14
2.7. PERMEABILITAS
Permeabilitas didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida melalui pori-pori batuan tanpa merusak partikel pembentuk batuan. Definisi kuantitatif
permeabilitas pertama-tama dikembangkan oleh Henry Darcy 1856 dalam hubungan empiris dengan bentuk differensial sebagai berikut:
Dimana
:
V = kecepatan aliran ,cmsec
= viskositas fluida yang mengalir, cP dPdL
= gradien tekanan dalam arah aliran, atmcm k
= permeabilitas media berpori Tanda negatif dalam persamaan tersebut menunjukkan bahwa bila tekanan bertambah dalam
satu arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah pertambahan tekanan tersebut. Beberapa anggapan yang digunakan oleh Darcy dalam persamaan tersebut antara lain; alirannya mantap steady
state, fluida yang mengalir satu fasa, viskositas fluida yang mengalir konstan, kondisi aliran isothermal, formasinya homogen dan arah alirannya horizontal, fluidanya incompressible. Dalam
batuan reservoir, permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu; permeabilitas absolut, adalah permeabilitas dimana fluida yang mengalir melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misal
hanya minyak atau gas saja. Permeabilitas efektif, adalah permeabilitas batuan dimana fluida yang mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas dan minyak atau ketiga-
tiganya. Permeabilitas relatif, adalah perbandingan antara permeabilitas efektif dengan permeabilitas absolut.
2.8. KELAKUAN FASA PHASE BEHAVIOR SURFAKTAN
Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak pada proses injeksi surfaktan. Proses
emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida pendorong dengan minyak. Pada dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat membentuk beberapa macam jenis emulsi yang
diantaranya dapat menurunkan tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu dengan orde 10
-2
sampai dengan 10
-4
dynecm, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia Sugihardjo, 2002. Ada beberapa jenis emulsi yang akan terbentuk pada proses uji kelakuan fasa, yaitu:
1. Emulsi fasa bawah, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa air, terjadi kelebihan fasa
minyak excess oil, dalam kondisi dua fasa, dan berwarna translusen jernih tembus cahaya. Gambar emulsi fasa bawah terdapat pada Gambar 7 a.
2. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah, yaitu emulsi yang terdiri dari tiga fasa air-mikroemulsi-
minyak dan berwarna translusen. Gambar emulsi fasa tengah terdapat pada Gambar 7 b.
15
3. Emulsi fasa atas, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa minyak dan terjadi
kelebihan fasa air excess water, emulsi ini terdiri dari dua fasa. Gambar emulsi fasa atas terdapat pada Gambar 7 c .
4. Makroemulsi, emulsi yang berbentuk kental dan berwarna putih susu milky. Gambar
makroemulsi terdapat pada Gambar 7 d.
a b
c d
Gambar 7. Emulsi yang akan terbentuk pada uji kelakuan fase phase behavior. a Emulsi fasa bawah. b Emulsi fasa tengah mikroemulsi. c Emulsi fasa atas . d Makroemulsi
Surfaktan yang digunakan dalam proses chemical flooding biasanya menunjukkan kelarutan yang baik dalam fase cairan dan kelarutan yang buruk dalam fase minyak pada salinitas garam
rendah. Jadi pada salinitas air formasi rendah, susunan keseluruhan diantara dua fase akan terpecah menjadi; fase kelebihan minyak dan air diluar fase mikroemulsi. Fase kelebihan minyak terdiri dari
minyak dan fase mikroemulsi terdiri dari air formasi, surfaktan dan minyak yang terlarut ditengah micelles. Kondisi ini disebut
sebagai sistem Winsor’s type I, sistem mikroemulsi fase rendah atau tipe II -. Istilah ini disebabkan berdasarkan fakta bahwa sistem terdiri dari dua fase dan kemiringan
terhadap garis batas antara fase minyak dan fase cairan negatif. Perilaku dari sistem fase tipe II - dapat dilihat pada Gambar 8 a.
Pada salinitas air formasi yang tinggi, kelarutan surfaktan dalam fase cair berkurang secara drastis karena gaya elektrostatik. Jadi pada salinitas air formasi yang tinggi, susunan keseluruhan
diantara dua fase akan terpecah menjadi minyak diluar fase mikroemulsi dan kelebihan fase air formasi. Dalam kasus ini, fase air formasi tidak akan berisi surfaktan dan beberapa fase air formasi
akan larut dalam fase mikroemulsi pada tengah micelle. Sistem ini disebut sebagai sistem Winsor’s
tipe II, mikroemulsi fase atas atau sistem tipe II + Gambar 8 b. Diantara dua type salinitas air formasi yang dibahas diatas, terdapat tipe phase behavior yang
ketiga dimana ketiga fase fase air formasi, fase mikroemulsi, dan fase minyak menyatu. Fase mikroemulsi tengah sering disebut sebagai fase bicontinous yaitu terdapat pada minyak dan air.
Sistem ini dikenal sebagai Winsor’ tipe III, mikroemulsi fase tengah atau sistem tipe III Gambar 8 c .
16
Gambar 8. Gambar fase behavior yang dihasilkan pada saat pencampuran minyak, air garam dan surfaktan. a tipe II -. b tipe II +. c tipe III lake, 1989
Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EORinjeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah Tim lemigas, 2002. Pada kondisi
tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Terbentuknya mikroemulsi
fasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi fasa bawah maupun fasa atas. Namun demikian, untuk tercapainya kondisi mikroemulsi ini diperlukan beberapa
persyaratan diantaranya adalah faktor konsentrasi surfaktan yang digunakan.
17
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. ALAT DAN BAHAN
Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum, gelas piala, timbangan analitik, tabung gelasjar, pipet, sudip, stirer, labu pemisah, oven, serta core
holder. Peralatan yang digunakan untuk analisa adalah spinning drop tensiometer TX 500 C, pH meter, Viskometer, dan Density Meter DMA 4500 M anton Paar. Peralatan yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan baku yang digunakan adalah surfaktan Alkil Poliglikosida komersil yang diperoleh dari
PT.Cognis dengan kode SK-02, SK-03, SK-05, SK-06 dan SK-50, core sandstone sintetik, air formasi Lapangan S, NaCl, NaOH, NaCO
3
, minyak bumi dari Lapangan S, toluene serta bahan kimia yang digunakan untuk analisa.
3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian akan dilakukan mulai bulan Februari 2011 sampai Agustus 2011. Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Surfactant and Bioenergy
Research Center, SBRC – LPPM IPB dan Laboratorium Teknik Kimia, Departemen Teknologi
Indutri Pertanian, FATETA IPB, Bogor.
3.3. METODE PENELITIAN 3.3.1.
Persiapan Core sintetik
Uji kinerja surfaktan Alkil Poliglikosida APG membutuhkan core untuk melihat efektifitas dari penggunaan surfaktan tersebut. Core merupakan batuan dari dalam bumi yang akan digunakan
untuk aplikasi enhanced waterflooding. Core yang digunakan dalam penelitian ini berjenis batuan pasir sandstone. Core yang berasal dari dalam bumi ini terbatas jumlahnya sehingga perlu dibuat
core buatan atau sintetik dengan karakteristik yang menyerupai core batuan aslinya. Proses penyiapan core sintetik dari mulai awal pembuatan sampai core siap digunakan terdiri dari beberapa
tahapan yaitu;
1. Tahap Pembuatan Core Sintetik
Core sintetik dibuat semirip mungkin dengan karakteristik core asli. Core sintetik merupakan campuran pasir kuarsa dan semen dengan penambahan air. Perbandingan antara pasir
kuarsa dengan semen sebesar 2 : 5 atau sesuai dengan porositas yang diinginkan. Penambahan air dilakukan sebanyak 10 dari bobot total pasir kuarsa dan semen. Campuran tersebut dicetak
dengan menggunakan pipa dengan panjang sesuai ukuran core holder pada alat core apparatus yaitu sebesar ± 3.1 cm dan diameter ± 2.3 cm lalu dikeringkan selama 2 hari.