B. Konsumsi Kayu
Tingkat konsumsi kayu pertukangan dan konsumsi kayu bakar merupakan salah satu faktor yang dirumuskan dalam tujuan pengelolaan hutan tanaman di
Pulau Jawa Simon, 1993. Tabel 17 menyajikan total konsumsi kayu pada masing-masing KPH.
Tabel 17 Konsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan di masing–masing KPH
No KPH Jumlah
Desa Jmlah
Penduduk Jiwa
Total Konsumsi
Kayu Bakar smth
Total Konsumsi Kayu pertukangan
m3th
1 Cepu 42
104.338 3.113.445,92
45.008,72 2 Randublatung
39 126.591
2.288.403,59 47.956,26
3 Blora 24
51.441 971.720,49
15.689,55 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
Berdasarkan tabel 14 diperoleh, konsumsi kayu bakar tertinggi terdapat di KPH Cepu sebesar 3.113.445,92 smtahun. Untuk KPH Blora konsumsi kayu
bakar memiliki nilai terendah sebesar 917.720,49 smtahun. Konsumsi kayu pertukangan terbesar pada KPH Randublatung dengan nilai 47.956,26 m
3
tahun. Untuk KPH Cepu konsumsi kayu pertukangan sebesar 45.008,72 m
3
tahun. Untuk KPH Blora konsumsi kayu pertukangan memiliki nilai terendah sebesar
15.689,55 m
3
tahun.
B.1. Konsumsi Kayu Bakar
Kayu bakar mempunyai peranan yang sangat penting sebagai sumber energi tradisional, terutama bagi masyarakat pedesaan. Ketersediaan bahan bakar
pengganti seperti minyak tanah, arang, dan gas diperkirakan konsumsi masyarakat terhadap kayu bakar cenderung menurun, namun dengan semakin bertambahnya
jumlah penduduk kecenderungan ini tidak berpengaruh besar terhadap konsumsi kayu bakar. Penggantian kayu bakar oleh sumber energi lain lebih banyak terdapat
di daerah kota, sedangkan kayu bakar merupakan bahan bakar utama bagi masyarakat pedesaan.
Meningkatnya kebutuhan konsumsi kayu bakar bagi masyarakat desa sekitar hutan, khususnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan hutan
menyebabkan pemenuhan kebutuhan kayu bakar dari pekarangan atau tanah pertanian tidak lagi memadai. Hutan menjadi pilihan masyarakat sebagai sumber
untuk memenuhi konsumsi kayu bakar yang kurang tersebut.
Masyarakat desa
yang berbatasan langsung dengan areal hutan, khususnya
KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung memiliki interaksi yang tinggi terhadap hutan. Hal ini didasarkan pada tingkat konsumsi kayu bakar yang
berasal dari areal hutan di tiap-tiap desa contoh. Tabel 18 menyajikan besarnya konsumsi kayu bakar oleh masyarakat pada desa contoh di masing-masing KPH.
Tabel 18 Konsumsi kayu bakar pada desa contoh di masing-masing KPH
Konsumsi Kayu Bakar sm
Konsumsi Kayu bakar Rp
No Desa Contoh
Jumlah Penduduk
Jiwa smRTth smkapitath RpRTth Rpkapitath
1 Ngiyono 1.003 109,5 27,17 2.737.500 684.375
2 Jegong 2.615 46,81 11,46
1.170.250 292.563
3 Ngliron 2.554 23,27 7,51 581.750
145.438 4 Bodeh 1.529
40,24 12,02 1.006.000
251.500 5 Kemiri 2.015
44,83 10,61 1.120.750
280.188 6 Klopoduwur 4.427 45,85
14 1.146.250 286.563
7 Sumberejo 942 94,44 26,08 2.361.000 590.250
8 Kalisari 2.530 102,66 27,47
2.566.500 641.625
9 Temengan 2.308 87,6 29,84 2.190.000 547.500
10 Sambongwangan 3.980 94,44
28 2.361.000
590.250 Jumlah 23.903
689,64 194,16
17.241.000 4.310.250
Rata-rata 2.390 68,96 19,42
1.724.100 431.025
Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
Tingkat konsumsi kayu bakar terbesar terdapat pada Desa Ngiyono, sebesar 109,5 smRTtahun dengan harga Rp 2.737.500,-. Pada Desa Ngliron,
tingkat konsumsi kayu bakar memiliki nilai terkecil sebesar 23,27 smRTtahun atau sebanding dengan Rp 581.750,-RTtahun. Sedangkan rata-rata konsumsi
kayu bakar untuk seluruh desa contoh adalah sebesar 68,96 smRTtahun, yang setara dengan dengan Rp 1.724.100,-RTtahun.
B.2. Konsumsi Kayu Pertukangan
Kayu pertukangan
oleh masyarakat pedesaan sebagian besar digunakan
untuk pembuatan rumah, dan sebagian kecil yang dijual. Kayu pertukangan di hasilkan dari tebangan AII. Konsumsi kayu pertukangan oleh masyarakat bukan
hanya berasal dari lokasi tebangan AII, namun juga berasal dari tegakan yang berada pada semua kelas umur. Tindakan ini menyebabkan pertumbuhan tegakan
yang telah di inventarisasi pada risalah awal menjadi berkurang pada saat dilakukan risalah sela.
Tabel 19 Konsumsi kayu pertukangan pada desa contoh di masing-masing KPH
Konsumsi Kayu Pertukangan m3
Konsumsi Kayu Pertukangan Rp
N o
Desa Contoh Jumlah
Penduduk Jiwa
m
3
RTth m
3
kapitath RpRTth Rpkapitat
h
1 Ngiyono 1.003 1,08 0,26 1.080.000
270.000 2 Jegong 2.615
1,43 0,38 1.430.000
357.500 3 Ngliron 2.554
1,25 0,38 1.250.000
312.500 4 Bodeh 1.529
1,31 0,39 1.310.000
327.500 5 Kemiri 2.015
1,40 0,35 1.400.000
350.000 6 Klopoduwur 4.427 1,35
0,37 1.350.000 337.500
7 Sumberejo 942 1,31 0,34 1.310.000
327.500 8 Kalisari 2.530 1 0,27
1.000.000 250.000
9 Temengan 2.308 1,30 0,44 1.300.000 325.000
10 Sambongwangan 3.980
0,90 0,26
900.000 225.000
Jumlah 23.903 12,33
3,44 12.330.000
3.082.500 Rata-rata 2.390
2,24 0,34 1.233.000
308.250 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
Konsumsi kayu pertukangan rata-rata pada seluruh desa contoh untuk setiap rumah tangga adalah sebesar 2,24 m
3
RTtahun, setara dengan Rp 1.233.000,-. Konsumsi kayu pertukangan terbesar terdapat pada Desa Jegong
yaitu 1,43 m
3
RTtahun, setara dengan Rp 1.430.000,-. Untuk Desa Sambongwangan, konsumsi kayu memiliki nilai terendah, yaitu 0,90 m
3
RTtahun atau setara dengan Rp 900.000,-.
C. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat