BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pembelajaran Sosial
Menurut Wollenberg et al. 2001, pembelajaran sosial merupakan suatu
proses yang bersifat kontinu yang terjadi antar berbagai pihak dalam mewujudkan kesamaan visi dalam rangka mengakomodir berbagai kepentingan pihak-pihak
tersebut. Terdapat empat dimensi dalam pembelajaran sosial. Dimensi pertama yaitu pengambilan keputusan. Pengelolaan sumberdaya hutan melibatkan berbagai
pihak dengan kepentingan yang berbeda. Kekuatan politik telah menjadi penyebab utama ketidaksamaan akses masing-masing pihak dalam mengelola hutan. Lee
1993 yang diacu oleh Wollenberg et al. 2001 menyatakan bahwa di antara pihak-pihak tersebut terjadi konflik yang bersifat terbatas. Melalui pembelajaran
sosial dilakukan pengambilan keputusan secara bersama-sama terutama untuk meminimalisasi kekuatan politik tadi.
Dimensi kedua yaitu inovasi dan pemecahan masalah. Tiap pihak dalam pembelajaran sosial memiliki kepentingan masing-masing. Kepentingan-
kepentingan ini akan membawa pada perbedaan pengetahuan dalam belajar. Pengetahuan tersebut dapat berbentuk nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode-
metode, dan pengalaman sejarah. Menurut Daniels dan Walker 1999 diacu dalam Wollenberg et al. 2001, di dalam pembelajaran sosial terjadi pertukaran
pandangan antara berbagai pihak yang bertujuan untuk merubah pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut.
Dimensi ketiga yaitu jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan. Pembelajaran sosial berjalan dengan lancar jika di antara pihak yang terlibat
berinteraksi, sehingga terbentuk hubungan yang kuat dan saling membutuhkan. Hubungan yang interdependen ini akan membantu proses berbagi pengetahuan
. Dalam belajar tidak ada pihak yang mendominasi, semua pihak memiliki
kedudukan yang sama. Oleh karena itu, dalam prosesnya pembelajaran sosial tidak bersifat linier, tetapi merupakan sebuah proses interaktif di antara pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya.
Dimensi terakhir yaitu pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat. Ketika masyarakat dihadapkan pada pengetahuan baru, masyarakat
memiliki keinginan untuk mendapatkan informasi dan pemahaman yang lebih detail. Pemahaman terhadap pengetahuan baru tersebut tercipta dengan cara
belajar secara bersama-sama. Selain memperkaya wawasan masyarakat, di dalam proses belajar, masyarakat juga mengembangkan pengetahuan baru yang
dipelajari agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Upaya ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapabilitas untuk meningkatkan kemampuan dan
mengembangkan apa yang sudah mereka miliki. Fasilitasi merupakan syarat vital dalam pembelajaran sosial. Fasilitator
berperan dalam mempercepat proses pembelajaran. Fasilitator dapat memperkecil resiko kesalahan dalam menginterpretasikan kepentingan masyarakat lokal. Untuk
itu, fasilitator harus sensitif terutama dalam menghadapi berbagai kepentingan dan berbagai hubungan yang terjalin di antara para pelaku pembelajaran.
Faktor sosial budaya memegang peranan penting dalam menentukan diterima atau tidaknya ide-ide baru. Ide baru dapat diterima oleh masyarakat
apabila ide tersebut memenuhi kebutuhan mereka dan tidak bertentangan dengan adat. Menurut Adimihardja 1999, tidak semua ide dan nilai diterima karena
adanya dua kecenderungan alamiah pada masyarakat yakni, modifikasi adaptif dan kecenderungan untuk mempertahankan apa yang ada. Bukan berarti
masyarakat akan menyerap ide baru begitu saja, melainkan ada upaya kompromi antara budaya yang telah ada dan peluang-peluang yang diberikan oleh keadaan
baru.
Konsep Pengetahuan Lokal
Sunaryo dan Joshi 2003, menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari proses pembelajaran, yang menyangkut pemikiran, pengalaman dan
pengamatan. Pengetahuan bersifat universal tetapi tidak mutlak dan tidak netral. Pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal, seperti
perkembangan dari pengetahuan itu sendiri dan adanya kepentingan-kepentingan serta kebijakan yang mendorong pengetahuan mengarah pada aspek tertentu.
Pengetahuan indigenous berarti pengetahuan asli, maksudnya yang diciptakan dan dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Kata indigenous berarti asli
dan pribumi. Pemakaian kata indigenous mengacu pada arti masyarakat indigenous atau masyarakat asli yang berdomisili di suatu wilayah geografis
tertentu. Pengetahuan tersebut melingkupi semua cara yang digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup, telah teruji dalam jangka waktu yang lama, dan
melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal. Pengertian di atas bermakna sempit, karena hanya memperhitungkan
masyarakat asli dan mengabaikan pengetahuan masyarakat pendatang. Oleh karena itu banyak pihak yang berkeberatan dengan batasan tersebut dan memiliki
preferensi terhadap pemakaian istilah pengetahuan lokal. Pengetahuan berada pada tataran konsep yang lebih luas dimana pengetahuan di sini mengacu pada
pengetahuan yang ada pada suatu wilayah tertentu. Tidak menjadi masalah apakah masyarakat di wilayah tersebut asli atau tidak.
Pengetahuan lokal tidak terbatas pada apa yang dicerminkan oleh metode dan teknik dalam pengelolaan sumberdaya saja, tetapi juga mencakup tentang
pemahaman insight, persepsi dan suara hati atau perasaan intuition yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan
bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan lokal yang telah menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan
diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama akan menjadi ‘kearifan lokal’.
Menurut Adimihardja 2004, pengetahuan lokal merupakan suatu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang secara lokal, merupakan bentuk
keseluruhan tradisi masyarakat lokal itu. Pengetahuan lokal ini juga mengenai pengetahuan agrikultur, medikal, ekologi, produk, desain dalam bidang kerajinan
tangan, arsitektur, serta bidang seni. Sifat yang dinamis, selalu berubah, mencirikan pengetahuan lokal.
Perubahan tersebut dapat dikarenakan oleh ketidaksesuaiannya terhadap situasi yang baru ataupun karena adaptasi dengan situasi yang baru ataupun karena
adaptasi dengan situasi dan kondisi yang baru. Pengetahuan yang tidak sesuai perlahan akan menghilang dan disubstitusi oleh pengetahuan baru yang sesuai.
Masyarakat lokal di Indonesia memiliki pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Menurut Raden dan Nababan 2003, sampai awal
dekade 1970-an, pengetahuan lokal yang sangat beragam masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara.
Bentuk pengetahuan lokal lain dalam pengelolaan hutan ditunjukkan melalui praktek kebun hutan agroforest. Praktek kebun hutan ini ditemukan
pada ratusan lokasi di seluruh kawasan hutan tropika Tadjudin 2000. Penelitian di Kalimantan dan Sumatera menyatakan bahwa masyarakat yang melakukan
praktek kebun hutan adalah masyarakat yang kehidupan ekonomi dan budayanya tergantung pada sumberdaya hutan.
Persepsi dan Keberlanjutan Program
Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaaan
penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya. Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.
Persepsi yang dimiliki seseorang berbeda karena pengaruh berbagai faktor mulai dari pengalaman, latar belakang, lingkungan dimana dia tinggal, juga
motivasi dan lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang akan menyebabkan seseorang dalam menginterpretasikan sesuatu mempunyai
perbedaan pendapat Nurdin 2003. Menurut
Siagian 1995
diacu dalam Nurdin 2003 faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut : 1. Diri seseorang yang bersangkutan. Apabila seseorang melihat dan berusaha
memberi interpretasi tentang apa yang telah dilihatnya, pendapatnya akan dipengaruhi oleh sikap, motif, kepentingan, dan harapan.
2. Sasaran persepsi. Sasaran persepsi dapat berupa benda atau peristiwa. Dalam persepsinya seseorang biasanya membuat generalisasi dengan menggolongkan
dari sekelompok orang, benda atau peristiwa yang memiliki karakteristik yang serupa.
3. Situasi. Persepsi harus dilihat secara konstektual yang berarti dalam situasi.
Nurdin 2003 mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses pemaknaan terhadap obyek berdasarkan kesenjangan antara benar atau salahnya
suatu pernyataan. Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan, dan
perasaan suatu stimulus tersebut Langevelt 1966, diacu dalam Nurdin 2003. Saarinen 1976 diacu dalam Nurdin 2003 mengatakan bahwa persepsi
sosial sosial perseption umumnya berkaitan dengan faktor-faktor sosial budaya terhadap struktur kognitif dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Menurut Suparlan 1994 keberlanjutan hanya bisa dicapai melalui pembangunan dengan rakyat sebagai sentral. Untuk menjaga keberlanjutan
program, maka pelaksanaannya harus dilandasi oleh konsep-konsep tertentu yang dapat menjamin bahwa program ini dapat dan harus sampai pada kelompok
sasaran target group untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peningkatan kesejahteraan dan sekaligus membawa peningkatan sumberdaya manusia dan
sumberdaya sosial social capital dari kelompok sasaran Khandker et al. 1995, diacu dalam Yuliarso 2004.
Rohima 2002 menyatakan bahwa implementasi dan keberlanjutan program merupakan suatu tantangan dalam perencanaan program. Strategi top
down tidak hanya kurang efektif tapi juga sulit untuk menjaga keberlanjutan. Program pengembangan pada masyarakat perlu mempertimbangkan tentang jalan
keluar yang baik dari masalah yang ada di masyarakat juga kebutuhan terhadap program yang ditawarkan.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung,
produktivitasnya dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Inisiatif rehabilitasi hutan dan lahan didefinisikan sebagai kegiatan
yang disengaja dengan tujuan regenerasi pohon, baik secara alami maupun buatan di atas lahan berupa padang rumput, semak belukar, atau wilayah tandus yang
dulunya berhutan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas, penghidupan masyarakat, danatau manfaat jasa lingkungan Tim Rehabilitasi
CIFOR 2003. Rehabilitasi hutan dan lahan RHL merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran
sungai DAS. Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan
lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan Dephut 2003.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan GN-RHL merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan yang sifatnya terpadu,
menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan semua stakeholder melalui suatu perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan yang
efektif dan efisien Menkokesra 2003. GN-RHL bertujuan untuk melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan terencana dengan
melibatkan semua instansi pemerintah terkait, swasta dan masyarakat agar kondisi lingkungan hulu dapat kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan secara
normal dan baik BKN 2005. GN-RHL meliputi dua ruang lingkup yaitu: 1. Lingkup kegiatan
a. Kegiatan pencegahan kerusakan lingkungan. Kegiatan ini meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan
masyarakat dan penegakan hukum. b. Kegiatan penanaman hutan. Kegiatan ini meliputi penyediaan bibit
tanaman pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit, penanaman reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan,
pemeliharaan tanaman,dan lain-lain dan pembuatan bangunan konservasi tanah dam pengendali, dam penahan, gully plug, terasering, sumur
resapan, grass barrier, dan lain-lain, penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan pendampingan, pelatihan dan
penyuluhan dan pembinaan. 2. Lingkup wilayah
Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasi 68 DAS kritis
yang perlu segera ditangani Menkokesra 2003.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN