United Nations Convention on the Law of the Sea UNCLOS 1982

productivity of living resources in any area of the high seas adjacent to its territorial sea” . Selain ketentuan dalam Pasal 6 ayat 1 di atas, lebih lanjut Pasal 6 menyatakan bahwa Negara pantai berhak untuk, antara lain : a Turut serta atas dasar sama derajat dalam setiap penelitian atau pengaturan yang bertujuan untuk konservasi perikanan di bagian laut lepas yang berdekatan dengan pantainya b Kewajiban Negara-negara lain yang nelayan-nelayannya melakukan penangkapan ikan di daerah untuk mengadakan perundingan-perundingan dengan Negara pantai dengan tujuan menetapkan tindakan-tindakan konservasi perikanan yang diperlukan di daerah itu dan di laut lepas. Hak-hak diatas dimiliki Negara pantai meskipun nelayan-nelayannya tidak menangkap ikan di bagian-bagian laut yang dimaksud.

B. United Nations Convention on the Law of the Sea UNCLOS 1982

Konferensi Hukum Laut Jenewa yang dilakukan pada tahun 1958 menjadi acuan bagi terbentuknya aturan-aturan hukum mengenai kelautan dan perikanan. Akan tetapi Konferensi ini gagal mencapai kata sepakat juga dalam hal laut territorial. Untuk mengatasi kegagalan itu diselenggarkanlah Konvensi Jenewa II pada 16 Maret – 26 April yang membahas tentang lebar laut territorial. Tapi Konferensi inipun tetap mengalami kegagalan sehingga status a quo masih tetap terus berlangsung. 87 Situasi membinungkan ini menimbulkan kecemasan berbagai pihak, hal ini dikarenakan masih banyaknya Negara-negara yang mengklaim laut A atau B adalah miliknya serta berbagai masalah mengenai Landasan Kontinen di berbagai Negara. Oleh karena itu Majelis Umum PBB merasa perlu untuk membuat lagi Konferensi Hukum Laut Internasional. Majelis umum PBB dalam sidang umumnya pada tahun 1973, berhasil mengesahkan Resolusi Nomor 3067 XXVIII. Yang menyerukan kepada Negara-negara untuk menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut di Caracas, Venezuela tahun 1973. Konferensi ini kemudian dilanjutkan di New York dan Jenewa secara silih berganti dan akhirnya menyepakati naskah final Konvensi yang ditandatangani dalam Konferensi di Montego Bay, Jamaika tanggal 10 Desember 1982. Dan kovensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS United Nations on the Law of the Sea ini mulai berlaku tanggal 16 November 1994. 88 Konvensi ini mengatur rejim-rejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh , dimana satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut menandatangani konvensi ini dan sebagai bentuk perhatian Indonesia terhadap rejim hukum laut dan untuk memperkuat kedaulatan atas wilayah laut, maka 3 tiga tahun berselang setelah ditandatanganinya United Nation Convention on the Law of the Sea UNCLOS 87 I Wayan Parthiana , Op.Cit hal. 18. 88 Ibid . hal. 22 Indonesia pun meratifikasi atau mengesahkan konvensi tersebut dengan menundangkan Undang-Undang No 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. 89 1. Laut Teritorial dan Zona Tambahan UNCLOS tahun 1982 merupakan tahap baru dalam dunia kelautan, dan menjadi awal penggerak dalam menciptakan aturan dalam dunia internasional mengenai sumber daya ikan dan pengelolaannya. Oleh karena itu setelah diberlakukannya UNCLOS 1982 dan setelah diratifikasi oleh berbagai Negara, mulai bermunculan aturan-aturan hukum internasional lain yang lebih spesifik mengenai sumber daya ikan dan konservasi pengelolaan perikanan. Dalam Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 terdapat beberapa hal mengenai kelautan yang diatur, yakni : 2. Selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional 3. Negara-negara Kepulauan Archipilagic states 4. Zona Ekonomi Eksklusif 5. Landasan Kontinen Continental shelf 6. Laut Lepas 7. Rezim pulau 89 Annekasaldianmardhiah.blogspot.com201304hukum-laut-internasional.html?m=1 diakses pada tanggal 8. Laut tertutup atau setengah tertutup 9. Hak Negara tak berpantai untuk akses dan dari laut serta kebebasan transit 10. Kawasan 11. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut 12. Riset ilmiah kelautan 13. Pengembangan dan alih teknologi kelautan 14. Penyelesaian sengketa Meskipun Konvensi ini merupakan konvensi mengenai hukum laut , akan tetapi Konvensi ini,aturan mengenai pengelolaan dan konservasi perikanan terdapat dalam beberapa pasal. Beraal dari Pasal 42 mengenai Negara yang berbatasan dengan selat yang bertalian dengan lintas transit, yang menyatakan baha Negara yang berbatasan dengan selat dapat membuat peraturan perundang- undangan yang bertalian dengan lintas transit melalui selat, mengenai kapal penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk cara penyimpanan alat penangkap ikan; Selain itu dalam UNCLOS 1982 juga menjamin hak perikanan tradisional dan menghormati perikanan tradisional yang masih ada, hal ini dapat dilihat dari pasal 51 UNCLOS 1982 tentang Perjanjian yang berlaku, hak perikanan tradisional dan kabel laut yang ada. Pasal 51 ayat 1 menyatakan bahwa Negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan Negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah Negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak akan kegiatan demikian, berlaku, atas permintaan salah satu Negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hak demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan Negara ketiga atau warga negaranya. Hal ini dianggap penting karena meskipun teknologi pada masa ini berkembang pesat akan tetapi harus tetap memperhatikan pengelolaan perikanan secara sederhana atau tradisional. Pengelolaan perikanan dengan cara tradisional yang aman ini membantu menjaga kelestarian sumber daya ikan dan sumber daya hayati lainnya di laut. Selain aturan diatas, lebih spesifik lagi menjelaskan tentang pengelolaan dan konservasi perikanan sebenarnya terdapat dalam BAB V tentang Zona Ekonomi Eksklusif , khususnya pada pasal 61 sampai pasal 67. Konservasi dan pengelolaan perikanan sejalan dengan konservasi sumber daya hayati, karena ikan termasuk dalam sumberdaya hayati di laut. Penangkapan, pengelolaan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan merupakan hal-hal yang berpengaruh bagi kelestarian sumberdaya hayati laut khususnya perikanan. Dalam pasal 61 ayat 1 negara-negara pantai diharuskan untuk menentukan jumlah tangkapan dari sumber kekayaan hayati di laut, hal ini untuk mencegah eksploitasi ikan berlebih overfishingoverexploited . Selain dengan cara membatasi jumlah tangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif, harus ada jaminan akan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat , terdapat dalam ayat 2. Tindakan konervasi dan pengelolaan perikanan ini pun harus memperhatikan bukti ilmiah terbaik dalam pelaksanaannya dan pasal 61 ayat 2 ini memberikan pemikiran agar dilakukannya kerjasama antara Negara yang bersangkutan dengan organisasi internasional yang ada demi keberhasilan konservasi sumberdaya hayati tersebut. Setelah itu pada pasal 63 sampai pasal 67 menyatakan hal-hal mengenai persediaan jenis ikan yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dua Negara pantai atau lebih atau baik di dalam zona ekonomi eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan dengan, jenis ikan bermigrasi jauh highly migratory species , jenis ikan anadrom dan jenis ikan catadrom. Pasal pasal diatas tetap mengatur bagaimana cara penangkapan ikan-ikan, cara konservasi dan pengelolaannya dan yang terutama ialah pasal-pasal diatas tetap menekankan adanya kerjasama antara Negara asal dan Negara asing yang menangkap ikan serta adanya kerjasama Negara baik dalam sub-regional, regional maupun kerjasama dengan organisasi internasional. Jaminan kebebasan melakukan penangkapan ikan di laut lepas dijamin pada pasal 87 huruf e dalam konvensi ini. Akan tetapi kebebasan penangkapan ikan yang dilakukan bukan kebebasan yang tidak terbatas, akan tetapi tetap mengikuti ketentuan yang berlaku dalam konvensi ini. 90 90 Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua Negara, dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan Negara lain dalam melaksanakan kebebasan laut lepas itu, dan juga dengan memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dalam Konvensi ini yang bertalian dengan kegiatan di Kawasan. Khususnya pada BAB VII tentang laut lepas bagian 2 yang mengatur tentang konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati di laut lepas. Dalam pasal ini dijelaskan mengenai kewajiban melaksanakan perjanjian internasionjal yang berkaitan, kemudian mengharuskan untuk adanya kerjasama antar Negara yang bersangkutan dan kerjasama dengan organisasi internasional yang ada mengenai perikanan laut lepas. Selain itu , dalam konvensi ini Negara yang bersangkutan tetap harus memperhatikan bahwa tindakan konservasi dan pelaksanaannya tidak mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap nelayan dari Negara manapun juga, hampir sama dengan prinsip yang terdapat dalam organisasi WTO World Trade Organization yakni prinsip non-diskriminasi. Adanya aturan mengenai konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati terutama perikanan dalam konvensi ini memang cukup baik, akan tetapi banyak pula dari aturannya yang kurang spesifik contohnya mengenai konservasi ikan laut lepas dan migrasi jauh. Masih terdapat kekurangan dalam UNCLOS 1982 mengenai pengelolaan perikanan dan konservasinya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, masih tetap diperlukan beberapa aturan yang lain yang lebih spesifik mengenai pengelolaan dan konservasi perikanan ini. Munculnya UNCLOS 1982 sebagai aturan yang mewadahi hal-hal mengenai konservasi perikanan juga sebagai acuan terbentuknya atau diadopsinya berbagai aturan lain mengenai konservasi dan pengelolaan perikanan, beberapa diantaranya ialah : 91 91 Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas ”, dalam Jurnal Hukum Internasional Indonesian Jurnal of International Law, Volume 2 Nomor 3 Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005, hal. 505. 1. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas FAO Compliance Agreement 1993; 2. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on The law of The Sea of 10 December 1982 Relating to The Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks United Nations Fish Stocks Agreement United Nations Implementing AgreementUNIA 1995; 3. FAO Code Conduct For Responsible Fisheries CCRF1995 4. International Plan of Action dari FAO, yaitu: a. Intenational Plan of Action for the Management of Fishing Capacity ; b. International Plan of Action for the Conservation and Management of Sharks ; c. International Plan of Action for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long-line Fisheries ; d. International Plan of Action for Illegal, Unreported, and Unregulated, Fishing

C. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United nations