TAHAP RECOVERY MINYAK BUMI

10 direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C 12-18 dari fatty alkohol bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125 o C dan dibawah tekanan 4-10 bar dalam zone reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi dilaksanakan pada temperatur dibawah temperatur 115-118 o C dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio molar pati dihitung sebagai anhidroglukosa, terhadap alkohol rantai panjang 1: 1.5 - 1: 7, 1:2.5 ke 1:7, 1:3 ke 5. Sedangkan rasio molar sakarida : air = 1: 5 – 1:12, 1: 6-1:12, 1: 6-1: 9, 1: 6-1: 8. Proses reaksi sintesa APG dua tahap dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Sintesis Fischer secara langsung dan dua tahap Wuest et al., 1992

2.3. TAHAP RECOVERY MINYAK BUMI

Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan menjadi tiga fase, yaitu fase primer primary phase, fase sekunder secondary phase dan fase tersier tertiary phase. Fase primer merupakan fase dimana proses produksi minyak tergantung kepada kandungan energi alam reservoir yaitu tekanan alami dari reservoir natural flow Gomma, 1997. Menurut Sumotarto 1997, tekanan alami reservoir dapat berasal dari tekanan gas yang terlarut dalam fluida minyak solution gas drive, kolom air di bawah lapisan minyak water drive, atau tekanan dari lapisan batuan yang berada di atasnya overburden pressure. Adanya energi alami reservoir memungkinkan minyak untuk keluar dengan sendirinya dari sumur. Fase sekunder dalam recovery minyak bumi merupakan fase dimana sudah melibatkan penginjeksian material kedalam reservoir. Pada fase ini diterapkan proses immiscible gas flood dan water flood, sedangkan fase tersier merupakan fase dimana diterapkannya metode Enhanced Oil Recovery EOR Gomma, 1997. Menurut Thamrin dan Sudibjo 1992, EOR atau metode pengurasan tahap lanjut merupakan usaha untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi yang sudah tidak produktif lagi pada tahap produksi pertama. Metode EOR dilakukan dengan menginjeksikan material kedalam batuan reservoir guna menguras sisa-sisa minyak bumi yang masih terkandung didalam batuan reservoir, yang pada umumnya berupa residual oil dan by-passed oil. Residual oil merupakan butir-butir minyak yang tersisa karena terperangkap di dalam pori-pori batuan saturasi minyak tersisa. By-passed oil merupakan kandungan minyak di dalam bagian dari reservoir yang tidak tersapu dan terjangkau by-passed oleh injeksi air pada tahap sekunder. Pati Butanol Butyl Glicoside Butyl Glicoside Fatty Alcohol Alkyl Polyglicoside 11 Berdasarkan material yang diinjeksikan, metode EOR dikelompokkan kedalam empat kelompok, yaitu metode termal air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood, metode kimia polimer, surfaktan, alkali, metode solvent-miscible pelarut hidrokarbon, CO 2 , N 2 , gas hidrokarbon, dan campuran gas alam, dan metode lainnya mikroba, listrik, mekanis. Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai recovery tersier, namun beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fasa primer atau bahkan saat proses pencarian minyak discovery Gomma,1997. Skema recovery minyak bumi ditunjukkan pada Gambar 6. Menurut Allen dan Roberts 1993, karakteristik minyak dan reservoir perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode EOR, supaya memenuhi target yang hendak dicapai. Sebagai gambaran, reservoir yang dangkal tidak cocok bila dilakukan injeksi gas, karena tekanannya sangat tinggi sehingga dapat beresiko merusak formasi dan akan menimbulkan semburan liar. Gambar 6. Skema mekanisme recovery minyak Wahyono, 2009 2.4. SURFACTANT FLOODING Proses perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan disebut dengan surfactant flooding. Proses ini dikategorikan ke dalam proses tersier produksi minyak bumi. Nummedal et.al. 2003 menyatakan bahwa peningkatan perolehan minyak bumi oil recovery dapat dilakukan dengan cara menambahkan surfaktan kedalam air injeksi. Dalam surfactant flooding, karakteristik air yang diinjeksikan kedalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air yang berada di dalam cekungan minyak bumi reservoir. Demikian pula dengan penginjeksian 12 surfaktan umumnya bahan kimia, disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada di dalam reservoir minyak bumi. Pada umumnya tidak hanya surfaktan yang digunakan dalam surfactant flooding, namun juga polimer umumnya partially hidrolized polyacrilamide PMPA. Polimer diinjeksikan setelah campuran surfaktan dan air injeksi dipompakan ke dalam sumur minyak. Tujuannya adalah meningkatkan stabilitas genangan flood dan meningkatkan efisiensi penyapuan sweep efficiency minyak. Technology Assesment Board 1978, mengungkapkan bahwa surfactant flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai potensi recovery minyak yang superior. Mekanisme reaksi yang terjadi di dalam sumur minyak setelah surfaktan diinjeksikan dijelaskan sebagai berikut: surfaktan memiliki gugus dasar hidrokarbon dan berikatan pada ujung dengan senyawa anorganik gugus sulfonat SO 3 . Rumus kimia surfaktan adalah R – SO 3 H, dengan gugus R – merupakan gugus rantai hidrokarbon. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi RSO 3 - dan H + . bila ion molekul RSO 3 - kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar minyak, maka gugus R – akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi surfaktan-minyak, sedangkan pada molekul surfaktan itu sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO 3 - . Pengaruh gaya adhesi ini akan mengurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antar permukaan minyak dengan air akan menurun. Selain itu, terjadi gaya tolak-menolak antara kepala surfaktan yang bermuatan negatif karena adanya gugus RSO 3 - dengan batuan sandstone yang bermuatan negatif karena adanya senyawa silica SiO 2 - . Gaya tolak-menolak ini mengakibatkan surfaktan yang mengikat minyak pada bagian gugus R akan bergerak menjauh dari batuan dan ini akan mengakibatkan wettability batuan berubah menjadi water wet Ashayer et al.,2000. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pada aplikasi surfactant flooding tergantung pada beberapa faktor seperti formulasi, biaya, ketersediaan bahan, dampak lingkungan, serta harga minyak bumu dipasar. Agar pemanfaatan surfaktan lebih efektif, beberapa kriteria harus dipenuhi yaitu surfaktan yang digunakan harus dapat menghasilkan IFT ultra low dan harus cukup sederhana pada saat disintesis untuk diproduksi secara komersial Nasiri, 2011.

2.5. AIR FORMASI