Agreement for the Implementation of the Provisions of the United nations

C. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United nations

Convention on the La of the Sea Relating to the Conservation and Management or Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 UNFSAUNIA Sumberdaya ikan yang terus lestari adalah hal yang utama yang harus diwujudkan dalam dunia perikanan dan kelautan. Tapi pada masa sekarang ini bermulai dari semakin canggihnya teknologi penangkapan ikan dan kebutuhan manusia akan ikan yang meningkat drastis membuat perwujudan pelestarian sumberdaya ikan memiliki penurunan. Penurunan sumberdaya ikan yang dikarenakan penangkapan ikan berlebihan overfishing ini sangat memprihatinkan. Kondisi overfishing bukan hanya terjadi di laut territorial suatu bangsa, akan tetapi hal ini juga terjadi di laut lepas. Kondisi overfishing di laut lepas ini antara lain terjadi pada sumberdaya ikan bermigrasi jauh. Apabila kondisi overfishing di laut lepas terus menerus terjadi dan tidak dikendalikan maka akan mengancam reproduksi beberapa jenis ikan di Negara pantai juga. Hal ini terjadi karena ikan memiliki sifat ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan rantai makanan food chain. Apabila satu jenis ikan terancam reproduksinya maka akan berpengaruh terhadap ketersediaan jenis ikan lainnnya. 92 92 Chomariyah,Op.Cit.Hal. 9 Penangkapan berlebih overfishing terhadap sumberdaya ikan sebenarnya sudah terjadi sejak akhir tahun 1970, jumlah kapal penangkap ikan jarak jauh distant-ater fishing vessels 93 yang beroprasi di laut lepas mengalami peningkatan dan keberadaan mereka yang mengancam kapal- kapal serta ketersediaan ikan di Negara pantai yang berdekatan dengan laut lepas 94 Kerjasama tersebut dapat secara langsung atau melalui organisasi internasional dan harus dilakukan diseluruh wilayah, baik di dalam dan diluar zona ekonomi eksklusif. Ayat 1 juga menyatakan bahwa didaerah dimana tidak terdapat organisasi internasional perikanan, maka Negara pantai dan Negara lain . Awalnya peraturan mengenai pengelolaan dan konservasi ikan terutama di laut lepas dan ikan bermigrasi jauh diatur dalam United Nations on the Lax of the Sea UNCLOS tahun 1982 .Akan tetapi hanya secara umum saja diatur mengenai ikan bermigrasai jauh, inilah menyebabkan masih kurangnya kekuatan hukum untuk melindungi konservasi ikan bermigrasi jauh.Inti dari penjelasan pasal 64 adalah tentang jenis ikan bergerak melalui daerah luas ruang laut, baik di dalam dan di luar zona ekonomi eksklusif .jenis ikan ini disebut “ikan bermigrasi jauh” sebagaimana tercantum dalam Lampiran I , termasuk ikan tuna,. Ikan todak dan ikan marlin. Ayat 1 mengharuskan Negara pantai dan Negara lain di suatu ilayah tertentu untuk kerjasama untuk memastikan konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimum dari jenis ikan bermigrasi jauh. 93 Distant-xater fishing vessel adalah kapal penangkap ikan yang melakukan kegiatan penangkapan di luar wilayah kawasan pantai Negara asalnya dan mampu berlayar jauh hingga ke laut lepas. Kapal penangkap ikan ini sekaligus berfungsi untuk tempat pengalengan ikan dan langsung diproses untuk komoditi ekspor Negara lain. Philippe Sands, Principles of International Enviromental Lax, second edition, Cambridge University Press, United Kingdom, 2003, hal. 569 94 RR. Crunchill and AV. Lowe, The Law of The Sea, third edition, Manchester University Press, United Kingdom, 1999, hal 299. warganegaranya memanen jenis ikan tersebut harus bekerjasama unntuk membentuk organisasi tersebut. 95 Hasil UNCED 1922 salah satunya ialah Agenda 21 Bab 17 , khususnya butir 17.49. dalam butir 17.49 menyatakan bahwa Negara-negara harus mengambil aksi efektif dengan melakukan kerjasama bilateral atau multilateral baik ditingkat sub regional, regional maupun global untuk memastikan baha penangkapan ikan di laut lepas dilaksakan sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982. Oleh karena itu, sesuai agenda 21 tersebut , pada tahun 1992 ditindaklanjutilah melalui Resolusi PBB No. 47192 tepatnya tanggal 22 Desember 1992 tentang Pelaksanaan Konferensi tentang pengelolaan dan konservasi jenis ikan bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh. Berdasarkan hal- hal diatas akhirnya pada tanggal 4 Desember tahun 1995 dalam United Nations Conference on Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks sesi ke 6, menghasilkan suatu persetujuan dan persetujuan tersebut diimplementasikan di . Tapi dari penjelasan diatas tidak dijelaskan berapa jumlah ikan yang dapat ditangkap dan hal-hal wajib apa yang harus dipatuhi oleh Negara-negara dalam memanfaatkan seumberdaya ikan terutama ikan bermigrasi jauh. Ini menimbulkan banyak perdebatan dan perselisihan antar Negara dalam memperebutkan pengelolaan ikan bermigrasi jauh ini. Dalam International Conference on Responsible Fishing 1992 , menghasilkan Declaratin of Cancun. Kemudian hasil Declatartion of Cancun berupa penagkapan ikan yang bertanggung jaab digunakan sebagai masukan dalam United Nations Conference on Environment and Development UNCED 1992. 95 Chomariyah, Op.Cit.hal. 5. dalam Agreement for the Implementation of theProvisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation andManagement of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish StocksUnited Nations Fish Stocks AgreementUNFSA 1995. UNFSA 1995 tetap mengacu pada UNCLOS 1982, akan tetapi isi dari UNFSA ini adalah penjabaran lebih lanjut mengenai aturan ikan beruaya jauh dalam UNCLOS 1982. Indonesia sendiri meratifikasi UNFSA 1995 pada tanggal 18 Juni 2009 melalui Undang-Undang No. 21 tahun 2009. Tujuan dari UNFSA 1995 sendiri dijelaskan dalam pasal 2, yaitu untuk menjamin konservasi jangka panjang dan penggunaan berkelanjutan atas persediaan ikan yang bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan- ketentuan yang terkait Konvensi. Adapun prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam UNFSA 1995, adalah : 1. Mengambil tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan beruaya terbatas dan beruaya jauh dan memajukan tujuan penggunaan optimal sediaan ikan tersebut; 2. Menjamin bahwa tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang ada dan dirancang untuk ememlihara atau memulihkan sediaan ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari; 3. Menerapkan pendekatan kehati-hatian; 4. Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya, dan faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk dalam ekosistem yang sama atau menyatuberhubungan dengan atau bergantung pada sediaan target tersebut; 5. Mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau menyatuberhubungan denga atau bergantung pada sediaan target tersebut; 6. Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan, tangkapan spesies nontarget , baik ikan maupun bukan spesies ikan dan dampak terhadap spesies , melalui tindakan pngembangan dan penggunaaan alat tangkap yang efektif serta teknik yang ramah lingkungan dan murah; 7. Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut; 8. Mengambil tindakan untuk mecegah danatau mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan; 9. Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan substansi; 10. Mengumpulkan dan memberikan pada saat yang tepat , data lengkap dan akurat mengenai kegiatan perikanan, antara lain posisi kapal, tangkapan spesies target dan non target dan usaha penangkapan ikan , serta informasi dari program riset nasional dan internasional; 11. Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan terknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan; 12. Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengaasan dan pengadilan. Mencermati apa telah dijelaskan diatas, maka tidak ada alasan bagi Negara pantai dan Negara kepulauan untuk tidak mengesahkan kesepakatan ini. Sudah menjadi hal yang patut untuk mendapat perhatian Negara-negara yang meratifikasi. Kesepakatan ini, sehingga benar-benar tercipta suatu kegiatan konservasi dan pengelolaan ikan beruaya terbatas dan ikan beruaya jauh yang baik dan tepat. 96 a. Meningkatkan pengambilan keputusan untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan dengan mendapatkan dan membagikan informasi ilmiah terbaik yang tersedia dan menerapkan teknik lanjutan untuk menangani risiko dan ketidakpastian; Oleh karena itu Negara-negara harus mematuhi prinsip-prinsip yang sudah ditegaskan dalam prinsip umum UNFSA 1995. Sesuai yang dinyatakan dalam pasal 6, Negara-negara dalam melakukan konservasi, pengelolaan dan eksploitasi sediaan ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh harus menerapkan pendekatan kehati-hatian. Dan dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian Negara harus : 96 H. Supriadi , Alimuddin, Hukum Perikanan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta , 2011, hal 79-80. b. Menerapkan petunjuk pelaksanaan sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran II dan menetapkan, atas dasar informasi ilmiah terbaik yang tersedia, titik-titik referensi khusus sediaan dan tindakan yang dilakukan apabila mereka terlampaui; c. Mempertimbangkan, antara lain, ketidakpastian yang berkaitan dengan ukuran dan produktivitas dari sediaan, titik referensi, kondisi sediaan dalam kaitan dengan titik referensi tersebut, tingkat-tingkat dan distribusi pertumbuhan perikanan dan dampak dari kegiatan perikanan pada spesies nontarget dan berhubungan atau tergantung, serta kondisi saat ini dan prakiraan lautan, lingkungan, dan sosial ekonomi; dan d. Mengembangkan pengumpulan data dan program riset untuk menilai dampak atas penangkapan pada spesies non target, berhubungan atau tergantung, dan lingkungan mereka, dan menyetujui perencanaan yang diperlukan untuk menjamin konservasi spesies tersebut dan untuk melindungi habitat yang mendapatkan perhatian khusus Dalam pasal 6 ayat 6 juga diatur mengenai penangkapan ikan yang baru atau eksploratori, ada abeberapa hal yang harus dilakukan oleh negara, yakni harus mengambil dengan sangat berhati-hati tindakan konservasi pengelolaan termasuk, antara lain, batas penangkapan dan batas-batas upaya. Tindakan tindakan tersebut tetap dilakukan sampai menemukan data yang valid untuk memastikan apa dampak dari penangkapan ikan tersebut. Pada ayat 7 juga dikatakan bahwa Apabila suatu fenomena alamiah memiliki dampak merugikan yang besar terhadap status dari sediaan ikan yang beruaya terbatas atau sediaan ikan yang beruaya jauh, Negara-negara harus mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan pada suatu keadaan darurat untuk menjamin bahwa kegiatan perikanan tidak memperburuk dampak merugikan tersebut. Negara-negara juga harus mengambil tindakan-tindakan dengan basis darurat apabila kegiatan perikanan mengakibatkan ancaman yang serius bagi kelestarian sediaan tersebut. Tindakan-tindakan yang diambil pada basis keadaan darurat harus bersifat sementara dan harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia. Hal diatas menandakan bahwa memang pendekatan kehati-hatian yang harus dilakukan oleh negara-negara tadi sejalan dengan konservasi dan pengelolaan terhadap jenis ikan beruaya terbatas dan jauh ini. Dan penjabaran pasal 6 memang menyatakan bahwa ikan beruaya terbatas dan ikan beruaya jauh sebenarnya adalah jenis ikan yang langka dan sangat dilindungi. Dalam UNFSA 1995 juga diatur mengenai unauthorized fishing, yaitu : pada pasal 7 mengenai kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan berkaitan dengan sediaan ikan yang beruaya terbatas, Negara-negara pantai tersebut dan Negara-negara yang warga negaranya melakukan penangkapan sediaan tersebut pada wilayah yang berdampingan dengan Laut Lepas harus meminta, apakah secara langsung atau melalui mekanisme yang sesuai untuk kerja sama sebagaimana ditentukan di dalam Bagian III, untuk menyetujui terhadap tindakan- tindakan yang diperlukan untuk konservasi sediaan-sediaan tersebut pada wilayah yang berdampingan dengan Laut Lepas. Kemudian berkaitan dengan sediaan ikan yang beruaya jauh, Negara-negara pantai yang terkait dan Negara-negara lain yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan pada suatu regional tertentu harus bekerjasama, baik langsung atau melalui mekanisme yang sesuai untuk kerja sama sebagaimana ditentukan di dalam Bagian III, dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan penggunaan optimum dari sediaan tersebut pada seluruh regional tersebut, baik di dalam maupun di luar wilayah di bawah yurisdiksi nasional. Dalam melaksanakan konservasi dan pengelolaan ikan beruaya terbatas dan beruaya jauh, diperlukan berbagai kerjasama antara negara-negara pantai, negara-negara yang melakukan penangkapan ikan dan suatu organisasi baik yang regional maupun yang sub regional. UNFSA 1995 mengaturnya dalam pasal 8 bagian III tentang mekanisme untuk kerjasama internasional mengenai sediaan ikan beruaya terbatas dan sediaan ikan beruaya jauh. Pasal 18 UNFSA 1995 mengatur tentang kewajiban-kewajiban Negara Bendera, yang mewajibkan kapal-kapal yang mengibarkan bendera suatu negara tidak melakukan penangkapan ikan yang tidak sah unauthorized dalam wilayah dibawah yurisdiksi nasional negara-negara lain. Dalam pasal ini mencantumkan beberapa persyaratan pengujian , melalui program observer, inspection schemes, unloading report , supervision of transshipment dan monitoring. Sedangkan pasal 20 UNFSA 1995 mewajibkan negara-negara untuk bekerjasama dalam penegakan hukum melalui bantuan di bidang penyelidikan atas pelanggaran yang terjadi. Semua negara harus berusaha memenuhi permintaan yang diajukan oleh Negara Bendera berkaitan denagn penyelidikan tersebut, terutama terkait dengan penangkapan ikan tanpa izin di wilayah bawah yurisdiksi suatu Negara Pantai. Pasal 21 juga mengatur tentang kerjasama sub regional dan regional. Dalam pasal 23 tentang tindakan-tindakan yang diambil oleh suatu Negara Pelabuhan, mewajibkan negara-negara dapat membuat peraturan-peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas nasional yang terkait untuk melarang pendaratan dan transshipment di luat lepas. Beberapa pasal diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksakan negara pantai, negara bendera dan negara pelabuhan dalam mencegah ilegal fishing , meskipun istilah yang digunakan adalah unautorizhed fishing , namun makna yang terkandung dalam pasal-pasal diatas adalah illegal fishing. Aturan dalam UNFSA bukan hanya mengatur bagaimana pengelolaan berdasarkan jenis ikan saja, akan tetapi berdasarkan subjek-subjek yang terkait untuk melakukan konservasi dan pengelolaan tersebut. Untuk itulah diatur mengenai kewajiban dan larangan bagi negara-negara maupun kapal-kapal penangkap ikan beruaya terbatas dan beruaya jauh. Negara-negara berkembang adalah negara-negara yang pada umumnya masih memiliki keterbatasan dan kekurangan dalam melaksanakan kewajiban untuk bekerjasama dalam penetapan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan beruaya jauh, baik dalam hal kegiatan maupun penyediaan teknologi untuk hal tersebut. Oleh karena itu Bagian VII tentang persyaratan negara-negara berkembang, diatur beberapa hal tentang kebutuhan khusus yang diperlukan dalam melaksanakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan beruaya jauh untuk negara-negara berkembang. Ini diatur dalam pasal 24, pasal 25 dan pasal 26. Dalam melakukan kegiatan konservasi dan pengelolaan ikan beruaya terbatas dan beruaya jauh menurut UNFSA 1995 tidak menutup kemungkinan bahwa kaan terjadi sengketa antar negara. Dalam UNFSA 1995 bagian VIII mulai pasal 27 sampai dengan 32 diatur mengenai penyelesaian sengketa. Dalam upaya penyelesaian sengketa tersebut sangat mengutamakan cara damai yang dapat melalui negosiasi, inquiry, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum, melalui lembaga-lembaga atau pengaturan-pengaturan regional, atau cara-cara damai lainnya menurut pilihan mereka sendiri. Selain itu, apabila terdapat permasalahan yang bersifat teknis, dapat pula menggunakan panel tenaga ahli ad hoc yang mereka Negara-negara bersengketa untuk membantu menyelsaikan permasalahan teknis tersebut. Dengan diberlakukannya UNFSA 1995 dalam dunia hukum internasional, maka aturan hukum ini menjadi acuan bagi keluarnya aturan lain mengenai konservasi sumber daya ikan dan acuan bagi terbentuknya berbagai organisasi regional maupun sub regional yang membahas tentang ikan beruaya terbatas dan beruaya jauh. BAB IV TINJAUAN HUKUM NASIONAL INDONESIA TERKAIT DENGAN PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL

A. UU No 45 Tahun 2009 Perubahan Undang-Undang No. 31 tahun 2004