Evaluasi model Penggunaan Model

c. 7. source dan sink, berturut-turut menggambarkan awal dimulainya proses dan akhir dari masing-masing transfer materi. d. Pengidentifikasian hubungan antar komponen. e. Menyatakan komponen dan hubungannya dalam model yang lazim. f. Menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model. g. Menentukan pola perilaku dari model sesuai dengan pengetahuan dan teori yang ada.

2. Spesifikasi model kuantitatif

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : a. Memilih struktur kuantitatif umum untuk model. b. Memilih unit waktu dasar untuk simulasi. c. Mengidentifikasi bentuk-bentuk fungsional dari persamaan model. d. Menduga parameter dan persamaan model. e. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi. f. Menjalankan simulasi acuan baseline simulation. g. Menetapkan persamaan model.

3. Evaluasi model

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengetahui keterandalan model yang dibuat sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Langkah evaluasi yang ditempuh adalah sebagai berikut : a. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model. b. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan. c. Membandingkan model dengan sistem nyata. Membandingkan model dengan sistem nyata dapat dilakukan dengan menggunakan uji beda khi-kuadrat. Model dianggap dapat menjelaskan kondisi aktual apabila keragaman populasi hasil analisis model tidak berbeda nyata dengan keragaman populasi aktual. Uji khi-kuadrat sebagai berikut : ∑ − = aktual 2 model aktual hitung 2 Y Y Y X Hipotesis uji : H o : Y model = Y aktual H 1 : Y model ≠ Y aktual Kriteria uji : X 2 hitung X 2 tabel : terima H o X 2 hitung X 2 tabel : tolak H o

4. Penggunaan Model

Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario hasil simulasi yang telah dievaluasi, sehingga dapat digunakan untuk memahami perilaku model serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang. Skenario dilakukan pada variabel konsumsi kayu, baik kayu pertukangan maupun kayu bakar. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah mengetahui pengaruh tingkat konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar terhadap besarnya fluktuasi produksi kayu etat volume, jumlah pencurian pohon serta keuntungan yang diperoleh perusahaan. Untuk keperluan tersebut disusun suatu skenario untuk mengetahui tingkat perubahan yang terjadi. Skenario-skenario yang akan dijalankan adalah : ƒ Skenario 1 : Konsumsi kayu bakar dinaikkan sebesar 0 , 50 dan 100 ƒ Skenario 2 : Konsumsi kayu pertukangan dinaikkan sebesar 0, 50 dan 100. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Letak KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung secara astronomis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Letak astronomis KPH Blora, Cepu dan Randublatung Blora Cepu Randublatung Bujur Timur 111 16’ - 111 33’ 111 16’ - 111 33’ 111 25’ - 111 40’ Lintang Selatan 06 28’ - 07 48’ 06 52’ - 07 24’ 07 05’ - 07 20 Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung Berdasarkan letak geografis dari wilayah hutannya ketiga KPH yaitu Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu, Kesatuan Pemangkuan Hutan Randublatung, dan Kesatuan Pemangkuan Hutan Blora mempunyai wilayah yang saling berbatasan satu sama lain sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Batas geografis wilayah hutan KPH Blora, Randublatung, dan Cepu Batas Sebelah KPH Blora KPH Cepu KPH Randublatung Utara KPH Mantingan dan Pati KPH Kebonharjo KPH Blora Timur KPH Cepu KPH Parengan KPH Cepu Selatan KPH Randublatung Bengawan Solo KPH Ngawi Barat KPH Purwodadi KPH Randublatung KPH Gundih Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung Luas kawasan hutan KPH Blora adalah 15.000 Ha dan dibagi dalam 6 BKPH dan 1 Kring Hutan. Pembagian hutan KPH Blora secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Pembagian hutan KPH Blora No Bagian Hutan BKPH RPH Luas Ha Watuondo 663,5 Jembangan 752,2 Kalonan Kalonan 720,2 Gelam 1.188,6 Ngawenombo 1.062,0 1 Kunduran Ngawenombo Bradag 599,7 Gunungan 1.098,9 Gendongan 1.019,8 Ngapus Krocok 837,5 Wotbakah 921,5 Sumberejo 991,3 2 Ngawen Nglawung Nglawungan 930,4 Tabel 3 Lanjutan Kepitu 896,9 Ngrangkang Sambonganyar 720,4 Wegil 893,4 Kalisari 754,4 3 Banjarejo Kalisari Kedungkenong 804,6 Luas Hutan 14.855,9 Luas Alur 144,1 Luas Total 15.000 Sumber : Buku RPKH KPH Blora Kawasan hutan KPH Cepu berada pada dua wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Blora Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur. KPH Cepu yang mempunyai luas 33.109,9 Ha terbagi atas dua Sub KPH Cepu Utara dan Sub KPH Cepu Selatan yang masing-masing terdiri dari 6 BKPH. Rincian pembagian wilayah kerja disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Pembagian wilayah kerja KPH Cepu No Sub KPH BKPH Luas Ha Wonogadung 2.421 Cabak 2.650,5 Nglebur 2.624,1 Kedewen 2.739,8 Nanas 2.576,9 1 Cepu Utara Sekaran 3.208,5 Jumlah Sub KPH Cepu Utara 16.220,8 Blungun 2.360 Pasarsore 2.993,5 Ledok 2.938,2 Pucung 2.681,9 Kendilan 3.004 2 Cepu Selatan Nglobo 2.911,5 Jumlah Sub KPH Cepu Selatan 16.889,1 Jumlah luas KPH Cepu 33.109,9 Sumber : Buku RPKH KPH Cepu Selain dibagi kedalam Sub KPH dan BKPH, wilayah hutan KPH Cepu dikelompokan dalam 7 bagian hutan BH yaitu Bagian Hutan Payaman 3.376,3 Ha, Bagian Hutan Cabak 4.506,8 Ha, Bagian Hutan Nanas 4.960,6 Ha, Bagian Hutan Ledok 4.435,3 Ha, Bagian Hutan Kedewan 5.949,1 Ha, Bagian Hutan Kedinding 5.088,9 Ha dan Bagian Hutan Blungun 4.792,9 Ha. Luas KPH Randublatung adalah 32.464,1 Ha yang terletak pada dua tempat, yaitu di Kabupaten Blora sebesar 32.131,2 Ha 98,97 dan sisanya seluas 332,9 Ha 1,03 berada di Kabupaten Grobogan. KPH Randublatung dibagi menjadi 6 bagian hutan, uraian rinci tersaji pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Pembagian Bagian Hutan KPH Randublatung No Bagian Hutan Luas Ha 1 Doplang 5.894,8 2 Bekutuk 4.907,2 3 Ngilron 6.336,2 4 Randublatung 5.216,6 5 Banyuurip 5.128,7 6 Banglean 4.980,8 Jumlah 32.464,1 Sumber : Buku RPKH KPH Randublatung Geologi dan Topografi Kawasan hutan di KPH Blora, Cepu dan Randublatung terletak di lereng Gunung Kendeng Utara, yang memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda karena letaknya berdekatan dan berbatasan antara satu KPH dengan yang lain, seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6 Keadaan geologi dan topografi KPH Blora, Cepu dan Randublatung KPH Blora KPH Cepu KPH Randublatung Topografi Berbatu batu kapur, datar, berombak, bergelombang sampai berbukit. Miring, lereng, sebagian berbatu batu kapur, sedikit berbukit, dan berombak bergelombang. Datar, miring, berbukit, berombak, ergelombang kebanyakan tidak terlalu curam. Geologi Bahan Induk Batuan Kapur. Batuan beku, Batuan semen keror, Batuan sedimen keror, margel, List Tuf Volkan, Batu kapur keras, dan Tuf Volkan Basa. Endapan kapur, tanah liatlempung, dan napal. Ketinggian Tempat 30-280 mdpl 30-250 mdpl 10-250 mdpl Jenis Tanah Regosol, Grumosol, dan Mediteran. Latosol, Grumusol, Mediteran, dan Aluvial. Aluvial, Litosol, Regosol, Grumusol, dan Mediteran. Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung Iklim dan Curah Hujan Kabupaten Blora secara umum mempunyai kondisi tanah yang kering dan tandus dengan curah hujan yang sangat rendah terutama di musim kering. Curah hujan relatif banyak jatuh pada bulan Nopember sampai Februari, sedangkan bulan Juni sampai September merupakan bulan kering kemarau. Iklim dan curah hujan di ketiga Kesatuan Pemangkuan Hutan relatif sama karena daerahnya saling berdampingan. Tipe iklim di ketiga Kesatuan Pemangkuan Hutan ini termasuk dalam tipe iklim C-D Schmidt and Ferguson 1951, seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Tipe iklim dan curah hujan di KPH Blora, Cepu dan Randublatung KPH Cepu Randublatung Blora Tipe Iklim Schmid dan Ferguson Tipe Iklim C Nilai Q rata-rata 50 Tipe Iklim C-D Nilai Q rata-rata 48 Tipe Iklim C Nilai Q rata-rata 58 Curah Hujan Rata-rata per tahun mmtahun 1636 1632 1644 Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat dapat dilihat dari data keadaan penduduk, luas kepemilikan lahan rata-rata, dan pendapatan per kapita. Tabel 8 Jumlah penduduk, kepadatan dan rata-rata luas kepemilikan lahan per kecamatan No Kecamatan Jumlah Desa Luas Km 2 Jumlah Penduduk Orang Kepadatan Penduduk OrangKm 2 Rata-rata Luas Kepemilikan Lahan haKK 1 Jati 12 183,62 47.948 261 0,39 2 Randublatung 18 211,13 72.252 342 0,4 3 Kradenan 10 109,51 38.248 349 0,45 4 Kedungtuban 17 106,86 54.064 506 0,53 5 Cepu 17 49,15 73.904 1.504 0,23 6 Sambong 10 88,75 26.402 297 0,45 7 Jiken 11 168,17 35.963 214 0,35 8 Jepon 25 107,72 57.736 534 0,42 9 Tunjungan 15 101,82 43.035 423 0,47 10 Banjarejo 20 55,57 55.581 537 0,45 11 Ngawen 29 100,98 58.974 584 0,49 12 Kunduran 26 127,98 62.872 491 0,52 13 Todanan 25 128,74 56.407 438 0,56 Jumlah 295 1820,59 826.229 6.480 0,4 Sumber : BPS Kabupaten Blora, 2002 Luas Kabupaten Blora 1.820,59 Km 2 . Jumlah penduduk Kabupaten Blora seluruhnya berjumlah 826.229 orang yang terdiri 407.921 orang laki-laki dan 418.308 orang perempuan. Distribusi penduduk rata-rata sebesar 454 orangKm 2 . Rata-rata luas kepemilikan lahan 0,4 haKK. Keadaan sosial ekonomi masyarakat secara kumulatif di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung masih tergolong rendah, hal ini sangat dipengaruhi oleh keadaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang sebagian besar berinteraksi langsung dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- harinya. Keadaan penduduk di masing-masing KPH secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut : 1. Kesatuan Pemangkuan Hutan Blora. Jumlah penduduk dari desa yang berbatasan langsung dengan hutan sebanyak 137.860 jiwa 34.629 KK. Rata-rata jumlah anggota keluarga dalam KK sebanyak 4 orang. Besarnya persentase kelahiran pada desa yang berbatasan dengan hutan sebesar 0,69 dan persentase kematian sebesar 0,22. Jumlah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan KPH Blora seluruhnya berjumlah 55 desa yang tersebar pada 5 kecamatan. Kecamatan Banjarjo terdapat 6 desa, Kecamatan Japah terdapat 13 desa, Kecamatan Kunduran 8 desa, Kecamatan Ngawen 8 desa, Kecamatan Todanan 17 desa, dan Kecamatan Tunjungan terdapat 3 desa. Berdasarkan data stasistik Kabupaten Blora tahun 2001 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk untuk setiap kecamatan yang termasuk kedalam wilayah KPH Blora seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan Wilayah KPH Blora Tahun 1997-2001 Kecamatan 1997 1998 1999 2000 2001 Tunjungan 42.161 42.457 42.689 43.035 43.050 Banjarejo 55.845 55.774 55.557 55.575 55.581 Ngawen 55.818 56.163 58.053 58.974 59.099 Japah 32.334 32.676 32.705 32.359 32.812 Kunduran 61.184 61.599 62.499 62.872 63.595 Todanan 55.807 55.993 56.200 56.407 56.743 Sumber : BPS Kabupaten Blora, 2002 Mata pencaharian sebagian besar penduduk sekitar hutan di bidang pertanian sebesar 73,86, kemudian di bidang jasa sebesar 10,57, perdagangan 7,90, industri dan angkutan masing-masing sebesar 1,65 dan 1,02 serta lainnya termasuk Pegawai Negri Sipil PNS dan TNI sebesar 5. Angkatan kerja yang ada pada 55 desa sekitar hutan sebesar 79,20 dari jumlah total penduduk. Persentase yang bekerja dari angkatan kerja sebesar 67,03 sedangkan yang lainnya sebagai pengangguran. Pendidikan formal penduduk sekitar hutan sebagian besar hanya sampai tingkat Sekolah Dasar, dengan persentase 70, sedangkan yang berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama kurang lebih 17, dan Sekolah Menengah Atas kurang lebih 11. 2. Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu. Hubungan masyarakat di sekitar wilayah kerja KPH Cepu, baik yang masuk daerah Pemerintahan Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro dengan hutan masih cukup tinggi, tetapi interaksi negatif lebih dominan dibandingkan dengan interaksi yang positif. Hal ini disebabkan karena potensi lapangan kerja baik di bidang pertanian maupun di bidang industri masih sangat terbatas. Tabel 10 Kepadatan penduduk desa sekitar hutan KPH Cepu Jumlah Penduduk No Kabupaten Kecamatan Luas Km 2 Jumlah Desa Laki-laki Perempuan Jumlah Kepadatan Km 2 Jiwa 1 BLORA 1.1. Jepon 107,72 25 28.576 29.160 57.736 536 1.2. Jiken 168,17 11 18.572 18.305 36.877 219 1.3. Kedung Tuban 106,86 17 26.575 27.279 53.854 507 1.4. Sambong 88,75 10 13.076 13.383 26.459 298 1.5. Cepu 49,15 11 36.416 37.749 74.160 1.509 Jumlah 1 520,65 74 123.215 125.876 249.086 3.069 2 BOJONEGORO 2.1. Malo 51,91 10 12.821 13.238 26.059 502 2.2. Kedewan 68,30 20 14.851 15.148 29.999 439 2.3. Kasiman 57,23 5 5.852 6.021 11.873 208 Jumlah 2 177,44 35 33.524 34.407 67.931 1.149 Jumlah 1 + 2 698,09 109 156.739 160.283 317.017 4.218 Sumber : Buku RPKH KPH Cepu Lahan pertanian berupa sawah dan tegalan yang ada di sekitar wilayah kerja KPH Cepu luasnya sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan keadaannya tidak subur. Sedangkan pemilik ternak besar di sekitar wilayah kerja KPH Cepu sangat tinggi, keadaan ini merupakan salah satu ancaman terhadap keamanan hutan utamanya untuk tanaman muda. 3. Kesatuan Pemangkuan Hutan Randublatung. Kawasan hutan KPH Randublatung secara administratif, masuk wilayah Kabupaten Dati II Blora. Kabupaten Blora dengan luas 182.059 Ha terbagi kedalam 4 wilayah pembantu Bupati yang meliputi 14 Kecamatan, sedangkan yang berdekatan dengan KPH Randublatung ada 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, Jepon, dan Banjarejo. Jumlah penduduk dalam kecamatan yang termasuk wilayah kerja KPH Randublatung di sekitar hutan sebesar 271.765 orang yang terdiri dari 135.102 orang laki-laki dan 136.663 orang perempuan. Adapun penyebaran penduduk untuk tiap kecamatan yang ada disekitar wilayah KPH Randublatung terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 Penyebaran penduduk tiap kecamatan sekitar wilayah KPH Randublatung Jumlah Penduduk No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah 1 2 3 4 5 Jati Randublatung Kradenan Jepon Banjarejo 23.773 35.949 19.151 28.576 27.653 24.175 36.303 19.097 29.160 27.928 47.948 72.252 38.248 57.736 55.581 Jumlah 135.102 136.663 271.765 Sumber : Buku RKPH KPH Randublatung Berdasarkan data yang terhimpun diketahui bahwa luas kepemilikan tanah tiap desa rata-rata yang terendah berada di desa-desa wilayah kecamatan Randublatung yaitu seluas 198,0 Hadesa, sedangkan rata-rata kepemilikan tanah tiap desa dalam 5 kecamatan adalah 218 Hadesa. Sebagian besar penduduk desa sekitar hutan banyak yang bercocok tanam di lahan kering tegalan dan menempati sekitar 45 dari seluruh pemilikan tanah. Pada usaha tani rata-rata luas lahan yang mereka miliki adalah 0,25 Ha, baik itu lahan milik maupun menggarap lahan milik Perhutani. Sebagian besar masyarakat berpendidikan yang berada di wilayah kecamatan Randublatung sekitar 32. Berdasarkan data yang didapat bahwa penduduk sekitar hutan 75 berpendidikan SD ke bawah. Masyarakat sekitar hutan yang mata pencahariannya bercocok tanam sebesar 88 dan berdagang 7, sisanya sebesar 5 bekerja di bidang lain. Potensi Hutan Hutan Jati di Kabupaten Blora merupakan gabungan dari tiga KPH dengan potensi produktifitas yang besar, sehingga menjadi andalan utama produksi kayu Jati bagi Perhutani. Potensi hutan yang ada di masing-masing KPH dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Kondisi dan potensi hutan di KPH Cepu, Randublatung, dan Blora KPH Cepu KPH Randublatung KPH Blora Keadaan Ha - Produksi - Bukan Produksi Potensi Ha Kelas Umur KU I Kelas Umur KU II Kelas Umur KU III Kelas Umur KU IV Kelas Umur KU V Kelas Umur KU VI Kelas Umur KU VII Kelas Umur KU VIII Kelas Umur KU IX Mt Mr Tjbk Tk Ltjl Tkl Tjkl Ldti Alur Hutan Lindung Terbatas 30.408,55 1.894,3 3.584,30 3.329,30 3.314,80 4.354,25 1.931,00 1.880,40 1.447,90 1.689,30 214,30 93,70 1.211,10 4.824,50 1.711,80 296,30 448,50 1.619,40 203,15 559,00 71,40 31.609,17 854,93 3.962,47 4.452,19 4.483,75 4.611,15 2.353,18 2.071,10 2.697,24 1.892,56 423,60 253,45 1.456,44 1.227,84 418,40 328,42 73,00 904,38 180,33 568,70 9.848,10 144,40 1.973,20 1.926,60 1.623,10 840,40 443,20 501,80 581,50 458,60 398,9 187,40 913,30 2.060,40 1.137 192,90 15,80 1.254,25 28,15 Sumber : Buku RPKH KPH Cepu, Randublatung, dan Blora Keterangan : Mt : Masak tebang Ltjl : Lahan tebang jangka lampau Mr : Miskin Riap Ldti : Lahan dengan tujuan istimewa Tk : Tanah Kosong Tjbk : Tanaman jati bertumbuhan kurang Tkl : Tanaman Kayu Lain HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kelestarian Hasil Kegiatan pengelolaan hutan tanaman oleh Perum Perhutani pada saat sekarang menggunakan metode pengaturan hasil yang bersifat statis, sementara kondisi hutan sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat beragam dan dinamis. Pengaruh sosial ekonomi masyarakat merupakan salah satu faktor dinamis yang sangat berperan dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang lestari sangat terkait dengan perubahan faktor sosial ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan. Salah satu tahapan dalam pengaturan hasil adalah penentuan etat Simon 1994. Untuk menentukan jatah penebangan, Perhutani melakukan penentuan etat yang dilakukan pada areal tebang habis berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No : 143Kpts.DjI7a tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, Khusus Kelas Perusahaan Tebang Jati Perum Perhutani 1974. Etat kelas perusahaan ditentukan berdasarkan metode kombinasi antara luas areal dan volume kayu. Pada KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung, daur yang digunakan untuk setiap KPH adalah 80 tahun. Daur ini merupakan daur pada waktu suatu jenis yang diusahakan sudah dapat menghasilkan kayu yang dapat dipakai untuk tujuan tertentu Simon 1994. Besarnya luas penebangan ditentukan berdasarkan luas areal produktif tiap-tiap KPH dibagi dengan daur. Kelestarian hutan tiap-tiap KPH dapat diketahui berdasarkan tabel tegakan persediaan hasil risalah yang dinyatakan dalam bentuk luas ha dan volume m 3 . Luas tegakan persediaan hasil risalah awal rata-rata lebih besar dari luas tegakan persediaan hasil risalah sela. Hal ini menunjukkan adanya penurunan riap tegakan sebagai akibat gangguan terhadap tegakan hutan berupa pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Besarnya riap yang diperoleh dari selisih antara hasil risalah awal dan hasil risalah sela. Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan hasil risalah sela menurut kelas umur di tiap-tiap KPH disajikan pada tabel 13, 14, dan 15. Tabel 13 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Blora Tegakan Persediaan Hasil Risalah awal Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas Hutan Luas Ha Volume m 3 Luas Ha Volume m 3 MT 913,3 69410,8 1188,7 90341,2 MR 187,4 23425 187,4 23425 IX 398,9 61642,017 358,3 55368,1 VIII 458,6 74302,372 430,3 69715,48 VII 581,6 91159,984 462,5 72492,25 VI 501,8 65806,052 496,2 65071,67 V 443,2 50910,384 287,9 33071,65 IV 840,4 67400,08 628,4 50395,17 III 1.623.10 106897,37 1.001.70 65971,96 II 1.926.60 105076,76 1.219.80 66527,89 I 1.973.20 39424,536 1.720.80 34385,03 Jumlah 9848,1 755455,36 7982 626765,4 Sumber : Buku RPKH Blora Luas total tegakan hasil risalah awal untuk KPH Blora sebesar 9.848,1 Ha, sedangkan luas total hasil risalah sela sebesar 7.982 Ha atau terjadi penurunan sebesar 18,94. Volume tegakan hasil risalah awal sebesar 755.455,36 m 3 sedangkan volume tegakan hasil risalah sela sebesar 626.765,4 m 3 atau terjadi penurunan sebesar 17,03. Tabel 14 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Cepu Tegakan Persediaan Hasil Risalah awal Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas Hutan Luas Ha Volume m 3 Luas Ha Volume m 3 MT 93,7 16491,2 69,1 12161,6 MR 1211,1 75088,2 948,8 58825,6 IX 214,3 45030,4 230,8 48497,5 VIII 1689,3 302044 765,72 136910 VII 1747,9 273936 1291,8 202455 VI 1880,4 241232 735,4 94342,9 V 1931 236092 2392,23 292484 IV 4354,6 495133 1911,2 217310 III 3134,8 232420 1834,9 136043 II 3329,3 197844 2349,9 139643 I 3584,3 52736,5 5687,4 83679,9 Jumlah 23170,35 2168048,3 18217,25 1422351,7 Sumber : Buku RPKH Cepu Berdasarkan Tabel 14, diperoleh luas total tegakan hasil risalah awal KPH Cepu sebesar 23.170,35 Ha. Sedangkan luas total tegakan hasil risalah sela sebesar 18.217,25 Ha atau terjadi penurunan sebesar 21,37. Untuk volume risalah awal besarnya 2.168.048,3 m 3 ; sedangkan untuk risalah sela besarnya 1.422.351,7 m 3 atau terjadi penurunan sebesar 34,39. Tabel 15 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Randublatung Tegakan Persediaan Hasil Risalah awal Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas Hutan Luas Ha Volume m 3 Luas Ha Volume m 3 MT 1409,34 67944,28 1060,5 67951 MR 300,55 501,92 6,7 503 X 17,4 3389,58 17,4 3389,58 IX 423,6 101973,47 186,4 44872,18 VIII 1892,56 342313,52 1188,7 215004,06 VII 2697,24 466430,94 1180,9 204211,82 VI 2071,1 289935,67 956,4 133887,53 V 2353,18 250696,72 2161,7 230297,35 IV 4611,15 487931,37 1982,5 209779,33 III 4483,75 331310,93 2457,9 181617,87 II 4452,19 314033,84 3610,9 254693,71 I 3962,47 80413,36 7369 149544,62 Jumlah 28657,13 2733486 22179 1627298,1 Sumber : Buku RPKH Randublatung Untuk KPH Randublatung luas total tegakan persedian hasil risalah awal sebesar 28.657,13 Ha. Sedangkan luas total tegakan hasil risalah sela 22.179 Ha atau terjadi penurunan sebesar 22,6. Untuk volume tegakan hasil risalah awal besarnya 2.733.486 m 3 , sedangkan hasil risalah sela sebesar 1.627.298,1 m 3 atau terjadi penurunan sebesar 40,46. Berdasarkan tabel hasil risalah awal dan risalah sela dari ketiga KPH, pertambahan luas hanya terjadi di KPH Cepu dan KPH Randublatung. Pada KPH Cepu luas tegakan persediaan hasil risalah awal lebih besar dari luas tegakan persediaan hasil sela pada KU I. Luas hasil risalah awal sebesar 3.584,3 Ha, sedangkan luas hasil risalah sela sebesar 5.687,4 Ha. KU I pada KPH Randublatung juga mengalami kenaikan dengan luas hasil risalah awal sebesar 3.962,47 Ha, sedangkan luas hasil risalah sela sebesar 7.369 Ha. Pengujian jangka waktu penebangan cutting time test merupakan pengujian terhadap kelestarian produksi selama daur berdasarkan luas tegakan areal produksi. Apabila jumlah kumulatif tahun-tahun penebangan selama daur yang diperoleh berbeda dengan daur yang telah ditetapkan, maka besarnya etat massa yang diperoleh pada pengujian awal akan dikoreksi untuk dilakukan pengujian kembali. Etat massa diuji sampai menghasilkan perbedaan lebih kurang 2 tahun. Pengujian dibatasi sampai lima kali dengan alasan semakin banyak pengujian akan semakin lama waktu yang dibutuhkan tegakan untuk kembali membentuk suatu tegakan normal. Berdasarkan perhitungan jangka waktu penebangan dengan menggunakan tiga metode pengaturan hasil diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 16 Penentuan Etat dan Perhitungan Jangka Waktu Penebangan KPH Metode pengaturan hasil Etat Luas Hath Etat Massa Sebelum diuji m3th Etat Massa Setelah diuji m3th Banyaknya Pengujian Selisih JWP Daur Cepu Randublatung Blora Cotta Burn Von Montel Cotta Burn Von Montel Cotta Burn Von Montel 227.71 227,71 227,71 277,23 277,23 277,23 99,78 99,78 99,78 42.209,13 28.137,96 33.784,11 56.595,35 33.455,85 33.784,11 16.850,40 13.551,80 15.669,14 27.517,79 29.544,86 27.830,19 38.522,31 38.949,20 37.641,49 12.515,97 12.880,11 12.888,54 5 2 4 5 4 5 4 3 4 -0,51 -0,05 -0,15 -1.78 -2,37 +5,30 +2.17 -1,66 -1.51 Sumber : Hasil Pengujian Etat KPH Cepu, KPH Randublatung dan KPH Blora Pada KPH Cepu etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan metode Cotta sebesar 42.209,13 m 3 tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 28.137,96 m 3 tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 33.784,12 m 3 tahun. Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 27.517,79 m 3 tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa setelah uji sebesar 29.544,86 m 3 tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian sebesar 27.830,19 m 3 tahun. Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar pada KPH Cepu terdapat pada metode Cotta yaitu -0,51 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode Burn sebesar -0,05 tahun. Untuk KPH Randublatung etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan metode Cotta sebesar 56.595,35 m 3 tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 33.455,85 m 3 tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 33.784,11 m 3 tahun. Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 38.522,31 m 3 tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa setelah uji sebesar 38.949,2 m 3 tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian sebesar 37.641,49 m 3 tahun. Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar pada KPH Randublatung terdapat pada metode Cotta yaitu 5,30 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode Burn sebesar 1,78 tahun. Untuk KPH Blora etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan metode Cotta sebesar 16.850,4 m 3 tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 13.551,8 m 3 tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 15669,14 m 3 tahun. Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 12.515,97 m 3 tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa setelah uji sebesar 12.880,11 m 3 tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian sebesar 12.888,54 m 3 tahun. Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar KPH Blora terdapat pada metode Cotta yaitu 2,17 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode Burn sebesar -1,51 tahun.

B. Konsumsi Kayu