tanggal 29 Oktober 2009, akan tetapi bukan berarti isi daripada UU No. 45 tahun 2009 sudah mencakup aturan dalam UNFSA 1955. Undang-Udnang Perikanan
belum melaksanakan keajiban yang ditentukan dalam UNFSA 1995, antara lain tentang pendekatan kehati-hatian , yang belum tercantum dalam salah satu asa
dalam Undang-Undang Perrikanan dan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan khususnya jenis ikan bermigrasi jauh sesuai standar
UNFSA.
108
Salah satu masalah terbesar dalam dunia perikanan adalah adanya krisis perikanan global yang mulai dirasakan sejak awal tahun 1990-an. Ketika
permintaan ikan dunia meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, maka intensitas penangkapan ikan dunia pun meningkat secara signifikan
B. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
109
Bukan hanya dengan cara penangkapan ikan yang sederhana menggunakan alat tradisional, kan tetapi penggunaan teknologi canggih dan
membahayakan alam laut pun sering digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan penangkapan ikan. Meningkatnya jumlah penduduk serta faktor-faktor ekonomi
lain, menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya alam laut dan ekosistemnya .
Penangkapan ikan yang secara terus menerus menyebabkan semakin krisisnya jumlah populasi ikan.
108
Chomariyah, Op.Cit Hal. 25.
109
Lucky Andrianto, “Implementasi Code of Conduct For Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang”, dalam Jurnal Hukum Internasional Indonesian Jurnal
ofInternational Law , Volume 2 Nomor 3 Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005, Hlm. 470.
semakin meningkat pula. Kerusakan sumberdaya akibat eksploitasi yang tidak ramah lingkungan antara lain didorong oleh tekanan pertumbuhan dan kemiskinan
penduduk yang mata pencahariannya cenderung kurang memperhatikan kelestarian lingkungan di kawasan pesisir, seperti pemanfaatan yang berlebihan
termasuk overfishing, perusakan lingkungan pencemaran, penggunaan bahan kimia beracun potasium sianida, illegal fishing dansebagainya. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka upaya pengelolaan lingkungan dan konservasi merupakan langkah yang penting dan strategis.
Menurut laporan Food and Agriculture organization FAO dalam The State of Xorld Fisheries and Aquaculture SOFIA
tahun 2012 menyebutkan , baha sektor perikanan mendukung mata pencaharian sekitar 540 juta penduduk
dunia dan produksi perikanan dunia mencapai 128juta ton ikan.
110
SOFIA menyatakan baha persediaan ikan dunia mengalami penurunan akibat eksploitasi
berlebih overexploited. Hal ini menyebabkan perlu adanya perlindungan dan aturan mengenenai konservasi terhadap sumber daya hayati di laut. Sifat dari
permasalahan perlindungan sumber daya hayati laut memerlukan suatu pemecahan yang didasarkan atas kerjasama internasional antar semua Negara
yang berkepentingan.
111
PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan merupakan peraturan pelaksanaan dari pasal 13 UU No. 31 tahun 2004 yang telah diubah
dengan UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan. Dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 13 pun menyatakan harus dilakukannya upaya
110
FAO, The State of Xorld Fisheries and Aquaculture SOFIA, 2012, lihat .fao.orgicataloginter-e.htm, diakses tanggal 27 Januari 2015.
111
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hal. 152.
konservasi, dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem , konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Dalam
hal pengelolaan perikanan konservasi sumber daya ikan menjadi hal yang penting karena menyangkut pelestarian ikan-ikan yang dikelola atau ditangkap. Hal
tersebutlah yang juga menjadi dasar pertimbangan dibentuknya Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan.
Dalam dunia hukum Internasional dikenal adanya konsep pendekatan kehati-hatian, pendekatan kehati-hatian merupakan salah satu prinsip umum yang
diterapkan dalam hukum lingkungan internasional.Di dalam PP No. 60 tahun 2007 juga terdapat prinsi kehati-hatian. Konsep pendekatan kehati-hatian dalam
PP No. 60 tahun 2007 ini didasarkan pada ketentuan internasional Convention on International Trade in Endangeren Species of ild Fauna and Flora CITES
yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1975.
Penerusan PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan adalah penerapan beberapa Peraturan Mentri antara lain :
a. Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03MEN2010
tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan jenis ikan, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari pasal 24 ayat 2 . Pada Peraturan
Mentri diatas dalam Pasal 1 angka 5, menyatakan baha otoritas keilmuan adalah lembaga pemerintah yang mempunyai keenangan untuk
memberikan rekomendasi kepada otoritas pengelola mengenai konservasi SDI berdasarkan prinsi-prinsip keilmuan termasuk dalam rangka
pelaksanaan CITES.
b. Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.04MEN2010
Tentang Tata Cara Pemanfaatan jenis Ikan dan Genetik Ikan, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari padal 35 ayat 6, pasal 37 ayat 5,
pasal 39 ayat 3, pasal 40 ayat 30, pasal 42 ayat 6, pasal 43 ayat 5, pasal 44 ayat 6.
Dalam pasal 1 angka 1 PP No. 60 tahun 2007, yang merupakan konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Di dalam pengertian konservasi ikan tersebut terdapat tiga aspek konservasi sumber daya
ikan , yakni konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan dan konservasi genetik ikan. Dalam PP No. 60 tahun 2007 menyatakan bahwa :
- Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan
memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang.
- Konservasi jenis ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan
memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang
maupun yang akan datang. -
Konservasi genetik ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya genetik ikan bagi
generasi sekarang maupun yang akan datang. Konservasi sumber daya ikan yang dilakukan menurut Peraturan
Pemerintah ini memiliki asas dan juga prinsip yang kemudian menjadi acuan bagi aturan mengenai konservasi sumber daya ikan di pasal-pasal berikutnya dalam
Peraturan Pemerintah ini, adapun yang menjadi asas dan prinsip konservasi dalam PP ini terdapat pada pasal 2 ayat 1 dan 2 , yakni :
1 Konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. keadilan;
c. kemitraan;
d. pemerataan;
e. keterpaduan;
f. keterbukaan;
g. efisiensi; dan
h. kelestarian yang berkelanjutan.
2 Konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan prinsip:
a. pendekatan kehati-hatian;
b. pertimbangan bukti ilmiah;
c. pertimbangan kearifan lokal;
d. pengelolaan berbasis masyarakat;
e. keterpaduan pengembangan wilayah pesisir;
f. pencegahan tangkap lebih;
g. pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan, dan
pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan; h.
pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat; i.
pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan; j.
perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis;
k. perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan; dan
l. pengelolaan adaptif.
Dalam Pasal 21 PP No. 60 tahun 2007 dijelaskan bahwa adapun tujuan melakukan konservasi jenis ikan adalah untuk :
a. melindungi jenis ikan yang terancam punah;
b. mempertahankan keanekaragaman jenis ikan;
c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem; dan
d. memanfaatkan sumber daya ikan secara berkelanjutan.
Menurut pasal 22 konservasi jenis ikan dapat dilakukan melalui : a.
penggolongan jenis ikan; b.
penetapan status perlindungan jenis ikan; c.
pemeliharaan; d.
pengembangbiakan; dan e.
penelitian dan pengembangan. Upaya konservasi perairan di Indonesia tumbuh selaras dengan
pembangunan nasional di bidang konservasi sumberdaya ikan, tuntutan masyarakat pesisir serta perkembangan konservasi dunia yang berwawasan
global.
112
1. Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang terkait
dengan sumber daya ikan. Dalam mendukung terjadinhya suatu upaya konservasi sumber daya
ikan yang baik, serangkaian kegiatan konservasi tidak hanya dilakukan pada ikan saja, tetapi juga harus dilakukan pada ekosistem dimana ikan tersebut berada.
Untuk itu maka diperlukanlah suatu kegiatan konservasi menyangkut ekosistem perikanan . Adapun yang termasuk ekosistem yang berkaitan dengan Konservasi
sumber daya ikan dalam Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007 ini terdapat pada pasal 5 ayat 1 dan 2, yang menyatakan :
2. Tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 terdiri atas: a.
laut; b.
padang lamun; c.
terumbu karang; d.
mangrove; e.
estuari; f.
pantai; g.
rawa; h.
sungai; i.
danau; j.
waduk;
112
Meyliana Astri. “Paradigma dan Perkembangan Konsrvasi Sumberdaya Ikan di Indonesia”.
http:meylianaastri12.blogspot.com201303paradigma-dan-perkembangan- konservasi.html?m=1, diakses tanggal 1 Februari 2015.
k. embung; dan
l. ekosistem perairan buatan.
Konservasi ekosistem pada umumnya dapat dilakukan dalam berbagai cara dan kegiatan, pada pasal 6 ayat 1 PP No 60 tahun 2007 menyatakan ada beberapa
kegiatan konservasi ekosistem, yaitu : a.
perlindungan habitat dan populasi ikan; b.
rehabilitasi habitat dan populasi ikan; c.
penelitian dan pengembangan; d.
pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan; e.
pengembangan sosial ekonomi masyarakat; f.
pengawasan dan pengendalian; danatau g.
monitoring dan evaluasi. Seperti yang telah dijelaskan diatas, kekurangan UU NO. 45 tahun 2009
tentang perikanan yakni mengenai pendekatan kehati-hatian dan langkah pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan khususnya jenis ikan bermigrasi
jauh yang sesuai dengan standar UNFSA harus ditindak lanjuti lebih lanjut. Prinsip kehati-hatian yang terdapat dalam PP No. 60 tahun 2007 tentang
Konservasi Sumberdaya Ikan yakni pada pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan prinsip : a pendekatan
kehati-hatian ini bukan didasarkan pada prinsip kehati-hatian yang terdapat dalam UNFSA dan konvensi CCSBT Convention for the Conservation of Southern
Bluefin Tuna 1993 . PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan
ini ditetapkan tanggal 16 Novermber 2007, PP ini ditetapkan sebelum Indonesia
meratifikasi atau mengesahkan UNFSA dan konvensi CCSBT Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna 1993
, oleh karena itu dikatakan baha pengaturan dan konsep kehati-hatian dalam PP No. 60 tahun 2007 didasarkan dari
ketentuan internasional Convention on International Trade in Endangeren Species of Wild Fauna and Flora CITES
yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1975. Pendekatan kehati-hatian yang terdapat dlam CITES berbeda dengan pendekatan
kehati-hatian pada UNFSA dan CCSBT. Indonesia yang meratifikasi UNFSA tanggal 18 Juni 2009 dan masuk dalam CCSBT pada tanggal 8 April 1993 serta
meratifikasi Konvensi CCSBT tanggal 10 Mei 1993, seharusnya memiliki aturan hukum perikanan yang mexadahi aturan hukum internasional tersebut. Seperti
yang dinyatakan pada asas pacta sun servanda , asas hukum yang menyatakan bahaa setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang
melakukan perjanjian. Asas ini menjadi asas intenasional karena terdapat pada pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan baha “every treaty in force is
binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad
baik
113
Menurut asas pacta sun servanda tersebut, pihak yang berkaitan dengan suatu perjanjian harus melaksanakan hal-hal di dalam perjanjian itu. Sementara
Indonesia dalam keanggotaannya dalam CCSBT atau sebagai Negara yang telah meratifikasi UNFSA, harusnya memuat aturan yang berkaitan dengan UNFSA
dan CCSBT dalam aturan konservasi sumberdaya ikannya, bukan berdasrkan .
113
UN Convention on the Las of Treaties, Viena 23 May 1969, Article 26.
CITES. Akan tetapi bukan berarti segala undang-undang dan peraturan pemerintah tentang perikanan dan konservasi sumber daya ikan bertentangan
dengan aturan yang terdapat dalam UNFSA dan CCSBT, hanya saja Undang- Undang dan PP tersebut, termasuk PP No. 60 tahun 2007 masih memiliki
kekurangan.
C. Peraturan Presiden No. 61 tahun 2013 tentang Pengesahan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Samudera Pasifik Barat dan
Tengah.
Ikan memiliki dan mempunyai nilai yang sangat berharga serta bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan begitu banyaknya peran dan manfaat ikan , hal
ini mengundang perhatian dari masyarakat dan sekaligus membuka pemikiran dari msyarakat dunia untuk melakukan berbagai upaya mengenai perikanan
regional maupun internasional. Bentuk dari reaksi masyarakat mengenai perkembangan perikanan ini
dapat dilihat dari keberadaan pengaturan mengenai persejetujuan ikan beruaya terbatas dan jenis ikan beruaya jauh. Pembentukan peraturan ini beraal dari
pembahasan dalam Konfrensi PBB yang akhirnya melahirkan UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea
tahun 1982. Dalam pasal 64 ayat 1 UNCLOS mengenai jenis bermigrasi jauh highly migratory species menyatakan
baha “Negara pantai dan Negara lain yang warganegaranya melakukan penangkapan ikan di kawasan untuk jenis ikan yang bermigrasi jauh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I, harus bekerja sama secara langsung atau melalui
organisasi internasional yang bersangkutan dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan yang
demikian di seluruh kawasan, baik didalam maupun di luar zona ekonomi eksklusif.
Di Kawasan dimana tidak terdapat organisasi internasional yang bersangkutan Negara pantai dan Negara lain yang warganegaranya memanfaatkan
jenis ikan demikian di kawasan tersebut harus bekerjasama untuk membentuk organisasi demikian dan berperan serta dalam kegiatannya.” Beraal dari mandate
pasal 64 UNCLOS 1982 tersebut yang menjadi dasar terbentuknya organisasi- organisasi pengelolaan perikanan regional Regional Fisheries Management
Organization RFMO. Saat ini terdapat sekitar 11 RFMO yang terbentuk di berbagai Negara,
terutama yang terdapat di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, beberapa diantaranya ialah Comission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna
CCSBT, Western and Central Pasific Fisheries Comission WCPFC, Indian Ocean Tuna Comission IOTC.
Dalam Konvensi tentang Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Samudera Pasifik Barat dan Tengah
yang telah ditetapkan pada tanggal 5 September 2000 di Honolulu, Amerika Serikat menghasilkan sebuah konvensi tentang pengelolaan ikan beruaya jauh di
samuera pacific barat dan tengah yakni WCPFC Convention for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central
Pacific Ocean . Masuknya Indonesia dalam keanggotaan WCPFC dilakukan
dalam pertemuan Dissemination Of Indonesia Membership Status in WCPFC
yang diselenggarakan di Jakarta 22-24 Oktober 2013
114
a. mengambil langkah-langkah untuk memastikan keberlanjutan jangka
panjang sediaan ikan yang beruaya jauh di Wilayah Konvensi dan mempromosikan tujuan pemanfaatan sediaan secara optimal;
menjadi babak baru tersendiri bagi peraturan pengelolaan ikan beruaya jauh di Indonesia. Konvensi ini
sendiri diratifikasi Indonesia pada tanggal 28 Agustus 2013 melalui Peraturan Presiden No. 61 tahun 2013 tenetang pengesahan Convention for the
Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean
Konvensi pengelolaan dan konservasi Ikan beruaya Jauh di Pasific Barat dan Tengah.
Dalam pasal 5 Peraturan Presiden No. 61 tahun 2013 diatur juga mengenai azas dan langkah-langkah yang wajib dilakukan oleh Anggota Komisi untuk
konservasi dan pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh, adapun azaz dan langkah- langkahnya yakni :
b. memastikan bahwa langkah-langkah yang didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik yang tersedia dan dirancang untuk mempertahankan atau memulihkan sediaan pada tingkat yang mampu memproduksi hasil
maksimal yang berkelanjutan, seperti yang disyaratkan oleh faktor-faktor lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk persyaratan-persyaratan
khusus bagi Negara-Negara Berkembang di Wilayah Konvensi, khususnya Negara-Negara Pulau kecil yang sedang berkembang, dan
mempertimbangkan pola-pola penangkapan ikan, saling ketergantungan
114
http:www.wwf.or.id?29763Indonesia-Menjadi-Anggota-Komisi-Perikanan-- Wilayah-Pasifik-Barat-dan-Tengah
antar sediaan dan standar minimal internasional yang pada umumnya direkomendasikan, baik sub-regional, regional ataupun global;
c. menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Konvensi ini dan
semua standar internasional terkait yang disetujui dan praktek-praktek dan prosedur yang direkomendasikan;
d. mengkaji dampak dari penangkapan ikan, kegiatan lain manusia, dan
faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies yang berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung
kepada atau berhubungan dengan sediaan target; e.
mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan limbah, buangan, tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang ditinggalkan, pencemaran yang
berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies non-target, baik ikan ataupun non-ikan selanjutnya disebut spesies non-target dan dampaknya terhadap
spesies yang berhubungan atau bergantung, khususnya spesies yang terancam punah dan mempromosikan pengembangan dan penggunaan
secara selektif alat dan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan berbiaya efektif;
f. melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;
g. mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau meniadakan
penangkapan ikan yang berlebihan dan kapasitas penangkapan ikan yang berlebihan dan untuk memastikan bahwa tingkat upaya penangkapan ikan
tidak melebihi tingkat upaya yang setara dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan;
h. mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;
i. mengumpulkan dan membagi data secara tepat waktu, lengkap dan akurat
mengenai kegiatan penangkapan ikan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan nontarget dan upaya penangkapan ikan, serta informasi
dari program penelitian nasional dan internasional; dan j.
melaksanakan dan menegakkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengendalian dan pengawasan secara
efektif. Selain itu, dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2013 juga mengatur bagaimana
azas dan langkah yang wajib dilakukan di wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional dalam Pasal 7 dikatakan bahwa :
1. Azas-azas dan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang
disebutkan pada pasal 5 wajib diterapkan oleh Negara-Negara pantai di dalam wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional pada Wilayah
Konvensi dalam menjalankan hak-hak kedaulatannya untuk tujuan eksplorasidan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang
beruaya jauh. 2.
Para anggota Komisi wajib memberikan pertimbangan secara cermat kapasitas masingmasing Negara pantai yang sedang berkembang,
khususnya negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang, di Wilayah Konvensi untuk menerapkan ketentuan-ketentuan pasal 5 dan 6 di
dalam wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional dan kebutuhan mereka akan bantuan sebagaimana diatur di dalam Konvensi ini.
Dalam menerapkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan perikanan, perlu diperhatikan mengenai keselarasan antara berbagai pihak. Hal ini
dikarenakan ikan beruaya jauh di daerah Pasifik Barat dan Tengah tidak hanya menyangkut wilayah yurisdiksi nasional saja. Kesesuaian langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan ikan beruaya jauh harus diselaraskan di wilayah laut lepas, wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, wilayah konvensi , Negara pantai.
Adapun aturannya menurut Peraturan Presiden ini terdapat dalam pasal 8, yakni : 1.
Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan untuk laut lepas dan langkahlangkah yang dilaksanakan untuk wilayah-wilayah
berdasarkan yurisdiksi nasional harus sesuai untuk memastikan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya jauh secara
menyeluruh. Untuk tujuan ini, para anggota Komisi berkewajiban untuk bekerja sama demi mencapai kesesuaian langkah-langkah dalam
hal sediaan tersebut. 2.
Dalam menetapkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang sesuai untuk sediaan ikan yang beruaya jauh di Wilayah Konvensi, Komisi
wajib: a.
Mempertimbangkan kesatuan biologis dan karakteristik biologis lainnya dari sediaan dan hubungan antara sebaran sediaan,
perikanan dan keadaan geografi tertentu wilayah bersangkutan, termasuk sampai sejauh mana sediaan berada dan ditangkap di
wilayahwilayah berdasarkan yurisdiksi nasional; b.
mempertimbangkan:
i. langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang
diterima dan diterapkan sesuai dengan pasal 61 Konvensi 1982 sehubungan dengan sediaan yang sama oleh
NegaraNegara pantai di dalam wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional dan memastikan bahwa
langkah-langkah yang ditetapkan dalam hal sediaan untuk Wilayah Konvensi secara keseluruhan tidak memperlemah
efektivitas langkah-langkah tersebut. ii.
langkah-langkah yang sebelumnya telah ditetapkan dan diterapkan dalam hal sediaan yang sama untuk laut lepas
yang merupakan bagian dari Wilayah Konvensi oleh Negara-negara pantai dan Negara–negara penangkap ikan
di laut lepas sesuai dengan Konvensi 1982 dan Persetujuan; c.
mempertimbangkan langkah-langkah yang sebelumnya telah disepakati dan diterapkan sesuai dengan Konvensi 1982 dan
Persetujuan dalam hal sediaan yang sama oleh organisasi pengelolaan atau tatanan perikanan sub-regional atau regional;
d. mempertimbangkan ketergantungan masing-masing Negara-
negara pantai dan Negaranegara penangkap ikan di laut lepas atas sediaan terkait; dan
e. memastikan bahwa langkah-langkah tersebut tidak
mengakibatkan dampak yang merugikan terhadap sumber daya hayati laut secara keseluruhan.
3. Negara pantai wajib memastikan bahwa langkah-langkah yang
diterima dan diterapkan olehnya terhadap sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasionalnya tidak
memperlemah efektivitas langkah-langkah yang telah diterima oleh Komisi berdasarkan Konvensi ini dalam hal sediaan yang sama.
4. Apabila terdapat wilayah laut lepas di Wilayah Konvensi yang seluruhnya
dikelilingi oleh Zona Ekonomi Eksklusif ZEE para anggota Komisi, Komisi wajib, dalam pelaksanaan pasal ini, memberikan perhatian
khusus untuk memastikan kesesuaian antara langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan untuk laut lepas tersebut
dengan yang ditetapkan dalam hal sediaan yang sama sesuai dengan pasal 61 Konvensi 1982 oleh Negara-negara pantai yang mengelilingi
wilayah-wilayah tersebut berdasarkan yurisdiksi nasional.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan