Perubahan Penggunaan Lahan Analisis Data

26 beberapa obyek yang justru dengan adanya bayangan menjadi lebih jelas. Misalnya lereng terjal tampak lebih jelas dengan adanya bayangan. Foto-foto yang sangat condong biasanya memperlihatkan bayangan obyek yang tergambar dengan jelas. 5. Rona, adalah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto. 6. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Biasa dinyatakan dengan “kasar”, “sedang” dan “halus”. Misalnya, hutan bertekstur kasar dan semak bertekstur sedang. Tekstur merupakan hasil gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan rona. 7. Situs, adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Misalnya permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir pantai, tanggul alam, atau sepanjang tepi jalan; atau persawahan banyak terdapat di daerah dataran rendah. Dari tujuh karakteristik dasar tersebut di atas, Sutanto 1992 menambahkan satu karakteristik lagi, yaitu asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Misalnya, stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya lebih dari satu bercabang. Munibah 2008 menambahkan faktor lain yang dapat dijadikan sebagai kunci interpretasi citra adalah kedekatan antara interpreter dengan obyek yang diinterpretasi . Menurut Sutanto 1992, pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Perekaman data dari citra berupa pengenalan obyek dan unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari a menguraikan atau memisahkan obyek yang rona atau warnanya berbeda; b ditarik garis batasdeliniasi bagi obyek yang rona dan warnanya sama; c setiap obyek dikenali berdasarkan karakteristik spasial dan unsur temporalnya; d obyek yang sudah dikenali diklasifikasi sesuai dengan tujuan interpretasinya; e digambarkan ke dalam peta kerja atau peta sementara; f dilakukan pengecekan medan lapangan untuk verifikasi; dan g interpretasi akhir, yaitu pengkajian atas pola atau susunan keruangan obyek untuk dapat dipergunakan sesuai tujuannya. 27 Deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui proses tumpang susun overlay antara peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 menggunakan ArcGIS 9.3. Identifikasi pusat-pusat perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan analisis Location Quotient LQ. Analisis LQ Location Quotient merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktifitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Sebagai contoh adalah pemusatan aktifitas di level provinsi dalam lingkup wilayah nasional, atau pemusatan aktifitas di level kabupatenkota dalam lingkup wilayah provinsi, demikian seterusnya. Analisis LQ pada awalnya merupakan salah satu teknik yang dikembangkan untuk melakukan analisis ekonomi basis. Dalam perkembangannya, analisis LQ dapat digunakan untuk menganalisis untuk pemusatan aktifitas apapun, dalam hal penelitian ini adalah pemusatan aktifitas perubahan penggunaan lahan. Teknik LQ dilakukan secara berjenjang, dimulai dari unit administrasi terkecil kecamatan untuk setiap wilayah kabupaten, kemudian dilakukan pada unit kabupaten Rustiadi et al. 2009. Persamaan analisis LQ dalam penelitian ini adalah: X X X X LQ J I IJ IJ .. . . …………………………………1 Dimana: X IJ : luas perubahan penggunaan lahan di kecamatan ke-i X I. : total luas perubahan penggunaan lahan di Kota Bima X .J : luas kecamatan ke-i X .. : total luas wilayah Kota Bima Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut: - Jika nilai LQ ij 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i, sehingga dapat diketahui bahwa suatu wilayah administrasi terkecil yang dianalisis merupakan wilayah yang menjadi pusat perubahan penggunaan lahan. - Jika nilai LQ ij = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai konsentrasi aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah. 28 - Jika nilai LQ ij 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai aktifitas lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah.

3.5.2 Kemampuan Lahan

Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah fisik dan kimia, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan kedalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas adalah kelerengan, jenis tanah, bahan induk, tekstur, kedalaman solum, drainase, dan kepekaan erosi. Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh para perintis pedologi Dokuchaev 1883 dalam Hardjowigeno 2003. Pengaruh dan hubungan sifat-sifat bahan induk dengan sifat-sifat tanah terlihat lebih jelas pada tanah-tanah di daerah kering atau tanah-tanah muda, hal ini relevan dengan kondisi fisik lahan Kota Bima dimana jenis tanahnya hanyalah dua ordo yaitu Entisol yang merupakan tanah muda dan Inseptisol yang sedikit lebih matang. Data tersebut diperoleh dari peta tanah skala 1:50.000 yang bersumber dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Puslittanak. Atribut peta mencakup jenis tanah, landform, relief, kelas lereng, dan ketinggian altitude. Peta ini kemudian dipertajam dengan menggunakan data pendukung citra ASTER GDEM resolusi 30 m. Penajaman yang dilakukan adalah dengan mendeliniasi manual peta tanah yang ada khususnya atribut landform dan relief. Tahapan penajaman adalah: 1 konversi citra ASTER GDEM menjadi hillshade menggunakan fasilitas ArcToolbox pada ArcGIS; 2 meng-overlay peta tanah dengan DEM hillshade ; dan 3 mendeliniasi manual peta tanah berdasarkan kenampakan landform yang serupa. Sukarman 2005 menyatakan bahwa data DEM dapat digunakan untuk membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di daerah bergunung berbahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform bentuk lahan dan relief dengan baik. 29 Klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dilakukan dengan memperhatikan kriteria seperti pada Tabel 2 Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas No. Faktor Kelas Kemampuan I II III IV V VI VII VIII 1. Tekstur tanah t a. lapisan atas 40 cm b. lapisan bawah t2t3 t2t4 t1t4 t1t4 t1t4 t1t4 t2t3 t2t4 t2t3 t2t4 t2t3 t2t4 t2t3 t2t4 t2t3 t2t4 2. Lereng permukaan l0 l1 l2 l3 l4 l5 l6 3. Drainase d0d1 d2 d3 d4 4. Kedalaman efektif k0 k0 k1 k2 k3 5. Keadaan erosi e0 e1 e1 e2 e3 e4 6. Kerikilbatuan b0 b0 b0 b1 b2 b3 7. Banjir o0 o1 o2 o3 o4 = dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah = permukaan tanah selalu tergenang air. Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dapat diuraikan sebagai berikut Arsyad 1979 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. a. Tekstur tanah t Duabelas tekstur tanah dikelompokkan ke dalam lima kelompok sebagai berikut: - t 1 halus: liat berdebu, liat - t 2 agak halus: liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir - t 3 sedang: debu, lempung berdebu, lempung - t 4 agak kasar: lempung berpasir - t 5 kasar: pasir berlempung, pasir b. Lereng permukaan l Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut: - l 0-3: datar - l 1 3-8: landaiberombak - l 2 8-15: agak miringbergelombang - l 3 15-30: miringberbukit - l 4 30-45: agak curam