BAB V IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DALAM POLA PENGELOLAAN
HUTAN DAN LAHAN DI KECAMATAN KEJAJAR
Sub Sistem Kehutanan
Identifikasi pola pengelolaan hutan dilakukan dengan mengidentifikasi sejarah pengelolaan hutan, kondisi hutan saat ini dan aspek teknik kehutanan dan
sumberdaya manusia di Kecamatan Kejajar pada khususnya dan RPH Dieng pada umumnya.
Sejarah Singkat Pengelolaan Hutan di Kawasan Pegunungan Dieng.
Dataran tinggi Dieng pada jaman Mataram Kuno merupakan hutan perawan. Hal tersebut terungkap dari beberapa informasi naskah dan sastra kuno, misalnya
Serat Centini, kisah Paradin Dieng, dan masih banyak lagi. Dataran tinggi Dieng dikenal sebagai dataran tinggi yang gelap dan pekat. Dieng kala itu digambarkan
masih sebagai hutan perawan Sukatno 2004. Aktivitas manusia di Dataran Tinggi Dieng yang mulai memanfaatkan hutan
primer telah berlangsung sejak abad ke-8. Hal ini dapat ditelusuri dari jejak sejarah pada situs Dieng. Bukti-bukti prasasti menunjukkan bahwa kehidupan
situs Dieng berlangsung dari abad ke-8 sampai ke-13 Dumarcay 1986, diacu dalam Pudjoarianto 1996. Kelangsungan hidup situs Dieng tersebut dapat
digunakan untuk merefleksikan adanya aktifitas-aktifitas pada masa itu. Manusia merambah hutan untuk berbagai kebutuhan, seperti membangun rumah, kayu
bakar dan sumber kebutuhan lainnya. Aktivitas manusia di Dieng ditunjukkan pula oleh adanya bukti bekas jalan buatan berbatu di bagian utara antara
Pekalongan dan Gunung Kendeng, jalan yang diberi nama ‘Andha Budha’, di sebelah tenggara kawah Sikidang. Bukti arkeologis lain yaitu di Watu Kelir dekat
kelompok Candi Magersari. Bukti tersebut menunjukkan bahwa komplek percandian Dieng banyak dikunjungi orang.
Menurut Schelterna 1912 diacu dalam Pudjorianto 1996, tanpa adanya sebab-sebab yang jelas, sampai dengan 1800 Dataran tinggi Dieng ditinggalkan
oleh penduduknya. Proses perambahan hutan terulang kembali setelah tahun 1800 hingga sekarang. Akibat populasi penduduk di Dieng berkembang cepat, maka
kerusakan hutan untuk tempat pemukiman dan lahan-lahan pertanian bertambah besar. Sehingga hutan alami hanya terdapat di puncak Gunung Prau dan puncak-
puncak bukit lainnya. Pada tahun 1900 oleh pemerintah Belanda, kawasan hutan Gunung Bisma
ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pada tahun 1919 dilakukan tata batas di kawasan Gunung Bisma, yaitu seluas 2.219,9 hektar dan kemudian pada tahun
1923 ditentukan petak-petaknya. Selanjutnya oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 26 tanggal 26 Juli 1940, kawasan hutan Gunung Bisma
ditetapkan sebagai Cagar Alam Tlogo Warno Pangilon. Menurut Sukatno 2004, pada masa pemerintahan Belanda ini, di Dataran Tinggi Dieng banyak diusahakan
perkebunan buah-buahan khas Eropa dan Amerika yang dikelola oleh orang-orang Belanda.
Pada mulanya, kawasan hutan Pegunungan Dieng merupakan hutan rimba dengan keadaan topografi yang berbukit-bukit, bergelombang, bergunung-gunung
dengan lereng bergelombang sangat curam. Maka sebagian besar hutannya merupakan hutan lindung. Pada tahun 1958 telah dicoba tanaman pinus dan
berhasil baik. Mengingat keberhasilan tanaman pinus, maka dalam penyusunan buku RPKH jangka 1988-1997, untuk hutan bagian Wonosobo ditetapkan sebagai
Kelas Perusahaan Pinus, termasuk di dalamnya RPH Dieng Perhutani 1998.
Kondisi Hutan
Kecamatan Kejajar memiliki kawasan hutan negara terluas diantara empat kecamatan yang wilayahnya bersinggungan langsung dengan RPH Dieng yaitu
seluas 2.309,80 ha atau 90,23 dari luas total RPH Dieng. Kawasan hutan RPH Dieng dikelilingi oleh 20 desa. Desa Campursari di Kecamatan Kejajar
wilayahnya memiliki hutan terluas yaitu 256 ha dan Desa Surengede memiliki luas hutan terendah yaitu 14 ha. Kawasan hutan RPH Dieng terdiri dari 2
kompleks gunung, yaitu kompleks Gunung Prau di sebelah utara dan Gunung Bisma di sebelah selatan. Desa-desa yang masuk dalam kompleks Gunung Prau
antara lain: Desa Dieng, Patakbanteng, Jojogan, Parikesit, Igirmranak, Surengede dan Tieng. Sedangkan desa-desa yang masuk dalam kompleks Gunung Bismo
antara lain: Desa Sembungan, Sikunang, Campursari, Kalidesel, Mutisari, Krinjing, Dero Duwur, Slukatan, Tlogo, Menjer, Mlandi, dan Maron.
Desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kejajar lebih mudah diakses dari kantor RPH Dieng daripada desa-desa yang berada di Wilayah Kecamatan
lain. Sehingga letak desa yang jauh seringkali menyulitkan dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat desa tersebut. Kantor RPH Dieng berada di pinggir
jalan antara Wonosobo – Dieng yaitu di Desa Kejajar Kecamatan Kejajar. Kantor RPH Dieng berada 15 km dari pusat kota Wonosobo.
Kawasan hutan di RPH Dieng luasnya 2.560 ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.359Menhut-II2004 tanggal 1 Oktober 2004 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Jawa Tengah. Kawasan tersebut dibedakan menurut fungsinya menjadi hutan lindung 63,65, hutan produksi terbatas
34,99 dan Cagar AlamTaman Wisata Alam 1,36. Selengkapnya disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6 Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Fungsinya
Petak HL
ha HPT
ha CATWA
ha Jumlah ha
1 83,7
83,7 2
70,9 70,9
3 220,3
219,0 439,3
4 128,6
256,1 384,7
5 266,3
266,0 532,3
6 36,9
36,9 7
521,7 521,7
8 89,9
89,9 9
34,9 34,9
10 22,5
22,5 11
230,0 230,0
12 113,2
113,2
Jumlah 1.629,4 895,7
34,9 2.560,0
Sumber: SK Menhut No. 359Menhut-II2004
RPH Dieng merupakan Kelas Perusahaan Pinus dan wilayah hutannya dibagi sesuai dengan kelas hutannya sesuai dengan Tabel 7.
Tabel 7 Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Kelas Hutan
No Kelas
Hutan Luas ha
1 Tanah
Kosong TK
87,2 2
Tanaman Kayu
Lain TKL
43,5 3
Hutan Lindung
Terbatas HLT
763,6 4
Hutan Lindung
HL 1.614,4
5 Tak
Baik untuk
Produksi TBP
51,3 Jumlah
2560,0 Sumber: Perhutani 2006.
Hutan di RPH Dieng terdiri dari hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam yang ada seluas 973,5 ha dengan jenis tanaman antara lain bendo, mranak, sadan,
pucangan, wrakas dan pakis. Jenis-jenis pohon yang ada di hutan tanaman antara lain: pinus Pinus merkusii, puspa Schima noronhoe, rimba campur, akasia
Acacia decurens dan bintamin, dengan luas total 1.106,9 ha. Pada era reformasi tahun 1997-1998 terjadi perambahan hutan lindung oleh
masyarakat sekitar hutan untuk ditanami kentang. Penjarahan di Dataran Tinggi Dieng tersebut mencapai luas 714,9 ha Perhutani 2007. Hal tersebut
menyebabkan tanah kosong seluas 87,2 ha pada akhir jangka meskipun telah dilakukan penanaman. Disamping itu juga terdapat hutan tanaman dengan kondisi
tanaman yang jelek seluas 269,4 ha.
Pola Pengelolaan Hutan.
Mengingat kelas hutannya sebagian merupakan hutan lindung, RPH Dieng tidak pernah melakukan penebangan. Pengelolaan yang dilakukan hanya
membiarkan hutan tersebut sebagai perlindungan kawasan. Tebangan yang dilakukan adalah tebangan B1 yaitu tebang habis pada bidang-bidang tak
produktif tetapi baik untuk perusahaan tebang habis. Pada lapangan tak produktif disediakan untuk penghasilan kayu pinus, meliputi: tanah kosong, hutan pinus
rawang pertumbuhan kurang, dan hutan jenis kayu lain. Penebangan tersebut dilakukan pada petak-petak yang pertumbuhannya kurang atau jelek, kemudian
diganti dengan tanaman baru untuk mendapatkan tegakan yang lebih baik. Pembuatan tanaman merupakan hal yang harus berhasil dilakukan untuk
mencapai kelestarian hutan. Pembuatan tanaman di RPH Dieng terdiri dari tanaman pembangunan dan rehabilitasi hutan dan lahan. Tanaman pembangunan
dilakukan pada petak-petak yang telah dilakukan penebangan B1 dan tanaman RHL dilakukan dilakukan pada petak-petak yang kosong akibat penjarahan lahan
yang terjadi selama era reformasi dan kebakaran hutan. Jenis-jenis tanaman yang ditanam di hutan lindung sebagian besar adalah puspa, pinus, dan rimba campur.
Rimba campur biasanya terdiri dari jenis Akasia dan bintamin. Jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dan 5 x 2 m. Jarak tanam yang cukup lebar dipilih
karena alasan efisiensi namun sangat rawan bagi masyarakat untuk memanfaatkan
lahan yang kosong di sela-sela tanaman kehutanan untuk ditanami tanaman semusim seperti tanaman kentang dan sayuran lainnya.
Pohon akasia sangat rawan dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Selain merencek, masyarakat kadang juga menebang
pohon akasia meskipun masih muda karena kualitas kayu akasia cukup baik untuk kayu bakar. Namun sekarang hal tersebut sangat sedikit dilakukan oleh
masyarakat karena kebijakan pemerintah mengganti bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah yang semakin tinggi harganya menjadi gas elpiji yang lebih
rendah harganya dan lebih mudah didapatkan oleh masyarakat.
Sumberdaya Manusia
Keberadaan sumberdaya manusia sangat berpengaruh dalam keberhasilan program pembangunan apapun, termasuk dalam pembangunan dan rehabilitasi
hutan. Kemampuan sumberdaya manusia dalam pengelolaan hutan ikut menentukan keberhasilan dalam pembangunan dan rehabilitasi hutan, yang pada
akhirnya akan menuju pada kelestarian hutan itu sendiri. Di samping kemampuan, jumlah pegawai yang memadai dengan kawasan hutan yang harus dikelola juga
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan hutan. Sumberdaya manusia yang mengelola kawasan hutan di RPH Dieng
seluruhnya berjumlah 9 orang terdiri dari 1 orang kepala RPH, 2 orang mandor polter, 3 orang mandor tanam dan pemeliharaan, 1 orang mandor USTtanam, 1
orang mandor VHFtanam dan 1 orang mandor persemaian tanam. Keterbatasan jumlah pegawai menyebabkan rangkap tugas mandor. Seluruh pegawai di RPH
Dieng umumnya berpendidikan SLTA dan tidak ada yang secara khusus berpendidikan formal di bidang kehutanan. Pengetahuan pengelolaan hutan
didasarkan pada pengalaman, petunjuk teknis pelaksanaan dan pengarahan dari atasan.
Jumlah pegawai tidak sebanding dengan luas hutan yang harus dijaga dan dikelola yaitu seluas 2.560 ha. Hutan yang begitu luas harus dijaga oleh 2 orang
mandor polter yang tugasnya mengamankan hutan. Jika seluruh pegawai juga menjaga hutan, maka setiap orang harus menjaga hutan seluas sekitar 284,44 ha.
Sangat diluar batas kemampuan seseorang untuk mengelola hutan seluas itu
apalagi dengan berbagai kondisi dan tekanan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Mengingat keterbatasan sumberdaya manusia dan besarnya tekanan masyarakat terhadap hutan, untuk dapat mengamankan seluruh kawasan hutan
diperlukan partisipasi dari masyarakat setempat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Masyarakat akan bersedia menjaga kelestarian hutan jika masyarakat
memperoleh keuntungan ekonomi dalam jangka pendek yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keuntungan ekonomi jangka panjang seperti ketersediaan air
yang cukup kurang menjadi alasan yang populer untuk mengajak masyarakat ikut berperan dalam menjaga kelestarian hutan. Melalui pendekatan social forestry
dengan program PHBM, kepentingan kedua belah pihak dapat diakomodir dengan solusi yang saling menguntungkan. Kepentingan pengamanan hutan bagi
pengelola hutan dan kepentingan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi masyarakat sekitar hutan.
Tugas lebih berat harus dilakukan oleh mantri dan mandor dalam hal pendekatan kepada masyarakat. Mantri dan mandor harus lebih memposisikan diri
sebagai bagian dari masyarakat tersebut karena secara karakter manusiawi daerah pedesaan sopan santun dan rasa segan masih dijunjung tinggi.
Sub Sistem Pertanian
Sub sistem pertanian merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan dan rehabilitasi lahan di Kawasan Pegunungan Dieng, mengingat
sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, baik petani lahan milik maupun buruh tani. Pertanian yang diusahakan merupakan pertanian lahan
kering dengan mengolah tanah tegalan untuk ditanami tanaman pangan dan sayuran bernilai ekonomi tinggi terutama kentang.
Sejarah Singkat Pengelolaan Lahan di Kawasan Pegunungan Dieng.
Pembukaan lahan pertanian di Dataran Tinggi Dieng seperti pada umumnya yang terjadi di daerah pegunungan di Jawa. Pembukaan hutan di lereng
pegunungan di Jawa telah dimulai sejak akhir abad ke 18. Penduduk di wilayah kerajaan Yogjakarta dan Surakarta merupakan yang pertama-tama melakukan
pembukaan lahan pertanian di lereng pegunungan. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya kewajiban yang harus dibayarkan kepada pemerintahan feodal pada waktu itu. Mereka mencari perlindungan dari tekanan kewajiban dan pajak di
pegunungan-pegunungan. Penyebab lain dibukanya lahan lereng pegunungan Jawa adalah terjadinya perang besar di Jawa Perang Diponegoro pada tahun
1825-1830. Hal itu memaksa penduduk di dataran bawah mencari perlindungan di lereng-lereng pegunungan. Setelah perang selesai, banyak penduduk yang tidak
dapat kembali ke tempat asalnya. Mereka menetap dan membuka lahan pertanian di hutan di lereng pegunungan. Perpindahan penduduk secara besar-besaran
tersebut dibuktikan oleh catatan Junghun 1853-1954 yang menyatakan bahwa sekitar tahun 1830 terjadi perubahan distribusi geografis penduduk di Jawa
dibanding dengan setengah abad sebelumnya, terutama di Jawa bagian Tengah, yaitu ditempatinya daerah pegunungan dan gunung yang semula tidak ditinggali.
Hal selanjutnya yang mempengaruhi tipe pembukaan lahan hutan di pegunungan jawa adalah saat pemerintah Belanda mengembangkan penanaman
kopi Arabika yang bernilai tinggi di daerah dengan ketinggian sekitar 2.000 – 4.500 kaki sekitar 609,6-1371,6 m dpl pada pertengahan abad ke-19. Penanaman
kopi tersebut membawa keuntungan yang besar kepada pemerintah dan mendorong dibukanya lahan-lahan baru di lereng gunung untuk ditanami kopi.
Namun kejayaan tanaman kopi berangsur-angsur pudar pada tahun 1915-1920. Penyebabnya adalah penyakit daun yang menyerang tanaman kopi, yang secara
nyata menghancurkan hampir semua tanaman kopi Arabika. Selanjutnya tanaman yang tidak berharga tersebut dibabat habis dan kemudian ditumbuhi oleh rumput
dan semak. Area bekas perkebunan kopi tersebut dilepaskan oleh pemerintahan Belanda dan didistribusikan kepada penduduk pribumi sehingga pemilik tanah di
pegunungan bertambah banyak. Setelah kegagalan tanaman kopi, pemerintah Belanda mendorong pemilik
tanah yang baru petani pedesaan untuk menanami lahannya dengan kopi varietas baru yang terjamin tahan terhadap penyakit daun, yaitu kopi Robusta.
Bagaimanapun puluhan tahun melakukan penanaman kopi di bawah paksaan membuat petani pada akhirnya menolak menanam kopi kembali. Disamping itu
mereka kekurangan modal dan keahlian untuk menanam kopi dengan hasil yang memadai, bahkan mereka menanami bekas perkebunan kopi itu dengan tanaman
pangan. Inilah awal dari penanaman tanaman pangan secara besar-besaran di daerah lereng pegunungan yang semula berupa hutan itu Palte 1980, diacu dalam
Fahmi 2003. Menurut Ngabidin et al. 2003, sejarah pemanfaatan lahan pertanian di
sekitar Kecamatan Kejajar, pada awalnya penduduk bertani tanaman peutrem, kemudian mereka beralih pada tanaman tembakau garangan sekitar tahun 1965
dengan menggunakan lahan milik sendiri. Beberapa tahun kemudian berganti dengan tanaman kol, akan tetapi masih banyak penduduk menanam tembakau
garangan. Pada tahun 1974 tanaman kentang masuk ke wilayah Dieng. Sejak saat itu sebagian masyarakat beralih ke tanaman kentang kemudian tahun 1984
tanaman kentang dijadikan sumber pertanian bagi mereka yang mempunyai lahan cukup banyak. Dari keberhasilan sebagian orang yang menanam kentang, pada
tahun 1986 sebagian besar masyarakat mengubah pertanian tembakau manjadi tanaman kentang dengan lahan yang dimiliki hingga kini. Semula masyarakat
menanam kentang dengan sedikit lahan miliknya, namun belum dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kemudian pada awal tahun 1997 mereka
bersama-sama menjadikan hutan sebagai lahan kentang. Lahan pertanian penduduk di Dataran Tinggi Dieng merupakan lahan di
lereng pegunungan, sehingga ketersediaan lahan untuk kegiatan pertanian sangat terbatas dan tidak mungkin menambah luasan tanpa mengkonversi hutan. Tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi di Kecamatan Kejajar, yaitu 847 jiwa per km
2
. Dengan kepadatan penduduk dan luas lahan yang ada tersebut, mendorong
masyarakat untuk merambah hutan lindung untuk dijadikan lahan pertanian.
Rasio Pemilikan Lahan
Rasio kepemilikan lahan menggambarkan luas lahan yang dimiliki oleh setiap kepala keluarga terhadap luas total lahan yang ada. Luas lahan per keluarga
di Kecamatan Kejajar disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8 Luas Pemilikan Lahan Per Keluarga
No Desa Jumlah
KK Luas
Sawah ha
Luas Pekarangan
ha Luas
Tegal ha
Jumlah Lahan
ha Rasio
Lahan haKK
1 Buntu 692 0 12,04 284,81
296,85 0,43
2 Sigedang 847 0 13,51 295,08
308,58 0,36
3 Tambi 1.510 0 15,75
198,43 214,18
0,14
Tabel 8 lanjutan No Desa
Jumlah KK
Luas Sawah
ha Luas
Pekarangan ha
Luas Tegal
ha Jumlah
Lahan ha
Rasio Lahan
haKK 4 Kreo
425 0 5,28 195,11 200,38 0,47
5 Serang 1.202 0 12,18
264,97 277,15
0,23 6 Kejajar
968 0 11,07 182,80 193,87
0,20 7 Igirmranak
199 0 2,94 67,33 70,28 0,35
8 Surengede 1.021 0 14,99
331,01 346,00
0,34 9 Tieng
1.261 0 8,66
175,34 184,00 0,15 10 Parikesit
573 0 5,62 179,38 185,00 0,32
11 Sembungan 331 0 7,80
189,70 197,50 0,60 12 Jojogan
408 0 9,38 97,62 107,00 0,26
13 Patakbanteng 652 0 8,33
137,55 145,88 0,22 14 Dieng
649 0 10,06 79,94 90,00
0,14 15 Sikunang
698 0 9,26 135,59 144,85 0,21
16 Campursari 715 0 10,34 251,67
262,00 0,37
Jumlah 12.151
0 157,21 3.066,3
3.223,51 0,30
Luas Rata-rata per KK 0 0,01
0,25 0,27 Sumber: BPS Kab. Wonosobo, 2008 diolah
Dari tabel di atas terlihat bahwa tidak ada satu orang masyarakat pun yang mengusahakan lahan sawah. Lahan di masyarakat adalah lahan kering, yaitu
tegalan dan pekarangan, masing-masing rasio kepemilikan lahannya adalah 0,25 haKK dan 0,01 haKK. Sedangkan rasio kepemilikan lahan di Kecamatan Kejajar
adalah 0,30 haKK.
Pola Pengelolaan Lahan Pertanian
Pola pengelolaan lahan pertanian di Kawasan Pegunungan Dieng khususnya di Kecamatan Kejajar sangat penting diketahui dalam proses pembelajaran sosial
upaya rehabilitasi hutan dan lahan karena pola pertanian yang dilakukan akan sangat berpengaruh terhadap upaya pelestarian hutan sebagai pelindung tata air.
Dalam pelaksanaanya nanti, diperlukan introduksi teknologi baru yang sedikit mengubah cara dan sistem pertanian lahan kering yang sudah dikenal masyarakat
selama ini. Hal tersebut diperlukan agar pola pengelolaan lahan yang baru dapat berjalan sinergis dengan upaya pelestarian lingkungan.
Sumberdaya lahan telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menghasilkan tanaman pangan maupun tanaman lain yang bernilai ekonomi tinggi seperti
kentang, tembakau dan beberapa jenis sayuran khas dataran tinggi lainnya. Lahan pertanian dapat ditanami 2 atau 3 kali dalam setahun tergantung ketersediaan
sumber air dan jenis tanaman yang ditanam. Pola tanam yang biasa dilakukan di Kecamatan Kejajar bagian bawah seperti Desa Kreo dan Buntu adalah menanam
tembakau-jagung-kentang atau tembakau-kubis-kentang dan bagian atas seperti Desa Patak Banteng, Tieng dan sekitarnya adalah kentang-kentang-kentang atau
kentang-kentang-kubis. Penanaman umumnya dilakukan secara monokultur sehingga keuntungan
ekonomi yang diperoleh maksimal. Namun ada juga penduduk yang menanam secara tumpang sari dengan tanaman lain, terutama di pinggiran teras dengan
tanaman lombok bandung dan kacang dieng. Beberapa orang bahkan menanam tanaman keras di lahan pertaniannya, namun dalam jumlah yang sangat terbatas.
Hal ini dilakukan agar matahari tetap dapat diserap secara optimal oleh tanaman pertanian. Penanaman tanaman kayu-kayuan sangat jarang dilakukan oleh
masyarakat karena mengganggu pertumbuhan tanaman pertanian dari tajuknya yang menghalangi penyinaran tanaman.
Mengingat lahan tegalan terletak pada lereng dan punggungan gunung, maka lahan yang dimiliki berupa lahan miring. Untuk mengelola lahannya
masyarakat telah membuat teras bangku yang diperkuat dengan batu, teras bangku sederhana atau bahkan hanya diolah tanpa dibuat teras. Teras-teras ini umumnya
juga telah dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan bangunan terjunan air. Meskipun sebagian lahan telah dibuat teras, namun dalam pembuatan guludan
pada teras-teras untuk bidang tanaman kentang dilakukan searah dengan lereng seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Guludan Bidang Tanaman Kentang Searah Lereng.
Pembuatan guludan tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam pengelolaan dan jumlah bibit yang ditanam lebih banyak. Disamping itu, guludan
yang searah lereng juga membuat air dapat mengalir lancar dan tidak menggenang yang dapat menyebabkan tanah menjadi becek sehingga dapat menyebabkan
penyakit busuk buah pada tanaman kentang. Pola pertanian yang tidak sesuai kaidah konservasi tersebut telah
menyebabkan pengurasan kesuburan tanah akibat lapisan tanah yang subur terbawa oleh air limpasan ke sungai. Pembuatan guludan searah lereng
menyebabkan laju erosi menjadi semakin tinggi, sehingga berdampak pada penurunan tingkat kesuburan tanah karena hilangnya lapisan tanah atas yang
mengandung banyak hara. Berdasarkan laporan TKPD tahun 2008, tingkat erosi di Dataran Tinggi Dieng mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002,
tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai DAS Serayu mencapai 4,21 mm, dan 13,7 mm di hulu DAS Merawu. Tingkat erosi di tahun 1990 tidak pernah melebihi
2 mm per tahun di kedua tempat tersebut. Ditambah lagi pertambahan sedimen di Waduk Sudirman, Sungai Serayu, sejak tahun 1989. Pendangkalan di waduk ini
telah mencapai 60,11 m
3
atau 40 dari kapasitas waduk. Penambahan sedimen tertinggi terjadi selama tahun 2000 7,11 m
3
pada saat terjadi penggundulan hutan besar-besaran di dataran tinggi Dieng.
Penurunan kesuburan tanah tersebut oleh petani diantisipasi melalui pemberian pupuk kandang agar tanah tidak semakin kritis. Pemberian pupuk
kandang ini menambah input faktor produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Disamping itu, pupuk kandang yang digunakan juga menyebabkan
pencemaran air jika terbawa oleh air limpasan masuk ke badan sungai. Pupuk kandang yang umumnya berupa kotoran unggas atau ternak, menimbulkan aroma
yang tajam dan menyengat hidung sehingga menyebabkan pencemaran udara. Pembuatan guludan dan penanaman yang searah dengan kontur nyabuk
gunung dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal tersebut tidak menarik bagi sebagian besar petani karena manfaat ekonomi jangka pendek akan berkurang.
Penanaman searah dengan kontur sangat bermanfaat bagi aspek ekologi dan ekonomi karena dapat menurunkan biaya produksi pertanian dalam jangka
panjang.
Sub Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat
Sub sistem sosial merupakan sistem yang selalu berkembang secara dinamis seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk
menuntut pemenuhan kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk hidup. Berbagai permasalahan yang dihadapi sub sistem sosial akan berpengaruh terhadap usaha
rehabilitasi hutan dan lahan. Permasalahan yang umum terjadi pada sub sistem sosial antara lain angkatan kerja yang tidak terserap oleh lapangan kerja yang ada
serta kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi.
Angkatan Kerja dan Lapangan Pekerjaan
Jumlah angkatan kerja berkaitan erat dengan jumlah penduduk. Perkembangan jumlah penduduk yang terus meningkat akan menuntut
ketersediaan lapangan pekerjaan agar tidak terjadi pengangguran. Lapangan pekerjaan yang tersedia di pedesaan lebih banyak di sektor pertanian. Dalam hal
ini rasio pemilikan lahan merupakan faktor pembatas terhadap jumlah angkatan kerja yang dapat di serap di sektor pertanian. Kepadatan penduduk di Kecamatan
Kejajar cukup tinggi, kepadatan penduduk rata-rata di Kecamata Kejajar adalah 847 jiwa per km
2
. Kepadatan penduduk disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kejajar No. Desa
Luas Wilayah km
2
Jumlah Penduduk Jiwa
Kepadatan Penduduk Jiwakm
2
1 Buntu 3,34
2.369 709
2 Sigedang 10,82
2.909 269
3 Tambi 4,12
5.131 1.246
4 Kreo 2,84
1.598 562
5 Serang 3,66
4.643 1.270
6 Kejajar 5,83
3.441 591
7 Igirmranak 1,10
676 615
8 Surengede 3,64
3.618 995
9 Tieng 2,22
4.212 1.897
10 Parikesit 2,09
1.959 937
11 Sembungan 2,66
1.127 424
12 Jojogan 1,26
1.459 1.158
13 Patakbanteng 2,30
2.525 1.100
14 Dieng 2,82
2.139 759
15 Sikunang 3,74
2.041 546
16 Campursari 5,21
2.446 469
Jumlah 57,62
42.293 847
Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008
Angka kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan rasio kepemilikan lahan yang kecil. Pada situasi pemilikan lahan yang kecil, pada masyarakat petani
biasanya terdapat pengangguran tak kentara Simon 2004. Pengangguran tak kentara bisa diukur dengan menghitung luas areal pertanian sekarang dan luas
areal yang diperlukan satu keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut Hardjosoediro 1997, dalam keadaan normal satu keluarga petani dapat
mengerjakan sawah tadah hujan seluas 0,7 ha dan tegalan 0,3 ha, sedangkan menurut Simon 1983, untuk daerah pertanian yang relatif kurang subur, luas
minimum yang dibutuhkan 1 keluarga setara dengan 0,79 ha ekuivalen sawah tadah hujan ESTH.
Untuk mengetahui tingkat pengangguran petani, perlu diketahui jumlah keluarga yang bekerja sebagai petani, yaitu petani pemilik lahan dan buruh tani
dan luas lahan minimal yang diperlukan satu keluarga petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dinyatakan dalam ESTH. Luas lahan pertanian minimal
yang diperlukan oleh masyarakat petani di suatu desa dapat diketahui dari jumlah KK dikalikan dengan 0,79 ha ESTH.
Dari Lampiran 4 diketahui bahwa jumlah penduduk Kecamatan Kejajar yang bekerja sebanyak 23.213 jiwa, sedangkan jumlah petani dan buruh tani
adalah 17.936 jiwa. Apabila diasumsikan anggota masyarakat yang bekerja sebagai petani menyebar merata sesuai dengan persebaran penduduk di masing-
masing desa, maka jumlah keluarga yang bekerja di bidang pertanian dalam penelitian ini sebanyak 9.357 KK.
Dengan menggunakan pedoman yang ada, dapat ditentukan terdapat surplus atau defisit lahan pertanian, sehingga dapat diketahui ada tidaknya pengangguran
yang disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Luas Lahan Pertanian Minimum yang Dibutuhkan di Kecamatan Kejajar No Desa
Jumlah Petani
Luas Pekara
ngan Luas
Tegal Total
Luas Lahan
Luas Lahan
Min Keterangan
KK ha ha ESTH ESTH
1 Buntu 564 12,04
284,81 89,06 445,41 Defisit
2 Sigedang 565 13,51
295,08 92,57 446,09 Defisit
3 Tambi 1.027 15,75 198,43 64,25 811,27
Defisit 4 Kreo
347 5,28 195,10 60,11 274,37
Defisit 5 Serang
946 12,18 264,97 83,15 747,32
Defisit
Tabel 10 lanjutan No Desa
Jumlah Petani
Luas Pekara
ngan Luas
Tegal Total
Luas Lahan
Luas Lahan
Min Keterangan
KK ha ha ESTH ESTH
6 Kejajar
659 11,07 182,80 58,16 520,23
Defisit 7 Igirmranak
178 2,94 67,33 21,08 140,53 Defisit
8 Surengede 860
15,00 331,01 103,80 679,54 Defisit
9 Tieng 1.071 8,66 175,34 55,20 845,92
Defisit 10 Parikesit
454 5,62 179,38 55,50 358,42
Defisit 11 Sembungan
295 7,80 189,70 59,25 233,02
Defisit 12 Jojogan
351 9,38 97,62 32,10 277,40 Defisit
13 Patakbanteng 470 8,33 137,55
43,76 371,02 Defisit
14 Dieng 449 10,06
79,94 27,00 354,75 Defisit
15 Sikunang 547 9,26 135,59
43,45 431,98 Defisit
16 Campursari 576 10,34
251,67 78,60 454,96 Defisit
Jumlah 9.357 157,21
3.066,31 967,05 7.392,22
Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008 diolah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat kekurangan lahan pertanian seluas 6.425,17 ha ESTH atau setara dengan atau setara dengan 8.133 KK.
Seluruh desa di Kecamatan Kejajar mengalami defisit lahan pertanian. Defisit paling besar di Desa Tieng. Di Desa ini memang yang bekerja sebagai petani
cukup banyak. Kekurangan lahan paling kecil dialami Desa Igirmranak dan memang yang bekerja sebagai petani relatif sedikit.
Kekurangan lahan pertanian tersebut menyebabkan terjadinya penganguran tak kentara di Kecamatan Kejajar. Pengangguran tak kentara ini dapat diamati dari
adanya waktu kosong, tidak ada pekerjaan bagi buruh tani setelah tanaman semusim ditanam dan menunggu masa panen. Selain itu tidak banyak penduduk
usia produktif usia muda yang merantau ke luar daerah. Nampaknya budaya merantau bukan merupakan kebiasaan penduduk di dataran tinggi ini. Hal ini juga
terlihat dari data kependudukan BPS setempat yang menunjukkan sedikitnya penduduk yang pindah ke luar daerah. Pengangguran juga menunjukkan adanya
surplus tenaga kerja, yang tidak dapat diantisipasi dengan baik dapat menimbulkan kerawanan bagi keamanan kawasan hutan.
Oleh sebab itu, usaha rehabilitasi hutan dan lahan di Kecamatan Kejajar harus dapat diupayakan untuk memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat
sekitar hutan atau dengan menyediakan lahan di hutan untuk kegiatan ekonomi
produktif namun tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan asas hutan lestari sehingga fungsi perlindungan terhadap tata air dapat dipertahankan.
Kebutuhan Pangan
Kebutuhan pangan yang dihitung dalam penelitian ini sesuai dengan makanan pokok kebanyakan penduduk di Kecamatan Kejajar, yaitu beras. Dalam
hal ini kebutuhan pangan tidak dihitung berdasarkan hasil survey di lapangan, melainkan menggunakan angka normatif. Angka normatif yang digunakan sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Simon 1994 yaitu konsumsi beras per kapita adalah 0,31 kghari. Kebutuhan pangan dihitung dari jumlah penduduk dikalikan
dengan kebutuhan pangan per kapita di setiap desa sekitar hutan. Jumlah penduduk di Kecamatan Kejajar tahun 2008 adalah 42.293 jiwa, maka besarnya
konsumsi beras di Kecamatan Kajajar adalah 13.110,83 kghari atau 4.785,45 tontahun.
Produksi tanaman pangan di Kecamatan Kejajar menurut BPS Wonosobo 2008 adalah jagung, ubi jalar, dan ubi kayu. Produksi pangan dinyatakan dalam
ekuivalen beras, dengan menggunakan asumsi yang dipakai Simon 2000 yaitu 1 kg gabah setara dengan 0,33 kg beras, 1 kg ketela pohon dan ubi jalar setara
dengan 0,13 kg beras. Dari asumsi tersebut dapat diketahui bahwa produksi pangan di Kecamatan Kejajar seperti pada Tabel 11 di bawah ini. Dengan total
produksi pangan ekuivalen beras sebesar 678,19 tontahun, setiap tahun di Kecamatan Kejajar mengalami defisit pangan sebesar 4.107,26 tontahun sehingga
harus mendatangkan pangan dari daerah lain. Tabel 11 Produksi Pangan di Kecamatan Kejajar
No Jenis
tanaman Pangan
Produksi ton
Ekuivalen Besar
ton 1
Jagung 1.985
655,05 2
Ubi Kayu 84
10,92 3
Ubi Jalar 94
12,22 Jumlah
678,19 Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008 diolah
Keterbatasan produksi pangan di Kecamatan Kejajar disebabkan oleh kondisi ketinggian tempat dan iklim yang tidak cocok untuk budidaya tanaman
pangan. Petani di Kecamatan Kejajar lebih banyak membudayakan tanaman kentang, sayur-sayuran dan tembakau. Keterbatasan produksi pangan tersebut
juga memaksa sebagian masyarakat yang tidak mampu membeli beras,
menggunakan jagung sebagai makanan pokoknya. Dengan kondisi tersebut dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan harus memberikan peluang kepada
masyarakat untuk dapat menghasilkan pangan dari lahan dan hutan atau memberikan peluang kerja bagi masyarakat terutama buruh tani untuk
memperoleh pendapatan dari lahan hutan sehingga dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pangannya.
Kebutuhan Pakan Ternak
Peternakan merupakan pekerjaan sampingan yang biasa dilakukan oleh masyarakat petani. Hal tersebut dilakukan petani untuk menambah pendapatan
atau sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Mengingat hal tersebut, kegiatan beternak merupakan
kegiatan ekonomi yang cukup penting bagi masyarakat di Kecamatan Kejajar. Dengan demikian, peternakan rakyat harus dipertimbangkan agar kegiatan
peternakan tersebut tidak berpotensi menimbulkan kerusakan hutan dan lahan terkait dengan pemenuhan kebutuhan pakan ternak.
Dengan mengetahui jumlah ternak yang ada di Kecamatan Kejajar, dapat diperhitungkan jumlah hijauan pakan ternak HMT yang diperlukan. Jumlah
ternak yang ada diketahui dari data yang diperoleh dari BPS Kabupaten Wonosobo tahun 2008, adalah sapi 116 ekor dan domba 5.701 ekor. Kebutuhan
HMT untuk kerbau adalah 45 kgekorhari, sapi dan kuda 30 kghariekor serta kambing dan domba 10 kghariekor. Dengan perhitungan asumsi tersebut dapat
diketahui jumlah kebutuhan HMT yang disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12 Kebutuhan Hijauan Pakan Ternak di Kecamatan Kejajar
No. Jenis
Ternak Produksi ekor Kebutuhan HMT tontahun
1 Sapi 116
1.270,20 2
Kambing dan
Domba 5.701
20.808,65 Jumlah
22.078,85 Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008 diolah
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa, jumlah HMT di Kecamatan Kejajar adalah 22.078,85 tontahun. Untuk konsumsi ternak sapi sebesar 1.270,20
tontahun sedangkan kambing dan domba sebesar 20.808,65 tontahun. Mengingat letak Kecamatan Kejajar di dataran tinggi, keterbatasan lahan yang dimiliki
masyarakat berpengaruh dalam pemilihan jenis ternak yang dipelihara.
Keterbatasan luas lahan tidak memungkinkan untuk membuat kandang bagi ternak besar, disamping akan sulit memperoleh HMT yang cukup banyak karena lahan
pertanian yang dimiliki ditanami tanaman kentang, sayuran dan tembakau sebagai modal utama memenuhi kebutuhan pokoknya. Untuk memenuhi kebutuhan HMT,
masyarakat di Kecamatan Kejajar memperoleh dari lahan miliknya atau dari hutan. Pengambilan HMT dari lahan hutan seringkali menyebabkan kerusakan
hutan karena penduduk melakukan perencekan, terutama pada pohon akasia untuk diambil daunnya sedangkan batangnya untuk kayu bakar. Disamping itu, kadang
masyarakat menggembalakan ternak di hutan terutama desa yang dekat dengan kawasan hutan yang relatif datar. Penggembalaan ternak ini menyebabkan
kerusakan hutan, disamping terjadi pemadatan tanah juga menyebabkan matinya tanaman muda.
Untuk melihat kepadatan ternak dapat dinyatakan dalam satuan Unit Ternak UT. Setiap sapi, kerbau atau kuda memiliki 0,75 UT dan kambing atau domba
memiliki 17 UT Donie 1987. Dengan asumsi tersebut, kepadatan ternak di Kecamatan Kejajar adalah 901,43 UT. Luas hutan negara di Kecamatan Kejajar
adalah 2.309,80 ha, sehingga kepadatan ternak terhadap lahan sebesar 901,43 UT: 2.309,80 ha atau 0,39 UTha. Hal ini berarti setiap hektar lahan menanggung 0,39
UT. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan hutan negara Kecamatan Kejajar, pemenuhan kebutuhan HMT sebanyak 22.078,85 tontahun
dan luas hutan negara 2.309,80 ha, maka setiap hektar hutan akan memproduksi pakan ternak rata-rata sebesar 9,56 tontahun. Jika angka produksi ini dapat
disediakan di lahan hutan, diharapkan kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan perencekan dapat dihindarkan.
Tingkat Kesejahteraan dan Penghasilan Masyarakat
Tingkat kesejahteraan masyarakat berhubungan erat dengan tingkat penghasilan dan konsumsi masyarakatnya. Dari identifikasi ini, dapat digunakan
sebagai acuan dalam mengembangkan ekonomi produktif berbasis masyarakat lokal yang ramah lingkungan. Masyarakat akan memilih untuk tetap
mengusahakan ekonomi produktif yang saat ini dilakukan jika dari hasil penggantian usaha ekonomi produktif dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan
kurang menguntungkan.
Tingkat kesejahteraan dihitung berdasarkan beberapa variable yang layak dan operasional BPS 2000, yaitu: luas lantai per kapita, jenis lantai, ketersediaan
air bersih, keberadaan jamban, kepemilikan aset, variasi konsumsi lauk pauk, pembelian pakaian, kehadiran dalam kegiatan sosial. Sebagian besar keluarga di
Kecamatan Kejajar berada pada tahap pra keluarga sejahtera yaitu 4.496 KK 37,00. Hal ini berarti tingkat kesejahteraan rata-rata masyarakat di Kecamatan
Kejajar berdasarkan BPS masih tergolong rendah. Tingkat kesejahteraan masyarakat Kecamatan Kejajar disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Banyaknya Keluaga dan Tahapan Sejahtera Kecamatan Kejajar 2008
No Desa Jumlah
KK TahapanSejahtera KK
Pra KS KS
I KS
II KSIIIIII+ KSIII+
1 Buntu 692 267 100 74 230 21
2 Sigedang 847 258 96 80 278 135
3 Tambi 1.510
606 275 138 454 37
4 Kreo 425 189 52 83 46
55 5 Serang
1.202 378 222 194 366
42 6 Kejajar
968 345 314 148 131 30 7 Igirmranak
199 83 72 36 6 2
8 Surengede 1.021
484 175 125 185 52
9 Tieng 1.261
633 215 129 157 127
10 Parikesit 573 170 85 99 134 85
11 Sembungan 331 103 77 63 47
41 12 Jojogan
408 100 55 96 121 36 13 Patakbanteng
652 177 150 143 131 51 14 Dieng
649 176 65 114 252 42 15 Sikunang
698 234 236 116 88 24
16 Campursari 715 293 115 142 111 54
Jumlah 12.151
4.496 2.304 1.780 2.737 834 Persen
100 37,00 18,96 14,65 22,52 6,86
Sumber: BPS Kabupaten Wonosobo 2008 Berdasarkan survai dari Tim Grand Design Rencana Tindak Penataan dan
Pemulihan Kawasan Dieng RTPPKD tahun 2007, sebagian besar masyarakat mempunyai penghasilan kurang dari Rp. 1.000.000,00 per bulan. Bahkan ada
sebagian kecil masyarakat berpenghasilan di bawah Rp. 500.000,00 per bulan. Tingkat penghasilan perbulan antara Rp. 1.000.000,00 sampai Rp. 2.000.000,00
banyak terdapat pada wilayah dengan mata pencaharian utama dari budidaya tanaman kentang dan kopi.
Pertanian kentang merupakan usaha tani yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat. Ada yang selama satu tahun mengusahakan kentang hingga 3 kali
masa tanam. Namun, akhir-akhir ini petani mengeluhkan tentang penurunan kuantitas produksi dan harga jual kentang. Berdasarkan hasil surve secara
purposive sampling kepada 10 responden petani kentang di 4 desa di Kecamatan Kejajar, yaitu Desa Buntu, Kreo, Patak Banteng dan Sigedang, didapatkan data
rata-rata analisis usaha pertanian kentang per hektar yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Analisis Usaha Pertanian Kentang di Masyarakat Kejajar
Komponen Kebutuhan
Satuan BiayaRp TotalRp
Pengeluaran Bibit Kentang
1.350 Kg
5.800 7.830.000 Pupuk Kandang
3,5 Rit 1.250.000
4.375.000 Pupuk Kimia
Ponsca 4 Sak
100.000 400.000 TS
6 Sak 90.000 540.000
SP 3 Sak
90.000 270.000 Urea
4 Sak 70.000 280.000
Mulsa 4
Rol 500.000 2.000.000
Ancir tali 2.000.000
Pestisida 89 drum 100.000
8.900.000 Pengolahan Tanah tanam
Borongan 2.500.000
Tenaga Kerja matun Boronganharian
1.000.000 Tenaga Kerja obat
48 HOK 15.000 720.000
Pemanenan Borongan
1.000.000 Sewa Lahan
1 Hamusim 4.000.000
Total Pengeluaran 35.815.000
Pemasukan
Hasil panen 10.150
Kg 4.000 40.600.000
Bibit Sisa 1.350
Kg 2.500 3.375.000
Keuntunganhamusim tanam 8.160.000
Sumber: Data primer diolah Dari hasil perhitungan rata-rata 10 responden tersebut,. Jika diasumsikan
bahwa musim tanam kentang selama 3 – 4 bulan, maka rata-rata penghasilan responden petani kentang antara Rp. 2.720.000,00 sampai Rp. 2.040.000,00 per
bulan. Berdasarkan pengakuan responden petani kentang yang menanam kentang 3 kali setahun, rata-rata hanya mengalami keuntungan 1 – 2 masa tanam.
Disimpulkan bahwa penanaman kentang selama 3 kali setahun akan memberikan penghasilan rata-rata responden kurang dari Rp. 2.000.000,00 per bulan.
Sebagian kecil responden masyarakat Kecamatan Kejajar lebih memilih untuk tidak secara terus-menerus menanam tanaman kentang selama 3 kali
setahun. Ada yang diselingi tanaman sayuran seperti kol, wortel, cabai, jipang dan jagung walaupun harga jual sangat dipengaruhi kondisi pasar. Namun ada
masyarakat yang justru mengusahakan ternak kambing dan domba. Beberapa responden beranggapan bahwa usaha peternakan lebih menguntungkan dari pada
usaha pertanian pada saat ini. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa alasan, diantaranya harga jual kentang dan pupuk yang tidak stabil. Selain itu juga
penaggalan musim yang sangat sulit diduga. Berdasarkan hasil surve pada peternak domba dan kambing, usaha ekonomi
produktif masyarakat yang sebanding dengan usaha pertanian kentang adalah ternak kambing atau domba. Analisis usaha ternak jenis Marino dan Dombos
kualitas sedang yang cocok diusahakan di Kecamatan Kejajar dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Analisis Usaha Ternak Kambing atau Domba di Masyarakat Kejajar
Komponen Jumlah Satuan
HargaRp TotalRp
Bibit Betina 10 Ekor
1.500.000 15.000.000 Bibit Jantan
2 Ekor
1.500.000 3.000.000 Perawatan pakan
12 Ekorhari 1.000 2.160.000
Hasil penjualan anak 15 Ekor
750.000 11.250.000 Keuntungan total6bulan
9.090.000
Sumber: Data primer diolah Berdasarkan pengalaman peternak yang telah mengusahakan ternak domba,
domba beranak rata-rata 1 – 2 ekor per peranakan selama 6 bulan sehingga diasumsikan domba beranak 1,5 ekor 150 per peranakan. Keuntungan total
selama 6 bulan 1 kali pranakan sebesar Rp. 9.090.000,00 yang masih menyisakan bibit jantan dan betina seharga Rp. 18.000.000,00 untuk peranakan
selama 3 – 4 tahun masa produktif. Jika dirata-ratakan hasil keuntungan ternak kambing atau domba jenis Marino dan Dombos kualitas sedang sebanyak 10 ekor
betina, maka setiap bulan peternak mendapatkan penghasilan rata-rata sebesar Rp. 1.515.000,00 dan pada akhir masa produktif, kambing dapat dijual seharga Rp.
18.000.000,00. Hal tersebut sangat lebih menguntungkan dari usaha pertanian kentang karena waktu kerja yang dibutuhkan relatif lebih ringan dan peternak
dapat sekaligus mengusahakan pertaniannya. Namun usaha peternakan ini belum
banyak dilakukan masyarakat dalam skala seperti yang dilakukan responden yaitu modal minimal 10 bibit domba betina. Permasalahan ini dikarenakan oleh adanya
modal dan perhitungan sebagian besar masyarakat yang merasa kurang menguntungkannya dari usaha ini. Jika usaha peternakan kambing ini dapat
dijadikan usaha ekonomi produktif masyarakat yang utama, maka lahan kering akan lebih kecil kemungkinan diusahakan untuk pertanian semusim secara intensif
sehingga mengurangi resiko kerusakan lahan. Penanaman rumput di lahan milik petani dapat dijadikan sumber pakan ternak sekaligus mengurangi tingkat erosi
dibandingkan penanaman tanaman semusim seperti kentang, dengan perbandingan pada penanaman kentang searah lereng sebesar 136,1 tonhatahun
dan penanaman penutup rumput sebesar 0,2 tonhatahun. Perbandingan tingkat erosi berbagai pertanaman dapat dilihat pada Lampiran 7.
BAB VI PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI