42
Selain  itu,  untuk  mengetahui  pengaruh  filtrasi  terhadap  molekul-molekul  formula  surfaktan dilakukan uji densitas. Hubungan antara filtrasi dengan nilai densitas formula surfaktan dapat dilihat
pada Gambar 32.
Gambar 32. Hubungan filtrasi dengan nilai densitas pada formula surfaktan APG SK-50 Berdasarkan  hasil  tersebut  dapat  dilihat  bahwa  proses  filtrasi  memiliki  pengaruh  terhadap
peningkatan nilai IFT. Hal ini dapat disebabkan oleh ikut tersaringnya bahan aktif yang terdapat pada surfaktan  sehingga  kemampuan  untuk  menurunkan  nilai  IFT-nya  berkurang.  Namun,  hal  ini  tidak
terjadi  pada  penyaringan  dengan  filtrasi  0.45  µm.  Hal  ini  kemungkinan  dikarenakan  penyaringan dengan  filtrasi  0.45  µm  merupakan  penyaringan  terakhir  sehingga  micelle  yang  terbentuk  tidak
tersaring  lagi  sehingga  nilai  IFT  kembali  turun.  Sedangkan  untuk  nilai  densitas,  berbanding  erbalik dengan nilai IFT dimana untuk nilai IFT yang menurun, nilai densitas mengalami peningkatan. Hal ini
kemungkinan  dikarenakan  micelle  yang  terbentuk  ikut  tersaring  sehingga  bobot  molekulnya berkurang, nilai densitas pun menurun yang menyebabkan naiknya nilai IFT karena kehilangan bahan
aktifnya.
4.6. ENHANCED WATER FLOODING
4.6.1. Karakteristik Minyak Bumi yang digunakan
Minyak  bumi  dari  lapangan  S  yang  dipakai  dalam  penelitian  ini  secara  umum  memiliki karakteristik sebagai berikut.
Tabel 8. Karakteristik minyak bumi lapangan S
Parameter Nilai
Densitas gcm
3
0.91576 Spesifik grafity gcm
3
0.91667 Derajat API
o
API 22.8635
Aspaltine Positif +
Densitas  didefinisikan  sebagai  massa  dari  satuan  volume  suatu  fluida  minyak  pada  kondisi tekanan  dan  temperatur  tertentu.  Spesifik  grafiti  merupakan  perbandingan  dari  densitas  suatu  fluida
0.99050 0.99030
0.99030 0.99046
0.95 1.00
1.05
tanpa saring 500 mesh
22 µm 0.45 µm
Ni lai
de ns
it as
g ram
cm
43
minyak  terhadap  densitas  air.  Baik  densitas  air  maupun  fluida  tersebut  diukur  pada  kondisi  yang sama 60° F dan 14.7 Psia. Sedangkan, derajat API API Gravity merupakan satuan yang digunakan
untuk  menyatakan  berat  jenis  minyak  dan  digunakan  sebagai  dasar  klasifikasi  minyak  bumi  yang paling sederhana. Klasifikasi minyak mentah didasarkan pada derajat API atau kerapatan relatif, jika
derajat  API  minyak  mentah  tinggi  atau  kerapatan  relatif  minyak  mentah  rendah,  maka  ada kecenderungan  bahwa  minyak  mentah  tersebut  mengandung  fraksi  ringan  dalam  jumlah  yang  besar.
Berdasarkan gravitas API atau kerapatan relatif, minyak mentah dibagi dalam 5 jenis minyak mentah, yaitu:  minyak  mentah  ringan,  minyak  mentah  ringan  sedang,  minyak  mentah  berat  sedang,  minyak
mentah berat, minyak mentah sangat berat, seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Klasifikasi Minyak Bumi Berdasarkan Derajat API dan Kerapatan Relatif
Jenis Minyak Mentah
Gravitas API Kerapatan Relatif
Dari Sampai
Dari Sampai
Ringan 39,0
0,830 Medium Ringan
39,0 35,0
0,830 0,850
Medium Berat 35,0
35,0 0,850
0,865 Berat
35,0 24,8
0,865 0,905
Sangat Berat 24,8
0,905
Sumber: Kontawa 1995
Penentuan  kerapatan  relatif  dilakukan  untuk  mengetahui  golongan  dari  minyak  mentah  yang diuji  yang  biasanya  mengacu  kepada  harga  minyak  bumi.  Berdasarkan  data  yang  diperoleh,  minyak
bumi  yang  dipakai  pada  penelitian  ini  termasuk  kategori  sangat  berat  dengan  derajat  API  sebesar 22.86  dan  kerapatan  relatifdensitas  0.91576.  minyak  dalam  kategori  ini  memiliki  kecenderungan
bahwa  minyak  mentah  tersebut  mengandung  banyak  fraksi  berat.  Minyak  dengan  fraksi  berat  akan dihargai lebih murah dibanding minyak yang mengandung fraksi ringan karena mengandung banyak
pengotor. Selain itu, minyak mentah yang digunakan juga diuji kadar aspaltine untuk melihat komposisi
hidrokarbon  secara  umum.  Selain  itu,  uji  ini  juga  bertujuan  untuk  mengetahui  polar  atau  tidaknya suatu  minyak  dari  kelarutannya  dalam  n-heksana.  Apabila  minyak  mentah  larut  seluruhnya,  maka
minyak tersebut bisa dikatakan non-polar dan sebaliknya. Hasil pengujian aspaltine minyak lapangan S dapat dilihat pada Gambar 33.
a b
Gambar 33. a Sebelum uji aspaltine dan b Setelah uji aspaltine
44
Hasil  tersebut  menunjukkan  bahwa  minyak  lapangan  S  mengandung  sedikit  aspaltine.  Hal  ini dibuktikan  dengan  terbentuknya  endapan  pada  setiap  pengenceran.  Sehingga  dapat  dikatakan  bahwa
minyak  lapangan  S  bersifat  polar  dan  digolongkan  ke  dalam  minyak  mentah  alkana.  Irapati  2008 mengatakan  bahwa  secara  umum  komposisi  hidrokarbon  minyak  mentah  terdiri  dari  dua  komponen
yaitu komponen  hidrokarbon dan non  hidrokarbon. Berdasarkan sifat,  susunan atau  komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu minyak mentah alkana, minyak
mentah siklo alkana dan minyak mentah campuran. Berikut adalah sifat dari jenis minyak mentah: a. Minyak Mentah Alkana
Minyak  mentah  alkana  mempunyai  kerapatan  relatif  yang  rendah,  susunan  hidrokarbonnya bersifat alkana, mengandung kadar wax  yang tinggi dan sedikit mengandung komponen asphaltic,
menghasilkan  bensin  dengan  kualitas  kurang  baik  karena  mempunyai  angka  oktan  yang  rendah, menghasilkan kerosine , solar dan wax yang bermutu baik.
b. Minyak Mentah Siklo Alkana Minyak mentah sikloalkana mempunyai kerapatan relatif yang tinggi, susunan hidrokarbonnya
bersifat  siklo  alkana,  sedikit  sekali  mengandung  kadar  lilin  dan  mengandung  komponen  asphaltic, menghasilkan  bensin  dengan  kualitas  baik  karena  mempunyai  angka  oktan  yang  tinggi,
menghasilkan  kerosine  yang  kurang  baik,  solar  bersifat  ringan-berat  sampai  kurang  baik,  dapat diproses untuk pembuatan asphalt dan fuel oil.
c. Minyak Mentah Campuran Minyak mentah campuran mempunyai kerapatan relatif diantara jenis parafinik dan naftenik,
Susunan  hidrokarbonnya  mengandung  parafinik,  naftenik  dan  aromatik,  tipe  minyak  ini  dapat diproses  menjadi  berbagai  jenis  produk  minyak  bergantung  dari  tipe  unit  pengolahannya.
Hidrokarbon  merupakan  unsur  pokok  terbesar  dalam  minyak  bumi  dengan  konsentrasi  antara  50 sampai 95. Sisanya merupakan senyawa
–senyawa non-hidrokarbon misalnya nitrogen, belerang, oksigen,  dan  logam.  Hidrokarbon  minyak  bumi  merupakan  senyawa  organik  yang  terdiri  dari
karbon  dan  hidrogen  dan  dapat  digolongkan  menjadi  tiga  jenis,  yaitu  hidrokarbon  alifatik, hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik.
Hidrokarbon alifatik atau disebut juga parafinik adalah senyawa yang mempunyai rantai atom karbon jenuh  terbuka.  Senyawa parafin  yang didapatkan dari  minyak bumi  mengandung 1  sampai
lebih  dari  78  atom  C.  Wujud  paraffin  dengan  jumlah  atom  C  kurang  dari  5  adalah  bentuk  gas. Jumlah atom C dari 5 sampai dengan 16 adalah bentuk cair dan jumlah atom C lebih dari 16 adalah
bentuk padat dan semi padat.  Hidrokarbon alisiklik atau disebut juga neftenik adalah senyawa yang umumnya  berbentuk  cincin  dan  tidak  mempunyai  ikatan  ganda.  Senyawa  ini  bersifat  stabil  dan
tahan  terhadap  oksidasi.  Titik  didih  senyawa  ini  10
o
C  sampai  20
o
C  lebih  tinggi  dari  senyawa hidrokarbon  alifatik  dengan  jumlah  atom  yang  sama  Speight,  1980.  Hidrokarbon  aromatik
merupakan  senyawa  yang  sangat  kompleks,  termasuk  diantaranya  senyawa –  senyawa  aromatik
dengan substitusi  mono, di, dan poli alkil  maupun tanpa substitusi.   Dalam  minyak bumi senyawa ini jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan parafin atau neftena.
Senyawa non-hidrokarbon didalam minyak bumi terutama disusun oleh senyawa organik yang mengandung  nitrogen,  belerang,  oksigen,  dan  logam  organik  organometalik.  Selama  proses
penyulingan,  komponen  nonhidrokarbon  terkumpul  dalam  minyak  fraksi  berat  dan  residu,  yaitu dengan titikdidih diatas 350
o
C – 400
o
C.
45
4.6.2. Coreflooding Test
Coreflooding  test  merupakan  simulasi  penginjeksian  fluida  kedalam  reservoir  yang  bertujuan untuk  mengetahui  pengambilan  minyak  bumi  dengan  melakukan  pendesakan  pada  core  sintetik.
Pendesakan  dilakukan  dengan  menggunakan  air  formasi  lapangan  S  dan  formula  surfaktan.  Dalam coreflooding test terdapat parameter-parameter input yang perlu diperhatikan yaitu batuan, sifat fluida
yang  diinjeksikan  serta    recovery  factor.  Batuan  yang  digunakan  adalah  batuan  yang  memiliki kesamaan  dengan  batuan  di  lapangan  baik  porositas  maupun  permeabilitas.  Sedangkan,  sifat  fluida
disesuaikan  dengan  karakteristik  reservoir  berupa  suhu  dan  tekanan  dimana  pada  lapangan  S bersuhu 70
o
C sehingga selama proses coreflooding test harus berada pada suhu 70
o
C dan tekanan 10 psi.  Sementara  itu,  recovery  factor  yang  dimaksud  adalah  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  besar
kecilnya  recovery  minyak  yang  diperoleh.  Faktor-faktor  tersebut  adalah  jenis  surfaktan,  konsentrasi surfaktan dan lama perendaman batuan dalam surfaktan.
Alat  yang digunakan  untuk  coreflooding test  yaitu core holder.   Core holder  terdiri dari  core holder, tabung injeksi minyak, air formasi, dan surfaktan, gas nitrogen, serta gelas ukur.  Gas nitorgen
digunakan  untuk  menginjeksikan  fluida  berupa  minyak  bumi,  air  formasi  dan  larutan  surfaktan  dari dalam tabung masing-masing ke core holder.  Suhu pada tabung injeksi dan core holder diatur sesuai
suhu  reservoir  yaitu  70
o
C,  kemudian  pada  core  holder  diberikan  tekanan  sampai  10psi,  sedangkan pada tabung injeksi diberikan tekanan 1.5 bar.  Pemberian tekanan pada core holder bertujuan untuk
mengikat  core  sehingga  mencegah  kebocoran  fluida,  sedangkan  pemberian  tekanan  pada  tabung injeksi  bertujuan  untuk  menginjeksikan  fluida  kedalam  pori-pori  core  sintetik.  Fluida  diinjeksikan
melewati  pori-pori  core  sintetik  yang  berada  di  dalam  core  holder.    Selanjutnya,  fluida  yang  keluar ditampung pada gelas ukur yang tepat berada di bawah saluran keluar fluida pada core holder.  Fluida
yang keluar diukur volumenya sebagai hasil coreflooding. Pada  tahap  pertama,  fluida  yang  diinjeksikan  kedalam  core  sintetik  yaitu  minyak  lapangan  S.
Minyak  ini  mendorong  fluida  berupa  air  formasi  yang  telah  tersaturasi  dalam  core.  Minyak  yang masuk  ke  dalam  core  sebanding  dengan  air  formasi  yang  keluar  pada  injeksi  tersebut.  Air  formasi
lapangan  S  yang  keluar  diukur  untuk  mengetahui  porevolume  PV  yang  dimiliki  oleh  core.  Pada tahap kedua, fluida  yang diinjeksikan berupa air formasi lapangan S  untuk  mendorong  minyak  yang
telah diinjeksikan sebelumnya.  Penggunaan air formasi dikarenakan pada lapangan S belum tersedia WIP  air  injeksi.    Injeksi  pada  tahap  kedua  ini  merupakan  simulasi  tahap  sekunder  dalam  recovery
minyak  yang  dikenal  dengan  waterflooding.    Proses  injeksi  ini  berhenti  jika  tidak  ada  lagi  minyak yang  keluar.    Pada  tahap  ketiga,  fluida  yang  diinjeksikan  berupa  formula  surfaktan  yang  telah  diuji
diawal.  Tahapan ini merupakan tahap EOR berupa enhanced waterflooding.  Formula surfaktan yang diinjeksikan  sebesar  0.1  PV,  0.2  PV  dan  0.3  PV  dari  volume  pori-pori  core  sintetik.  Injeksi  ini
bertujuan untuk mendapatkan tambahan recovery minyak 10 –20 persen.  Formula tersebut kemudian
disoakingdirendam  selama  12  jam.  Perendaman  selama  12  jam  ini  didasarkan  pada  penelitian Mwangi 2008 yang  menyatakan bahwa semakin lama periode perendaman, semakin banyak  waktu
untuk cairan surfaktan mendistribusimenyebar dalam core yang dapat menurunkan nilai IFT sehingga minyak  yang  tersisa  dalam  core  dapat  terangkat  dan  meningkatkan  recovery  minyak.  Tahap
selanjutnya  yaitu  injeksi  oleh  air  formasi  untuk  membilas  atau  mengeluarkan  minyak  yang  telah direndamsoaking  oleh  formula  surfaktan  tersebut.  Hasil  core  flooding  test  dapat  dilihat  pada
Lampiran 13. Pada  penelitian  ini  digunakan  analisis  statistik  berupa  Rancangan  Acak  Lengkap  dengan  satu
faktor.    Analisis  statistik  bertujuan  untuk  mengetahui  pengaruh  faktor  terhadap  respon.  Faktor  yang
46
dimaksud adalah pore volume formula surfaktan yang diinjeksikan dan respon yang dimaksud adalah recovery  minyak  setelah  injeksi  surfaktan.    Dari  hasil  analisis  statistik  diketahui  bahwa  terdapat
pengaruh  nyata  porevolume  formula  surfaktan  terhadap  recovery  minyak  yang  diperoleh.    Pada tingkat  kepercayaan  95
α  =  0,05,  porevolume  formula  surfaktan  berpengaruh  secara  signifikan terhadap  recovery  minyak  yang  diperoleh.    Recovery  minyak  bumi  yang  dihasilkan    pada  proses
simulasi core flooding dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Recovery minyak bumi yang dihasilkan  pada proses simulasi core flooding
Perlakuan Recovery setelah
water flooding Recovery setelah injeksi
surfaktan Total Recovery
minyak
0.1 PV 35.42
8.68 44.10
0.2 PV 29.26
16.91 46.16
0.3 PV 32.58
19.51 51.08
Selanjutnya  hasil  analisis  sidik  ragam  dilanjutkan  dengan  uji  Duncan  untuk  mengetahui porevolume    formula  surfaktan  mana  yang  berpengaruh  secara  signifikan  terhadap  recovery  minyak
yang  diperoleh.  Hasil  uji  Duncan  menunjukkan  bahwa  pada  tingkat  kepercayaan  95  formula surfaktan  0.1  PV  memiliki  pengaruh  yang  berbeda dibanding  formula  surfaktan  0.2  PV dan  0.3 PV.
Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mwangi 2008 injeksi formula surfaktan 0.1PV tidak dikatakan berpengaruh. Sehingga, perlu dicari formula surfaktan yang berbeda nyata dari injeksi
0.2PV  dan  0.3PV.  Berdasarkan  grafik  perbandingan  dan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Mwangi 2008 diketahui bahwa injeksi surfaktan 0.2 PV  paling berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang
lainnya. Grafik perbandingan hasil recovery dapat dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34. Recovery minyak setelah injeksi dan soaking formula surfaktan Berdasarkan  grafik  tersebut  dapat  dilihat  bahwa  injeksi  formula  surfaktan  0.2  PV  memiliki
hasil  yang  berbeda  nyata  dibandingkan  dengan  perlakuan  lainnya.  Namun,  terdapat  kecenderungan bahwa  semakin  banyak  formula  surfaktan  yang  diinjeksikan,  recovery  minyak  yang  dihasilkan
semakin  menurun.  Berdasarkan  kecenderungan  tersebut,  maka  hasil  yang  diperoleh  kemudian  di regresikan untuk mengetahui kecenderungan penurunan recovery tersebut. Grafik regresi dari injeksi
formula surfaktan dapat dilihat pada gambar 35.
8.68 16.91
19.51
5 10
15 20
0.1 0.2
0.3
R e
cov e
ry m
iny ak
Injeksi formula surfaktan PV
47
Gambar 35. Grafik regresi injeksi formula surfaktan terhadap recovery minyak Berdasarkan  grafik  tersebut  dapat  dilihat  bahwa  injeksi  formula  surfaktan  terhadap  recovery
minyak bumi di regresikan dengan rumus Y = 0.541X +0.042. Dimana Y merupakan recovery minyak yang dihasilkan, dan X merupakan formula surfaktan yang diinjeksikan. Dengan nilai residual sebesar
80.1 yang berarti regresi tersebut mampu menjelaskan data yang dihasilkan sebesar 80.1. Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh kinerja surfaktan APG SK-50
dalam meningkatkan nilai recovery minyak bumi. 0.1
0.2 0.3
recovery 8.68
16.90 19.51
y = 0.541x + 0.042 R² = 0.8010.1
5 10
15 20
25
Re co
v er
y m
in y
ak
Injeksi formula surfaktan PV
48
V. SIMPULAN DAN SARAN