Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)

(1)

PEMBELAJARAN SOSIAL (

SOCIAL LESSON LEARNING

)

DALAM PROGRAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

DI KAWASAN PEGUNUNGAN DIENG

(Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo,

Propinsi Jawa Tengah)

RAGIL SATRIYO GUMILANG

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(2)

DI KAWASAN PEGUNUNGAN DIENG

(Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo,

Propinsi Jawa Tengah)

RAGIL SATRIYO GUMILANG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(3)

Dipersembahkan untuk :

Alam semesta yang menerima perlakuan sia-sia, diracun

jalan nafasnya, dan diperkosa kesuburannya.

Ada kalanya kita mesti jongkok bahkan tiarap

untuk melihat lebih dekat bumi pijakan ini

walau kadang dianggap bodoh.

Ada kalanya kita mesti jinjit bahkan melompat

untuk meraih langit

walau kadang dianggap terlalu banyak mimpi.


(4)

Sosial(Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atan lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2010

Ragil Satriyo Gumilang NRP E14054281


(5)

SUMMARY

RAGIL SATRIYO GUMILANG. Social Lesson Learning in Land and Forest Rehabilitation Program in Dieng Mountains (Case Study in Kejajar Sub-District, Wonosobo District, West Java) Supervised by BRAMASTO NUGROHO.

Most of lands in Dieng Mountains is cultivating with high value agriculture commodity, especially potatoes. Land degradation in Dieng Plateau mostly because insufficient crown cover area in conservation forest and production forest and also farming activity which is not environmental friendly. Society has a main role in land and forest rehabilitation management, meanwhile Forestry and Plantation District Office and Perhutani (government) and NGO/TKPD (Dieng Recovery Working Team) work as facilitators. Harmony interaction between stakeholders is becoming priorities in order to introduce the idea and value of land and forest rehabilitation and hopefully can be implemented by community.

This research using explanative method. Quantitative approach (positivism) and Qualitative approach (phenomenology) also used in this research. Social phenomenon that chosen to be focus point of learned in this research is focusing on forest and land rehabilitation management that practiced by community, both before and after the program is introduced.

The social phenomenon then be analyzed using social lesson learning based on four dimension aspect in social learning by Wollenberg et al. (2001). The dimensions are decision making, innovations and problem solving, communication network and relationship building, and capacity building and society building.

Respondent perception for the continuity of rehabilitation program inside forest area considered more important than in the private area because society thinks that trees that planted in their private lands are decreasing their land productivity. Almost all respondent agreed that private land degradation is not so important to them. The society still manages their land despite of land quality and productivity decreasing. It can be realized, because of high land demand in this region as well as economic needs.. The respondents begin to realize that the development of participative plan and conservation principle is highly needed.

TKPD act strategically in facilitating various needs between stakeholders. TKPD has taken important role as organizer in many meeting and discussion forums. TKPD also act as councilor that encourage the respondent and initiate to implement the program. Facilitation plays an important role in the social learning process in the programs.


(6)

(Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO.

Kawasan Pegunungan Dieng sebagian besar wilayahnya diusahakan untuk kegiatan pertanian bernilai ekonomi tinggi terutama kentang. Penyebab kerusakan di daerah Pegunungan Dieng diakibatkan oleh daerah konservasi dan hutan produksi yang tidak cukup tertutup oleh area pepohonan dan pola pertanian yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Dalam usaha rehabilitasi hutan dan lahan di daerah Pegunungan Dieng, masyarakat merupakan pelaku utama pengelolaan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai fasilitator kegiatan. Interaksi yang harmonis antara stakeholder menjadi prioritas agar ide dan nilai dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat diintroduksi dan diterapkan oleh masyarakat.

Penelitian ini merupakan penelitian metode eksplanatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif (positifisme) dan kualitatif (fenomenologis). Gejala sosial yang menjadi fokus penelitian yaitu pola pengelolaan hutan dan lahan yang dipraktekkan oleh masyarakat baik sebelum maupun sesudah introduksi budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi bersamaan dengan pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan. Gejala sosial fokus penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan konsep pembelajaran sosial(Social lesson learning)menurut empat dimensi pembelajaran sosial Wollenberg et al. (2001), antara lain: pengambilan keputusan, inovasi dan pemecahan masalah, jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan, serta pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat.

Persepsi responden terhadap keberlanjutan kegiatan rehabilitasi dalam aspek teknis penanaman dan pemeliharaan pohon di dalam kawasan hutan dipandang lebih penting dari pada di lahan milik. Masyarakat memandang pohon yang ditanam di lahan milik akan mengganggu produktivitas lahan pertaniannya. Hampir semua responden menganggap bahwa gangguan dan tekanan terhadap lahan mereka bukan sesuatu yang penting. Masyarakat tetap mengelola lahan walaupun merasakan penurunan kualitas dan produktivitas lahannya. Hal ini dapat dipahami bahwa tingkat kebutuhan akan lahan di daerah Pegunungan Dieng sangat tinggi dengan kepentingan aspek ekonomi masyarakat yang tinggi pula. Masyarakat mulai menyadari bahwa pengembangan perencanaan partisipatif serta memperhatikan kaidah konservasi sangat penting bagi mereka.

Tim Kerja Pemulihan Dieng (staf program TKPD) berperan strategis dalam memfasilitasi berbagai kepentingan antar stakeholder. TKPD telah mengambil peran penyelenggara dalam berbagai pertemuan dan diplomasi. TKPD berperan sebagai penasehat sehingga mendorong para aktor untuk menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. Fasilitasi berpengaruh dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan.


(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah).

Nama Mahasiswa : Ragil Satriyo Gumilang NRP : E 14054281

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS NIP. 19581104 198703 1 005

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S NIP. 19630401 199403 1 001


(8)

Nopember 1986 dari pasangan Bapak Mulyono dengan Ibu Sundariyati. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri I Temanggung dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis masuk Mayor Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun ketiga pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis memilih Bagian Kebijakan Kehutanan. Pada tahun 2008 dan 2009 penulis mendapatkan beasiswa PPA.

Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di bebe-rapa Lembaga Kemahasiswaan. Penulis aktif di 1) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan sebagai Ketua Umum (2008-2009) dan Kepala Biro Kesejahteraan Sosial dan Lingkungan (2006-2007), 2) Himpunan Profesi Manajemen Hutan/FMSC sebagai Ketua Umum (2007-2008), 3) Organisasi Mahasiswa Daerah Temanggung IPB sebagai Ketua Umum (2005-2007).

Tahun 2007 penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Jawa Barat, jalur Kamojang-Leuweung Sancang dan tahun 2008 Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dan KPH Cianjur. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang di IUPHHK-HA PT.Andalas Merapi Timber di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat.

Tahun 2007 penulis menjadi asisten lapang dalam proyek pengembangan Gaharu di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Tahun 2009 penulis menjadi asisten lapang Lembaga Penilai Independen IPB dalam perpanjangan IUPHHK-HA PT. Sindo Lumber Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Tahun 2010 penulis menjadi asisten lapang dalam proyek surve sosial ekonomi dan HCVF di IUPHHK-HA PT. SSS Kabupaten Siberut Utara, Sumatera Barat.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah), dibimbing oleh Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS.


(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penyusunan penelitian ini dapat diselesaikan.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabatnya, serta para pengikutnya yang tetap setia dan tetap istiqomah dalam mengikuti semua perjalanannya.

Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah rehabilitasi hutan dan lahan, dengan judul Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam rangka penulisan Skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Mulyono dan Ibu Sundariyati atas segala upaya jerih payahnya dan

lantunan do’a yang tak pernah putus. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik dan menempatkan keduanya pada tempat yang mulia disisi-Nya nanti.

2. Mas Ajie, Mas Aan, Mbak Dwi, Yodha dan keluarga besar Mbah Wagiman atas kebersamaan yang indah, dukungan moral dan materilnya. Semoga Allah selalu membimbing kita pada jalan hidayah-Nya.

3. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS atas bimbingan, ilmu dan waktu yang telah diberikan dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik.

4. Bapak Andreas selaku penaggung jawab lapang program rehabilitasi hutan dan lahan Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Bapak Fahmi selaku Ketua Tim Teknis TKPD yang telah membantu proses penelitian.

5. Sahabat-sahabat terbaik yang dipertemukan di kampus (Angga, Budi, Dude, Sogi, Fenoy, Anne, Aswin, Kobul, Moji, Ivan, Kura, Bejo, Oki, Sidik, Apry, Herry, Rofik, Aceng, Coki, Eno, Nando, Tyas, Tian, Gilang, Poche, Icha,


(10)

terpisah ruang dan waktu (Andi, Fajar, Botak, Dita, Sari, Lala, Dyah, Azis, Fuad, Erwin, Muh, Mbembeng, Dadut, Sendy, Novita, Bogel, Qplek, Mali, Prety, Ian, Yudhan, Aldi, Bonchu, Ismi, Lily) terutama Dinning Hayani yang tak pernah selesai mendoakan keselamatanku, semoga persahabatan tetap terjalin hingga nanti di surga-Nya.

6. Rekan-rekan Manajemen Hutan khususnya dan Fahutan umumnya atas kebersamaannya selama ini.

7. Seluruh staf dan teman-teman dari Kebijakan Kehutanan serta staf administrasi Departemen Manajemen Hutan atas segala bantuan dan kerjasamanya.

8. Keluarga kecil “Panti Jomblo Al-Ahsan” yang memberikan banyak motivasi dan semangat. Semoga persahabatan kita tetap terjalin hingga nanti.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dan telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan dari penulis. Oleh karena itu masukan, kritikan dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk memperoleh hasil penelitian yang sebaik-baiknya.

Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Bogor, Mei 2010 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pembelajaran Sosial ... 4

Konsep Pengetahuan Lokal ... 6

Persepsi dan Keberlanjutan Program ... 7

Rehabilitasi Hutan dan Lahan ... 9

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... 10

Kerangka Pemikiran ... 11

Metode Penelitian ... 11

Jenis Data ... 12

Teknik Pengumpulan Data ... 13

Teknik Pengolahan Data ... 16

Analisis Data ... 20

Keabsahan Data ... 21

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas ... 24

Jenis Tanah dan Topografi ... 24

Iklim ... 26


(12)

Sub Sistem Kehutanan ... 31

Sub Sistem Pertanian ... 36

Sub Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat ... 42

BAB VI PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI KECAMATAN KEJAJAR Perkembangan Kegiatan ... 52

Proses Kegiatan ... 55

Persepsi Masyarakat terhadap Keberlanjutan Program ... 58

BAB VII PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Dimensi Pembelajaran Sosial ... 61

Jawaban Hipotesis Penelitian ... 73

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 75

Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Pertanyaan Kunci Dimensi Pembelajaran Sosial ... ... 15

2. Tingkat Persepsi Berdasarkan Skala Likert ... 18

3. Indikator yang Mempengaruhi Keberlanjutan Program RHL ... 18

4. Penggolongan Penduduk Menurut Produktifitas Kerja... 27

5. Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kecamatan Kejajar ... 29

6. Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Fungsinya ... 33

7. Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Kelas Hutan ... 33

8. Luas Pemilikan Lahan Per Keluarga ... 38

9. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kejajar ... 42

10. Luas Lahan Pertanian Minimum yang Dibutuhkan di Kecamatan Kejajar.. 43

11. Produksi Pangan di Kecamatan Kejajar ... 45

12. Kebutuhan Hijauan Pakan Ternak di Kecamatan Kejajar ... 46

13. Banyaknya Keluaga dan Tahapan Sejahtera Kecamatan Kejajar 2008 ... 48

14. Analisis Usaha Pertanian Kentang di Masyarakat Kejajar ... 49

15. Analisis Usaha Ternak Kambing atau Domba di Masyarakat Kejajar ... 50

16. Perubahan Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan... 53

17. Perkembangan Program Pemulihan Dieng Sejak Tahun 2007 ... 54


(14)

1. Kerangka Pemikiran “Pembelajararan Sosial dalam Rehabilitasi

Hutan dan Lahan.” ... . 11

2. Proses Analsis Data dalam Penelitian Kualitatif ... 21

3. Guludan Bidang Tanaman Kentang Searah Lereng... 40

4. Proses Perubahan Pendekatan Partisipatif ... 65


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Tabel Penggolongan Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ... ... 81

2. Tabel Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Kejajar ... 82

3. Tabel Persepsi Masyarakat terhadap Keberlanjutan Program Pemulihan Dieng ... 83

4. Tabel Jumlah Kepala Keluarga Petani ... 86

5. Tabel Jumlah Responden dalam Penelitian ... 86

6. Tabel Responden Persepsi Keberlanjutan Program RHL ... 87

7. Tabel Perbandingan Berbagai Pertanaman yang Dilakukan ... 87


(16)

Latar Belakang

Hutan dan lahan memegang peranan penting bagi masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitarnya. Hutan dan lahan telah menjadi sumber kehidupan utama bagi mereka. Pengelolaan hutan dan lahan yang mereka lakukan seharusnya mampu menjamin keberlangsungan hidup dasar. Pengelolaan hutan tersebut merupakan praktek dari sistem pengetahuan lokal yang bersifat turun temurun.

Kawasan Pegunungan Dieng sebagian besar wilayahnya diusahakan untuk kegiatan pertanian bernilai ekonomi tinggi seperti kentang dan tembakau. Penyebab kerusakan pada dataran tinggi Dieng diakibatkan oleh daerah konservasi dan hutan produksi yang tidak cukup tertutup oleh area pepohonan dan pola pertanian yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Menurut TKPD (2008) dalam Nugroho (2009), di Dataran Tinggi Dieng, tingkat erosi mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002, tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai 4,21 mm per tahun, dan 13,7 mm per tahun di hulu DAS Merawu. Sebelumnya, tingkat erosi pada tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun di kedua tempat tersebut.

Dalam usaha rehabilitasi hutan dan lahan di daerah Pegunungan Dieng, masyarakat merupakan pelaku utama pengelolaan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai fasilitator kegiatan. Interaksi yang harmonis antara stakeholder

menjadi prioritas agar ide dan nilai dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat diintroduksi dan diterapkan oleh masyarakat. Hal ini menjadi kendala utama sehingga diperlukan pendekatan yang tepat agar hubungan berbagai pihak dapat diperbaiki.

Oleh sebab itu dalam menata hubunganstakeholder khususnya masyarakat, pemerintah dan LSM, diperlukan suatu proses yang mampu mambawa masing-masing pihak pada keadaan yang lebih baik. Masing-masing-masing pihak dapat menjalankan kepentingannya tanpa terjadi perbenturan dengan kepentingan yang lain. Proses inilah yang dinamakan pembelajaran sosial yang pada akhirnya akan


(17)

2

mewujudkan kesepahaman berbagai pihak dalam memandang dan mengimplementasikan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Berbagai inovasi yang telah diperkenalkan melalui konsep pengelolaan lahan yang ramah lingkungan tentu telah membawa dampak dalam kehidupan masyarakat lokal, dimana dampak ini merupakan strategi adaptasi berbagai pihak. Oleh sebab itu, penelitian mengenai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dilakukan untuk mengkaji lebih jauh bagaimana konsep rehabilitasi telah memasuki tatanan suprastruktur masyarakat dan memberikan suatu pola baru dalam pengelolaan lahan.

Upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah telah dilakukan dengan berbagai program. Namun demikian bukan sesuatu yang mudah untuk mengaplikasikan ide dan nilai baru. Pada umumnya petani telah memiliki ide dan nilai mereka sendiri serta kebiasaan pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini pengelolaan hutan dan lahan didominasi oleh pengelolaan lahan pertanian kentang dan tembakau yang cenderung merusak lahan namun menghasilkan nilai ekonomis cukup tinggi.

Demikian juga Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Perhutani, dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai fasilitator kegiatan, tidak mudah dapat mensosialisasikan dan memfasilitasi pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Dibutuhkan perubahan sikap dan perilaku para pihak yang terlibat agar pengelolaan lahan yang lestari dapat dilaksanakan. Sikap dan perilaku para pihak yang terlibat ini berpengaruh dalam menentukan bentuk hubungan antara petani dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) serta model pengelolaan lahan yang lestari. Keselarasan sikap antara petani dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) yang tercermin dari hubungan yang harmonis serta hutan dan lahan yang lestari menjadi faktor penting dalam analisis pembelajaran sosial (Social lesson learning). Bagaimana perubahan sikap dan perilaku tersebut berperan dalam pembelajaran sosial merupakan hal yang cukup menarik untuk diteliti.


(18)

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengidentifikasi permasalahan pola pengelolaan hutan dan lahan sebelum dan sesudah introduksi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang mempengaruhi berlangsungnya proses pembelajaran sosial dalam budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi.

2. Memahami peran fasilitasi dalam proses pembelajaran sosial.

3. Mendeskripsikan persepsi petani mengenai keberlanjutan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Hipotesis Penelitian

Fasilitasi mempengaruhi proses pembelajaran sosial dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk:

1. Memberikan gambaran faktual mengenai proses pembelajaran sosial tentang pengelolaan lahan yang terjadi pada masyarakat kawasan Pegunungan Dieng. 2. Bahan masukan bagi para pelaksana dan pengelola program rehabilitasi hutan

dan lahan dalam mengambil kebijakan dalam pemulihan fungsi lindung Kawasan Pegunungan Dieng.


(19)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pembelajaran Sosial

Menurut Wollenberg et al. (2001), pembelajaran sosial merupakan suatu proses yang bersifat kontinu yang terjadi antar berbagai pihak dalam mewujudkan kesamaan visi dalam rangka mengakomodir berbagai kepentingan pihak-pihak tersebut. Terdapat empat dimensi dalam pembelajaran sosial. Dimensi pertama yaitu pengambilan keputusan. Pengelolaan sumberdaya hutan melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan yang berbeda. Kekuatan politik telah menjadi penyebab utama ketidaksamaan akses masing-masing pihak dalam mengelola hutan. Lee (1993) yang diacu oleh Wollenberg et al. (2001) menyatakan bahwa di antara pihak-pihak tersebut terjadi konflik yang bersifat terbatas. Melalui pembelajaran sosial dilakukan pengambilan keputusan secara bersama-sama terutama untuk meminimalisasi kekuatan politik tadi.

Dimensi kedua yaitu inovasi dan pemecahan masalah. Tiap pihak dalam pembelajaran sosial memiliki kepentingan masing-masing. Kepentingan-kepentingan ini akan membawa pada perbedaan pengetahuan dalam belajar. Pengetahuan tersebut dapat berbentuk nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode-metode, dan pengalaman sejarah. Menurut Daniels dan Walker (1999) diacu dalam Wollenberg et al. (2001), di dalam pembelajaran sosial terjadi pertukaran pandangan antara berbagai pihak yang bertujuan untuk merubah pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut.

Dimensi ketiga yaitu jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan. Pembelajaran sosial berjalan dengan lancar jika di antara pihak yang terlibat berinteraksi, sehingga terbentuk hubungan yang kuat dan saling membutuhkan. Hubungan yang interdependen ini akan membantu proses berbagi pengetahuan. Dalam belajar tidak ada pihak yang mendominasi, semua pihak memiliki kedudukan yang sama. Oleh karena itu, dalam prosesnya pembelajaran sosial tidak bersifat linier, tetapi merupakan sebuah proses interaktif di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.


(20)

Dimensi terakhir yaitu pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat. Ketika masyarakat dihadapkan pada pengetahuan baru, masyarakat memiliki keinginan untuk mendapatkan informasi dan pemahaman yang lebih detail. Pemahaman terhadap pengetahuan baru tersebut tercipta dengan cara belajar secara bersama-sama. Selain memperkaya wawasan masyarakat, di dalam proses belajar, masyarakat juga mengembangkan pengetahuan baru yang dipelajari agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Upaya ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapabilitas untuk meningkatkan kemampuan dan mengembangkan apa yang sudah mereka miliki.

Fasilitasi merupakan syarat vital dalam pembelajaran sosial. Fasilitator berperan dalam mempercepat proses pembelajaran. Fasilitator dapat memperkecil resiko kesalahan dalam menginterpretasikan kepentingan masyarakat lokal. Untuk itu, fasilitator harus sensitif terutama dalam menghadapi berbagai kepentingan dan berbagai hubungan yang terjalin di antara para pelaku pembelajaran.

Faktor sosial budaya memegang peranan penting dalam menentukan diterima atau tidaknya ide-ide baru. Ide baru dapat diterima oleh masyarakat apabila ide tersebut memenuhi kebutuhan mereka dan tidak bertentangan dengan adat. Menurut Adimihardja (1999), tidak semua ide dan nilai diterima karena adanya dua kecenderungan alamiah pada masyarakat yakni, modifikasi adaptif dan kecenderungan untuk mempertahankan apa yang ada. Bukan berarti masyarakat akan menyerap ide baru begitu saja, melainkan ada upaya kompromi antara budaya yang telah ada dan peluang-peluang yang diberikan oleh keadaan baru.

Konsep Pengetahuan Lokal

Sunaryo dan Joshi (2003), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari proses pembelajaran, yang menyangkut pemikiran, pengalaman dan pengamatan. Pengetahuan bersifat universal tetapi tidak mutlak dan tidak netral. Pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal, seperti perkembangan dari pengetahuan itu sendiri dan adanya kepentingan-kepentingan serta kebijakan yang mendorong pengetahuan mengarah pada aspek tertentu.


(21)

6

Pengetahuan indigenous berarti pengetahuan asli, maksudnya yang diciptakan dan dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Kata indigenous berarti asli dan pribumi. Pemakaian kata indigenous mengacu pada arti masyarakat

indigenous atau masyarakat asli yang berdomisili di suatu wilayah geografis tertentu. Pengetahuan tersebut melingkupi semua cara yang digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup, telah teruji dalam jangka waktu yang lama, dan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal.

Pengertian di atas bermakna sempit, karena hanya memperhitungkan masyarakat asli dan mengabaikan pengetahuan masyarakat pendatang. Oleh karena itu banyak pihak yang berkeberatan dengan batasan tersebut dan memiliki preferensi terhadap pemakaian istilah pengetahuan lokal. Pengetahuan berada pada tataran konsep yang lebih luas dimana pengetahuan di sini mengacu pada pengetahuan yang ada pada suatu wilayah tertentu. Tidak menjadi masalah apakah masyarakat di wilayah tersebut asli atau tidak.

Pengetahuan lokal tidak terbatas pada apa yang dicerminkan oleh metode dan teknik dalam pengelolaan sumberdaya saja, tetapi juga mencakup tentang pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan lokal yang telah menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama akan menjadi ‘kearifan lokal’.

Menurut Adimihardja (2004), pengetahuan lokal merupakan suatu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang secara lokal, merupakan bentuk keseluruhan tradisi masyarakat lokal itu. Pengetahuan lokal ini juga mengenai pengetahuan agrikultur, medikal, ekologi, produk, desain dalam bidang kerajinan tangan, arsitektur, serta bidang seni.

Sifat yang dinamis, selalu berubah, mencirikan pengetahuan lokal. Perubahan tersebut dapat dikarenakan oleh ketidaksesuaiannya terhadap situasi yang baru ataupun karena adaptasi dengan situasi yang baru ataupun karena adaptasi dengan situasi dan kondisi yang baru. Pengetahuan yang tidak sesuai perlahan akan menghilang dan disubstitusi oleh pengetahuan baru yang sesuai.


(22)

Masyarakat lokal di Indonesia memiliki pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Menurut Raden dan Nababan (2003), sampai awal dekade 1970-an, pengetahuan lokal yang sangat beragam masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara.

Bentuk pengetahuan lokal lain dalam pengelolaan hutan ditunjukkan melalui praktek kebun hutan (agroforest). Praktek kebun hutan ini ditemukan pada ratusan lokasi di seluruh kawasan hutan tropika (Tadjudin 2000). Penelitian di Kalimantan dan Sumatera menyatakan bahwa masyarakat yang melakukan praktek kebun hutan adalah masyarakat yang kehidupan ekonomi dan budayanya tergantung pada sumberdaya hutan.

Persepsi dan Keberlanjutan Program

Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.

Persepsi yang dimiliki seseorang berbeda karena pengaruh berbagai faktor mulai dari pengalaman, latar belakang, lingkungan dimana dia tinggal, juga motivasi dan lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang akan menyebabkan seseorang dalam menginterpretasikan sesuatu mempunyai perbedaan pendapat (Nurdin 2003).

Menurut Siagian (1995) diacu dalam Nurdin (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut :

1. Diri seseorang yang bersangkutan. Apabila seseorang melihat dan berusaha memberi interpretasi tentang apa yang telah dilihatnya, pendapatnya akan dipengaruhi oleh sikap, motif, kepentingan, dan harapan.

2. Sasaran persepsi. Sasaran persepsi dapat berupa benda atau peristiwa. Dalam persepsinya seseorang biasanya membuat generalisasi dengan menggolongkan dari sekelompok orang, benda atau peristiwa yang memiliki karakteristik yang serupa.


(23)

8

Nurdin (2003) mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses pemaknaan terhadap obyek berdasarkan kesenjangan antara benar atau salahnya suatu pernyataan. Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan, dan perasaan suatu stimulus tersebut (Langevelt 1966, diacu dalam Nurdin 2003).

Saarinen (1976) diacu dalam Nurdin (2003) mengatakan bahwa persepsi sosial (sosial perseption) umumnya berkaitan dengan faktor-faktor sosial budaya terhadap struktur kognitif dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

Menurut Suparlan (1994) keberlanjutan hanya bisa dicapai melalui pembangunan dengan rakyat sebagai sentral. Untuk menjaga keberlanjutan program, maka pelaksanaannya harus dilandasi oleh konsep-konsep tertentu yang dapat menjamin bahwa program ini dapat dan harus sampai pada kelompok sasaran (target group) untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peningkatan kesejahteraan dan sekaligus membawa peningkatan sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial (social capital) dari kelompok sasaran (Khandker et al. 1995, diacu dalam Yuliarso 2004).

Rohima (2002) menyatakan bahwa implementasi dan keberlanjutan program merupakan suatu tantangan dalam perencanaan program. Strategi top down tidak hanya kurang efektif tapi juga sulit untuk menjaga keberlanjutan. Program pengembangan pada masyarakat perlu mempertimbangkan tentang jalan keluar yang baik dari masalah yang ada di masyarakat juga kebutuhan terhadap program yang ditawarkan.

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitasnya dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Inisiatif rehabilitasi hutan dan lahan didefinisikan sebagai kegiatan yang disengaja dengan tujuan regenerasi pohon, baik secara alami maupun buatan di atas lahan berupa padang rumput, semak belukar, atau wilayah tandus yang dulunya berhutan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas, penghidupan masyarakat, dan/atau manfaat jasa lingkungan (Tim Rehabilitasi


(24)

CIFOR 2003). Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS). Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan (Dephut 2003).

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan semua stakeholder melalui suatu perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan yang efektif dan efisien (Menkokesra 2003). GN-RHL bertujuan untuk melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan terencana dengan melibatkan semua instansi pemerintah terkait, swasta dan masyarakat agar kondisi lingkungan hulu dapat kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan secara normal dan baik (BKN 2005). GN-RHL meliputi dua ruang lingkup yaitu:

1. Lingkup kegiatan

a. Kegiatan pencegahan kerusakan lingkungan. Kegiatan ini meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum.

b. Kegiatan penanaman hutan. Kegiatan ini meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman,dan lain-lain) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, gully plug, terasering, sumur resapan, grass barrier, dan lain-lain), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan.

2. Lingkup wilayah

Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasi 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani (Menkokesra 2003).


(25)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kawasan Pegunungan Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai Januari 2010. Di lokasi penelitian penulis dibantu oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo, Perhutani (Pemerintah Daerah), dan Tim Kerja Pemulihan Dieng (LSM).

Pemilihan lokasi lapangan berdasarkan hasil orientasi lapangan yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian dipilih 4 desa di Kecamatan Kejajar sebagai sampel lokasi penelitian secarapurposive sampling yaitu Desa Buntu, Kreo, Patak Banteng dan Sigedang. Desa Buntu dan Desa Kreo dipilih dengan alasan kedua desa tersebut dijadikan desa model dalam program rehabilitasi hutan dan lahan oleh Tim Kerja Pemulihan Dieng. Desa Patak Banteng dipilih karena sebagian besar masyarakatnya mengelola lahan pertanian kentang selama satu tahun penuh. Sedangkan Desa Sigedang dipilih karena sebagian besar wilayahnya bersinggungan langsung dengan kawasan hutan. Dengan ini diharapkan dapat mewakili karakteristik desa-desa di Kecamatan Kejajar.

Lokasi ini ditetapkan karena dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi yang cenderung merusak lahan. Lokasi tersebut merupakan salah satu lokasi di Kawasan Pegunungan Dieng yang telah ada introduksi teknologi ramah lingkungan melalui pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan. Implementasi program rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan Dieng sering berseberangan dengan pola pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi sehingga proses belajar terhadap ide dan nilai baru masih berlangsung. Sebagian besar masyarakat terlibat dalam program rehabilitasi hutan dan lahan dan bertani sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi seperti tanaman kentang serta dalam implementasinya melibatkan berbagai pihak terkait. Dari pihak-pihak inilah ditelusuri proses-proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan.


(26)

Kerangka Pemikiran

Analisis pembelajaran sosial kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sangat berkaitan dengan permasalahan sub sistem pertanian, kehutanan dan sosial ekonomi masyarakat. Dari permasalahan pengelolaan sub sistem tersebut, dianalisis bagaimana fasilitasi sosial mempengaruhi proses pembelajaran sosial dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Hubungan antara topik penelitian disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran “Pembelajararan Sosial dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan.”

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian metode eksplanatif, dimana penelitian difokuskan pada suatu gejala sosial untuk dapat dijelaskan penyebab dan keterkaitannya dengan gejala sosial yang lain. Gejala sosial yang menjadi fokus penelitian yaitu pola pengelolaan hutan dan lahan yang dipraktekkan oleh masyarakat baik sebelum introduksi budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi maupun sesudah introduksi budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi bersamaan dengan pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan. Gejala sosial fokus penelitian kemudian dianalisis dengan

Pola Pengelolaan Hutan dan Lahan Baru.

Ide dan Nilai Baru Ide dan Nilai Lama

Sub Sistem Kehutanan

Sub Sistem Pertanian

Sub Sistem Sosial Ekonomi masyarakat

Pembelajaran Sosial RHL. • Pengambilan keputusan

• Inovasi dan pemecahan masalah

• Jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan

• Pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat


(27)

12

mempergunakan konsep pembelajaran sosial (Social lesson learning) menurut dimensi pembelajaran sosial Wollenberget al. (2001).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif (positifisme) dan kualitatif (fenomenologis).

Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus karena gejala sosial yang dikaji adalah gejala sosial kontemporer yang dianalisis dan dipahami menurut sudut pandang subjek penelitian. program rehabilitasi hutan dan lahan merupakan upaya perbaikan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama, dan terkoordinasi dengan melibatkan semua instansi pemerintah terkait swasta dan masyarakat, agar kondisi lingkungan hulu dapat kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan secara normal dan baik. Oleh karenanya strategi studi kasus sangat sesuai untuk menggali informasi sedalam mungkin mengenai gejala pembelajaran sosial pada masyarakat kawasan Pegunungan Dieng sebagai pengelola lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi seperti pertanian kentang dan pelaksana program rehabilitasi hutan dan lahan.

Unit analisis dalam penelitian ada tiga yaitu petani, Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani), dan LSM (Tim Kerja Pemulihan Dieng). Sudut pandang yang digunakan dalam penelitian adalah sudut pandang subjek penelitian (tineliti). Jadi, sudut pandang yang dipakai dalam penelitian yaitu sudut pandang petani, sudut pandang Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani) dan sudut pandang LSM (Tim Kerja Pemulihan Dieng).

Jenis Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder dari sasaran penelitian. Data primer meliputi: keadaan umum responden, luas lahan yang diusahakan serta pengelolaanya, serta persepsi terhadap keberlanjutan program rehabilitasi hutan dan lahan. Data primer diambil melalui wawancara semi terstruktur dan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperlukan untuk melengkapi data primer yang diperoleh dari instansi-instansi pemerintah, meliputi keadaan lingkungan biofisik tempat penelitian dan data lain yang relevan dengan penelitian.


(28)

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1. Teknik Observasi, yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian.

2. Teknik Survei, yaitu cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dengan masyarakat (responden) serta pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan responden.

3. Studi Pustaka, yaitu cara pengumpulan data dengan cara mempelajari literatur, laporan, karya ilmiah dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif yaitu data deskriptif berupa kata-kata yang diucapkan langsung dan kata-kata yang dituliskan oleh subjek penelitian dan informan tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Sitorus 1998). Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif yaitu dengan cara wawancara mendalam, pengamatan, dan analisis data sekunder.

Wawancara mendalam dilakukan terhadap subjek penelitian dan informan. Informan berasal dari masyarakat desa, Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani) dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng. Teknik pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan teknik bola salju (Snowball) yaitu menjadikan tokoh dalam masyarakat sebagai informan kunci untuk menentukan pihak-pihak yang dapat dijadikan subjek penelitian. Menurut Sitorus (1998), subjek penelitian adalah orang-orang yang memberikan informasi tentang dirinya yang mencakup pendapat, perasaan, dan tindakan yang dilakukan. Misalnya tentang keterlibatan dirinya dalam program rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi, tentang perasaannya terhadap pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi dan sebagainya.

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah petani anggota Kelompok Tani Desa, pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Pegawai Perhutani,


(29)

14

Pegawai Dishutbun Wonosobo dan relawan Tim Kerja Pemulihan Dieng yang menjadi pendamping desa.

Jumlah responden sebagai subjek penelitian dan informan sebanyak 39 responden. Informasi mengenai mereka diperoleh dari informan kunci. Pertama, penulis mengajukan beberapa kriteria kepada informan kunci. Kriteria tersebut antara lain adalah mengelola lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi seperti kentang, ikut serta dalam pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, terbuka serta tidak segan menyampaikan pendapatnya. Dari kriteria tersebut informan kunci memberikan nama-nama petani yang dapat diwawancarai. Wawancara dengan para petani tersebut akan menghasilkan data mengenai proses pembelajaran sosial, pola pengelolaan hutan, prinsip bermitra dan manfaat ekonomis.

Peneliti menggali informasi dari pegawai Dishutbun Wonosobo serta pegawai Perhutani mengenai konsep program rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan lahan serta pelaksanaanya selama ini. Agar informasi yang diperoleh memiliki tingkat realibilitas yang tinggi dilakukan cross check dengan aktivis TKPD. Dari aktivis TKPD juga diperoleh informasi mengenai kegiatan fasilitasi.

Wawancara mendalam dilakukan dengan berbagai cara. Petani kentang diwawancarai dengan mendatangi mereka di lahan garapan dan di rumah masing. Anggota kelompok tani desa dan LMDH diwawancarai di rumah masing-masing. Wawancara dengan Dishutbun Wonosobo dan aktivis TKPD dilakukan dengan mendatangi kantor keduanya.

Untuk menunjang data yang didapatkan dari wawancara mendalam dilakukan pula pengamatan lapangan. Hal-hal yang diamati adalah kehidupan keseharian masyarakat, pola pengelolaan hutan dan lahan yang diterapkan, interaksi antara petani, Dishutbun dan TKPD serta proses diskusi antar pihak yang terkait. Penulis menghadiri beberapa kegiatan dalam rangka upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Wonosobo diantaranya Lokakarya Penyusunan Road Map Penyelamatan Dieng pada tanggal 29 Juni 2009 yang diikuti oleh pemerintah level pusat, propinsi, kabupaten, pelaku, pakar, LSM, dan lembaga donor. Selain itu penulis juga menghadiri Lokakarya Rehabilitasi Kawasan Dieng pada tanggal 23 Desember 2009 yang dikoordinasi oleh BP DAS Serayu Opak


(30)

Progo serta menghadiri Semiloka Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kabupaten Wonosobo antara masyarakat, Perhutani dan LSM.

Untuk mendukung data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan pengamatan maka dilakukan analisis terhadap data sekunder. Data sekunder berasal dari berbagai literatur, dokumen, tesis, dan disertasi. Dari literatur diperoleh informasi mengenai konsep pembelajaran sosial, konsep pengetahuan lokal dan konsep pengelolaan hutan dan lahan. Dari dokumen didapat data monografi desa dan data mengenai program rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan dari tesis dan disertasi diperoleh informasi tentang hasil-hasil penelitian terdahulu terutama mengenai program rehabilitasi hutan dan lahan dan pertanian bernilai ekonomi tinggi. Penggunaan data sekunder bertujuan untuk membantu dalam mengarahkan dan memfokuskan penelitian.

Pertanyaan kunci, teknik dan unit analisis pengumpulan data dari keempat dimensi pembelajaran sosial dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Pertanyaan Kunci Dimensi Pembelajaran Sosial

Pertanyaan Kunci Teknik Unit Analisis Dimensi 1. Pengambilan keputusan

Bagaimana penetapan kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait pengelolaan hutan dan lahan pertanian bernilai ekonomi tinggi, sepihak atau bersama masyarakat?

Studi pustaka Survei Dishutbun Masyarakat LSM Bagaimana sejarah kepemilikan dan status lahan garapan

petani? Studi pustaka Survei Dishutbun Masyarakat

Bagaimana konflik hak pengelolaan lahan, adakah ketidaksamaan akses antar pihak dalam pengelolaan lahan?

Survei Dishutbun Masyarakat LSM Bagaimana kesesuaian kebijakan pemerintah dengan

pelaksana kerja fasilitator di lapangan?

Studi pustaka Survei Dishutbun Masyarakat LSM

Dimensi 2. Inovasi dan Pemecahan Masalah

Bagaimana pemahaman tentang konsep, nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode, dan pengalaman sejarah dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan?

Survei Dishutbun Masyarakat LSM Bagaimana kesesuaian nilai-nilai dan pengetahuan lokal

masyarakat dengan adanya introduksi program rehabilitasi hutan dan lahan?


(31)

16

Tabel 1 (lanjutan)

Pertanyaan Kunci Teknik Unit Analisis

Bagaimana peran fasilitator menjembatani kepentingan-kepentingan dalam pertukaran pandangan berbagai pihak?

Survei Observasi

Dishutbun Masyarakat LSM

Dimensi 3. Jalinan Komunikasi dan Pembentukan Hubungan

Bagaimana arus informasi pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan antara petani aktif, petani pengikut, Dishutbun dan LSM?

Survei Studi pustaka Dishutbun Masyarakat LSM Bagaimana karakteristik petani aktif dan petani pengikut? Survei Masyarakat

LSM Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan

tindakan antara petani aktif dan petani pengikut?

Survei Masyarakat LSM Bagaimana dominansi interaksi yang terjalin antara berbagai

pihak? Observasi Survei Dishutbun Masyarakat LSM

Dimensi 4. Pembangunan Kapasitas dan Pengembangan Masyarakat

Bagaimana keikutsertaan masyarakat (Kelompok tani dan LMDH) dalam berbagai program dan penyuluhan tentang program rehabilitasi hutan dan lahan?

Studi pustaka Observasi Survei Dishutbun Masyarakat LSM

Bagaimana peran pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat?

Studi pustaka Observasi Survei Dishutbun Masyarakat LSM

Bagaimana proses musyawarah dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat?

Studi pustaka Observasi Survei Dishutbun Masyarakat LSM

Teknik Pengolahan Data Kebutuhan Pangan

Perhitungan kebutuhan pangan terkait erat dengan kebutuhan lahan bagi masyarakat. Perhitungan kebutuhan pangan dihitung dari jumlah penduduk dikalikan dengan jumlah konsumsi pangan rata-rata per kapita. Konsumsi rata-rata per kapita tidak ditentukan berdasarkan survey, tetapi dengan menggunakan pendekatan angka normative menurut Simon (1994), yaitu konsumsi beras per kapita adalah 0,31 kg/hari.. Perbandingan antara kebutuhan pangan masyarakat dengan besarnya produksi pangan yang dihasilkan dapat digunakan untuk menentukan apakah lokasi penelitian tersebut surplus atau defisit pangan.


(32)

Kebutuhan pangan penduduk dapat diformulasikan sebagai berikut: Kpg = 0,35 kg/hari x P

Keterangan:

Kpg : Jumlah pangan penduduk desa (kg/hari)

0,35 : angka normatif konsumsi beras perkapita (Simon 1994) P : Jumlah penduduk desa (jiwa)

Kebutuhan Pakan Ternak

Rasio kepemilikan ternak (ekor/KK) diperoleh berdasarkan jumlah data dan jenis ternak yang dimiliki oleh penduduk. Untuk memperkirakan kebutuhan pakan ternak diperlukan kepadatan ternak yang dinilai dengan satuan Unit Ternak (UT). Ternak sapi, kerbau, dan kuda rata-rata memiliki 0,75 UT per ekor, sedangkan ternak kambing dan domba 1/7 UT per ekor. Kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) digunakan kriteria kebutuhan HMT normal menurut Simon (1994), dimana: kerbau 45 kg/ekor/hari, sapi 30 kg/ekor/hari dan kambing maupun domba 10 kg/ekor/hari. Dari kebutuhan pakan ternak tersebut perlu diketahui besarnya pakan ternak yang berasal dari hutan dan lahan.

Angkatan Kerja dan Lapangan Pekerjaan

Angkatan kerja dihitung dari penduduk yang berumur antara 15 – 59 tahun. Kesempatan kerja yang tersedia di desa dihitung dengan pendekatan jumlah angka normal, yaitu luas normal sawah dan tegal yang dibutuhkan oleh satu keluarga petani untuk memenuhi kebutuhan subsisten (kelumrahan) yaitu sebesar 0,79 Ha sawah tadah hujan (Simon 1994). Apabila sawah dan tegal yang ada dibagi dengan jumlah seluruh keluarga di desa hasilnya kurang dari 0,79 Ha, maka akan terdapat tenaga kerja yang tidak terserap dalam kegiatan pertanian atau menganggur.

Penentuan Persepsi

Penentuan persepsi responden terhadap keberlanjutan program dilakukan dengan melakukan sejumlah pernyataan melalui kuesioner. Jumlah responden untuk data persepsi sebanyak 25 responden yang dipilih secara purposive.

Variabel dan pernyataan tersebut ditentukan sesuai bentuk kegiatan pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan yang dilakukan oleh responden. Metode yang digunakan yaitu metode rating yang dijumlahkan atau penskalaan Likert


(33)

18

(Mueller 1996) merupakan metode penskalaan pernyataan sikap/persepsi yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Responden akan diminta untuk menyatakan tingkat kepentingan terhadap isi pernyataan/indikator dalam tiga kategori jawaban, yaitu “Sangat Penting” (SP), “Penting” (P), dan “Kurang Penting“ (KP). Dari masing-masing kategori jawaban akan diberi nilai tergantung dari bentuk pernyataannya baik yang berupa pernyataan positif maupun negatif. Pemberian nilai dari 1 sampai 3 tergantung bentuk pernyataannya, apabila positif maka nilai terkecil untuk kategori jawaban tingkat kepentingan misalnya Sangat Penting (SP) adalah 1 sedangkan untuk pernyataan yang bersifat negatif, nilai terbesar untuk kategori jawaban penolakan misalnya Kurang Penting (KP) adalah 3. Hasil dari kuesioner dicari nilai rata-rata dari tiap butir pernyataan dengan menjumlahkan nilai dari tiap jawaban dan membaginya dengan jumlah responden. Sehingga diperoleh nilai yang menggambarkan tingkat persepsi responden. Interval nilai rata-rata dari pernyataan/ tanggapan untuk tingkat persepsi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tingkat Persepsi berdasarkan Skala Likert

Interval Nilai Tanggapan Tingkat Persepsi

0 – 1,0 Tinggi

1,1 – 2,0 Sedang

2,1 – 3,0 Rendah

Indikator-indikator persepsi yang mempengaruhi keberlanjutan program rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng dibedakan ke dalam 2 hal pengamatan, di dalam kawasan hutan negara dan lahan milik masyarakat. Indikator tersebut mencakup aspek-aspek, diantaranya aspek teknis, kelembagaan, pengelolaan dan ekonomi. Secara lebih lengkap disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 3 Indikator yang Mempengaruhi Keberlanjutan Program RHL

No Di dalam kawasan hutan No Di lahan milik

Aspek Teknis Aspek Teknis

1. Penanaman pohon 1. Penanaman pohon 2. Pemeliharaan pohon 2. Pemeliharaan pohon

Aspek Kelembagaan Aspek Kelembagaan

1. Pengembangan organisasi dan usaha yang ada, termasuk koperasi

1. Pengembangan organisasi dan usaha yang ada, termasuk koperasi


(34)

No Di dalam kawasan hutan No Di lahan milik

2. Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan

2. Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan 3. Adanya ikatan sosial dengan konflik

sosial yang rendah

3. Adanya ikatan sosial dengan konflik sosial yang rendah

4. Adanya kesepahaman satu sama lain 5. Hubungan baik antara staf program dan

masyarakat

4. Hubungan baik antara staf program dan masyarakat

6. Konflik lahan harus diselesaikan dengan tuntas

7. Tersedianya lahan untuk dikelola masyarakat

8. Kerekatan antar koperasi / anggota organisasi masyarakat

5. Kerekatan antar koperasi / anggota organisasi masyarakat

9. Pembentukan lembaga baru 10. Kejelasan dalam pengelolaan

sumberdaya alam

6. Kejelasan dalam pengelolaan sumberdaya alam

11. Aturan main yang jelas 7. Aturan main yang jelas 8. Pemberdayaan organisasi 9. Inovasi pada aspek teknis dan

kelembagaan

Aspek Pengelolaan Aspek Pengelolaan

1. Transparansi 1. Transparansi

2. Pengembangan perencanaan partisipatif 3. Penurunan tingkat

penebangan/perambahan 2. Desa sekitar hutan dilibatkan dalam

pengelolaan hutan dan pengamanan

3. Dukungan pemerintah yang jelas 4. Dukungan pemerintah yang jelas 4. Proses peningkatan kesadaran

masyarakat

5. Proses peningkatan kesadaran masyarakat 5. Penyuluhan kehutanan 6. Penyuluhan kehutanan

6. Gangguan atau tekanan terhadap hutan dan lahan yang dapat ditangani / diatasi

7. Gangguan atau tekanan terhadap hutan dan lahan yang dapat ditangani / diatasi

Aspek ekonomi Aspek ekonomi

1. Mekanisme investasi kembali (re-investasi) yang jelas

1. Mekanisme investasi kembali (re-investasi) yang jelas

2. Pasaran yang pasti untuk produk kegiatan rehabilitasi

2. Pasaran yang pasti untuk produk kegiatan rehabilitasi


(35)

20

Analisis Data

Data-data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis. Untuk mendapatkan data yang sesuai dilakukan pemilahan dan penyederhanaan. Pemilahan data dimaksudkan untuk mempertajam analisis. Setelah data dipilah selanjutnya dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang saling berkaitan. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk teks naratif. Dari hasil penyajian dapat ditarik berbagai kesimpulan (Sitorus 1998). Analisis data mulai dari pemilahan data sampai penarikan kesimpulan.

Analisis dilakukan untuk menemukan pola. Caranya dengan melakukan pengujian sistematik untuk menetapkan bagian-bagian, hubungan antar kajian, dan hubungan terhadap keseluruhannya. Untuk dapat menemukan pola tersebut peneliti akan melakukan penelusuran melalui catatan-catatan lapangan, hasil wawancara dan bahan-bahan yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang dikumpulkan dan memungkinkan menyajikan apa yang ditemukan.

Proses analisis data ini peneliti lakukan secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Di dalam melakukan analisis data peneliti mengacu kepada tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman (1987) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data(data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing verivication). Ketiga tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Reduksi Data. Pada tahap ini, data yang diperoleh dari lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan oleh peneliti akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya (melalui proses penyuntingan, pemberian kode, dan pentabelan). Reduksi data ini dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung.

2. Penyajian Data. Penyajian data atau display data dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam melihat gambaran secara keseluruhan atau


(36)

bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya lebih utuh. 3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi. Dalam penelitian kualitatif, penarikan

data dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan yaitu dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat grounded . Dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung yang melibatkan interprestasi peneliti.

Gambar 2 Proses Analsis Data dalam Penelitian Kualitatif.

Keabsahan Data

Moleong (2000) mengemukakan bahwa ada 4 kriteria yang dapat digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Untuk memeriksa keabsahan data hasil penelitian ini, akan dilakukan kegiatan sebagai berikut:


(37)

22

1. Derajat kepercayaan (credibility). Penerapan konsep kriteria derajat kepercayaan ini berfungsi untuk melaksanakan inquiry sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Selain itu berfungsi untuk menunjukkan derajat kepercayaan hasil penemuan dengan cara pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kegiatan yang dilakukan untuk memeriksa kredibilitas hasil penelitian adalah sebagai berikut:

a. Memperpanjang masa observasi. Dengan cara ini peneliti berharap mempunyai cukup waktu untuk mengenal situasi lingkungan dan melakukan hubungan baik dengan para informan di lokasi penelitian. Dengan demikian peneliti dapat mengecek kebenaran berbagai informasi dan data yang diperoleh sampai sudah dirasa benar.

b. Melakukan peer debriefing. Hasil kajian dari peneliti didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian dan juga tentang metode penelitian yang diterapkan. Pembicaraan ini bertujuan antara lain untuk memperoleh kritik, saran dan pertanyaan-pertanyaan yang menguji tingkat kepercayaan dari kebenaran hasil penelitian.

c. Triangulasi. Triangulasi dilakukan untuk mengecek kebenaran data tertentu dan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan, dan dengan menggunakan metode yang berlainan. Triangulasi dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan data, sumber data dan teknik pengumpulan data.

d. Mengadakan member check . Hal ini peneliti lakukan pada setiap akhir wawancara dengan cara mengecek ulang garis besar berbagai hal yang telah disampaikan informan berdasarkan catatan lapangan. Hal ini dilakukan agar informasi yang diperoleh dan digunakan dalam penulisan laporan penelitian sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan.

2. Keteralihan (transferability). Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama.


(38)

3. Kebergantungan dan Kepastian. Untuk mengetahui, mengecek serta memastikan apakah hasil penelitian ini benar atau salah, peneliti mendiskusikannya dengan pembimbing mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan. Setelah hasil penelitian dianggap benar, diadakan seminar terbuka dengan mengundang teman sejawat dan pembimbing.


(39)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Luas

Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kawasan di Kabupaten Wonosobo yang masuk dalam kawasan Pegunungan Dieng. Secara geografis memiliki luas wilayah 5.761,92 ha, atau 5,85 % dari luas Kabupaten Wonosobo. Ketinggian wilayah antara 1.360 – 2.302 m di atas permukaan laut.

Kecamatan Kejajar merupakan salah satu dari 15 Kecamatan di Kabupaten Wonosobo, terletak antara 7°11’20’’ sampai 7°18’00’’ Lintang Selatan (LS) dan 109° 51’11” sampai 109° 59’52’’ Bujur Timur (BT), berjarak 17 Km dari ibu kota Kabupaten Wonosobo dan 146 Km dari ibu kota Propinsi Jawa Tengah.

Secara Administrasi Kecamatan Kejajar berbatasan langsung dengan: Sebelah Utara : Kabupaten Batang

Sebelah Timur : Kabupaten Temanggung Sebelah Selatan : Kecamatan Garung Sebelah Barat : Kabupaten Banjarnegara

Luas Kecamatan Kejajar adalah 5.761,919 ha, dengan komposisi tata guna lahan atas lahan tanah kering seluas 3.066,31 ha (53,21 %), hutan negara 2.309,81 ha (40,08 %), perkebunan negara/swasta seluas 155,85 ha (2,7 %) dan lainnya seluas 232,67 ha (4,01%) (Bapeda Kabupaten Wonosobo 2009).

Jenis Tanah dan Topografi

Tanah merupakan lapisan-lapisan dekat permukaan yang berbeda dengan batuan di bawahnya sebagai hasil interaksi antara: iklim, jasad hidup, bahan induk, relief dan proses yang panjang. Tanah merupakan salah satu unsur lingkungan dan tempat manusia melakukan kegiatan baik dalam bidang pertanian, maupun non pertanian. Tanah dalam kaitannya dengan penggunaan tanah/lahan tergantung pada kebutuhan penduduk. Hal ini yang sering menimbulkan konflik antar kepentingan.

Perbedaan faktor yang menentukan pembentukan tanah, menghasilkan perbedaan sifat, potensi dan jenis tanah yang terbentuk. Jenis-jenis tanah yang


(40)

terbentuk di Kawasan Dieng adalah: 1) Latosol; 2) Latosol coklat; 3) Latosol coklat kekuningan; 4) Podzolik coklat kemerahan. 5) Litosol – Latosol.

Jenis tanah di Kecamatan Kejajar didominasi oleh jenis regosol dan Andosol. Jenis tanah regosol ini belum berkembang, sehingga belum terbentuk horison tanah. Regosol banyak ditemukan pada endapan lahar dan piroklastis. Tanah bertekstur pasiran hingga pasir bergeluh, struktur remah pada kondisi kering, warna tanah abu-abu kecoklatan. Konsistensi lepas-lepas, permeabilitas umumnya sedang hingga cepat, kandungan bahan organis rendah hingga sedang, pH 5 – 6,5 kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa termasuk sedang. Pada lokasi tertentu Regosol dapat bertekstur remah hingga gumpal jika terdapat kandungan lempung atau banyak mengandung bahan organis. Sebaran jenis tanah ini terdapat pada relief datar, berombak, bergelombang, lereng gunung api, perbukitan hingga pegunungan terjal berbatuan vulkanis.

Andosol berkembang pada satuan bentuk lahan perbukitan hingga pegunungan terjal berbatuan tuf pada kondisi suhu dingin dan curah hujan sedang. Ciri Andosol yaitu; tanah tebal, warna tanah coklat – abu-abu gelap, tekstur geluh berdebu, konsistensi gembur permeabilitas sedang, kandungan bahan organik sedang, pH 5,5 - 6, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa tinggi. Potensi lahan untuk tanaman pertanian termasuk sedang hingga tinggi (RTPPKD 2007)

Topografi Kecamatan Kejajar dikelilingi oleh gunung dan perbukitan. Komplek pegunungan Dieng terdiri dari Gunung Bismo, Binem, Nagasari, Pangonan, Merdada, Prau, Pager Kandang, Petarangan Telaga Dlimo, Pakuwojo, Kunir, Kendil, Srodjo, Sipandu dan Prambanan. Gunung di komplek Dieng yang tertinggi adalah Gunung Prau, yaitu 2565 m dpl. Kemiringan tanah di Kecamatan Kejajar cukup terjal, didominasi kelas lereng antara 15 – 40 % yaitu seluas 1.993,099 ha (65%).

Disamping dikelilingi gunung dan perbukitan, di Kecamatan Kejajar terdapat beberapa telaga, diantaranya Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Telaga Cebong. Telaga ini dimanfaatkan sebagai sumber mata air dan objek wisata oleh masyarakat setempat untuk menyirami tanaman pertaniannya saat musim kemarau sehingga seringkali menimbulkan konflik kepentingan antar petani dan pengelola wisata alam (Bapeda Kabupaten Wonosobo 2009)


(41)

26

Iklim

Iklim merupakan gabungan beberapa unsur cuaca yang terjadi dalam kurun waktu yang lama dan dalam wilayah yang luas. Iklim dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, keadaan awan, hujan dan sinar matahari. Curah hujan merupakan salah satu unsur penyusun iklim yang sangat penting dalam kehidupan pertanian. Menentukan jenis tanaman yang akan ditanam dan waktu yang tepat untuk penanaman sangat bergantung pada banyaknya curah hujan dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam dan waktu penanamannya.

Berdasarkan besarnya curah hujan yang ditentukan dalam banyaknya bulan basah, bulan lembab dan bulan kering, Schmidt dan Ferguson menetapkan tipe iklim di Indonesia dengan menggunakan rumus nilai Q yaitu Jumlah rata-rata bulan kering dibagi jumlah rata-rata bulan basah dikali 100%.

Berdasarkan data curah hujan 5 tahun terakhir, diketahui curah hujan rata-rata adalah 3,533 mm/tahun dengan jumlah rata-rata-rata-rata bulan basah sebanyak 8,67 bulan dan bulan kering sebanyak 2,33 bulan. Dengan menghitung nilai Q, diketahui bahwa tipe iklim di Kecamatan Kejajar termasuk dalam tipe iklim B(basah).

Sebagian besar desa di Kecamatan Kejajar bersinggungan langsung dengan RPH Dieng yang merupakan BKPH Wonosobo. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan penting untuk diketahui iklim suatu daerah untuk dapat ditentukan kelas perusahaan serta tata waktu pelaksanaan pembangunan hutan mulai dari persemaian, penanaman, sampai dengan tebangan.

Di daerah pegunungan, seperti dataran tinggi Dieng suhu relatif rendah, berkisar antara 200C – 300C, sementara kelembaban udara relatif tinggi antara 84 – 86% (Bapeda Kabupaten Wonosobo 2009).

Sosial Ekonomi Masyarakat Kependudukan

Kependudukan merupakan hal yang penting untuk diketahui di dalam pembangunan wilayah, termasuk di dalamnya pembangunan wilayah hutan. Jumlah dan komposisi penduduk dapat mencerminkan ketersediaan angkatan kerja yang diperlukan dalam pembangunan wilayah. Jumlah angkatan kerja yang


(42)

banyak akan mempercepat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam pembangunan wilayah. Namun ketersediaan tenaga kerja yang banyak harus diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja yang cukup, sehingga tidak menyebabkan terjadinya pengangguran dan pemanfaatan sumber dayaalam yang melebihi daya dukungnya sehingga akan menyebabkan kerusakan sumber dayaalam itu sendiri. Jumlah tenaga kerja yang sedikit juga akan menyebabkan tingginya tingkat upah buruh sehingga dapat berpengaruh terhadap pembangunan.

Menurut Ethika (1997) diacu dalam Tribowo (2001) jumlah penduduk dapat digolongkan berdasarkan produktivitas sebagai berikut:

1. Golongan tidak produktif

a. Usia muda : 0 – 14 tahun b. Usia tua : 60 tahun ke atas 2. Golongan produktif : Usia 15 – 59 tahun

Penggolongan penduduk menurut produktivitasnya di desa-desa Kecamatan Kejajar disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Penggolongan Penduduk Menurut Produktivitas Kerja

No Desa

Jumlah Penduduk Usia Non Produktif

Usia Produktif Jumlah Usia Muda Usia Tua

Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa

1 Buntu 632 26,68 209 8,82 1.528 64,50 2.369 2 Sigedang 877 30,15 128 4,40 1.904 65,45 2.909 3 Tambi 1.520 29,62 228 4,44 3.383 65,93 5.131 4 Kreo 514 32,17 132 8,26 952 59,57 1.598 5 Serang 1.575 33,92 328 7,06 2.740 59,01 4.643 6 Kejajar 986 28,65 273 7,93 2.182 63,41 3.441 7 Igirmranak 200 29,59 54 7,99 422 62,43 676 8 Surengede 1.114 30,79 203 5,61 2.301 63,60 3.618 9 Tieng 1.138 27,02 346 8,21 2.728 64,77 4.212 10 Parikesit 559 28,53 106 5,41 1.294 66,05 1.959 11 Sembungan 344 30,52 51 4,53 732 64,95 1.127 12 Jojogan 428 29,34 57 3,91 974 66,76 1.459 13 Patakbanteng 802 31,76 131 5,19 1.592 63,05 2.525 14 Dieng 500 23,38 172 8,04 1.467 68,58 2.139 15 Sikunang 593 29,05 116 5,68 1.332 65,26 2.041 16 Campursari 717 29,31 172 7,03 1.557 63,65 2.446 JUMLAH 12.499 29,40 2.706 6,40 27.088 64,18 42.293


(1)

Lampiran 4 Tabel Jumlah Kepala Keluarga Petani

Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008 (diolah)

Lampiran 5 Tabel Jumlah Responden dalam Penelitian

No Responden

dan

Narasumber

Jumlah Keterangan

1. Pemerintah

Daerah

-

Bappeda

-

Dishutbun

-

Perhutani

2

3

1

Bappeda Bidang IV

Bagian Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Penyuluh Lapang

Mantri RPH Dieng

2. Masyarakat

-

Kepala desa

-

Pengurus Kelembagaan

Desa

-

Anggota Masyarakat

4

9

14

Kades Buntu

Kades Kreo

Kades Patak Banteng

Kades Sigedang

Forum Peduli Dieng

Kader Perencana Desa Berbasis

Lingkungan

Gapoktan

Petani, peternak, pemuka agama

(tokoh masyarakat)

3. LSM

5

Sekretaris

Tim

Teknis TKPD

Java Learning Center (JAVLEC)

Forum Hutan Wonosobo

LSM SEPKUBA, Bhineka Karya

4. Perguruan

Tinggi

(Akademisi) 1

Dosen

Fakultas

Kehutanan

IPB

Jumlah

39

Sumber: Data Primer.

Desa

KK

Bekerja

Jumlah

Bekerja

Petani

KK Petani

01. Buntu

692

1.166

950

564

02. Sigedang

847

1.467

978

565

03. Tambi

1.510

2.485

1.690

1.027

04. Kreo

425

1.269

1.037

347

05. Serang

1.202

3.324

2.616

946

06. Kejajar

968

2.055

1.398

659

07. Igirmranak

199

509

455

178

08. Surengede

1.021

1.530

1.289

860

09. Tieng

1.261

2.128

1.807

1.071

10. Parikesit

573

682

540

454

11. Sembungan

331

698

622

295

12. Jojogan

408

1.313

1.130

351

13. Patakbanteng

652

1.373

989

470

14. Dieng

649

1.162

804

449

15. Sikunang

698

988

774

547

16. Campursari

715

1.064

857

576


(2)

Lampiran 6 Tabel Responden Persepsi Keberlanjutan Program RHL

No Nama

Responden Desa Umur N Klg

Pendi-dikan

Pekerjaan Luas Tegalan (Ha) Utama Sampingan Milik Sewa 1 Nur Hakim Buntu 56 4 SD Tani Per. Desa 1,25 1,5

2 Untung Buntu 44 4 SD Tani Ternak 1,5 0,5

3 Suroto Buntu 33 5 SD Ternak Tani 0,5

4 Joko Buntu 45 5 SMA Tani Ternak 0,5 1,5

5 Wasidi Buntu 44 4 SD Tani Tani 0,45

6 Jumardi Buntu 69 4 SD Tani 0,25 0,25

7 Ciptadi Buntu 49 5 SMA Per. Desa Tani 1

8 Ahmad Buntu 57 3 SD Tani 0,5

9 Ahmadin Kreo 60 5 SD Tani Ternak 1,5

10 Marsyaid Kreo 45 5 SD Per. Desa Tani 1

11 Syawaludin Kreo 58 4 SD Tani 0,25 0,5

12 Supriyadi Kreo 27 3 SMA Tani Ternak 0,25 0.5 13 Nuryazid Kreo 32 4 SMA Tani Ternak 0,25

14 Musliman Kreo 57 6 SD Tani Dagang 1

15 S. Hidayat Kreo 45 4 SMP Tani 0,75

16 Mustaqim Patak Btg 48 4 SD Tani Ternak 1,25

17 Muh. Ali Patak Btg 46 3 SD Tani Ternak 0,5 18 Taufik Patak Btg 40 4 SMP Per. Desa Tani 1,5

19 Humam Patak Btg 57 4 SMP Tani 0,5

20 Ja'far Patak Btg 62 4 SD Tani Ternak 0,5

21 Fatkhurohman Sigedang 41 5 SMA Tani Dagang 0,25 22 Makmurohim Sigedang 40 4 SMA Tani Ternak 0,5 23 Mudatsir Sigedang 58 5 SD Tani Ternak 0,5

24 Sirmudi Sigedang 49 5 SD Tani Ternak 0,25 0,25

25 Abidarin Sigedang 53 4 SD Tani 0,5

Sumber: Data Primer

Lampiran 7 Tabel Perbandingan Berbagai Pertanaman yang Dilakukan

No

Pertanaman yang dilakukan

Tanah Tererosi

(Ton/Ha/Tahun)

1

Penanaman Kentang Searah Lereng

136,1

2

Bertanaman

Penutup

Rumput

0,2

3

Penanaman Kentang Menurut Kontur

43,5

4

Penanaman Bawang Sop daun

11,0

5

Penanaman Bawang Sop pada tanah yang diteras

3,1

6

Ditumbuhi

hutan

lebat

0

7

Ditumbuhi pohon tanah dicangkul

27,1

8

Pohon-pohonan dicangkul disertakan pemulasaan

6,8

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura dalam Lokakarya Rehabilitasi Kawasan Dieng 2009


(3)

Lampiran 8 Matrik Triangulasi Dimensi Pembelajaran Sosial

Dimensi Pembelajaran Sosial

Pendapat

Wacana Analisis

Masyarakat LSM Pemerintah

1. Pengambilan keputusan politik a. Bagaimana penetapan

kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait

pengelolaan hutan dan lahan pertanian bernilai ekonomi tinggi, sepihak atau bersama masyarakat?

Kewajiban pemerintah saja.

Menghindari pendekatan yang bersifattop down,

formal dan searah.

Keterlibatan masyarakat masih sangat rendah karena pemahaman tentang upaya konservasi dan rehabilitasi cukup rendah.

“TKPD perlu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan, pemulihan lingkungan, dan rehabilitasi lahan. Petani atau penduduk menjadi sentral program, tidak sekedar menanam atau mengurangi lahan kritis” (Bupati Wonosobo Kholiq Arif dalam Kompas, 24 Desember 2008)

Pendekatan dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sudah berubah kearah pendekatan yang bersifat partisipatif. Namun, keterlibatan masyarakat dalam

pengawasan dan evaluasi masih terbatas karena pemahaman tentang upaya konservasi dan rehabilitasi cukup rendah . Namun dalam pelaksanaan teknis di lapangan melalui kader-kader desa yang telah terbentuk, berada pada posisi yang lebih baik dan terlibat dalam berbagai perencanaan dan pelaksanaan. Mereka juga mendapatkan bagian dari hasil kegiatan rehabilitasi namun dalam pengelolaan lahan negara belum masyarakat belum merasakan manfaat ekonominya secara nyata. Peran masyarakat setempat masih lemah dibanding dengan pemerintah kabupaten dalam pengambilan keputusan politik. Petugas Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten, Provinsi, maupun Perhutani perlu meningkatkan

pemahaman mengenai kehutanan sosial agar pengelolaan kehutanan dengan strategi kehutanan sosial dapat diwujudkan.

b. Bagaimana sejarah kepemilikan dan status lahan garapan petani?

Lahan milik berhak dikelola sesuai keinginan pemilik.

Pembibrikan hutan negara untuk ditanami tanaman semusim biasa terjadi pada era reformasi.

Pemerintah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam pengelolaan lahan milik. Pasca reformasi Perhutani lebih bersifat represif.

Lahan milik berhak dikelola sesuai keinginan pemilik. Substansi isi Peraturan Menteri Pertanian tentang pedoman budidaya pada lahan pertanian pegunungan masih bersifat umum.

c. Bagaimana konflik hak pengelolaan lahan, adakah ketidaksamaan akses antar pihak dalam pengelolaan lahan?

Tanaman keras sebaiknya hanya ditanam di lahan negara

Perambahan hutan pada saat era reformasi masih dirasakan dampak fisik yang cukup traumatis terutama bagi Perhutani. Perhutani masih ragu-ragu menempatkan posisi petani dalam pengelolaan lahan negara

Perambahan hutan pada saat era reformasi masih dirasakan dampak fisiknya. Perencekan dan pencurian kayu untuk dijadikan kayu bakar merupakan permasalahan yang cukup mengganggu dalam pertumbuhan tanaman. d. Bagaimana kesesuaian

kebijakan pemerintah dengan pelaksana kerja fasilitator di lapangan?

Penyuluh lapang kurang bekerja dengan maksimal terutama didaerah yang jauh dari pusat kota kecamatan. Di desa Sigedang, Perhutani dianggap kurang membaur dengan

masyarakat

Tidak cukup jika hanya mengandalkan penyuluh dari dinas Kabupaten yang terkesan berjalan sendiri-sendiri

Karakter masyarakat yang sulit diarahkan untuk usaha pertanian yang memperhatikan kaidah konservasi

Karakter masyarakat yang sulit diarahkan untuk usaha pertanian yang

memperhatikan kaidah konservasi


(4)

Dimensi Pembelajaran Sosial

Pendapat

Wacana Analisis

Masyarakat LSM Pemerintah

2. Inovasi dan Pemecahan Masalah a. Bagaimana pemahaman

tentang konsep, nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode, dan pengalaman sejarah dalam proses pembelajaran sosial program Rehabilitasi Hutan dan Lahan?

Upaya rehabilitasi dianggap oleh sebagian masyarakat sama halnya seperti program-program terdahulu

Daya tarik ekonomi sektor pertanian kentang dianggap belum bisa tergantikan kecuali ada solusi usaha yang lebih tinggi nilai ekonomisnya. Produksi/hasil sayur akan menurun karena

berkurangnya areal tanam. Modal selalu menjadi alasan utama kurang berjalannya upaya konservasi

Upaya rehabilitasi dianggap oleh sebagian masyarakat sama halnya seperti program-program terdahulu

Daya tarik ekonomi sektor pertanian kentang dianggap belum bisa tergantikan kecuali ada solusi usaha yang lebih tinggi nilai ekonomisnya Modal selalu menjadi alasan utama tidak berjalannya upaya konservasi

Daya tarik ekonomi sektor pertanian kentang dianggap belum bisa tergantikan kecuali ada solusi usaha yang lebih tinggi nilai ekonomisnya

Modal selalu menjadi alasan utama tidak berjalannya upaya konservasi

Penerapan teknik konservasi tanah akan memicu

terjadinya serangan penyakit.

“Perhutani berhasil menerapkan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Hutan tanaman campuran bisa ditanami kopi, albasia dan salak sebagai tanaman tumpang sari yang memberi hasil bagi petani desa hutan.” (Ngabidin, Ketua LSM Setkuba)

Tarsono, petani di Tieng mengaku telah mengubah pola terasering (guludan) searah kontur. Demplot seperempat hektar lahan kentang guludan nyabuk gunung, yakni setengah melingkar dengan saluran air di tiap ujung. Hasilnya bisa mencapai 3 ton, dengan tingkat erosi hanya 12 cm saat hujan deras.

Petani lain di Desa Melandi Garung, Supriyadi, mengatakan, “Kesalahan pemakaian pupuk kimia yang berlebihan guna mendongkrak hasil panen kentang kini membalikkan kesuburan tanah. Lahan kini hanyalah tak lebih dari humus kompos yang ditanami kentang. Alhasil, produksi kentang merosot terus selama empat tahun. Kalau 2004 per hektar maish menghasilkan 17,6 ton, tahun 2007 bisa 15,4 ton, ternyata tahun 2008 panen tertinggi hanya 10-13,5 ton per hektar. Biaya produksi tanaman pun naik. Kalau 2004 per hektar

Upaya rehabilitasi dianggap oleh sebagian masyarakat sama halnya seperti program-program terdahulu. TKPD memfasilitasi dalam pertukaran konsep, nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode antar berbagai pihak dengan melihat berbagai kendala dan peluang pelaksanaan upaya-upaya sebelumnya. Faktor ekonomi masyarakat menjadi hal paling penting untuk diatasi dengan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan yang memperhatikan potensi dan kondisi masyarakat. Mensinergiskan fungsi perlindungan untuk kepentingan ekonomi masyarakat sekitar hutan pada akhirnya akan berdampak positif pada kelestarian hutan sekaligus tidak menghilangkan fungsi perlindungan secara keseluruhan. Masyarakat memandang pohon yang ditanam di lahan milik akan mengganggu produktifitas lahan pertaniannya. Dalam aspek pengelolaan lahan milik, hampir semua responden menganggap bahwa gangguan dan tekanan terhadap lahan mereka bukan sesuatu yang penting. Masyarakat tetap mengelola lahan walaupun merasakan penurunan kualitas dan produktifitas lahannya. Hal ini dapat dipahami bahwa tingkat kebutuhan akan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sangat tinggi dengan kepentingan aspek ekonomi masyarakat yang tinggi pula. Tim Kerja Pemulihan Dieng (staf program TKPD) berperan strategis dalam memfasilitasi berbagai kepentingan antar

stakeholder.TKPD telah mengambil peran penyelenggara dalam berbagai pertemuan dan dalam hal diplomasi. b. Bagaimana kesesuaian

nilai-nilai dan pengetahuan lokal masyarakat dengan adanya introduksi program Rehabilitasi Hutan dan Lahan? Hanya sebagian masyarakat yang mempunyai kesadaran tinggi untuk memperhatikan kaidah konservasi dalam pengelolaan lahan milik. Perlu mengganti dengan tanaman holtikultura lainnya yang menguntungkan Penerapan teknik konservasi tanah akan memicu terjadinya serangan penyakit

Masyarakat dan pemerintah (Perhutani) masih bekerja secara sendiri-sendiri.

Perlu diupayakan adanya kelembagaan ekonomi produktif lokal. Ada kekhawatiran jika bantuan program telah diberikan, petani tidak melanjutkan usaha setelah bantuan tidak lagi diberikan

Perhutani masih ragu-ragu menempatkan posisi petani dalam pengelolaan lahan negara

Perlu mengganti dengan tanaman holtikultura lainnya yang menguntungkan Perlu diupayakan adanya kelembagaan ekonomi produktif lokal Lahan kentang semakin keras seiring jamur tanah yang cukup tinggi. Karakter masyarakat yang sulit diarahkan untuk usaha pertanian yang

memperhatikan kaidah konservasi.


(5)

Dimensi Pembelajaran Sosial

Pendapat

Wacana Analisis

Masyarakat LSM Pemerintah

c. Bagaimana peran fasilitator menjembatani kepentingan-kepentingan dalam pertukaran

pandangan berbagai pihak?

Fasilitator dipandang sebagai pihak yang pro masyarakat.

Pada pengelolaan lahan negara, kerjasama masyarakat dan Perhutani belum berjalan dan masih pada tahap penyamaan kesepahaman. Petani perlu diarahkan untuk melaksanakan cara budidaya kentang yang ramah lingkungan dengan menerapkan teknik konservasi lahan

Pemulihan lahan dilakukan melalui program rehabilitasi lahan, dengan melibatkan kelompok tani dan instansi terkait di lingkungan pertanian dan kehutanan, serta aktivis penyuluh swadaya

cukup 25 juta rupiah, ternyata saat ini kisarannya 40-48 juta per hektar untuk sekali musim tanam.” (Dalam Kompas, 24 Desember 2008)

“Ketika krisis 1998-1999, hampir 90% kawasan hutan di Sindoro-Sumbing termasuk Dieng, habis dibabat tidak terkecuali hutan lindung.” (Wakil Kepala Perum Perhutani I Jawa Tengah, Bambang Setia Budi dalam Kompas, 24 Desember 2008)

TKPD berperan sebagai penasehat sehingga mendorong para aktor untuk menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. Fasilitasi berpengaruh dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan.

3. Jalinan Komunikasi dan Pembentukan Hubungan a. Bagaimana arus

informasi pelaksanaan program antara petani aktif, petani pengikut, Pemerintah dan LSM?

Sosialisasi dan pelatihan-pelatihan, hanya

mengikutsertakan beberapa petani yang notabene adalah pengurus kelompok tani ataupun LMDH

Tokoh masyarakat terutama ulama menjadi sarana strategis dalam penyampaian informasi

Pelibatan seluruh anggota masyarakat dalam berbagai sosialisasi dirasa kurang efektif dan membutuhkan biaya yang besar

SK Bupati Wonosobo Nomor 188.4/362/2009 tanggal 18 Mei 2009 tentang Tim Koordinasi Kawasan Dieng.

SK Bupati Wonosobo Nomor 661/13/2006 –

2871/044.3/hukamas/I tentang MoU Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari di Kabupaten Wonosobo antara Pemerintah Kabupaten Wonosobo dengan Perhutani

Jalinan komunikasi yang baik dalam masyarakat memfasilitasi pembelajaran sosial yang efektif. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng, sebagian besar komunikasi masyarakat terjadi melalui sarana-sarana informal. Obrolan harian saat silaturahmi atau pertemuan rutin mingguan dalam kegiatan masyarakat dan keagamaan telah meningkatkan aliran informasi lebih cepat. Hal ini terlihat dari fasilitator (TKPD), yang aktif menghadiri pertemuan-pertemuan informal tersebut sebagai sarana sosialisasi program. Komunikasi melalui sarana informal menjadi solusi atas kesenjangan informasi antara petani aktif dan petani pengikut dalam penerimaan ide dan nilai-nilai yang diusung dalam program rehabilitasi hutan dan lahan. Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama

Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu

b. Bagaimana karakteristik petani aktif dan petani pengikut?

Petani aktif lebih maju dalam pengelolaan lahan pertaniannya. Tingkat pendidikan petani pengikut sebagian besar tergolong rendah.

Petani aktif terdiri dari berbagai tingkat usia dan tingkat pendidikan Akses informasi petani pengikut cukup rendah.

c. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan tindakan antara petani aktif dan petani pengikut?

Hampir semua petani aktif juga merupakan pengurus organisasi struktur desa.. Latar belakang kehidupan masyarakat desa

pegunungan yang memegang kuat adat dan tradisi, yaitu sikap menunggu sehingga kurang bisa mengambil inisiatif.

Hampir semua petani aktif juga merupakan pengurus organisasi maupun menjabat struktur kepengurusan desa. Petani aktif memiliki hubungan luas dengan pihak di luar desa seperti pemerintah kabupaten maupun dalam hubungan bisnis


(6)

Dimensi Pembelajaran Sosial

Pendapat

Wacana Analisis

Masyarakat LSM Pemerintah

d. Bagaimana dominansi interaksi yang terjalin antara berbagai pihak?

Bagi petani pengikut, interaksi hubungan dengan pemerintah maupun LSM dipandang hanya didominasi oleh warga masyarakat tertentu

Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama. Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu

Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama. Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu

4. Pembangunan Kapasitas dan Pengembangan Masyarakat a. Bagaimana keikutsertaan

masyarakat (Kelompok tani dan LMDH) dalam berbagai program dan penyuluhan tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan?

Upaya pelibatan

masyarakat disambut baik.

Sangat penting adanya pelibatan masyarakat terutama dalam mengoptimalkan keterlibatan tokoh masyarakat yang strategis dan memiliki kesadaran lingkungan

Sangat penting adanya pelibatan masyarakat terutama dalam

mengoptimalkan keterlibatan tokoh masyarakat yang strategis dan memiliki kesadaran lingkungan

Terbentukny Forum Kader Perencana Desa Berbasis Lingkungan dan Forum Peduli Dieng atas inisiasi masyarakat serta disahkan melalui SK Bupati. (SK Bupati Wonosobo Nomor 180/25/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang

Pembentukan Tim Kerja Pemulihan Dieng) Kepala Bagian Tata Pemerintahah Kabupaten Wonosobo Fahmi Hidayat menilai keberadaan FPD amat penting sebagai penyelaras akselerasi program pemulihan lahan tandus. Upaya

penyadaran petani untuk mengurangi eksploitasi lahan kentang gagal terus dalam lima tahun terakhir karena kurang didukung tokoh-tokoh

masyarakat, di dalamnya kepala desa. (Dalam Kompas, 24 Desember 2008)

Pada tataran pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat yang melibatkan berbagaistakeholder, lokakarya menjadi sarana yang cukup efektif dalam memfasilitasi pembelajaran kolaboratif untuk pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan. Lokakarya yang telah dilakukan bertujuan untuk meletakkan dasar-dasar kolaborasi dengan cara mengembangkan pemahaman bersama di antara para peserta yang hadir serta mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi untuk

dikolaborasikan. Peluang utama dalam lokakarya adalah sarana memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk bertemu yang mungkin tidak akan terjadi jika lokakarya tidak ada. Pembangunan kapasitas menjadi lebih besar

dibandingkan masing-masing pihak bekerja sendiri. TKPD menjadi wadah utama dalam memadukan implementasi program dalam penanganan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan pegunungan Dieng. Sangat penting adanya pelibatan masyarakat terutama dalam

mengoptimalkan keterlibatan tokoh masyarakat yang strategis dan memiliki kesadaran lingkungan.

b. Bagaimana peran pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat?

Pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat secara aktif akan diikuti jika

memberikan manfaat bagi masyarakat terutama manfaat ekonomi.

Perlu adanya dukungan fisik dan kebijakan dalam upaya pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat

Pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat harusnya diterima sebagai perangsang upaya rehabilitasi yang berkelanjutan.

c. Bagaimana proses musyawarah dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat?

Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama

Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu

Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama

Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu

Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama

Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu


Dokumen yang terkait

Penentuan Lahan Kritis dalam Upaya Rehabilitasi Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan

4 40 58

Analisis Dampak Pengalihan Lahan Konservasi Hutan Bakau Menjadi Lahan Pertambakan Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara (Studi Kasus Desa Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura)

0 22 101

KAJIAN POLA PERTANIAN DAN UPAYA KONSERVASI DI DATARAN TINGGI DIENG KECAMATAN KEJAJAR KABUPATEN WONOSOBO

2 13 57

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Wonosobo (Kasus: Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah)

3 11 262

ANALISIS KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN BANDAR KABUPATEN BATANG PROPINSI JAWA TENGAH Analisis Kemampuan Lahan Di Kecamatan Bandar Kabupaten Batang Propinsi Jawa Tengah.

0 1 15

REHABILITASI LAHAN KRITIS BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN KEMUSU KABUPATEN BOYOLALI Rehabilitasi lahan kritis berbasis masyarakat di kecamatan kemusu kabupaten boyolali propinsi jawa tengah.

0 1 12

PENDAHULUAN Rehabilitasi lahan kritis berbasis masyarakat di kecamatan kemusu kabupaten boyolali propinsi jawa tengah.

0 1 18

Pola dan motivasi penggunaan obat tradisional untuk pengobatan mandiri di kalangan masyarakat desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah.

3 15 97

Kajian pengetahuan, sikap dan tindakan penggunaan obat tradisional untuk pengobatan mandiri di kalangan masyarakat Desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah.

8 19 105

Kajian pengetahuan, sikap dan tindakan penggunaan obat untuk pengobatan mandiri di kalangan masyarakat Desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah.

0 0 90