Keanggotaan Indonesia Di Organisasi Perikanan Internasional Dalam Rangka Kerja Sama Pengelolaan Perikanan Regional Dan Internasional

(1)

KEANGGOTAAN INDONESIA DI ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA KERJA SAMA

PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

PAUL BRENA TARIGAN NIM: 100200249

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(2)

KEANGGOTAAN INDONESIA DI ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA KERJA SAMA

PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

PAUL BRENA TARIGAN NIM: 100200249

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui/Diketehui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum. NIP. 195612101986012001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. Arif, S.H., M.H. NIP. 196207131988031003 NIP. 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(3)

ABSTRAKSI Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.H.*

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

*** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ) Arif, S.H., M.H.**) Paul Brena Tarigan***)

Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (United Nations on the Law of the Sea) mulai berlaku tanggal 16 November 1994. UNCLOS mengatur tentang rejim-rejim yang menyeluruh tentang hukum laut. Dalam UNCLOS juga diatur mengenai konservasi dan pengelolaan ikan. Tidak berhenti pada UNCLOS saja, seiring perkembangan waktu, semakin banyak faktor yang membuat perlindungan, konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan menjadi terganggu. Faktor tersebut dapat berupa kemajuan teknologi, iklim dan kebutuhan pangan akan ikan yang semakin meningkat yang membuat orang melakukan cara apapun untuk memperoleh ikan dalam jumlah banyak. Hal ini memicu reaksi masyarakat internasional terutama negara-negara dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh karena itu dibentuklah beberapa aturan hukum internasional yang lebih spesifik lagi mengenai konservasi dan pengelolaan ikan , baik jenis ikan yang berada diwilayah teritorial, ZEE atau di laut lepas serta berbagai organisasi regional dan internasional yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan ikan tersebut. Salah satu aturan hukum internasional tersebut adalah

United Nations Fish Stocks Agreement 1995, dan beberapa organisasi baik regional atau inetrnasional yaitu Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna, Western and Central Pasific Fisheries Commission.

Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah keanggotaan Indonesia di organisasi perikanan internasional, bagaimana tinjauan hukum internasional tentang pengelolaan ikan regional dan internasional dan bagaiman tinjauan hukum nasional Indonesia sehubungan dengan aturan pengelolaan perikanan regional dan internasional.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Berdasarkan permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki peran dalam konservasi dan pengelolaan ikan regional maupun internasional, salah satunya ialah dengan cara meratifikasi beberapa aturan internasional mengenai hukum laut, pengelolaan ikan tuna sirip biru dan pengelolaan konservasi sediaan ikan beruaya jauh dan beruaya terbatas. Keikutsertaan Indonesia dalam kanggotaan dan konvensi-konvensi tersebut juga dapat dilihat dari berlakunya Undang-Undang Perikanan di Indonesia.

Kata Kunci : Organisasi Internasional, CCSBT dan WCPFC, Hukum Nasional Indonesia


(4)

ABSTRACTION Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.H.*

* Supervisor Lecturer I ** Supervisor Lecturer II

*** Student of Faculty of Law, University of Sumatera Utara ) Arif, S.H., M.H.**) Paul Brena Tarigan***)

Law of the Sea Convention or UNCLOS (United Nations on the Law of the Sea) is commencing on 16 November 1994 . UNCLOS regulates comprehensive regimes of law of the sea. UNCLOS also set on the conservation and management of fish. Whereby UNCLOS, as the time passes, more and more factors that make the protection, conservation and management of fish resources to be disturbed. These factors may include technological progress, climate and food needs will be increasing fish that makes people commit any way to get the fish in large quantities. This triggers a reaction of the international community, especially the countries in the United Nations (UN). Therefore some established rules of international law, more specifically on the conservation and management of fish, both types of fish that are in the territory, EEZ or on the high seas, as well as a variety of regional and international organizations related to the conservation and management of the fish. One of the rules of international law is the United Nations Fish Stocks Agreement in 1995, and some organizations are either regional or present international Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna, Western and Central Pacific Fisheries Commission.

The problem in this thesis is how Indonesia's membership in international fisheries organizations, how does international law review on the management of regional and international fish and how Indonesia's national judicial review with respect to the rules of international and regional fisheries management.

Types of research conducted in this study is a normative legal research. Normative legal research is a research refers to the legal norms contained in legislation and court rulings.

Based on the above issues can be concluded that Indonesia has a role in the conservation and management of regional and international fisheries, one of which is by ratifying some international rules of law of the sea, the management of bluefin tuna conservation and management of highly migratory fish stocks and straddling. Indonesia's participation as a member and these conventions can also be seen from the entry into force of the Law of Fisheries in Indonesia.

Keywords : International Organizations, CCSBT and WCPFC, Indonesia’s National Law


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama : PAUL BRENA TARIGAN

NIM : 100200249

Judul : KEANGGOTAAN INDONESIA DI ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA KERJA SAMA PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL

menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia mempertanggunjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Medan, April 2015

PAUL BRENA TARIGAN NIM. 100200249


(6)

KATA PENGANTAR

Segala pujian, hormat, sembah, serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas keselamatan yang kekal, serta kasih setia dan penyertaanNya yang tak berkesudahan dalam kehidupan penulis dan dari awal menuntut ilmu hingga dapat mengakhiri masa studi dengan menyelesaikan skrispsi ini sebagai tugas akhir. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Syukur atas kemurahan Tuhan Yesus Kristus yang memampukan penulis untuk merampungkan penelitian skripsi berjudul “KEANGGOTAAN INDONESIA DI ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA KERJA SAMA PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL” ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan dan bantuannya baik secara moril maupun materil dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(7)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih banyak untuk segenap perhatian dan bimbingan yang berharga yang diberikan bagi penulis;

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberi ilmu, sumbangan pemikiran dan bimbingan yang berharga dalam penulisan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan;

7. Bapak Arif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberi arahan dan saran yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Kedua orangtua penulis yaitu Bapak M. Tarigan, S.H. dan Ibu J. A. Sinulingga, yang sudah sangat banyak membantu penulis dari segi moral, nasihat dan doa-doa serta seluruh tenaganya agar dapat mewujudkan impian penulis untuk meraih gelar sarjana. Gelar sarjana ini penulis dedikasikan untuk seluruh cinta, kasih dan sayang kalian; 9. Seluruh Dosen, Staff Pengajar dan Pegawai Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dan juga kepada Dosen PA penulis Bapak Amsali Ginting, S.H., M.Hum;


(8)

10.Keluarga besar Tarigan dan Sinulingga yang sudah mendukung dan mendorong penulis untuk bisa mencapai akhir perkuliahan dengan baik serta terkhusus kepada saudara dan saudari kandung penulis Stephen S. Tarigan dan Yohana E. Tarigan;

11.Sahabat-sahabat penulis, Deffid Ivani Siahan, S.H., Eko Simbolon, S.H., Mentari Sembiring, S.H., Juliani Sinaga, S.H., terimakasih atas dukungan semangat dan doanya yang ikut membantu penulis untuk dapat menyusul kalian meraih gelar sarjana;

12.Kelompok Kecil Elohim Ozerli penulis, Kak Juliana Hutasoit, Rory, Andika, Kristina, Juli dan Riki serta Kelompok Kecil Festus, Paulus dan Deisy, doa-doa kalian membuat penulis semakin mengenal Yesus Kristus;

13.Kepada segenap komponen pelayanan UKM KMK USU UP FH mulai dari teman pengurus, PKK, AKK, alumni-alumni dan teman-teman pelayanan penulis di KDS 2012 Bang Monang, Kak Bora, Kak Romauli, Epifeni, Chandra dan yang lainnya, tempat dimana penulis bisa melayani Yesus Kristus lebih sungguh dan semakin diberkati; 14.Demisioner Presidium PEMA FH USU 2013-2014, Bang Akbar, Bang

Hotman, Bang Jonathan, Bang Rio Montes, Priawan, Ratih, Mupar, Randa, Hadis dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas pengalaman berorganisasi selama masa kuliah;

15.Kepada seluruh teman-teman stambuk 2010, terkhusus grup C, grup kuliah penulis sejak masuk FH USU, termasuk di dalamnya Ludfi,


(9)

Herman, Jelita, Yuni, Anrinanda “Bojo”, Aries, Fahry. Mifta, Tia, Ambar, Irfan, Hanna, Catherine, Hendini, Mario, Christian, Diki, Aditya, Ramadhan, Puspita, Zorro, Harun, Nadya karena kalian semua luar biasa;

16.Kepada pengurus pemuda-pemudi serta segenap jemaat gereja GKMI Kharispia Medan, yang sudah membantu penulis dalam doa-doanya; 17.Kepada seluruh teman-teman stambuk 2011, terkhusus kepada Sarah,

terima kasih banyak atas semangat dan dukungannya selama ini baik moril maupun materil yang penulis rasakan sangat membantu dan menolong, Tuhan Yesus senantiasa memberkati, serta kepada Jeremia yang ikut membantu penulis menyelesaikan skripsi ini melalui ide-idenya;

18.ILSA Angkatan 2010, komunitas mahasiswa hukum internasional di FH USU, komunitas yang bersahaja dan menginspirasi penulis untuk menyelesaikan skiripsi ini dengan baik serta kepada Sakafa, Maharanni, Ekpi, Yati, Kiki, Dandi, Maulana, Arko, Tika, Yayak, Fajrin, Daniella dan yang lainnya, terima kasih;

19.Kepada teman-teman les penulis, Kak Deasy, Kak Stevani, Dian/Iin, Tika, Syahputra dan Elvana, serta teman-teman stambuk 2012, 2013, 2014 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini tidak lain karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis dalam menyusun karya ilmiah. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun penulis


(10)

terima dengan rendah hati demi penulisan ilmiah yang lebih baik dimasa yang akan dating.

Kiranya kemurahan Tuhan memberkati dan menyertai kalian dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih.

Medan, April 2015 Hormat Penulis

Paul Brena Tarigan NIM : 100200249


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN………. i

ABSTRAKSI……… ii

ABSTRACT……….... iii

LEMBAR PERNAYATAAN………. iv

KATA PENGANTAR……… v

DAFTAR ISI ……….. vi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah……….. 11

C.Tujuan Penelitian……….……….. 11

D.Manfaat Penelitian………. 12

E. Keaslian Penelitian………. 13

F. Tinjauan Kepustakaan……….... 13

G.Metode Penelitian……….. 19

H.Sistematika Pembahasan……….……….. 22

BAB II KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL A.Prosedur dan Persyaratan dalam Organisasi Perikanan Internasional...24

B. Keanggotaan Indonesia dalam Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)………...…………....32


(12)

C.Keanggotaan Indonesia dalam Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC)...48

BAB III HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL

A.Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958 (High Seas Fishing Convention/Konvensi Perikanan Laut Lepas

1958)...56

B. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982)…………....62

C.United Nations Fish Stock Agreement 1995 (UNFSA 1995)……...…70

BAB IV TINJAUAN HUKUM NASIONAL INDONESIA TERKAIT DENGAN PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL

A. Pengaturan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan di laut lepas yang diatur dalam UU No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan dan telah diubah dengan UU No.45 tahun 2009 Tentang Perikanan…………...81

B. Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan……….94 C. Peraturan Presiden No. 61 tahun 2013 tentang Pengesahan Konservasi

dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Samudera Pasifik Barat dan Tengah……….103


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan……….112

B. Saran………...114


(14)

ABSTRAKSI Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.H.*

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

*** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ) Arif, S.H., M.H.**) Paul Brena Tarigan***)

Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (United Nations on the Law of the Sea) mulai berlaku tanggal 16 November 1994. UNCLOS mengatur tentang rejim-rejim yang menyeluruh tentang hukum laut. Dalam UNCLOS juga diatur mengenai konservasi dan pengelolaan ikan. Tidak berhenti pada UNCLOS saja, seiring perkembangan waktu, semakin banyak faktor yang membuat perlindungan, konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan menjadi terganggu. Faktor tersebut dapat berupa kemajuan teknologi, iklim dan kebutuhan pangan akan ikan yang semakin meningkat yang membuat orang melakukan cara apapun untuk memperoleh ikan dalam jumlah banyak. Hal ini memicu reaksi masyarakat internasional terutama negara-negara dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh karena itu dibentuklah beberapa aturan hukum internasional yang lebih spesifik lagi mengenai konservasi dan pengelolaan ikan , baik jenis ikan yang berada diwilayah teritorial, ZEE atau di laut lepas serta berbagai organisasi regional dan internasional yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan ikan tersebut. Salah satu aturan hukum internasional tersebut adalah

United Nations Fish Stocks Agreement 1995, dan beberapa organisasi baik regional atau inetrnasional yaitu Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna, Western and Central Pasific Fisheries Commission.

Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah keanggotaan Indonesia di organisasi perikanan internasional, bagaimana tinjauan hukum internasional tentang pengelolaan ikan regional dan internasional dan bagaiman tinjauan hukum nasional Indonesia sehubungan dengan aturan pengelolaan perikanan regional dan internasional.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Berdasarkan permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki peran dalam konservasi dan pengelolaan ikan regional maupun internasional, salah satunya ialah dengan cara meratifikasi beberapa aturan internasional mengenai hukum laut, pengelolaan ikan tuna sirip biru dan pengelolaan konservasi sediaan ikan beruaya jauh dan beruaya terbatas. Keikutsertaan Indonesia dalam kanggotaan dan konvensi-konvensi tersebut juga dapat dilihat dari berlakunya Undang-Undang Perikanan di Indonesia.

Kata Kunci : Organisasi Internasional, CCSBT dan WCPFC, Hukum Nasional Indonesia


(15)

ABSTRACTION Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.H.*

* Supervisor Lecturer I ** Supervisor Lecturer II

*** Student of Faculty of Law, University of Sumatera Utara ) Arif, S.H., M.H.**) Paul Brena Tarigan***)

Law of the Sea Convention or UNCLOS (United Nations on the Law of the Sea) is commencing on 16 November 1994 . UNCLOS regulates comprehensive regimes of law of the sea. UNCLOS also set on the conservation and management of fish. Whereby UNCLOS, as the time passes, more and more factors that make the protection, conservation and management of fish resources to be disturbed. These factors may include technological progress, climate and food needs will be increasing fish that makes people commit any way to get the fish in large quantities. This triggers a reaction of the international community, especially the countries in the United Nations (UN). Therefore some established rules of international law, more specifically on the conservation and management of fish, both types of fish that are in the territory, EEZ or on the high seas, as well as a variety of regional and international organizations related to the conservation and management of the fish. One of the rules of international law is the United Nations Fish Stocks Agreement in 1995, and some organizations are either regional or present international Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna, Western and Central Pacific Fisheries Commission.

The problem in this thesis is how Indonesia's membership in international fisheries organizations, how does international law review on the management of regional and international fish and how Indonesia's national judicial review with respect to the rules of international and regional fisheries management.

Types of research conducted in this study is a normative legal research. Normative legal research is a research refers to the legal norms contained in legislation and court rulings.

Based on the above issues can be concluded that Indonesia has a role in the conservation and management of regional and international fisheries, one of which is by ratifying some international rules of law of the sea, the management of bluefin tuna conservation and management of highly migratory fish stocks and straddling. Indonesia's participation as a member and these conventions can also be seen from the entry into force of the Law of Fisheries in Indonesia.

Keywords : International Organizations, CCSBT and WCPFC, Indonesia’s National Law


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sumber daya ikan di laut lepas merupakan salah satu sumber pangan dan komoditi industri kelautan yang sangat penting di dunia. Laut lepas merupakan zona maritim yang berada di luar wilayah yuridiksi nasional suatu negara. Kebebasan di laut bebas didasari oleh prinsip “freedom of the high seas”

termasuk didalamnya terdapat prinsip kebebasan menangkap ikan (freedom fishing).1

Salah satu sejarah perdagangan dunia yang tertua yaitu perdagangan ikan Akibat dari prinsip tersebut terjadi penangkapan ikan yang berlebih

(overfishing). Penyebab overfishing ada dua, yaitu pemahaman yang keliru terhadap prinsip “freedom of the high seas” dan perkembangan teknologi armada perikanan dan alat penangkap ikan. Ketergantungan manusia atas sumber daya hayati laut terutama pada sumber daya ikan sangatlah besar, dapat dilihat dari sejarah-sejarah penangkapan dan perdagangan ikan jauh sebelum masehi dan tetap dilakukan hingga saat ini.

Lofoten ke bagian selat

yang telah berlangsung lebih dari 1000 tahun, namun masih merupakan jenis perdagangan yang penting hingga sekarang. DiPandyas, kerajaan Tamil

1


(17)

Dravidian tertua, dikenal dengan tempat perikanan mutiara diambil sejak satu abad sebelum masehi. Pelabuhan Tuticorin dikenal dengan perikana dalam. Paravas, bangsa Tamil yang berpusat di Tuticorin, berkembang menjadi masyarakat yang makmur oleh karena perdagangan mutiara mereka, pengetahuan ilmu pelayaran dan perikanan.2

Masalah-masalah tersebut menjadi semakin sulit apabila ada sengketa mengenai sumber daya alam termasuk sumber daya ikan yang terdapat di wilayah perairan laut masing-masing negara. Perbedaan paham dan cara untuk membatasi wilayahnya masing-masing menjadi masalah yang terus berkembang ke arah yang tidak terkendali sehingga menimbulkan ketidakpastian, antara lain, adanya klaim-klaim sepihak atas laut yang berupa tindakan pelebaran laut territorial. PBB sebagai organisasi internasional yang mengganti peran Liga Bangsa-Bangsa

Perkembangan zaman dan teknologi yang semakin maju dan modern juga mempengaruhi sektor perikanan dunia terutama dalam cara penangkapan ikan dan jarak tempuh kapal yang semakin jauh untuk mengikuti pergerakkan migrasi ikan-ikan yang menjadi sumber pangan dan komoditi industri kelautan serta semakin tingginya konsumsi ikan oleh negara-negara berkembang maupun maju. Pengaruh berakhirnya Perang Dunia I dan II serta berdirinya negara-negara baru juga menjadi faktor pendorong munculnya masalah-masalah baru tentang kepentingan masing-masing negara dalam membatasi setiap wilayah teritorialnya mulai dari darat, udara dan laut.

2


(18)

sebagai penjaga perdamaian dan keamanan dunia melalui Majelis Umumnya menyerukan negara-negara anggotanya melalui sebuah resolusi, supaya menyelenggarakan Konferensi internasional untuk membahas dan merumuskan konvensi internasional yang hasilnya akan mengatur masalah-masalah sengketa termasuk masalah kelautan secara utuh dan terpadu sebagai satu kesatuan.

Setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 24 Oktober 1945, di dalam Pasal 13 ayat (1) huruf (a) Piagamnya mengamanatkan kepada Majelis Umum, supaya melakukan pengembangan secara progresif hukum internasional dan pengodifikasiannya. Berdasarkan amanat ini, Majelis Umum pada tahun 1947 membentuk Komisi Hukum Internasional (International Law Commission). Berdasarkan amanat dari pasal 13 ayat (1) huruf (a) Piagam PBB dan juga berdasarkan Statutanya sendiri, Komisi Hukum Internasional yang telah berhasil menyiapkan rancangan naskah dari beberapa instrumen hukum internasional pada masa-masa awal berdirinya, antara lain sebagai berikut.

a. Draft Declaration on the Rights and Duties of States:

b. Ways and Means for Making the Evidence of Customary International Law More Readily Available;

c. Formulation of Nurenberg Principles;

d. Question of International Criminal Jurisdiction;

e. Reservation to Multilateral Conventions;


(19)

g. Draft Code of Offences against the Peace and Security of Mankind;

h. Nationality, including Statelessness;

i. Law of the Sea.3

Dalam bidang hukum laut, Komisi Hukum Internasional telah berhasil menyiapkan rancangan naskah konvensi hukum laut yang meliputi :

a. Rancangan naskah Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan;

b. Rancangan naskah Konvensi tentang Laut Lepas;

c. Rancangan naskah Konvensi tentang Perikanan dan Pengonservasian Sumber-Sumber Daya Hayati Laut Lepas; dan

d. Rancangan naskah Konvensi tentang Landas Kontinen.

Pada 24 Februari sampai 27 April 1958 diselenggarakanlah Konferensi Hukum laut Internasional di Jenewa yang berhasil menyepakati empat konvensi tentang hukum laut termasuk di dalamnya ialah Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas (Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-Sumber Daya Hayati Laut Lepas).4

Namun dalam perkembangannya Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958 gagal mencapai kata sepakat mengenai lebar laut territorial yang seragam, sehingga keempat Konvensi menjadi kehilangan maknanya. Kemudian

3

I Wayan Pathiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2014, hal.16

4


(20)

diselenggarakannya Konferensi Hukum Laut Jenewa 1960 yang juga berujung pada ketidaksepahaman. Akhirnya, Konferensi Hukum Laut PBB yang mulai diselenggarakan di Caracas, Venezuela, pada tahun 1973 kemudian dilanjutkan di New York dan Jenewa secara silih berganti, dan akhirnya berhasil menyepakati naskah final Konvensi yang ditandatangani dalam Konferensi di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982.5

Konferensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Conventions on the Law of the Sea 1982/UNCLOS) terdiri atas 17 Bagian (Part) yang terbagi lagi dalam seksi-seksi (sections) dan selanjutnya dalam pasal-pasal (articles) yang terdiri dari 320 pasal, mulai pasal 1 sampai dengan 320 yang disertai lampiran

(annexes) sebanyak 9 lampiran. Di dalam Pasal 87 ayat (1) huruf (e) UNCLOS 1982 yang mengatur tentang kebebasan menangkap ikan di sertai dengan kewajiban yang diatur dalam bab VII bagian 2 Konvensi. Bagian 2 Konvensi mengatur tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas terdiri dari Pasal 116 sampai Pasal 120. Pada bagian 2 tersebut ditetapkan kerangka hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pemanfaatan perikanan di laut lepas, yaitu hak kebebasan untuk menangkap ikan harus diimbangi dengan kewajiban negara dalam pengawasan kegiatan warga negaranya agar tidak melanggar ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi di laut lepas.6

Tujuan dari pengaturan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan di laut lepas adalah untuk menghindari terjadinya konflik antara masyarakat internasional dimana sifat dari sumber daya ikan jenis bermigrasi jauh yang

5

Ibid.

6

Dr. Chomariyah, SH.,MH., Hukum Pengelolaan Konservasi Ikan – Pelaksanaan Pendekatan kehati-hatian oleh Indonesia.,Setara Press, Malang, 2014, hal. 3


(21)

melintasi batas negara. Di dalam UNCLOS sendiri terdapat dua pasal yang mengatur tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya jenis ikan bermigrasi terbatas dan jenis ikan bermigrasi jauh yaitu Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) UNCLOS 1982. Inti dari Pasal 64 adalah tentang jenis ikan bergerak melalui daerah luas ruang laut, baik di dalam dan di luar zona ekonomi eksklusif. Jenis ikan ini disebut “jesnis ikan bermigrasi jauh,” termasuk ikan tuna, ikan todal dan marlin.

Respon positif ditunjukkan sejumlah negara di dunia dengan membentuk organisai-organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization/RMFAOs) menurut amanat Pasal 64 UNCLOS 1982 untuk bekerjasama berkaitan dengan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan di laut lepas .

Saat ini ada sekitar 11 organisasi pengelolaan perikanan regional

(Regional Fisheries Management Organization/RMFAOs) yang terbentuk, terutama yang berada di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yaitu: Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission

(WCPFC).

Selain diatur dalam UNCLOS, beberapa persetujuan internasional dengan tujuan membentuk kerangka hukum pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan di laut lepas sudah dilakukan, beberapa diantaranya yaitu: Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993/Compliance Agreement 1993 dan


(22)

Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (United Nations Fish Stocks Agreement/UNFSA 1995).

Compliance Agreement 1993 adalah persetujuan internasional dalam kerangka Food and Agriculture Organizations (FAO) dengan pengaturan mengenai tanggungjawab Negara bendera untuk membuat suatu pengaturan guna memastikan bahwa kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera suatu negara di laut lepas tidak melakukan aktivitas yang dapat melemahkan efektivitas langkah-langkah pengelolaan dan konservasi internasional.7

Dalam prinsip-prinsip umumnya UNFSA 1995 menyatakan bahwa Negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan iakn di laut lepas, harus bekerjasama dalam melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) yang sebagaimana prinsip-prinsip umum tersebut tercantum dalam Pasal 5 UNFSA 1995. UNFSA 1995 sendiri memiliki hubungan langsung dengan UNCLOS 1982 yang dijelaskan dalam Pasal 4 UNFSA 1995, bahwa persetujuan ini “harus diartikan dan diterapkan dalam konteks dan cara yang konsisten dengan UNCLOS 1982”.8

Beberapa RMFAOs memiliki tujuan yang sama, yaitu melakukan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh serta mereka harus melaksanakannya sesuai dengan UNFSA 1995, antara

7

Ibid.

8


(23)

lain pelaksanaan pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan dan pelaksanaan prinsip-prinsip umum lainnya dalam Pasal 5 UNFSA 1995.9

Hingga saat ini Indonesia telah tercatat secara resmi menjadi anggota dari 3 organisasi pengelolaan perikanan regional yang melingkupi perairan Indonesia, yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).10

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau11 dengan luas wilayahnya 1.913.578 km² serta luas perairannya 3.257.483 km² memiliki sumber daya ikan yang besar mulai dari ikan yang beruaya jauh dan yang beruaya terbatas. Letak geografis Indonesia yang juga diapit oleh dua benua dan dua samudera menjadikan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah migrasinya. Ikan-ikan ini ialah tuna dan sebangsa tuna. Komoditas ikan tuna maupun sebangsa ikan tuna merupakan komoditas ekspor yang penting dari hasil perikanan laut Indonesia yang mampu menyumbangkan devisa negara mencapai 40 triliun rupiah dengan data produksi tuna lima tahun terakhir rata-rata mencapai lebih dari 1,1 juta ton pertahun dari jenis tuna cakalang dan tongkol.12

Berdasarkan laporan resmi Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Kementrian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2010 ekspor tuna sebesar

9

Chomariyah, Op.Cit.

10

12

Januari 2015


(24)

122.450 ton dengan nilai US$ 499 juta (Rp 4,5 triliun pertahun), tahun 2011 sebesar 141.774 ton dengan nilai US$ 383 juta, terdapat kenaikan sebesar 30,1%. Produksi tuna dan sebangsa tuna pada tahun 2011 sebesar 955.520 ton dan tuna sebesar 230.580 ton, serta untuk kawasan ASEAN, produksinya mencapai 26,2% dari produk tuna dunia yang mencapai 1,7 juta ton.13

Data ini menunjukkan bahwa sektor perikanan di Indonesia bertumbuh dan berkembang pesat menjadi devisa negara yang besar. Namun dalam perkembangannya terjadi over exploitation, hal ini dipertegas dalam laporan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan bekerjasama dengan Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang menyatakan: “…sebagian wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia mengalami over exploitation, terutama WPP yang berdekatan dengan laut lepas”. Sumber daya ikan yang mengalami

over exploited antara lain, jenis ikan demersal (kakap merah, kerapu, dan lainnya), tuna besar (cakalang, albakora, madidihang/yellowfin tuna, tuna mata besar/bigeye tuna, dan tuna sirip biru selatan).14

Kondisi over exploitation ini juga disebabkan over fishing yang prakteknya dilakukan secara illegal yang dimana praktek tersebut sangat merugikan dan membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan terkhusus sumber daya ikan bermigrasi jauh. Hukum internasional dengan jelas melarang adanya praktek illegal fishing begitu juga peran serta organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional dalam mengatur regulasi pembatasan jumlah penangkapan

13

Chomariyah, Op.Cit.

14


(25)

ikan demi tetap menjaga kelestarian ikan dan penangkapan ikan yang berdasarkan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach).

Indonesia dengan sumber daya ikan yang besar terutama di laut memiliki kepentingan yang sangat besar untuk dapat mengeksplorasi, mengeksploitasi, mengelola serta mengkonservasi sumber daya ikannya secara baik dan benar maka Indonesia meratifikasi ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan, antara lain: UNCLOS 1982 diratifikasi melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982, UNFSA 1995 diratifikasi melalui Undang-Undang No. 21tahun 2009 tentang Pengesahan UNFSA 1995 dan menjadi anggota resmi dalam organisasi pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan regional CCSBT diratifikasi melalui Peraturan Presiden RI No. 109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT 1993 serta WCPFC 2000 diratifikasi melalui Peraturan Presiden RI No.61 tahun 2013 tentang Pengesahan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Samudera Pasifik Barat dan Tengah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan judul dan latar belakang di atas, adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah keanggotaan Indonesia di organisasi perikanan internasional?

2. Bagaimanakah tinjauan hukum internasional tentang pengelolaan perikanan regional dan internasional?


(26)

3. Bagaimanakah tinjauan hukum nasional Indonesia sehubungan dengan aturan pengelolaan perikanan regional dan internasional?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai degan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, makan penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui dan membahas keanggotaan Indonesia dalam organisasi perikanan internasional.

2. Untuk mengetahui dan membahas hukum internasional yang mengatur tentang pengelolaan perikanan regional dan internasional.

3. Untuk mengetahui dan membahas hukum nasional Indonesia yang sehubungan dengan aturan pengelolaan perikanan regional dan internasional.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat member kegunaan sebagai berikut : 1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat meberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum internasional pada khususnya.


(27)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbangan pemikiran sebagai berikut :

a. Dapat memberikan masukan kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan.

b. Dapat memberikan masukan kepada masyarakat terkait keanggotaan Indonesia dalam organisasi perikanan internasional.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Keanggotaan Indonesia di Organisasi Perikanan Internasional Dalam Rangka Kerja Sama Pengelolaan Perikanan Regional dan Internasional” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penulisan ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Organisasi Internasional.

Mahkamah Internasional mengatakan bahwa “… organisasi internasional merupakan subyek hukum internasional dan mampu mendukung hak-hak dan


(28)

kewajiban-kewajiban internasional, dan bahwa organisasi internasional mempunyai kapasitas untuk mempertahankan hak-haknya dengan melakukan tuntutan internasional”.15

Kerjasama dapat didefinisikan sebagai serangkaian hubungan-hubungan yang tidak didasarkan pada kekerasan atau paksaan dan disahkan secara hukum, seperti dalam sebuah organisasi internasional seperti PBB atau Uni Eropa. Aktor-aktor negara membangun hubungan kerjasama melalui suatu organisasi internasinal dan rezim internasional, yang didefinisikan sebagai seperangkat aturan-aturan yang disetujui, regulasi-regulasi, norma-norma, dan prosedur-prosedur pengambilan keputusan, dimana harapan-harapan 2. Kerjasama Regional dan Kerjasama Internasional

Diera globalisasi yang semakin gencar dilaksanakan oleh warga dunia, kerjasama antar negara adalah hal yang dianggap sangat penting. Banyak hal yang menjadi objek dari sebuah kerjasama, misalkan, kerjasama dibidang ekonomi, pertahanan, politik, dan lain sebagainya. Kerjasama yang dijalin ini, tidak lain adalah karena masyarakat dunia memahami bahwa, sebuah negara tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa adanya bantuan atau campur tangan negara lain, atau yang menurut Aries Toteles Zoon Politicon.

15


(29)

para aktor dan kepentingan-kepentingan negara bertemu dalam suatu lingkup hubungan internasional (Dougherty&Pfaltzgraff,1997:418-419).16

Diskusi kerjasama internasional secara teori meliputi hubungan antara dua negara atau hubungan antara unit-unit yang lebih besar disebut juga dengan multilateralisme. Walaupun bentuk kerjasama seringkali dimulai diantara dua negara, namun fokus utama dari kerjasama internasional adalah kerjasama multilateral. Multilateralisme didefinisikan oleh John Ruggie sebagai bentuk intstitusioanl yang mengatur hubungan antara tiga atau lebih negara berdasarkan pada prinsip-prinsip perilaku yang berlaku umum yang dinyatakan dalam berbagai bentuk institusi termasuk didalamnya organisasi internasional, rezim

Ada beberapa alasan mengapa negara melakukan kerjasama dengan negara melakukan kerjasama dengan negara lainnya:

1. Meningkatkan pendapatan perekonomian negara. Hal ini dikarenakan, setiap negara memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, dan untuk memenuhu kebutuhan ini dibutuhkan sebuah rangkaian kerjasama yang tentunya akan berdampak kepada benefit suatu negara.

2. Untuk meningkatkan efisiensi yang berkaitan dengan pengurangan biaya. 3. Karena adanya masalah-masalah yang mengancam keamanan bersama. 4. Dalam rangka mengurangi kerugian negatif yang diakibatkan oleh

tindakan-tindakan individual negara yang memberi dampak terhadap negara lain (Holsti,1995:362-363).

16

K. J. Holsti, Politik Internasional Suatu Pengantar Analisis (Terjemahan Wawan Juanda, Binacipta, Bandung, 1992


(30)

internasional, dan fenomena yang belum nyata terjadi, yakni keteraturan internasional Suatu kerjasama internasional didorong oleh beberapa faktor:

1. Kemajuan dibidang teknologi yang menyebabkan semakin mudahnya hubungan yang dapat dilakukan negara sehingga meningkatkan ketergantungan satu dengan yang lainnya.

2. Kemajuan dan perkembangan ekonomi mempengaruhi kesejahteraan bangsa dan negara. Kesejahteraan suatu negara dapat mempengaruhi kesejahteraan bangsa-bangsa.

3. Perubahan sifat peperangan dimana terdapat suatu keinginan bersama untuk saling melindungi dan membela diri dalam bentuk kerjasama internasional.

4. Adanya kesadaran dan keinginan untuk bernegosiasi, salah satu metode kerjasama internasional yang dilandasi atas dasar bahwa dengan bernegosiasi akan memudahkan dalam pemecahan masalah yang dihadapi (Kartasasmita,1997:19). (Dougherty&Pflatzgraff,1997:420). Upaya mendefinisikan suatu organisasi internasional harus melihat tujuan yang ingin dicapai, intitusi-institusi yang ada, suatu proses perkiraan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah terhadap hubungan suatu negara dengan aktor-aktor non negara (Coulombis&Wolfe,1990:276).

Sehingga dengan demikian organisasi internasional dapat didefinisikan sebagai ssebuah struktur formal yang berkesinambungn yang pembentukannya berdasarkan pada perjanjian antar anggota-amggotanya (pemerintah dan atau


(31)

bukan pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan mencapai tujuan bersama dari para anggotanya (Archer,1998:35).

Definsi dari organisasi internasional adalah pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non-pemerintah.

Secara konseptual, tujuan utama dari semua hubungan bilateral antarnegara adalah membangun kemitraan yang kuat dengan lingkungan eksternalnya, menciptakan hubungan persahabatan. Muara utama dari semua hubungan bilateral di atas tentunya adalah pencapaian kepentingan nasional baik dari sisi ekonomi, sosial, dan politik keamanan. Secara lebih spesifik, beberapa konsep utama dalam hubungan internasional yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan bilateral antara dua negara juga menunjukkan perkembangan yang cukup pesat.17

“Istilah Hubungan Internasional yang dapat mengacu pada semua bentuk interaksi antara masyarakat yang berlainan, baik yang disponsori oleh pemerintah atau tidak. Hubungan Internasional tersebut meliputi analisa K. J. Holsti dalam bukunya Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis menjelaskan konsep hubungan internasional sebagai berikut:

17

Soewardi Wiratmaja, Pengantar Hubungan Internasional, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1994, hal. 1.


(32)

terhadap politik internasionalatau proses politik antar bangsa, menyangkut segala hubungan itu.”18

K. J. Holsti juga mengartikan konsep kerjasama lainnya sebagai berikut:

Dengan adanya saling ketergantungan diantara Negara-negara maupun organisasi maka mendorong untuk melakukan kerjasama internasional yang dikemukakan oleh K. J. Holsti dalam bukunya Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, yang menyatakan bahwa:

“Kerjasama Internasional merupakan sebagian transaksi dan interaksi antar Negara dalam sistem internasional sekarang bersifat rutin dan hamper bebas dari konflik. Berbagai jenis masalah nasional, regional dan global bermunculan dan memerlukan perhatian dari berbagai Negara. Dalam kebanyakan kasus yang terjadi, pemerintah saling berhubungan dengan mengajukan alternative pemecahan, perundingan atau pembicaraan mengenai masalah yang dihadapi, mengemukakan berbagai bukti teknis untuk menopang pemecahan masalah tertentu dan mengakhiri perundingan dengan membentuk beberapa perjanjian atau saling pengertian yang memuaskan bagi semua pihak.”

“Kerjasama dalam masyarakat internasional merupakan suatu keharusan sebagai akibat terdapatnya hubungan interdependensi dan bertambah kompleksnya kehidupan manusia dalam masyarakat internasional, kerjasama internasional terjadi karena adanya Nation Understanding dimana mempunyai tujuan dan arah yang sama, keinginan yang didukung oleh kondisi internasional

18

K. J. Holsti, Politik Internasional Suatu Pengantar Analisis (Terjemahan Wawan Juanda, Binacipta, Bandung,1992, hal. 22.


(33)

yang saling membutuhkan. Kerjasama itu didasarioleh kepentingan bersama diantara Negara-negara namun kepentingan itu tidak identik”.19

G. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memperoleh data-data atau bahan-bahan dalam penelitian meliputi :

1. Jenis Penelitian

Seperti penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah yang harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang benar dan layak dipercaya, demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai sebuah karya tulis ilmiah juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah (metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan dan ditujukan pada norma-norma hukum yang berlaku. Metode penelitian hukum norma-normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.20

19

Dwi Anggraini, “Strategi dan kesiapan perekonomian Kamboja dalam menghadapi AFTA”, Skripsi FISIP HI Unpas, tidak diterbitkan, 2006, hlm. 18-19

20

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 13-14.

Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan


(34)

mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif.21

2. Jenis Data

Dalam penelitian ini, metode yuridis normatif yang digunakan adalah norma-norma hukum internasional yang tertuang antara lain dalam bentuk prinsip hukum internasional.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakni berupa Undang-undang, Perjanjian Internasional dan sebagainya.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain.

21

Hardijan Rusli, Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, hal. 50.


(35)

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, makalah, jurnal serta artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

i. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

ii. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

iii. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

iv. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan, suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah.22

22

Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung, 2009, hal.11-13.


(36)

ini menggunakan data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

H. Sistematika Penulisan

Secara sistematis penelitian ini dibagi dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang dapat diperinci sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pusataka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM

ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL

Bab ini menguraikan tentang prosedur, persyaratan dalam organisasi perikanan internasional serta keanggotaan Indonesia dalam CCSBT dan WCPFC.

BAB III : HUKUM INTERNASIONAL TENTANG

PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL Bab ini menguraikan tentang pengaturan High Seas Fishing Convention 1958, United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 dan United Nation Fish Stock Agreement 1995 dalam pengelolaan perikanan regional dan internasional.


(37)

BAB IV : TINJAUAN HUKUM NASIONAL INDONESIA TERKAIT DENGAN PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL

Bab ini menguraikan tentang UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Peraturan Presiden No.61 Tentang Pengesahan WCPFC dimana hukum nasionak tersebut mengatur pengelolaan perikanan yang merupakan implementasi hukum internasional ke hukum nasional.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN


(38)

BAB II

KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL

A. Prosedur dan Persyaratan dalam Organisasi Perikanan Internasional Berdasarkan hukum organisasi internasional akan dianalisis terkait dengan

Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Western and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) sebagai organisasi internasional yang merupakan subjek hukum internasional. Organisasi internasional merupakan suatu organisasi yang beranggotakan negara-negara sebagai institusi yang mempunyai kapasitas sebagai pengemban hak dan kewajiban internasional.23

Pengertian lainnya, organisasi internasional adalah himpunan negara-negara yang terkait dalam suatu perjanjian internasional yang dilengkapi dengan suatu anggaran dasar dan organ-organ bersama serta mempunyai suatu personalitas hukum yang berbeda dari yang dimiliki oleh negara-negara anggota.

24

23

Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional, Hukum yang hidup, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 221

24

Boer Mauna, Pengertian Hukum Internasional, Peranan dan Fungsi dalam Era dinamika Globalisasi, Alumni, Bandung, 2000, hal 419-420 .

Landasan konstitusional dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan adalah pasal 33 Undang-Undang Dasara Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk


(39)

kemakmuran rakyat”. Negara mengatur pemanfaatan sumber daya ikan agar dapat berkelanjutan dan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Dalam perkembangannya ternyata rakyat Indonesia tidak hanya memanfaatkan sumber daya ikan di dalam wilayah pengelolaan perikanan saja namun juga diluar wilayah pengelolaan perikanan yaitu laut lepas. Dengan demikian negara harus mengawasi rakyatnya yang memanfaatkan sumber daya ikan dilaut lepas sebagai bentuk tanggung jawab perlindungan terhadap mereka agar tidak terkena tuduhan melakukan illegal fishing.

Wilayah pengelolaan perikanan diatur dalampasal 5 UU perikanan meliputi, (a) perairan Indonesia, (b) ZEE indonesia, (c) sungai, danau, waduk, rawa, genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang pontensial di wilayah Indonesia. Sebagai landasan hukum pengelolan sumber daya ikan di ZEE Indonesia diatur dalam Undang-undang ZEE (ZEEI) pada tanggal 18 Oktober 1983 ( UU no.5 Tahun 1983, LNRI 1983, No 44 dan TLNRI no 3260). Undang-undang ZEEI diundangkan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan memanfaatakan segenap sumber daya alam yang tersedia, baik hayati maupun non hayati; melindungi dan mengelola dengan cara yang tepat, terarah dan bijaksana terhadap sumber daya alam ZEE.

Menyadari akan hal ini, maka Indonesia memperkuat sistem pengelolaan perikanan dengan masuknya Indonesia kedalam organisasi internasional yang mengatur mengenai pengelolaan ikan yakni Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT 2008) dan Western and Central Pasific Fisheries


(40)

Commision (WCPFC 2013). Amanat pasal 64 Unclos 1982 untuk bekerjasama berkaiatan dengan pengelolaan dan konservasi suberdaya ikan di laut lepas telah mendapat respon sejumlah negara di dunia dengan dibentuknya organisasi – organisasi pengelolaan perikanan regional. Menurut Satya N Nanda, Amanat pasal 64 UNCLOS 1982 ini lahir karena adanya:

1) kesadaran keadaan penurunan stok ikan tidak hanya berbahaya bagi ekosistem laut, namun juga mengancam pasokan pangan (ketahanan pangan);

2) penurunan stok akan pangan akan mempengaruhi kesejahteraan ekonominelayan dan industri perikanan;

3) keputusan negara-negara terhadap usaha untuk melindungi pengelolaandilaut lepas.

Namun tentunya sebelum masuk kedalam organisai tersebut ada prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia agar dapat bergabung menjadi bagian CCSBT dan WCPFC. Keanggotaan untuk CCSBT terdiri dari dua bagian. Yang peratama full members yaitu Australia, Jepang, Slandia baru, Taiwan, Korea Selatan, Indonesia. Yang kedua Coorporeting Non-Members yaitu Afrika selatan dan Philipina dan Uni Eropa. Dalam keanggotaan penuh (full members) maka anggota akan ikut serta dalam semua keanggotaan organisasi dengan segala hak-haknya. Sedangkan dalam keanggotaan luar biasa (associate members), anggota dapat berpartisipasi namun tidak mempunyai hak suara di alat perlengkapan utama organisasi internasional.Di dalam praktik, prinsip keanggotaan suatu


(41)

organisasi internasional tergantung pada maksud dan tujuan organisasi, fungsi yang akan dilaksanakan dan perkembangan apakah yang diharapkan dari organisasi internasioanl tersebut.

Prinsip keanggotaan dapat dibedakan antara prinsip universalitas dan terbatas (selective)25

1. keanggotaan yang didasarkan pada kedekatan letak geografis. Namun pengertian kedekatan geografis ini kadang tidak hanya didasarkan pada kedekatan geografis semata, namun sering juga didasarkan pada pertimbangan politis.

. Prinsip keanggotaan Universalitas dan terbatas tidak membedakan sistem pemerintahan, ekonomi ataupun politik yang dianut oleh negara anggota. Sedangkan dalam prinsip terbatas (selective) menekankan syarat-syarat tertentu bagi keanggotaan. Syarat tersebut adalah sebagai berikut:

26

2. Keanggotaan yang didasarkan pada kepentingan yang akan dicapai

3. Keanggotaan yang didasarkan pada sistem pemerintahan tertentu atau pada sistem ekonomi tertentu

4. Keanggotaan yang didasarkan kerena adanya persamaan kebudayaan, agama, etnis, dan pengalaman sejarah.

5. Ketetapan yang diterapkan didasarkan pada penerapan hak-hak asasi.

25

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal 37

26

D.W. Bowett, The Law of International Institusional, Steven & sons, London, 1982, hal 11


(42)

Satu prasyarat untuk berdirinya suatau organisasi internasional adalah adanya keinginan untuk bekerja sama yang jelas-jalas kerjasama internasional tersebut akan bermanfaat dalam bidangnya dengan syarat organisasi tidak melanggar kekuasaan dan kedaulatan negara anggota. Suatu organisasi internasional semakin supranasional, maka semakin sedikit aspirasi negara dapat ambil bagian didalamnya. Persyaratan pendirian organisasi internasional dapat dikembangkan dari unsur-unsur perjanjian internasional sebagaimana tertuang dalam Konvensi Wina 1969 yang menegaskan bahwa:

an internasional agreement conclude between states in written form and governed by internasional law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instrument, and whatever its particular designation”.27

1. Setiap anggota harus diwakili oleh extended komisi, dengan tidak lebih dari tiga delegasi yang dapat didampangi oleh para ahli dan penasihat. Namun tentunya prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia agar dapat bergabung menjadi bagian CCSBT dan WCPFC.

Yang menjadi persyaratan dan prosedur masuk sebagai full member

CCSBT, berdasarkan anggaran dasar yang menjadi pedoman bagi CCSBT, antara lain adalah:

2. Setiap anggota wajib menginformasikan kepada komisi sekretaris eksekutif nama-nama delegasi kepada komisi termasuk identitas kepala delegasi dan para ahli dan penasihat yang menyertai delegasi tersebut dan

27


(43)

perubahan-perubahannya sejauh belum dimulainya setiap pertemuan komisi.

3. Setiap anggota wajib menunjukan seorang koresponden yang akan memiliki tanggung jawab utama untuk penghubung dengan sekretaris eksekutif selama priodepertemuan dan akan segera menginformasikan sekretaris eksekutif nama dan alamat koresponden tersebut dan setiap perubahan daripadanya.

4. Kecuali untuk aturan 4 ayat (3) dan peraturan 9, peraturan tata tertib komisi untuk konservasi Southerm Bluiten Tuna berlaku mutatis mutandis kepada komisi sepanjang ada hal-hal lain yang tuduk pada hal berikut :

a. Ganti Aturan 2 (1)

Sampai saat sekretaris didirikan dan lokasi markas besar komisi ditentukan, maka pertemuan yahunan komisi akan dilaksanakan oleh rotasi atau seperti yang telah disetujui.

b. Aturan pergantian 2 (b):

Setelah sekretris telah dibentuk dan lokasi markas besar komisi telah ditentukan, setiap pertemuan tahuanan komisi akan dilaksanakan oleh salah satu anggota melalui rotasi. Dalam hal anggota tidak berkeinginan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan,pertemuan itu akan diadakan dimarkas extended komisi, sepanjang tidak ditentukan oleh komisi.


(44)

Syarat dan prosedur manjadi anggota CCSBT berstatus Co-Operation Non Anggota ialah:

“Suatu negara, organisasi integrasi ekonomi regional atau badan yang diakui komisi dalam kapasitas co-opretion no-anggota akan memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam pertemuan Komisi, Komite Ilmiah Extended dan termasuk pertumbuhan mereka, namuun tidak terbatas pada hak untuk membuat proposal dan hak untuk bicara tetapi bukan hak untuk memilih. Komisi dapat memutuskan untuk membatasi partisipas dan kerjasama non-anggota dalam item agenda tertentu”.

Akibat hukum terdaftarnya indonesia sebagai anggota Convention for the conservation of southern bluefin secara tersendiri diatur sabagai berikut:28

1. Hak negara anggota Convention for the conservation of southern bluefin 1993 adalah :

a) Menempatkan perwakilan dalm komisi dengan tidak melebihi tiga delegasi didampingi oleh ahli dan penasihat,29

b) Mendapatkan hak uuntuk mengajukan adanyapertemuan khusu komisi dengan didukung sedikitnya oleh dua negara pihak lainnya,30

28

Diambil dari naskah penjelasan pengesahan CCSBT, “Draft Final 22 Maret 2007”, Departemen kelautan dan perikanan, Jakarta, 2007.

29

Pasal 7 CCSBT 1993

30


(45)

c) Mempunyai kesempatan untuk megajukan adanya pertemuan khusus komisi dengan didukung sedikitnya oleh dua negara Pihak lainnya,31

d) Sebagai anggota dalam komite ilmiah, dimana Komite ilmiah merupakan badan penasihat komisi,32

e) Menempatkan perwakilan yang memiliki kualifikasi ilmiah dalam komite Ilmiah atau diwakilkan oleh ahli dan penasihat,33

f) Mendapatkan alokasi jumlah tangkapan tuna sirip biru selatan yang diperbolehkan (kuota) seuai dengan hasil rekomendasi Komite Ilmiah,34

g) Memiliki kesempatan dalam mengusulkan amandemen konvensi,35

h) Hak mendapatkan data perikanan, sampel biologis dan informasi lain yang berhubungan dengan penelitian ilmiah tuna sirip biru selatan,36

i) Hak mendapatkan informasi tentang setiap penangkapan ikan tuna sirip biru selatan oleh warga negara, penduduk dan kapal-kapal dari setiap negara bukan konvensi.37

2. Kewajiban Negara Anggota anatara lain

a) Melakukan tindakan penting untuk menjamin penegakan Konvensi serta memenuhi ketentuan dalam konvensi secara mengikat,38

31

Pasal 6 ayat (5) CCSBT 1993

32

Pasal 9 ayat (5)a CCSBT 1993

33

Pasal 9 ayat (5)a CCSBT 1993

34

Pasal 8 ayat (3) CCSBT 1993

35

Pasal 21 ayat (1) CCSBT) 1993

36

Pasal 5 ayat (3) CCSBT 1993

37


(46)

b) Bekerjasama dalam penyedian Informasi ilmiah kepada komisi, statistik hasil tangkapan, upaya penangkapan dan data lainnya yang berhubungan dengan upaya penangkapan dan data lainnya yang berhubungan dengan konservasi tuna sirip biru selatan dan spesies lain yang terkait secara ekologi.

B. Keanggotaan Indonesia dalam Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)

CCSBT (Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna)

adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan konservasi ikan tuna sirip biru selatan secara global dan termasuk distribusinya.

Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya jumlah ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara membatasi kuota hasil tangkapan kapal ikannya.39

CCSBT 1993 ditandatangani di Canberra, Australia disepakati tanggal 10 Mei 1993, yang beranggotakan 3 negara yaitu Australia, Jepang dan Selandia

38

Pasal 5 ayat (1) CCSBT 1993

39

Mardia, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commision (IOTC), Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, tidak diterbitkan, 2011


(47)

Baru. CCSBT 1993 mulai berlaku secara efektif pada tanggal 20 Mei 1994. Negara-negara anggota CCSBT terdiri dari full members, yaitu Australia, Jepang, Selandia Baru, Taiwan (Fishing Entity of Taiwan), Korea Selatan, Indonesia dan

Cooperating Non-Members yaitu Afrika Selatan, Filipina, dan Uni Eropa.

Indonesia telah menjadi anggota tetap CCSBT sejak tanggal 8 April 2008 dan telah meratifikasi Convention of Southern Bluefin Tuna 1993 melalui Peraturan Presiden RI No. 109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCBT 1993 pada tanggal 6 Desember 2007 (L.N. Tahun 2007 No.148).40

Wilayah kompetensi pengelolaan CCSBT terhadap ikan tuna sirip biru selatan berada pada wilayah 57 dan 58 (Samudera Hindia dan barat Australia) yaitu 300 LS – 500 LS

Indonesia sebagai salah satu negara anggota CCSBT memiliki potensi yang sangat besar dalam produksi tuna dikarenakan wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan Indonesia.

41

sebagaimana terlihat pada gambar dibawah ini.42

40

Chomariyah, Op.Cit. hal.19

41

Ibid.hal.157

42

Februari 2015


(48)

Dari sejarah pembentukkannya, CCSBT merupakan salah satu organisasi pengelolaan perikanan regional yang berdiri sebelum disepakatinya UNFSA 1995, namun tetap memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan tersebut.43

Tujuan utama CCSBT sudah jelas sesuai dengan isi Konvensi Pasal 3 CCSBT 1993 yaitu “The objective of this Convention is to ensure, through appropriate management, the conservation and optimum utilisation of southern bluefin tuna”.

Permasalahan penurunan jumlah tangkapan ikan tuna sirip biru selatan juga disebabkan adanya kondisi overfishing dan praktik illegal fishing

yang bersifat borderless (tanpa batas) karena sifat ikan yang selalu bergerak atau berpindah tempat yang jangkauannya melintasi batas negara.

44

1. Unsur pertama, organisasi pengelolaan perikanan regional, CCSBT dibentuk berdasarkan perjanjian internasional yaitu Conservation for the Conservation of Southern Bluefin Tuna 1993 dan berlaku mengikat pesertanya. CCSBT dilengkapi degan organ dan diatur oleh hukum internasional, yaitu:

Dengan kata lain, untuk memastikan, memalui pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan yang optimal tuna sirip biru selatan.

Sebagaimana organisasi internasional umumnya, CCSBT memiliki legal personality yang artinya organisasi tersebut memiliki hak dan kewajibannya menurut hukum internasional. Legal personality CCSBT ini dapat dianalisis sebagai berikut :

43

Chomariyah, Op.Cit, hal. 22

44


(49)

(a.)Komisi (the Commission) yang terdiri dari ketua dan wakil ketua komisi,45

(b.)Badan penasehat Komisi, yaitu Komite Keilmuan (Scientific Committee);

dipilih pada setiap pertemuan tahunan;

46

(c.)Sekretariat terdiri dari Sekretaris Eksekutif, yang diangkat oleh Komisi, dan staf yang memadai, yang diangkat oleh Sekretaris Eksekutif;47

2. Unsur kedua, CCSBT memiliki legal personality,48

3. Unsur ketiga, adanya pembagian kewenangan hukum anatara organisasi internasional dengan Negara-negara anggota. Organisasi internasional memiliki kewenangan untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengikat

bahwa sebagai subjek hukum internasional CCSBT memiliki hak dan kewajiban. Legal personality

diperlukan oleh Komisi CCSBT dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional lain dan di wilayah negara-negara pihak memiliki kemampuan hukum sebagaiman diperlukan untuk melaksanakan fungsinya dan mencapai tujuannya. Kekebalan hukum (immunities) dan hak istimewa

(priviliges) yang didapatkan oleh Komisi dan pegawai-pegawainya dalam wilayah negara-negara CCSBT harus tunduk pada perjanjian antara Komisi dengan Negara-negara anggota yang bersangkutan.

45

Pasal 6 ayat (4) CCSBT 1993

46

Pasal 9 CCSBT 1993

47

Pasal 10 CCSBT 1993

48


(50)

Negara-negara anggotanya. CCBT sendiri melalui Komisinya berwenang untuk mengambil keputusan yang mengikat Negara-negara aggotanya, yaitu:49

(a) Untuk mengumpulkan dan menghimpun informasi ilmiah, data statistik dan informasi lain yang berkaitan dengan tuna sirip biru selatan;

(b) Informasi yang berkaitan dengan hukum, peraturan-peraturan dan langkah-langkah administrative tentang perikanan tentang perikanan tuna sirip biru selatan;

(c) Setiap informasi lain yang berkaitan dengan tuna sirip biru selatan.

Indonesia pada awalnya bukan merupakan anggota CCSBT, tetapi Indonesia beberapa kali diundang dalam pertemuan CCSBT dengan status sebagai peninjau bersama-sama Korea Selatan dan Taiwan. Hal ini mengingat ketiga negara tersebut dianggap banyak melakukan kegiatan penangkapan ikan tuna sirip biru selatan di wilayah kompetensi pengelolaan CCSBT, sehingga dituntut untuk menjadi anggota agar dapat turut bertanggung jawab dalam pengelolaan tuna sirip biru selatan.50

Sanksi perdagangan internasional akibat status Indonesia yang bukan anggota CCSBT telah terjadi, seperti embargo tuna sirip biru selatan oleh Jepang sejak tahun 2009.51

49

Pasal 8 CCSBT 1993

50

Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan, LKis Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hal.188

51

Ibid.


(51)

ancaman pemboikotan tuna Indonesia di negara-negara lain juga akan semakin besar apabila status Indonesia masih belum menjadi anggota CCSBT. Namun Indonesia masih memiliki “senjata” bahwa spawning ground tuna ada di wilayah Selatan Indonesia, dimana hal tersebut masih memungkinkan bagi Indonesia untuk melakukan negoisasi dengan anggota CCSBT.

Alasan ini memiliki konsekuensi cukup serius bagi Indonesia, dikarenakan dengan tidak menjadi anggota, Indonesia akan dianggap tidak memiliki goodwill

untuk mau memerhatikan aspek konservasi sumber daya ikan tuna di wilayah tersebut.52 Dengan kondisi ilegal, tentu hasil produksi tuna Indonesia yang dilakukan di wilayah perairan tersebut akan tergolong unreported. Hasil produksi yang tidak terlaporkan itu akan mengganggu proses fisheries management yang selama ini diupayakan oleh negara-negara anggota.53

Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) merupakan bentuk-bentuk praktik penangkapan ikan yang dihindari dan dicegah oleh Indonesia maupun organisasi pengelolaan perikanan internasional dan regional termasuk CCSBT karena merusak sumber daya ikan, terumbu karang serta rusaknya mangrove.54

Setelah bergabungnya Indonesia, posisi Indonesia dalam CCSBT belumlah menguntungkan karena masalah-masalah dalam negeri sendiri, seperti pencurian ikan, peningkatan kapasitas penangkapan, dan otonomi daerah dalam pengelolaan perairan.55

52

Ibid.

53

Ibid.

54

Ibid.

55


(52)

Tanggungjawab dalam pengelolaan dan konservasi perikanan regional dan internasional yang berkelanjutan di laut lepas maupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) terutama di wilayah laut yang berdampingan dengan perairan Indonesia tidak hanya milik anggota CCSBT tetapi juga milik Indonesia sehingga didalam ketentuan ”menimbang” PerPres RI No.109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT 1993 menyebutkan :56

(a) Bahwa dalam rangka menjamin dan mendukung konservasi dan pengelolaan secara tepat sumberdaya perikanan tuna sirip biru selatan untuk pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan, di Canberra, Australia, pada tanggal 10 Mei 1993 telah ditandatangani

Conservation for the Conservation of Southern Bluefin Tuna

(Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan).

(b) Bahwa Indoneisa sebagai Negara pantai memiliki potensi sumberdaya ikan tuna sirip biru selatan, yang perlu dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan nasional.

(c) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a dan b, perlu mengesahkan Konvensi tersebut dengan dengan Peraturan Presiden.

CCSBT dalam menetapkan TAC (Total Allowable Catch) dan alokasi diantara Negara-negara anggota didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :57

(a) Bukti ilmiah yang berhubungan dengan jumlah tangkapan;

56

Pepres No.109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT

57


(53)

(b) Kebutuhan pembangunan perikanan tuna sirip biru selatan yang berkelanjutan dan teratur;

(c) Kepentingan-kepentingan Negara anggota yang ZZEnya dilalui oleh migrasinya tuna sirip biru selatan;

(d) Kepentingan-kepentingan Negara anggota yang kapalnya melakukan penangkapan tuna sirip biru selatan termasuk mereka yang secara historis melakukan penangkapan dan mereka yang perikanan tuna sirip biru selatannya belum berkembang;

(e) Kontribusi Negara anggota untuk konservasi dan penelitian ilmiah.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) (b) CCSBT, Komisi dapat, apabila diperlukan, memutuskan langkah-langkah tambahan lain. Langkah-langkah tambahan lain tersebut berupa resolusi-resolusi terkait dengan pengelolaan, konservasi dan pemanfaatan optimal tuna sirip biru selatan. Salah satunya ialah

Resolution on establishing the CCSBT Vessel Monitoring System.58

Pertimbangan yang mendasari resolusi tentang establishing the CCSBT Vessel Monitoring System (VMS)59 adalah pentingnya system pemantauan kapal sebagai bagian integral dari Monitoring, Control and Surveillance (MCS) yang efektif untuk tuna sirip biru selatan ,khususnya untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dari stok.60

58

Chomariyah, Op.Cit, hal.159

59

Resolusi diterima pada Pertemuan Tahunan ke-15, 14-17 Oktober 2008, di Auckland, New Zealand.

60


(54)

Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) yang telah ditetapkan Komisi pada pertemuan tahunan Komisi Tuna Sirip Biru Selatan ke-16, 20-23 Oktober 2009, di Jeju Island, Korea Selatan telah menetapkan TAC untuk keseluruhan negara anggota CCSBT dan Cooperating Non-Members, tahun 2009 sebesar 11.810 ton, Pada pertemuan tahunan ke-17, 15 Oktober 2010, di Narita , Jepang, Komisi menetapkan TAC global menjadi 9.449 ton, pengurangan alokasi tersebut untuk tahun 2010-2011, bagi anggota dan Cooperating Non-Members, penetapannya mulai tahun 2009-2011 sebagai berikut :

(a) Jepang (3.000 ton; 2.261 ton)

(b) Australia (5.265 ton; 4.270 ton)

(c) Korea Selatan (1.140 ton; 859 ton)

(d) Taiwan (1.140 ton; 859 ton)

(e) Selandia Baru (420 ton; 754 ton)

(f) Indonesia (750 ton; 651 ton)

Sedangkan untuk Cooperating Non-Members and Observers : (g) Filipina (45 ton; 45 ton)

(h) Afrika Selatan (40 ton; 40 ton)

(i) Uni Eropa (10 ton; 10 ton)

Perkembangan terakhir pada pertemuan tahunanan CCSBT ke-18, pada tanggal 10-13 Oktober, di Bali, Indonesia, alokasi yang didapatkan


(55)

masing-masing negara anggota dan Cooperating Non-Members and Observers, mengalami kenaikkan untuk tahun 2014, yaitu :61

Pada tahun 2012 sampai tahun 2014, penetapan alokasi TAC global adalah 10.449 ton, 10.949 ton dan 12.449 ton, yang kemudian dibagi kepada masing-masing anggota CCSBT sebagai berikut :

Jepang (3.366 ton), Australia (5.147 ton), Selandia Baru (909 ton), Korea Selatan (1.036 ton), Taiwan (1.036 ton), Indonesia (750 ton) dan untuk Cooperating Non-Members and Observers

Filipina (45 ton), Afrika Selatan (150 ton) dan Uni Eropa (10 ton).

62

(a) Jepang (2.519 ton; 2.689 ton; 3.366 ton)

(b) Australia (4.528 ton; 4.698 ton; 5.147 ton)

(c) Selandia Baru (800 ton; 830 ton; 909 ton)

(d) Korea Sealatan (911 ton; 945 ton; 1.036 ton)

(e) Taiwan (911 ton; 945 ton; 1.036 ton)

(f) Indonesia (685 ton; 707 ton; 750 ton)

Pertemuan tahunan CCSBT ke-21 pada tanggal 13-16 Oktober 2014, di Auckland, New Zealand menyepakati bahwa adanya kenaikan jumlah TAC tuna sirip biru selatan untuk tahun 2015-2017 yaitu :63

61

Ibid, hal.159

62

Ibid, hal.161

63

Report of the Twenty First Annual Meeting of the Commission, 13-16 October 2014, Auckland, Newzealand

Jepang (4.337 ton; 4847 ton), Australia (5.665 ton; 5.665 ton), Selandia Baru (1.000 ton; 1.000 ton), Korea Selatan (1.140 ton; 1.140 ton), Taiwan (1.140 ton; 1.140 ton), Indonesia (750 ton;


(56)

750 ton), sedangkan Cooperating Non-Members Afrika Selatan (150 ton; 40 ton), Filipina (45 ton; 45 ton) dan Uni Eropa (10 ton; 10 ton). Untuk Afrika Selatan diberikan kesempatan untuk menjadi anggota CCSBT per 31 Mei 2015 agar angka alokasi penangkapan tuna sirip biru selatannya tetap sebesar 150 ton dan apabila tidak maka akan turun menjadi 40 ton.

Ketentuan tentang Scientific Committee, diatur dalam Pasal 9 CCSBT 1993, yang mempunyai kewajiban untuk :

(a) Mengkaji dan menganalisa status dan kecenderungan-kecenderungan dengan populasi tuna sirip biru selatan;

(b) Mengkoordinasikan penelitian dan pengkajian tuna sirip biru selatan;

(c) Melaporkan kepada Komisi penemuan-penemuan termasuk konsensus, pandangan-pandangan mayoritas dan minoritas terhadap status persediaan tuna sirip biru selatan;

(d) Membuat rekomendasi-rekomendasi, kepada Komisi melalui consensus terhadap hal-hal mengenai pengelolaan, konservasi dan pemanfaatan optimal tuna sirip biru selatan;

(e) Mempertimbangkan hal-hal lain yang dirujuk oleh Komisi.

Resolusi yang berkaitan dengan pengelolaan dan konservasi tuna sirip biru selatan diterima pada pertemuan tahunan ke-16, yaitu Resolution on Action to


(57)

Ensure Compliance with Conservation and Management Measures, terdiri dari lima penetapan yaitu :64

(a) Masing-masing negara anggota dan Cooperating Non-Members

harus menyerahkan rencana kegiatan untuk memastikan pentaatan terhadap langkah-langkah pengelolaan dan konservasi tuna sirip biru kepada sekretariat pada tanggal 1 April 2010; Rencana kegiatan harus meliputi skema verifikasi data penangkapan tuna sirip biru selatan dan Ecologically Related Species/ERS, secara sistematis;

(b) Negara bendera dan Cooperating Non-Members,dari kapal-kapal

longline harus menjelaskan rencana perbaikan kegiatannya;

(c) Pada musim penangkapan 2011, negara Cooperating Non-Members, harus menjalankan Stereo Video System, untuk mengawasi 10% tuna sirip biru selatan yang menuju kandang (cage);

(d) Komisi harus menggali semua kemungkinan dan pengembangan program penelitian regional untuk diterapkan ke semua kegiatan perikanan dan budi-daya tuna sirip biru selata; dan

(e) Semua negara anggota dan Cooperating Non-Members harus mengumpulkan laporan pelaksanaan dan hasil rencana kegiatan tahun 2010 pada pelaksanaan rapat Komisi 2010.

64


(58)

CCSBT melaksanakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) melaui strategi pengelolaan yang disebut Management Procedure, yang dimana resolusi tentang pelaksanaan strategi tersebut juga dikenal sebagai Bali Procedure

diterima pada pertemuan tahunan ke-18 tahun 2011. Dalam strategi Management Procedure terdapat pedoman tentang batas tangkapan global dan menyediakan industry perikanan agar menangkap ikan secara periode waktu yang telah tersedia.

Parameter Management Procedure adalah65

CCSBT melakukan tindakan penegakkan hukum untuk memberantas IUU

Fishing, dengan menetapkan Resolution on Establishing a Program for Transshipment by Large Scale Fishing Vessels berisi tentang pengawasan kegiatan transshipment yang dilakukan oleh large scale fishing vessels dengan cara mengumpulkan data tangkapan ikan kapal-kapal tersebut untuk penilaian imiah stok ikan tuna sirip biru selatan. Selain itu CCSBT juga bekerja sama dengan FAO untuk mengembangkan system pemantau sumber daya perikanan

(Fishery Resources Monitoring System-FIGIS). Tidak hanya kerja sama dengan (1) untuk membangun kembali status stok menuju target reference point sebesar 20% dari original spawning biomass pada tahun 2035; (2) ditetapkan kemungkinan 70% untuk mencapai sasaran pembangunan kembali sementara; (3) minimum kenaikan atau penurunan TAC sebesar 100 ton; (4) maksimum kenaikan atau penurunan sebesar 3000 ton; (5) TAC ditetapkan untuk periode 3 tahun berdasarkan resolusi tentang TAC global, tahun 2010-2011 sebesar 9.449 ton; tahun 2012 sebesar 10.449 ton; tahun 2013 sebesar 10.949 ton dan tahun 2014 sebesar 12.449 ton.

65


(59)

organisasi lain, CCSBT juga mengajak Cooperating Non-Members untuk menjadi anggota organisasi, melaui cara yang disebut allocation set asides.66

Dalam hal langkah-langkah terkait perdagangan atau Trade Related Measures (TRM) terhadap ikan tuna sirip biru selatan CCSBT memberlakukan

Catch Documentation Scheme (CDS) list of approved vessels. Pelaksanaan TRM oleh CCSBT tidak diskriminasi dikarenakan putusan didasarkan pertimbangan bukti ilmiah terbaik yang tersedia pada saat pertemuan tahunan sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) CCSBT 1993. CDS67

CDS adalah menyediakan data penelusuran dan validasi perdagangan tuna sirip biru selatan yang legal mulai dari penjualan pertama, baik di pasar domestic maupun pasar ekspor. Tujuan CDS adalah

sendiri mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2010 menggantikan Trade Information Scheme (TIS) yang sudah berlaku sejak tahun 2000 dan digantikan karena tidak efektif.

68

66

Metode ini digunakan dengan cara memberi alokasi penangkapan kepada Cooperating Non-Members secara bertahap menaikkan besaran alokasi penangkapan dengan harapan adanya insentif negara Cooperating Non-Members untuk segera bergabung.

67

Diterima pada pertemuan tahunan ke-15, 14-17 Oktober 2008, di Auckland, New Zealand.

68

. Chomariyah, Op.Cit , hal.170

untuk mengawasi perdagangan internasional tuna sirip biru selatan, untuk mengidentifikasi asal-usul tuna sirip biru selatan, di impor atau di ekspor kea tau dari wilayah pengelolaan CCSBT, untuk menentukan tangkapan yang dilakukan di wilayah pengelolaan CCSBT dengan cara sesuai dengan tindakan konservasi yang ditetapkan oleh CCSBT, mengumpulkan data penangkapan oleh masing-masing Negara anggota dan Non-Contracting Members.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan, Yogyakarta : LKis Yogyakarta, 2009, hal.188

Boer Mauna, Pengertian Hukum Internasional, Peranan dan Fungsi dalam Era dinamika Globalisasi, Alumni, Bandung, 2000, hal 419-420 .

Dahuri Rokhmin, Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utaman, 2003, hal 412.

Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2013, hal. 4.

Dr. Chomariyah, Hukum Pengelolaan Konservasi Ikan – Pelaksanaan

Pendekatan kehati-hatian oleh Indonesia., Malang : Setara Press, 2014, hal. 3

Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan, Jakarta : Rineka Cipta, 2011, Hal 8-9

H. Supriadi , Alimuddin, Hukum Perikanan di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hal 79-80.

Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005, hal. 1

Higgins and Colombus, The International Law of the Sea, 6thedition , London , 1972, hal. 49


(2)

I Wayan Pathiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Bandung : Yrama Widya, 2014, hal. 16.

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta 2008, hal.85 K. J. Holsti, Politik Internasional Suatu Pengantar Analisis (Terjemahan Wawan

Juanda, Bandung : Binacipta, 1992

Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional, Hukum yang hidup, Jakarta : Diadit Media, 2007, hal. 221

Mochtar Kusumaadmadja, Hukum laut Internasional, Bandung : Bina Cipta, 1986, hal. 109.

Philippe Sands, Principles of International Enviromental Lax, second edition, United Kingdom : Cambridge University Press, 2003, hal. 569 RR. Crunchill and AV. Lowe, The Law of The Sea, third edition, United

Kingdom: Manchester University Press, 1999, hal 299.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, hal. 13-14.

Soewardi Wiratmaja, Pengantar Hubungan Internasional, Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1994, hal. 1.

Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta, 2009, hal.11-13. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta : Universitas


(3)

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No.45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 tahun 2004 Tentang Perikanan

Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan Peraturan Presiden RI No.61 Tahun 2013 tentang Pengesahan WCPFC

Peraturan Presiden RI No.109 Tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI

Mardia, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commision (IOTC), Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, 2011

Dwi Anggraini, “Strategi dan kesiapan perekonomian Kamboja dalam menghadapi AFTA”, Skripsi, FISIP HI UNPAS, 2006.

Mardia, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commision (IOTC), Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, 2011

JURNAL

Hardijan Rusli, 2006, Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?, Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006.

Melda Kamil Ariadno, 2005, “Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal of


(4)

International Law), Volume 2, Nomor 3 Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas, April 2005

Lucky Andrianto, 2005, “Implementasi Code of Conduct For Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang”, dalam Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal ofInternational Law), Volume 2 Nomor 3 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005

INTERNET

2015

25 Januari 2015


(5)

diakses 5 Februari 2015

Annekasaldianmardhiah.blogspot.com/2013/04/hukum-laut-internasional.html?m =1 diakses pada tanggal 7 Februari 2015

http://www.wwf.or.id/?29763/Indonesia-Menjadi-Anggota-Komisi-Perikanan-Wilayah-Pasifik-Barat-dan-Tengah

Meyliana Astri. “Paradigma dan Perkembangan Konsrvasi Sumberdaya Ikan di Indonesi

Diambil dari naskah penjelasan pengesahan CCSBT, “Draft Final 22 Maret 2007”, Departemen kelautan dan perikanan, Jakarta, 2007.

Distant-water fishing vessel adalah kapal penangkap ikan yang melakukan

kegiatan penangkapan di luar wilayah kawasan pantai Negara asalnya dan mampu berlayar jauh hingga ke laut lepas. Kapal penangkap ikan ini sekaligus berfungsi untuk tempat pengalengan ikan dan langsung diproses untuk komoditi ekspor Negara lain.


(6)

FAO, The State of Xorld Fisheries and Aquaculture (SOFIA), 2012, lihat .fao.org/icatalog/inter-e.htm, diakses tanggal 27 Januari 2015.