28
Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai penurunan tegangan antarmuka surfaktan APG SK-50 lebih rendah dibandingkan dengan surfaktan APG SK-05. Hal ini membuktikan bahwa
perbedaan yang kecil pada formulasi awal sangat berpengaruh terhadap formulasi selanjutnya. Sehingga surfaktan yang dipilih untuk formulasi tahap lanjut yaitu surfaktan APG SK-50.
4.4. FORMULASI SURFAKTAN
Formulasi surfaktan merupakan tahapan untuk menentukan performa terbaik dari surfaktan yang digunakan. Tahapan ini juga merupakan lanjutan dari tahapan sebelumnya yaitu pemilihan
surfaktan. Pada tahap ini, surfaktan yang digunakan diformulasikan untuk mendapatkan formula yang mampu menurunkan tegangan antamuka IFT antara minyak-air dan merubah sifat batuan yang suka
minyak oil wet menjadi suka air water wet. Tahapan formulasi surfaktan dilakukan melalui tahapan terstruktur yaitu dimulai dari
optimalisasi salinitas, optimalisasi alkali, sampai optimalisasi co-surfaktan jika belum didapatkan nilai tegangan antarmuka optimal. Menurut BP MIGAS 2009, karakteritik formula surfaktan yang
diharapkan untuk tahapan EOR Enhanced Oil Recovery harus dapat menurunkan nilai tegangan antar muka IFT 10
-3
–10
-6
dynecm. Menurut Lemigas 2002, Efektifitas surfaktan dalam menurunkan teganan antarmuka minyak-air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis
surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang digunakan, kadar garam larutan dan adsorpsi larutan co-surfaktan. Tahapan formulasi surfaktan dapat dilihat lebih jelas pada
Gambar 15.
Gambar 15. Tahapan Formulasi Surfaktan untuk aplikasi EOR
4.4.1. Optimalisasi Salinitas
Optimalisasi salinitas bertujuan untuk mengetahui performa terbaik larutan surfaktan APG SK-50 pada kondisi salinitas optimum pada air formasi lapangan S. Nelson dan Pope 1978
Aplikasi Enhanced Water Flooding
Salinitas Optimum
≤ IFT 10
-3
dynecm
Surfaktan APG SK-50
Optimalisasi Salinitas
Optimalisasi Alkali
Optimalisasi Co-Surfaktan
29
mendefinisikan salinitas optimal sebagai kondisi dimana IFT antara minyak, mikroemulsi dan air terendah. Selain itu, mereka juga mengatakan optimal salinitas penting sebagai parameter
peningkatan perolehan minyak berbasis surfaktan dan membantu estimasi kinerja surfaktan. Setiap surfaktan memiliki kondisi salinitas yang berbeda-beda untuk dapat bekerja optimal
dalam menurunkan tekanan antar permukaan didalam reservoir. Ashrawi 1984 menyatakan, Jenis surfaktan yang digunakan dalam injeksi kimiasurfaktan harus disesuaikan dengan konsidi reservoir
terutama kadar garam, suhu dan tekanan karena akan mempengaruhi daya kerja surfaktan untuk menurunkan tegangan antarmuka IFT minyak-air. Selain itu, optimalisasi salinitas juga bertujuan
untuk mengoptimalkan kadar garam dalam air formasi. Optimalisasi salinitas dilakukan dengan menambahkan bahan kimia Natrium Klorida NaCl
dalam larutan surfaktan. Untuk mengetahui kondisi optimum tersebut, dilakukan penambahan NaCl dengan konsentrasi yang berbeda taraf mulai dari yang terendah hingga yang terbesar yaitu 1000
ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, serta 9000 ppm. Selanjutnya, sebanyak 0.3 surfaktan dicampurkan dengan air formasi pada masing-masing taraf tersebut. Selanjutnya, masing-masing
larutan tersebut diuji nilai IFT-nya untuk mengetahui hubungan dengan konsentrasi NaCl yang digunakan. Nilai IFT pada masing-masing konsentrasi NaCl dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran
7. Grafik yang menunjukkan hubungan antara niai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi NaCl yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Perbandingan konsentrasi NaCl dalam larutan surfaktan terhadap penurunan tegangan antar permukaan
Hasil tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan APG SK-50 dalam menurunkan tegangan antar muka memiliki kecenderungan menurun pada konsentrasi 0 ppm sampai konsentrasi
7000 ppm dan memiliki kecenderungan naik pada konsentrasi selanjutnya dengan slope positif. Surfaktan APG SK-50 merupakan surfaktan nonionic, surfaktan ini tidak memiliki muatan atau tidak
terionisasi pada bagian hidrofiliknya. Sifat hidrofilik pada surfaktan ini disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil Matheson, 1996; Rosen, 2004. Surfaktan ini akan
menyebabkan water wet baik pada batuan karbonat maupun sandstone Allen and Robert, 1993; Mulyadi, 2002.
Poppy dan Setiasih 2007 menyatakan berdasarkan pengujian pada kertas lakmus merah dan biru. Garam NaCl tidak mengubah warna lakmus merah menjadi biru atau lakmus biru menjadi
merah. Hal ini menunjukkan bahwa NaCl bersifat netral. NaCl bersifat mudah larut dalam air dan membentuk ion Na
+
dan Cl
-
. Ion Na
+
akan bereaksi dengan gugus hidroksil pada surfaktan
2.32E-02 1.79E-02
1.12E-02 8.94E-03
6.20E-03 9.08E-03
0.0E+00 5.0E-03
1.0E-02 1.5E-02
2.0E-02 2.5E-02
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
N il
a i
IFT d
y n
e cm
Konsentrasi NaCl ppm
30
membentuk basa. Basa yang terbentuk dapat melarutkan minyak sehingga tegangan antarmuka minyak dan air akan menurun. Proses reaksi ini mencapai kesetimbangan pada konsentrasi garam
optimal yaitu pada konsentrasi NaCl 7000 ppm. Penambahan konsentrasi garam pada titik ini tidak akan berpengaruh terhadap reaksi yang dihasilkan melainkan dapat meningkatkan nilai IFT antara
minyak dan air. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Ajith et,al. 1994 dan Sampath 1998 menunjukkan bahwa nilai IFT meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas atau kadar
garam. Ion Na
+
yang tidak bereaksi akan mengikat minyak sehingga menghambat atau menghalangi pengikatan minyak oleh gugus lipofilik surfaktan. Hal ini mengurangi gaya adhesi antara minyak
dengan surfaktan sehingga tegangan antarmuka surfaktan dan air akan meningkat. Berdasarkan hal tersebut maka konsentrasi yang dipilih yaitu 7000 ppm NaCl. Pada
konsentrasi tersebut, didapatkan nilai IFT yang terkecil atau optimum. Selanjutnya, larutan surfaktan dengan salinitas optimum 7000 ppm diformulasikan lagi dengan menggunakan aditifalkali untuk
melihat kemungkinan penurunan nilai IFT antara larutan surfaktan-minyak lapangan S.
4.4.2. Optimalisasi Alkali
Larutan surfaktan dengan konsentrasi salinitas 7000 ppm kemudian dioptimalisasi dengan menggunakan alkali. Optimalisasi alkali merupakan tahap lanjutan dari optimalisasi salinitas. Proses
optimalisasi alkali yang dilakukan bertujuan untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka yang telah diperoleh dari formulasi sebelumnya. Menurut Technology Assessment Board 1978 larutan yang
diinjeksikan pada umumnya mengandung 95 air formasiair injeksi brine, 4 surfaktan, dan 1 aditif. Aditif biasanya berupa alkali yang ditambahkan untuk mengatur viskositas larutan. Alkali
yang digunakan adalah NaOH natrium hidroksida dan Na
2
CO
3
natrium karbonat. Sugihardjo et al. 2002 menyatakan bahwa alkaliaditif yang boleh dipergunakan adalah natrium hidroksida
NaOH dan natrium karbonat Na
2
CO
3
dengan batas maksimal penggunaan 1 untuk memaksimalkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka.
NaOH merupakan basa kuat sedangkan Na
2
CO
3
merupakan garam basa. Penggunaan dua alkali ini didasarkan pada kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu sebagai bahan pembersih.
NaOH biasa digunakan dalam sabun dan pembersih, sedangkan Na
2
CO
3
biasanya digunakan sebagai bahan alat pembersih. Selain itu Jackson 2006 juga menyatakan bahwa penambahan natrium
karbonatsodium carbonate digunakan karena dapat menurunkan adsorpsi surfaktan anionik pada batuan reservoir. Karenanya, perambatan aliran surfaktan dapat lebih cepat dan memungkinkan
lebih sedikit surfaktan yang diinjeksi. Besarnya nilai pH yang dihasilkan dari penambahan natrium karbonat telah membantu menjaga kestabilan beberapa surfaktan dan dapat pula digunakan dalam
memperbaiki hidrasi polimer. Penggunaan dua bahan ini berfungsi sebagai zat aditif dalam menurunkan nilai IFT minyak dan air. Dalam formula, penambahan zat aditif maksimal sebanyak
1 atau 10000 ppm agar formula tetap ekonomis untuk digunakan. Penggunaan masing-masing alkali divariasikan dengan rentang 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, dan 9000 ppm.
Kinerja masing-masing alkali dalam menurunkan nilai IFT larutan surfaktan –minyak lapangan
S dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 8. Sementara, grafik hubungan antara nilai IFT yang dihasilkan masing-masing alkali ditunjukkan oleh Gambar 17.
31
Gambar 17. Perbandingan kinerja masing-masing alkali terhadap penurunan nilai IFT Grafik tersebut menunjukkan nilai IFT yang dihasilkan pada masing-masing alkali. Pada
NaOH, penambahan konsentrasi sebesar 1000 ppm dapat menurunkan nilai IFT formula sampai 2,94x10
-3
dynecm. Pada penambahan konsentrasi NaOH yang lebih besar, memiliki kecenderungan untuk meningkatkan nilai IFT. NaOH merupakan basa kuat, sehingga penambahan sedikit saja pada
larutan dapat mempengaruhi pH yang dihasilkan. Minyak lapangan S yang digunakan memiliki pH asam dengan nilai 4.58. Reaksi antara basa kuat dan asam akan menyebabkan terjadinya reaksi
penetralan ditandai dengan terbentuknya garam. Selain itu, gugus lipofilik surfaktan berasal dari minyak nabati. Campuran antara NaOH dengan minyak menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi
atau penyabunan. Pada penambahan NaOH 1000 ppm, reaksi saponifikasi memiliki reaksi yang lebih besar dibandingkan reaksi penetralan. Sehingga, pada konsentrasi ini terjadi penurunan nilai IFT.
Namun, pada penambahan NaOH lebih besar dari 1000 ppm diduga reaksi penetralan lebih besar sehingga garam yang dihasilkan semakin banyak. Garam yang dihasilkan menyebabkan terjadinya
peningkatan nilai IFT antara formula dengan minyak. Sedangkan pada Na
2
CO
3
, semakin banyak konsentrasi yang ditambahkan justru semakin menurunkan nilai IFT dengan nilai minimum pada konsentrasi 9000 ppm dengan nilai IFT sebesar
2,77x10
-3
dynecm. Na
2
CO
3
merupakan senyawa garam yang bersifat basa. Alkali ini dapat bereaksi dengan asam lemak pada gugus lipofil surfaktan membentuk reaksi saponifikasi atau penyabunan.
Berbeda dengan NaOH, garam tidak membentuk reaksi penetralan dengan minyak. Sehingga, penambahan Na
2
CO
3
dengan konsentrasi yang semakin meningkat akan meningkatkan reaksi saponifikasi yang dapat menurunkan nilai IFT formula dengan minyak. Penurunan nilai IFT ini
berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi Na
2
CO
3
. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa Na
2
CO
3
menghasilkan nilai IFT yang lebih kecil daripada NaOH yaitu 2,77x10
-3
dynecm untuk Na
2
CO
3
dan 2,94x10
-3
dynecm NaOH. Namun, untuk mencapai nilai optimal alkali tersebut Na
2
CO
3
membutuhkan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan NaOH. Sehingga, alkali yang digunakan sebagai formulasi surfaktan untuk aplikasi
Enhanced Water Flooding yaitu NaOH. Hal ini didasarkan kepada nilai ekonomis dari penggunaan alkali NaOH yang lebih besar dibanding Na
2
CO
3
, sementara nilai IFT yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Menurut Allen dan Roberts 1993, untuk memenuhi target yang hendak dicapai dalam
penerapan EOR, selain pertimbangan karakteristik minyak dan reservoir, yang juga perlu diperhatikan adalah nilai ekonomis dari proyek EOR tersebut.
2.94E-03 2.77E-03
0.0E+00 2.0E-03
4.0E-03 6.0E-03
8.0E-03 1.0E-02
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
N il
a i
IFT d
y n
e cm
Konsentrasi Alkali ppm
NaOH Na2CO3
32
4.5. UJI KINERJA FORMULA SURFAKTAN 4.5.1.