BAB VII PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM KEGIATAN REHABILITASI
HUTAN DAN LAHAN
Dimensi Pembelajaran Sosial
Pembelajaran sosial saat ini telah menjadi hal yang penting dalam pengelolaan hutan dan lahan yang melibatkan berbagai aktor dengan berbagai
latar belakang dan tingkat kepentingan yang berbeda. Pengelolaan hutan dan lahan di Kecamatan Kejajar, Kawasan Pegunungan Dieng secara garis besar merupakan
bentuk penyelarasan antara kepentingan petani dengan kepentingan pemerintah daerah serta Perhutani. Petani berkepentingan memanfaatkan lahan miliknya dan
memanfaatkan hasil hutan di hutan negara. Perhutani selain mengharapkan bagian dari pengelolaan yang dilakukan petani juga terkait dengan evaluasi terhadap
kinerja mereka selama ini. Pemerintah berkepentingan sangat besar dalam kesejahteraan aspek ekonomi, sosial dan ekologis di lingkungan masyarakat
Kawasan Dieng terutama kelestarian Kawasan Dieng sebagai daerah resapan air. Kepentingan petani, pemerintah dan Perhutani dipenuhi dengan
mewujudkan bentuk hubungan terbaik antar kedua belah pihak. Pada saat hubungan ini telah mencapai bentuk saling tergantung, saling percaya dan saling
menghargai maka pembelajaran sosial telah berhasil membawa masing-masing pihak mencapai tujuannya. Hubungan saling tergantung, saling percaya dan saling
menghargai antar petani dengan Perhutani dan Pemerintah dilihat dari interaksi antar keduanya, dimana petani, Perhutani atau pemerintah merasa bahwa satu
pihak adalah mitra bagi pihak yang lain, bahwa Program Pemulihan Dieng akan mencapai tujuannya jika ada kerjasama walaupun dilatarbelakangi kepentingan
yang berbeda. Pada situasi ini selain tujuan Program Pemulihan Dieng dapat tercapai,
hutan dan lahan sebagai ekosistem juga dapat terjaga kelestariannya. Pencapaian tujuan diindikasikan dengan terpenuhinya kepentingan-kepentingan pihak yang
terlibat. Namun untuk mencapai keadaan yang ideal, dimana setiap kepentingan terpenuhi, maka perlu proses yang sifatnya kontinu dan mengikutsertakan semua
pihak dalam Program Pemulihan Dieng. Proses menarik ini terselenggara berkat
kesadaran masing-masing pihak untuk mengambil jeda dan melakukan resolusi terhadap konflik yang sekian lama mewarnai hubungan pihak-pihak tersebut.
Penelitian ini berupaya mengkaji proses pembelajaran sosial yang terjadi di Kawasan Pegunungan Dieng dengan melihat realitas yang terjadi di lapangan.
Realitas yang menjadi kajian adalah realitas antara petani, Pemerintah Daerah Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani dan LSMTKPD di hutan
negara dan lahan milik masyarakat dalam Program Pemulihan Dieng. Pembelajaran sosial difokuskan pada empat kegiatan utama yang sedang
berlangsung, yaitu pembentukan model kelembagaan masyarakat dan perencanaan dalam pengelolaan hutan dan lahan, model pengelolaan lahan
pertanian yang ramah lingkungan, model kolaborasi rehabilitasi kawasan hutan negara dan pengembangan ekonomi produktif berbasis potensi lokal yang
berkelanjutan. Pembelajaran sosial di lapangan dibagi menjadi empat dimensi menurut
Wollenberg et al. 2001 yaitu sebagai berikut:
Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan politik terkait dengan penggunaan kekuatan- kekuatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya memaksakan.
Berdasarkan hasil Lokakarya Rehabilitasi Kawasan Dieng 2009 yang diadakan pada tanggal 22 Desember 2009, selama program berlangsung TKPD
menyimpulkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam upaya rehabilitasi kawasan masih cukup rendah. Ada anggapan di masyarakat bahwa program rehabilitasi
merupakan kewajiban pemerintah saja. Hal ini dikarenakan tingkat pemahaman masyarakat tentang upaya konservasi dan rehabilitasi yang masih rendah dan
sebagian masyarakat melihat bahwa tanaman keras sebaiknya hanya ditanam di kawasan hutan negara dan bukan di lahan milik. Dari kenyataan tersebut
dipandang sangat perlu lebih melibatkan masyarakat dalam berbagai tahap upaya rehabilitasi Kawasan Dieng mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga
pemantauan. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng
melalui program pembangunan model modeling pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan, pertemuan warga dusun dan desa, diskusi terfokus, forum
mediasi dan audiensi dengan berbagai pihak digunakan sebagai sarana mencapai tujuan. Meskipun TKPD merupakan lembaga pemerintah, namun dalam
pelaksanaan di lapangan menghindari model-model pendekatan top down, formal dan searah yang sering dipakai oleh institusi negara. Berdasarkan perkembangan
dan usaha yang telah dicapai sebelumnya, seperti adanya hubungan sinergis dengan lembaga masyarakat di Kawasan Dieng, TKPD yakin bahwa metode
partisipatif, dialogis, berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati dan saling menguatkan tetap merupakan pilihan terbaik untuk mencapai tujuan
bersama. Pendekatan partisipatif terlihat dari berbagai upaya yang telah dilakukan
seperti upaya dalam pembentukan kelembagaan masyarakat dan perencanaan dalam pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan di dua desa model yaitu
Desa Buntu dan Kreo. Kelembagaan masyarakat desa diarahkan untuk merencanakan pembangunan desa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa RPJMDes. RPJMDes merupakan rencana pembangunan dalam berbagai sektor di desa yang saling berkaitan secara sinergis, seperti
perencanaan pembangunan infrastruktur, lembaga dan sosial ekonomi masyarakat desa. Perencaan ini perlu dilakukan untuk mewujudkan desa berbasis lingkungan
yang dalam pelaksanaanya sangat erat kaitannya terhadap bidang ekologi, sosial dan ekonomi.
Dalam mewujudkan pengelolaan lahan pertanian yang berbasis lingkungan, pemerintah pusat mempunyai kebijakan melalui Peraturan Menteri Pertanian
Nomor: 47PermentanOT.140102006, tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Isi kebijakan ini berupa 1 Pemilihan berbagai
komoditi pertanian untuk berbagai kondisi tanah, ketinggian tempat, dan curah hujan, 2 Variasi teknik konservasi tanah dan air yang memungkinkan di daerah
pegunungan serta, 3 Pemilihan teknik konservasi tanah dan air yang dianjurkan pada berbagai jenis dan kedalaman tanah, lereng, dan kelompok tanaman. Namun
substansi yang disampaikan masih bersifat umum, sebagai landasan bagi penyusunan petunjuk teknis oleh instansi yang berwenang di tingkat pusat dan
daerah. Dalam pelaksanaan di lapangan, kebijakan ini kurang diperhatikan oleh masyarakat karena masyarakat menganggap bahwa lahan milik adalah
sepenuhnya dikelola menurut keinginan pemilik lahan. Sehingga kaidah-kaidah konservasi yang tertuang dalam kebijakan pemerintah tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Dalam pembuatan model kolaborasi rehabilitasi kawasan hutan negara yang
berkelanjutan, kesepahaman antara Perhutani dengan masyarakat diarahkan untuk mencapai kesepakatan kerjasama dengan masyarakat. Ketika konsep PHBM
digulirkan oleh pemerintah provinsi melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 24 tahun 2001 dan kemudian diteruskan ketingkat daerah, maka diperlukan
perubahan pendekatan dalam masalah pengelolaan hutan negara. Pendekatan selama ini bersifat top down. Pendekatan ini tidak berorientasi pada kebutuhan
petani. Perhutani memutuskan apa yang diperlukan oleh petani tanpa melihat realitas sesungguhnya. Pendekatan ini tidak sesuai karenanya diganti pendekatan
baru yang bersifat bottom up, yaitu pendekatan yang berdasarkan pada kebutuhan petani, dimana petani diikutsertakan dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi. Melihat kondisi di Desa Sigedang Kecamatan Kejajar yang merupakan
bagian dari RPH Sigedang, setelah PHBM berjalan tidak ada perubahan berarti terkait dengan hubungan antara petani dan Perhutani. Dalam tingkatannya, mantri
dan mandor yang menempati RPH adalah aparat perhutani yang sering berinteraksi dengan petani. Dapat dikatakan bahwa mantri dan mandor adalah
aparat perhutani yang menjadi penentu dalam membangun kesan Perhutani di mata petani. Penilaian petani terhadap perhutani diciptakan oleh sikap yang
diperlihatkan oleh mantri dan mandor. Berbeda dengan kondisi di RPH Dieng, walaupun pola partisipatif PHBM
belum menghasilkan manfaat ekonomi yang nyata bagi masyarakat, namun upaya partisipatif mantri dan mandor di RPH Dieng cukup diterima dengan baik oleh
masyarakat. Masyarakat melihat mandor dan mantri aktif menjaga hutan dan patroli serta menghadiri pertemuan-pertemuan desa sehingga dianggap menjadi
bagian dari masyarakat desa.
Analisis pembelajaran . Pendekatan dalam upaya rehabilitasi hutan dan
lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sudah berubah kearah pendekatan yang bersifat partisipatif. Namun, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan
evaluasi masih terbatas karena pemahaman tentang upaya konservasi dan rehabilitasi cukup rendah . Namun dalam pelaksanaan teknis di lapangan melalui
kader-kader desa yang telah terbentuk, berada pada posisi yang lebih baik dan terlibat dalam berbagai perencanaan dan pelaksanaan. Mereka juga mendapatkan
bagian dari hasil kegiatan rehabilitasi namun dalam pengelolaan lahan negara belum masyarakat belum merasakan manfaat ekonominya secara nyata. Peran
masyarakat setempat masih lemah dibanding dengan pemerintah kabupaten dalam pengambilan keputusan politik. Petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten, Provinsi, maupun Perhutani perlu meningkatkan pemahaman mengenai kehutanan sosial yang lebih partisipatif agar pengelolaan kehutanan
dengan strategi kehutanan sosial dapat diwujudkan. Proses perubahan pendekatan partisipatif antar pelaku pusat hingga lokal dalam upaya rehabilitasi hutan dan
lahan disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4 Proses Perubahan Pendekatan Partisipatif
Inovasi dan Pemecahan Masalah
Berbagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng melalui program pembangunan model modeling pengelolaan hutan dan lahan
yang berkelanjutan berarti diperkenalkannya pola baru dalam pengelolaan hutan dan lahan. Hal ini merupakan wujud inovasi yang diintroduksikan oleh
pemerintah melalui Tim Teknis TKPD dan Perhutani. Inovasi tersebut mencakup ide dan nilai baru dalam pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan.
Pelaku Pusat Pelaku
Daerah
Pelaku Lokal
Kewenangan tidak terpusat: Berperan sebagai regulator, fasilitator,
pengendali dan penyedia bantuan teknis.
Mewakili kepentingan kabupaten dalam: perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan.
Berperan lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan dan
mendapatkanbagian hasil dari beragam produk rehabilitasi.
Keterangan: …..… : Proses perubahan
_____ : Perubahan
Dalam pengelolaan lahan negara melalui introduksi program PHBM, antara petani dan Perhutani mempunyai latar belakang ide dan nilai mereka sendiri yang
telah melekat dan menjadi basis dalam mengambil berbagai tindakan yang terkait dengan hutan. Perhutani telah menjadi pelopor mulai dari sistem tumpang sari
sejak tahun 1970-an sampai PHBM diperkenalkan tahun 2001. Bukan proses yang mudah untuk beralih dari satu sistem ke sistem berikutnya. Oleh karena itu
Perhutani perlu memahami lebih dalam apa dan bagaimana PHBM tersebut sesungguhnya.
Begitu pula petani, pengelolaan yang mereka lakukan selama ini tidak bisa secepatnya digantikan sistem pengelolaan yang baru. Pada situasi seperti ini kedua
belah pihak hendaknya mau dan mampu berbagi informasi dan saling bertukar pandangan. Kedua pihak terlibat dalam proses belajar yang tujuannya untuk
mencapai kesamaan persepsi yang terkandung dalam memahami ide dan nilai dalam PHBM dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan.
Akan tetapi proses belajar ini belum sepenuhnya terjadi di Kecamatan Kejajar. Masih ada anggapan bahwa PHBM sama saja dengan program-program
terdahulu. Akibatnya, kesepahaman yang menjadi syarat penting dalam implementasi PHBM masih berada pada tataran teori. Kedua pihak berjalan
sendiri-sendiri, sehingga pelaksanaan PHBM di Kecamatan Kejajar kurang berjalan dengan lancar. Terlihat dari belum adanya kerjasama dan kesamaan
posisi antara petani dengan Perhutani. Pihak KPH sudah berupaya merubah keadaan di atas. Sosialisasi dan
semiloka yang telah dilakukan dengan difasilitasi oleh TKPD dan FHW. Permasalahan komunikasi antara petani dan Perhutani menjadi akar permasalahan
tidak berjalannya program PHBM di hampir sebagian besar wilayah Kecamatan Kejajar sehingga ide dan nilai program PHBM belum bisa diterapkan. Upaya yang
sedang berjalan masih berada pada tahap pencapaian kesepahaman antara petani dan Perhutani.
Berbeda halnya dalam upaya rehabilitasi pada lahan milik masyarakat yang hampir sebagian besar diusahakan tanaman pertanian semusim. Berdasarkan
pemaparan Direktorat Jenderal Hortikultura dalam Lokakarya Rehabilitasi Kawasan Dieng 2009, permasalahan pola pertanian yang kurang memperhatikan
kaidah konservasi menjadi fokus utama dalam introduksi inovasi upaya rehabilitasi yang dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena petani sulit merubah
komoditas selain kentang yang sudah menjadi tradisi di dataran tinggi Dieng. Kentang juga merupakan komoditas andalan dan bernilai ekonomis tinggi.
Rendahnya pelaksanaan konservasi di lapangan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1 adanya keyakinan dari sebagian petani, bahwa penerapan teknik
konservasi tanah akan memicu terjadinya serangan penyakit, 2 produksihasil sayur akan menurun karena berkurangnya areal tanam, 3 tidak memiliki tenaga
dan modal yang cukup untuk membuat ataupun memelihara bangunan konservasi yang sudah ada walaupun secara finansial usahatani sayuran menguntungkan, 4
status pemilikan lahan. Rendahnya pelaksanaan konservasi dalam pengelolaan lahan milik tersebut
sangat perlu adanya introduksi ide dan nilai baru. Namun hal tersebut tidak mudah karena melihat alasan berbagai kondisi yang ada. Ide langkah-langkah yang
dilakukan diantaranya: 1 Petani diarahkan untuk melaksanakan cara budidaya kentang yang ramah lingkungan dengan menerapkan teknik konservasi lahan, 2
Diupayakan pengembangan budidaya kentang dataran medium, 3 Penerapan GAP Good Agriculture Practices pada budidaya hortikultura, 4 Mengganti
dengan tanaman holtikultura lainnya yang menguntungkan, 5 Pemulihan lahan dilakukan melalui program rehabilitasi lahan, dengan melibatkan kelompok tani
dan instansi terkait di lingkungan pertanian dan kehutanan, serta aktivis penyuluh swadaya.
TKPD melihat ide langkah-langkah tersebut belum bisa diterapkan oleh masyarakat secara luas. Untuk itu TKPD telah membuat demplot usaha tani
konservasi melalui dana dari APBD dan BP-DAS SOP tahun 2008 di 8 desa, yaitu Desa Kreo, Buntu, Tambi, Sembungan, Igirmranak, Tieng, Sikunang dan Serang.
Demplot usaha tani tersebut disesuaikan berdasarkan letak ketinggiannya yaitu daerah tertinggi, atas, tengah dan bawah. Selama penelitian ini dilaksanakan,
upaya pembuatan demplot pertanian belum terlihat cukup nyata dalam penurunan tingkat erosi karena demplot pertanian belum lama berjalan. Namun dalam
pembangunan fisik seperti pembuatan dan perbaikan teras, perlindungan tebing
sungai, sumur resapan, gully plug, dan dam penahan, sudah terealisasi di lapangan.
Upaya untuk mendukung rehabilitasi hutan dan lahan dari bidang sosial ekonomi masyarakat juga telah dilakukan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat,
terutama petani, menjadi target utama yang ingin dicapai. TKPD melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta koperasi dan UKM mengupayakan adanya
dua kelembagaan ekonomi produktif lokal di dua desa sebagai contoh. Kelembagaan ekonomi produktif lokal tersebut merupakan usaha peningkatan
nilai tambah ekonomi melalui pemberdayaan yang melibatkan masyarakat sebagai perencana, pelaksana yang berbasis potensi lokal, seperti carica, kentang, jamur,
dan singkong.
Analisis pembelajaran. Upaya rehabilitasi dianggap oleh sebagian
masyarakat sama halnya seperti program-program terdahulu. TKPD memfasilitasi dalam pertukaran konsep, nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode antar
berbagai pihak dengan melihat berbagai kendala dan peluang pelaksanaan upaya- upaya sebelumnya. Faktor ekonomi masyarakat menjadi hal paling penting untuk
diatasi dengan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan yang memperhatikan potensi dan kondisi masyarakat. Menyinergiskan fungsi perlindungan untuk
kepentingan ekonomi masyarakat sekitar hutan pada akhirnya akan berdampak positif pada kelestarian hutan sekaligus tidak menghilangkan fungsi perlindungan
secara keseluruhan. Masyarakat memandang pohon yang ditanam di lahan milik akan
mengganggu produktivitas lahan pertaniannya. Dalam aspek pengelolaan lahan milik, hampir semua responden menganggap bahwa gangguan dan tekanan
terhadap lahan mereka bukan sesuatu yang penting. Masyarakat tetap mengelola lahan walaupun merasakan penurunan kualitas dan produktivitas lahannya. Hal ini
dapat dipahami bahwa tingkat kebutuhan akan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sangat tinggi dengan kepentingan aspek ekonomi masyarakat yang tinggi
pula. Tim Kerja Pemulihan Dieng staf program TKPD berperan strategis dalam
memfasilitasi berbagai kepentingan antar stakeholder. TKPD telah mengambil peran penyelenggara dalam berbagai pertemuan dan dalam hal diplomasi. TKPD
berperan sebagai penasehat sehingga mendorong para aktor untuk menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. Fasilitasi berpengaruh dalam proses
pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan.
Jalinan Komunikasi dan Pembentukan Hubungan
Dalam pembelajaran sosial, semua pihak berada pada posisi yang sama. Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan
dominasi dari pihak tertentu. Komunikasi antar keduanya terjadi dalam ruang lingkup interaktif dan saling menghargai pendapat masing-masing. Petani dengan
praktek pengelolaanya harus dihargai oleh pemerintah ataupun Perhutani demikian juga sebaliknya. Antara petani dan pemerintah saling bertukar
pengetahuan sehingga terlihat hal-hal apa saja yang perlu dikolaborasikan. Ketika proses komunikasi terjadi, ada informasi yang dipertukarkan,
sehingga diperoleh kesamaan makna atas apa yang dikomunikasikan. Informasi yang dipertukarkan adalah informasi seputar upaya rehabilitasi yang bersifat
konservatif dan informasi mengenai pengelolaan hutan dan lahan yang mereka praktekkan. Hal ini belum nampak di beberapa tempat di Kecamatan Kejajar.
Komunikasi yang tercipta di antara para petani dengan pemerintah belum maksimal. Hanya sebagian petani yang menerima akses terhadap informasi dari
pemerintah. Sebagian besar petani merupakan pengikut dalam jalinan hubungan kedua belah pihak.
Arus informasi dari berbagai pihak seperti dari Pemerintah dan TKPDLSM ke petani, mengalir dalam pola dan jaringan yang spesifik. Informasi saling
dipertukarkan antara pemerintahPerhutani dan LSMTKPD, antara petani dan pemerintahPerhutani, antara petani dan LSMTKPD, antara sesama petani aktif
serta petani aktif dengan petani pengikut. Seperti dibahas sebelumnya, bahwa sosialisasi upaya konservasi hanya melibatkan kalangan petani tertentu. Begitu
juga dengan informasi lain dan pelatihan-pelatihan, hanya beberapa petani yang notabene adalah pengurus kelompok tani ataupun LMDH. Dari merekalah
informasi diteruskan ke petani lain. Hal tersebut digambarkan pada Gambar 4.
Keterangan: Pemerintah
Daerah Dishutbun
dan Perhutani
Petani Aktif Opinion leader
LSM TKPD
Petani Pengikut
Arah informasi
Gambar 4 Arus Informasi di Kecamatan Kejajar.
Petani yang dikategorikan sebagai petani aktif adalah mereka yang memiliki akses informasi lebih besar dibandingkan dengan petani lain, terutama informasi
yang bersumber dari pihak luar desa. Petani aktif merupakan pihak masyarakat yang berhubungan langsung dengan pihak pemerintahPerhutani dan LSMTKPD.
Hubungan tersebut dilihat dari interaksi yang intens dengan pihak-pihak tadi. Informasi yang diperoleh selanjutnya disampaikan kepada petani-petani lain dan
begitu seterusnya sehingga petani aktif disebut juga sebagai opinion leader. Dalam penelitian ini, petani aktif diamati dari beberapa karakteristik, yaitu
umur, pendidikan, tingkat kosmopolitan, tingkat keterbedahan terhadap media massa dan status atau jabatan desa. Dari segi umur, petani aktif di Kecamatan
Kejajar bervariasi umurnya. Ada yang lajang hingga usia tua. Hal ini menunjukkan bahwa usia tidak menunjukkan tingkat keaktifan terhadap akses
informasi. Tingkat pendidikan juga bervariasi, mulai dari sarjana hingga tamat SD. Dalam tingkat kekosmopolitan, hampir semua petani aktif memiliki
hubungan luas dengan pihak di luar desa seperti pemerintah kabupaten maupun dalam hubungan bisnis. Pada tingkat keterbedahan terhadap media massa, hampir
Konsep Rehabilitasi Hutan dan Lahan
1 2
2 1
semua petani aktif juga merupakan pengurus organisasi maupun menjabat struktur kepengurusan desa.
Petani pengikut adalah petani yang mendapatkan informasi dari petani aktif. Keterlibatan mereka dalam program pemulihan Dieng hanya dikarenakan mereka
bermata pencaharian sebagai petani dan tergabung dalam kelompok tani ataupun LMDH. Dilihat dari karakteristiknya, tingkat pendidikan petani pengikut sebagian
besar tergolong rendah, yaitu mayoritas tamatan SD dan beberapa diantaranya tamatan SMP atau tidak sekolah. Tingkat keterbedahan terhadap media massa
juga masih kurang walaupun hampir sebagian besar memiliki pesawat televisi. Latar belakang kehidupan masyarakat desa pegunungan yang memegang
kuat adat dan tradisi menjadi penyebab utama kekurangaktifan mereka dalam berinteraksi dengan pihak luar. Sikap menunggu mencirikan watak mereka dalam
aktivitas sehari-hari. Hal ini menyebabkan kurang mampu mengambil inisiatif sehubungan dengan usaha peningkatan kesejahteraan. Masyarakat petani tidak
mudah percaya kepada pihak lain sehingga sulit untuk membina hubungan baik dengan Perhutani atau pemerintah.
Pertemuan-pertemuan dalam kegiatan rutin di desa sangat strategis sebagai sarana meningkatkan jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan terutama
antar petani aktif dan petani pengikut. Hal ini didasari atas seringnya pertemuan rutin dilaksanakan seperti dalam kegiatan-kegiatan rutin keagaamaan. Kondisi
keagamaan masyarakat Kecamatan Kejajar sebagai basis Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi sarana saluran informasi yang strategis. Disamping itu,
karakter masyarakat yang patuh terhadap pemimpin agama menjadi modal utama dalam mendorong masyarakat melakukan upaya-upaya rehabilitasi hutan dan
lahan.
Analisis pembelajaran. Jalinan komunikasi yang baik dalam masyarakat
memfasilitasi pembelajaran sosial yang efektif. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng, sebagian besar komunikasi masyarakat
terjadi melalui sarana-sarana informal. Obrolan harian saat silaturahmi atau pertemuan rutin mingguan dalam kegiatan masyarakat dan keagamaan telah
meningkatkan aliran informasi lebih cepat. Hal ini terlihat dari fasilitator TKPD, yang aktif menghadiri pertemuan-pertemuan informal tersebut sebagai sarana
sosialisasi program. Komunikasi melalui sarana informal menjadi solusi atas kesenjangan informasi antara petani aktif dan petani pengikut dalam penerimaan
ide dan nilai-nilai yang diusung dalam program rehabilitasi hutan dan lahan. Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama. Keberadaan antara pihak
satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu.
Pembangunan Kapasitas dan Pengembangan Masyarakat
Merujuk pada ketiga dimensi dari pembelajaran sosial sebelumnya, telah terlihat indikasi bahwa sebagian petani mau dan mampu berperan dalam upaya
rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng. Pemerintah Daerah bersama Perhutani telah saling berusaha memperbaiki hubungan dengan pihak
petani. Tidak semuanya menunjukkan sikap kontra terhadap upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang mementingkan kaidah-kaidah konservasi. Ada sebagian
petani yang menganggap bahwa Pemerintah Daerah bersama Perhutani menunjukkan keseriusannya untuk menjadi mitra bagi petani.
Begitu juga dengan ide dan nilai dalam konsep rehabilitasi hutan dan lahan, perlu lebih lama agar petani dapat memahami semua makna di dalamnya.
Pengurus kelompok tani dan LMDH menjadi aktor penting dalam hal ini. Arus informasi yang tercipta menunjukkan kemampuan petani dalam mengorganisir
diri. Meskipun hanya beberapa petani yang berada pada posisi kunci sebagai sumber informasi, namun informasi telah dapat diterima oleh sebagian besar
petani. Petani mulai menyadari bahwa untuk mencapai keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan semua petani harus dilibatkan dan hal itu harus diawali dengan
penyebaran informasi yang akurat dan relevan. Usaha pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat terlihat dari
berbagai realisasi yang telah dicapai selama ini antara lain terbentuknya lembaga Forum Peduli Dieng dan kader perencanaan desa partisipatif serta terlaksananya
kegiatan-kegiatan pelatihan dan diskusi. Disamping itu pendidikan lingkungan pada berbagai tingkatan usia serta Diklat KPTI juga telah dilaksanakan. Ketika
dihadapkan pada permasalahan seperti penyamaan kesepahaman dengan Perhutani, maka dilakukan diskusi dan semiloka. Dalam diskusi-diskusi yang
dilakukan, berbagai pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam
menyampaikan pendapat dan tanpa ada pihak yang berusaha mendominasi alur diskusi.
Analisis pembelajaran. Pada tataran pembangunan kapasitas dan
pengembangan masyarakat yang melibatkan berbagai stakeholder, lokakarya menjadi sarana yang cukup efektif dalam memfasilitasi pembelajaran kolaboratif
untuk pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan. Lokakarya yang telah dilakukan bertujuan untuk meletakkan dasar-dasar kolaborasi dengan cara
mengembangkan pemahaman bersama di antara para peserta yang hadir serta mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi untuk dikolaborasikan. Peluang utama
dalam lokakarya adalah sarana memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk bertemu yang mungkin tidak akan terjadi jika lokakarya tidak ada.
Pembangunan kapasitas menjadi lebih besar dibandingkan masing-masing pihak bekerja sendiri. TKPD menjadi wadah utama dalam memadukan implementasi
program dalam penanganan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan pegunungan Dieng. Sangat penting adanya pelibatan masyarakat terutama dalam
mengoptimalkan keterlibatan tokoh masyarakat yang strategis dan memiliki kesadaran lingkungan.
Jawaban Hipotesis Penelitian
Pelajaran penting yang diperoleh dari upaya rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan Pegunungan Dieng melalui program pembangunan model modelling
pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan adalah pengelolaan hutan dan lahan secara kolaboratif dimana peran strategis TKPD staf program dalam
memfasilitasi berbagai kepentingan antar stakeholder. Tim Teknis TKPD telah mengambil peran penyelenggara pertemuan dan berperan pula dalam diplomasi.
Mereka menarik semua mitra dalam proses rehabilitasi hutan dan lahan dengan cara mendengarkan semua pihak dan memberikan umpan balik. Tim Teknis
TKPD mengadakan pertemuan formal dan informal serta memfasilitasi kerjasama antar berbagai kelompok.
TKPD mengawali berbagai diskusi dan aksi dimulai dari kelompok yang lebih kecil sub kelompok kemudian menyelenggarakan pertemuan dalam
kelompok yang lebih besar dengan kombinasi yang berbeda. Dengan melakukan
hal ini, peran fasilitasi masuk ke berbagai unsur yang ada sehingga muncul nilai- nilai bersama di antara para stakeholder. Program tersebut memfasilitasi berbagai
ide dan mengarahkan pada rencana dan aksi bersama. Peran fasilitasi telah mengarahkan pada jalan tengah di antara perbedaan pandangan dan tujuan
rehabilitasi pemerintah dengan pandangan dan tujuan pengelolaan lahan masyarakat lokal.
Ketika upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang dilakukan sebelumnya melalui berbagai bantuan tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan,
permasalahan utama bukan pada stakeholder namun pada strategi pengelolaan program tersebut. Kemudian TKPD mengubah peran sebagai penasehat sehingga
mendorong para aktor untuk menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. TKPD belajar dari pengalaman di lapangan serta belajar dari berbagai pengamatan
sikap para aktor. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa upaya fasilitasi berpengaruh dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan
lahan.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN