/lahan_pesanggem TK_babat_tumb_bawah = (alokasi*Etat_Luas)/0.42 TK_blandong = (alokasi*Etat_Volume)/(8)
TK_pelihara =
TK_penjarangan+TK_pruning+TK_wilwilan+TK_babat_tumb_bawah TK_penjarangan = (alokasi*Etat_Luas)/0.365
TK_pruning = (alokasi*Etat_Luas)/0.187
(4)
TK_wilwilan = (alokasi*Etat_Luas)/0.55
Total_TK = (TK_tanam+TK_blandong+TK_pelihara+PesanggemTS) Pengaturan Hasil
areal_berhutan =
luas_ku_I+luas_ku_II+luas_ku_III+luas_ku_IV+luas_ku_V+luas_ku_VI+luas_ku_ VII+luas_ku_VIII+luas_ku_IX+luas_MR+luas_MT
Daur = 80
Etat_Luas = areal_berhutan/Daur
Etat_Volume = Etat_Luas*V_per_Ha_KU_teb_aktual Luas_Teb_KU_aktual=
luas_ku_IV+luas_ku_V+luas_ku_VI+luas_ku_VII+luas_ku_VIII+luas_ku_IX+luas _MR+luas_MT
PhnVII = Vol_VII/V_per_phn_VII Phn_IV = Vol_IV/V_per_phn_IV Phn_IX = Vol_IX/V_per_phn_IX Phn_MR = Vol_MR/V_per_phn_MR Phn_MT = Vol_MT/V_per_phn_MT
Phn_per_Ha_teb = phn_teb_KU/Luas_Teb_KU_aktual Phn_Teb_KU =
Phn_IV+Phn_V+Phn_VI+PhnVII+Phn_VIII+Phn_IX+Phn_MT+Phn_MR Phn_Teb_per_thn = Phn_per_Ha_teb*Etat_Luas
Phn_V = Vol_V/V_per_phn_V Phn_VI = Vol_VI/V_per_phn_VI Phn_VIII = Vol_VIII/V_per_phn_VIII Vol_IV = luas_ku_IV*Vper_Ha_IV Vol_IX = luas_ku_IX*V_per_Ha_IX Vol_KU_Teb_aktual =
Vol_IV+Vol_V+Vol_VI+Vol_VII+Vol_VIII+Vol_IX+Vol_MT+Vol_MR Vol_MR = luas_MR*V_per_Ha_MR
Vol_MT = luas_MT*V_per_Ha_MT Vol_V = luas_ku_V*V_per_Ha_V Vol_VI = luas_ku_VI*V_per_HA_VI Vol_VII = luas_ku_VII*V_per_Ha_VII Vol_VIII = luas_ku_VIII*V_per_Ha_VIII Vper_Ha_IV = 80.2
V_per_Ha_IX = 154.53
V_per_Ha_KU_teb_aktual = Vol_KU_Teb_aktual/Luas_Teb_KU_aktual V_per_Ha_MR = 76
V_per_Ha_MT = 125 V_per_Ha_V = 114.87 V_per_HA_VI = 131.14 V_per_Ha_VII = 156.74 V_per_Ha_VIII = 162.02 V_per_phn_IV = 0.2547 V_per_phn_IX = 1.0694 V_per_phn_MR = 0.913 V_per_phn_MT = 2.9070 V_per_phn_V = 0.5767 V_per_phn_VI = 0.8061 V_per_phn_VII = 1.0360 V_per_phn_VIII = 1.3190
(5)
(6)